• Tidak ada hasil yang ditemukan

50

AN KOMNAS PEREMPU

50

KOMNAS PEREMPUANAN KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012

50

(tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Artinya, hanya tindak pidana ringan yang wajib dilakukan Diversi.

Adapun terhadap tindak pidana berat -dimana ancaman hukumannya di atas 7 (tujuh) tahun- maka UU SPPA mengkategorikannya sebagai tindak pidana yang tidak dapat di-Diversi. Merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kejahatan perkosaan -sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual dari 15 bentuk yang diidentifikasi oleh Komnas Perempuan- adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara 9 (sembilan) sampai 12 (dua belas) tahun. Walaupun KUHP masih sangat terbatas menyebutkan jenis dan unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai delik perkosaan, UU SPPA setidaknya tetap dapat menjadi instrumen hukum bagi perempuan korban untuk mengakses keadilan, mengingat tindak pidana tersebut jika dilakukan oleh Anak tidak di-Diversi namun harus tetap diproses melalui peradilan pidana. Hal ini juga akan menjadi pendorong untuk membangun komitmen negara agar menyusun peraturan perundang-undangan yang secara komprehensif mengakomodir bentuk- bentuk kekerasan seksual yang sampai saat ini belum terdapat payung hukum pengaturan deliknya.

Bantuan medis dan psikososial dari LPSK tanpa adanya putusan pengadilan

Dalam rangka menjalankan amanat pasal 6 UU Nomor 13/2006, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengeluarkan Peraturan Nomor. 4 Tahun 2009 Tentang Standar Operasional Prosedur Pemberian Bantuan Medis dan Psikososial. Peraturan ini dikeluarkan untuk pemenuhan hak atas pemulihan bagi saksi korban untuk mendukung proses penegakan hukum pidana, khususnya dalam proses penegakan hukum bagi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Prosedur pengajuan bantuan sudah diatur dalam syarat formal permohonan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon adalah surat keterangan dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia yang menunjukkan pemohonan sebagai korban atau keluarga korban pelanggaran HAM yang berat.

Awalnya mekanisme surat keterangan dari Komnas HAM ini cukup menyulitkan bagi kasus pelanggaran HAM yang belum melalui proses peradilan atau sekurang-kurangnya penyidikan Komnas HAM. Tetapi dengan pertimbangan kebutuhan mendesak dari korban maka sejak tahun 2012 LPSK membangun strategi untuk memperlancar perolehan surat dari Komnas HAM. Yaitu. Bagi korban yang telah melalui proses penyidikan secara otomatis bisa langsung mengakses bantuan ke LPSK karena datanya sudah di Komnas HAM dan sudah dinyatakan sebagai korban Pelanggaran HAM Berat.

Sementara bagi korban yang belum melalui proses penyidikan Komnas HAM, pemohon dapat melampirkan surat rekomendasi dari lembaga pendamping disertai bukti-bukti pendukung, seperti surat keterangan dari RT/RW, Saksi dan kronologi yang memberikan penjelasan bahwa dia benar sebagai korban pelanggaran HAM Berat. Dokumen-dokumen tersebut yang kemudian dibawa oleh LPSK ke Komnas HAM untuk dimintakan surat keterangan bahwa pemohon benar sebagai korban Pelanggar HAM Berat.

Kemudahan akses bantuan medis dan psikologis bagi korban Pelanggaran HAM Berat dapat dilihat pada data kasus yang masuk ke LPSK. Di tahun 2011 dari 106 korban yang mendapatkan layanan medis dan psikologis, baru satu korban Pelanggaran HAM Berat yang ditangani. Namun, di tahun 2012 kasus pelanggaran HAM berat yangditangani melonjak tajam, yaitu 127 korban, 125 korban mendapatkan layanan medis dan 122 korban mendapatkan layanan psikologis (Laporan Tahunan LPSK, 2012).

51

KOMNAS PEREMPUAN

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2012 KOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN

51 51 51

Kebijakan tentang Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan

Komnas Perempuan melakukan pemutakhiran database kebijakan terkait dengan pemenuhan hak- hak konstitusional perempuan dengan mengirimkan surat kepada kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota untuk meminta masing-masing kepala daerah guna mengirimkan berbagai bentuk kebijakan baik berupa Peraturan Daerah/Peraturan Kepala Daerah/Surat Keputusan/Surat Perintah maupun MoU terkait dengan perempuan.

Hasil korespondensi Komnas Perempuan kepada seluruh kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, tercatat ada peningkatan jumlah kebijakan baik yang sifatnya kondusif maupun diskiriminatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan. Komnas Perempuan mengapresiasi peningkatan jumlah kebijakan kondusif terkait dengan layanan perempuan dan anak korban kekerasan yang ada di Indonesia. Jumlah kebijakan kondusif ini meningkat dari 73 kebijakan di tahun 2011 menjadi 252 kebijakan pada tahun 2012 ini.

Namun demikian dari kebijakan tentang Layanan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan Komnas Perempuan menyayangkan, karena dari 252 kebijakan tentang layanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan tersebut, hanya ada 44 kebijakan saja yang mengatur tentang substansi dari pemberian layanan dan perlindungan bagi perempuan korban, sementara ada 174 kebijakan yang hanya mengatur struktur kelembagaan P2TP2A, 16 kebijakan tentang SOP & SPM pemberian layanan dan 18 kebijakan tentang kerjasama antar instansi untuk pemberian layanan. Kebijakan ini berupa 155 surat Edaran, 45 Peraturan Kepala Daerah, 25 Peraturan Daerah/Desa, Perjanjian Kerjasama 22 kebijakan, Surat Edaran 3, serta Rencana Strategis dan instruksi kepala daerah masing-masing

Kemunduran Hukum

Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Tidak berbeda dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) tidak memuat perubahan pasal yang menguatkan tindakan afirmasi untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Walaupun Pasal 53 dan 55 yang mengatur keterwakilan perempuan tetap ada, namun dengan dianulirnya Pasal 216 oleh Mahkamah Konstitusi, membuat Pasal 53 dan Pasal 55 hanya memberi ruang afirmasi dalam pencalonan anggota legislatif, tidak ada landasan hukum bagi jaminan afirmasi dalam penetapan calon terpilih.

Maka tidak ada kewajiban bagi Partai Politik untuk mematuhi ketentuan itu; tidak ada sanksi pula bagi Partai Politik yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut; tidak ada ketentuan bagi Partai Politik untuk menempatkan perempuan pada nomor urut jadi; tidak ada upaya paksa bagi Partai Politik untuk memenuhi sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan (dapil), dan di setiap tingkatan dari nasional, provinsi hingga kabupaten/kota. Artinya, UU No. 8 Tahun 2012 tidak dapat memastikan terpenuhinya keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% di DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang akan dipilih oleh publik melalui Pemilu 2014 mendatang.

Dokumen terkait