• Tidak ada hasil yang ditemukan

52

AN KOMNAS PEREMPU

52

KOMNAS PEREMPUANAN KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

52

Perempuan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

PengesahanUndang-UndangNomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, tidak cukup memberikan jaminan dalam pemenuhan hak atas pangan bagi warga Negara khususnya pada perempuan. Substansi Undang-Undang ini masih bersifat netral gender, Pengakuan dan perlindungan bagi perempuan yang berperan dan terlibat di dalam proses produksi pangan, dari hulu sampai hilir tidak terpapar jelas di dalam aturan pasal undang-undang ini. Padahal dilihat dari kuantitas dan kualitas pada produksi pangan hampir 80% dilakukan oleh perempuanyang berprofesi sebagai petani (pertanian, perkebunan), nelayan (pengumpul ikan dan lain-lain) yang terlibat dalam setiap proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan.Dalam Ketentuan Umum, definisi mengenai petani ataupun nelayan sebagai produsen pangan tidak disebutkan laki-laki dan perempuan. Peran perempuan disimplifikasi dan seolah-olah menjadi bagian yang secara otomatis mendapat tempat dan manfaat yang sama dengan laki-laki. Salah satu dampaknya adalah seringkali dalam proses pengambilan keputusan, perempuan sudah dianggap cukup terwakili oleh kerabatnya yang laki-laki. Sehingga ia tidak bisa mengartikulasikan apa yang menjadi kepentingannya. Dampak lainnya adalah pengalaman dan pengetahuan perempuan tidak menjadi rujukan dalam sistem pengelolaan pangan9.Selain itu UU Pangan yang baru disahkan ini tidak memuat asas kesetaraan, keadilan gender sebagai prinsip pemenuhan hak-hak perempuan.

Undang Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan

Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan diharapkan akan memberikan landasan hukum yang jelas mengenai Industri Pertahanan terkait dengan aspek Kelembagaan, Penyelenggaraan, KKIP, Pengelolaan dan Ketentuan Pidana. UU tentang Industri Pertahanan ini mendorong pemerintah, pengguna, kalangan industri pertahanan untuk mengembangkan industri pertahanan yang mandiri dan berkesinambungan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.10 Dibidang keamanan dan pertahanan negara, pengesahan Undang-Undang ini menjadi suatu kemajuan dalam upaya mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, demi meminimalisir pembengkakan anggaran negara untuk pengadaan Alutsista dan mengurangi pembelian melalui agen. Namun hal ini menjadi sebuah kemunduran bagi penegakkan hukum di Indonesia, mengingat masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi prioritas pembahasan dan pengesahannya, seperti perubahan KUHP dan KUHAP, amandemen Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), dan sebagainya yang merupakan payung hukum dalam perlindungan seluruh warga negara Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

pada 11 April 2012, disahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 (selanjutnya disebut UU PKS). Namun sayangnya di dalam Pasal 1 Definisi Konflik Sosial hanya memuat cakupan perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas

9 Kertas Kebijakan “Sembilan Catatan dari Konferensi Nasional Undang-Undang Pangan” Undang-Undang No. 18/2012 tentang Pangan : Tanggung Gugat Negara penuhi Hak Atas Pangan Rakyat, Jakarta/09 Januari 2013, Koalisi Hak Atas Pangan.

10 Makalah Penyusunan RUU Tentang Industri Pertahanan, M. Fachruddien, S.H., M.H.(DIRKUM STRAHAN KEMHAN), disampaikan pada Forum Komunikasi Kehumasan, tanggal 26 September 2012.

