• Tidak ada hasil yang ditemukan

46

AN KOMNAS PEREMPU

46

KOMNAS PEREMPUANAN KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

46

hak asasi manusia; Melakukan evaluasi Perda, terutama Perda APBD dapat memenuhi tercapainya kesejahteraan perempuan; serta mengakomodir perlindungan terhadap kaum penghayat dan aliran kepercayaan Mereka tidak boleh kesulitan di dalam pemakaman dan memperoleh hak-hak semasa hidupnya.

Kementrian Hukum dan HAM, dari sisi legislasi Kementerian Hukum dan HAM sudah meluncurkan Pedoman Penulisan Perda yang mencakup Parameter HAM dan juga Parameter Gender. Juga, pada tanggal 10 Desember, Kemenhukham meluncurkan Catur Karya HAM:

Pertama adalah Daerah Peduli HAM adalah elemen yang diharapkan dapat diterapkan di daerah untuk peduli HAM secara keseluruhan.

Kedua yang dikaitkan dengan pengaduan dan pelanggaran HAM dalam masyarakat, juga meluncurkan Standar Operating Prosedure (SOP) untuk pelayanan komunikasi masyarakat yang pada dasarnya adalah satu pedoman bagi pemerintah pusat maupun daerah serta lembaga untuk menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh masyarakat baik secara individu maupun kolektif. SOP ini juga menjadi salah satu program dari 7 program yang dirumuskan dalam Salaknas HAM yang saat ini sudah dilaksanakan baik, oleh pancaran HAM yang ada di daerah-daerah dan juga Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.

Keputusan Mahkamah Agung No. 691 K/Pid/2012 Tahun 2012

Dalam kasus kekerasan seksual yang dilaporkan korban dilakukan Anand Khrisna, Mahkamah Agung R.I pada akhirnya berani melakukan terobosan hukum, dengan menyimpangi pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mahkamah Agung RI menggunakan kewenangannya sebagai upaya menciptakan keadilan bagi masyarakat khususnya kelompok rentan perempuan dan anak. Hal tersebut juga menegaskan upaya menghapuskan diskriminasi pengadilan yang telah mengabaikan kepentingan dan kebutuhan korban menjadi perhatian utama Mahkamah Agung RI. Upaya tersebut sejalan dengan perlindungan hukum di pengadilan Nasional bagi perempuan dan anak korban yang ditegaskan dalam CEDAW.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan korban secara spesifik dalam mendapatkan hak-haknya sebagai korban kekerasan. KUHAP belum beranjak dari pola lama yang memprioritaskan perlindungan terhadap hak tersangka dan terdakwa semata. Sementara perlindungan hak saksi dan korban pengaturannya masih dikonstruksikan secara parsial dan tidak menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum dalam memeriksa perkara. Proses peradilan hanya tunduk pada KUHAP,termasuk pemenuhan alat bukti yang sah (pasal 184 KUHAP) saja. Bahkan seringkali, penggunaan dan pemahaman terhadap alat bukti yang sah masih berkutat pada saksi dan surat yang berupa visum. Hal tersebut kemudian digantungkan pada keyakinan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Kondisi tersebut seringkali mempersulit akses keadilan terhadap korban.

Dalam pertimbangan hukum putusan Kasasi dimana Mahkamah Agung melihat dan mempertimbangkan argumentasi hukum alasan kasasi Jaksa penuntut Umum sebagai wakil Negara terhadap korban dalam memutus perkara ini. Menurut Jaksa Penuntut Umum, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya berdasarkan Pasal 253 KUHAP. Hakim tidak memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Bahkan dalam proses pemeriksaan

47

KOMNAS PEREMPUAN

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012 KOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN

47 47 47

menimbulkan ketidakpastian hukum dengan mempengaruhi saksi dalam pelaksanaan sumpah yang dapat mempunyai kecenderungan berpihak pada Terdakwa, bukan pada terciptanya rasa keadilan bagi masyarakat. Bahkan, Saksi korban /pelapor dan saksi lainnya yang menjadi korban diperiksa kembali dengan diminta menjelaskan kembali kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Pemeriksaan demikian tidak memperhatikan kepentingan para korban dari perlindungan atas trauma yang dialaminya. Proses demikian menjadi salah satu indikasi Hakim persidangan tidak berperspektif gender.

Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

12 April 2012 merupakan hari yang bersejarah bagi gerakan pekerja migran dan gerakan perempuan, setelah perjuangan panjang hampir 20 tahun, akhirnya pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB 1990 mengenai Perlindungan Hak-hak seluruh pekerja migrant dan anggota keluarganya. Pada tanggal tersebut dalam sidang Paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan Konvensi Migran 1990. Pada 5 Mei 2012 pemerintah menerbitkan melalui Undang-undang No 6 tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). Pengesahan Konvensi Migran 1990 ini beriringan dengan pembahasan perubahan atas undang-undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar negeri (UU PPTKILN). Inisiatif perubahan tersebut berasal dari DPR yang kemudian menghasilkan rancangan undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN). Namun demikian, berdasarkan kajian yang dilakukan Komnas Perempuan, RUU PPILN belum sepenuhnya merujuk pada Konvensi Migran 1990 yang telah disahkan.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2012 tentang Tata Cara Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia dari Negara Penempatan secara Mandiri ke Daerah Asal

Dengan terbitnya peraturan ini pekerja migran yang kembali ke tanah air diperbolehkan untuk kembali ke daerah asal secara mandiri. Kewajiban melapor saat kedatangan untuk tujuan pendataan, tidak lagi diikuti dengan kewajiban untuk menggunakan jasa transportasi (travel) yang disediakan di gedung pendataan kepulangan TKI (GPK TKI) Selapajang.

Terobosan kebijakan lain yang lahir pada 2012 adalah perihal biaya keberangkatan (cost structur) menjadi pekerja migran. Beberapa kebijakan tersebut antara lain :

Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor: Per 02/KA/I/2012 tanggal 24 Januari 2012 tentang biaya penempatan TKI Eks Hongkong SAR (yang sudah berpengalaman bekerja di Hongkong Sebelumnya), yaitu sebesar Rp 5.911.000.

Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor Per.003/KA/I/2012 tanggal 24 Januari tentang biaya penempatan TKI ke Singapura sebesar Rp 10.933.000 dan bagi yang pernah bekerja sebelumnya (TKI Eks Singapura) sebesar Rp 5.448.00.

Peraturan Kepala BNP2TKI nomor Per.07/KA/II/2012 tanggal 28 Februari 2012 tentang biaya penempatan TKI ke Macau SAR sebesar Rp. 12.243.000 dan bagi yang pernah bekerja sebelumnya (eks) sebesar Rp. 4.903.000.

Dokumen terkait