53

KOMNAS PEREMPUAN

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012 KOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN

53 53 53

nasional dan menghambat pembangunan nasional. Definisi konflik sosial hanya mengenal benturan fisik dengan kekerasan, tidak memuat kekerasan psikis, kekerasan seksual yang faktanya banyak dialami oleh perempuan korban juga anak-anak. Dan pelaku yang diatur dalam UU ini hanyalah konflik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atau lebih, yang artinya UU ini tidak mengakomodir atau mengatur pelaku konflik adalah negara. Kekerasan terhadap perempuan dan peran negara mencakup semua tindak kekerasan yang terjadi karena adanya perangkat hukum/kebijakan, penegak hukum, dan budaya penegakan hukum yang tidak berperspketif gender serta kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik.

Parahnya Paradigma penanganan konflik dalam Undang-Undang ini dianggap akan mengarah pada pola militeristik, apalagi dalam hal bantuan penanganan konflik sosial UU PKS telah mengamanatkan adanya keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pelibatan militer dalam penanganan konflik sosial adalah cermin peniadaan terhadap fakta kekerasan yang dialami perempuan di wilayah konflik, di mana aparat keamanan berpotensi menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan, yang pada akhirnya pencapaian dalam pemenuhan hak-hak perempuan korban seperti asas penghormatan hak asasi manusia dan kesetaraan gender tidak terwujud.

UU PKS telah memasukan rekonsiliasi di dalam pemulihan pascakonflik, namun perlu digarisbawahi adanya perbedaan pemahaman dalam UU dengan usulan yang diajukan. Rekonsiliasi menurut DPR adalah perundingan secara damai, pemberian restitusi dan/atau pemaafan, di mana hal ini berpotensi melahirkan impunitas (Pemaafan) bagi pelaku pelanggaran HAM, yang akan meniadakan kepastian hukum dan keadilan bagi korban maupun keluarga korban11. Sedangkan usulan yang diajukan, adalah bahwa rekonsiliasi dilakukan dengan cara mengedepankan pengungkapan kebenaran dan pemenuhan hak korban.

UU ini tidak memuat penanganan dalam hal pencegahan konflik berulang. UU PKS ini nampaknya bergerak hanya sampai batas pemulihan pascakonflik. Padahal dengan model penanganan demikian, dapat dipastikan penyelesaian konflik tidaklah menyeluruh dan tidak menuntaskan sampai akar permasalahannya. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam UU PKS ini hanya sebatas pada pembiayaan, bantuan teknis, penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban konflik; dan/atau bantuan tenaga dan pikiran. UU ini tidak melibatkan masyarakat dalam penanganan konflik sosial pada tahap membangun sistem peringatan dan tanggap dini, yang bertujuan agar konflik sosial tidak berulang. Juga tidak terlihatnya peran komunitas di dalam pemulihan pascakonflik.

Pemantauan kinerja Satuan Tugas Penyelesaian Konflik yang di dalamnya terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat, dengan tetap memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% perlu dibuktikan, sebagai implementasi Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan, Perlindungan dan Pemberdayaan perempuan di Daerah Konflik (RAN P4DK). Hal ini sebagai pelaksanaan dari Resolusi PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan pada paragraph 512, di mana telah menggariskan mengenai pentingnya peran perempuan dalam penanganan konflik. Satuan Tugas lain,

11 Korban yang seringkali menjadi kaum rentan dari berbagai bentuk konflik baik konflik berbasis agama, berbasis ras/etnis, agama, konflik bersenjata, konflik sumber daya alam serta konflik sosial lainnya, adalah Kelompok yang dikategorikan sebagai penyandang cacat, anak, lansia, perempuan dalam konflik bersenjata, kelompok miskin.

12 Resolusi 1325 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, pada Paragraf 5 telah menegaskan mengenai pentingnya peranan perempuan dalam pencegahan dan resolusi konflik, dan penciptaan perdamaian, serta menekankan pentingnya kesetaraan dalam berpartisipasi dan keterlibatan penuh mereka dalam semua usaha untuk menjaga dan mendorong perdamaian dan keamanan, dan perlunya meningkatkan peran mereka dalam pengambilan keputusan terkait pencegahan dan resolusi konflik.

Dokumen terkait