• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII. MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA

7.2 Komponen Makna

Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic

property atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur

leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Misalnya, kata ayah mengandung komponen makna atau unsur makna: + insan, + dewasa, + jantan, dan + kawin; dan ibu mengandung komponen makna: + insan, + dewasa, - jantan, dan + kawin. Maka kalau dibandingkan makna kata ayah dan ibu adalah sebagi berikut.

Komponen Makna Ayah Ibu

1. Insan + +

2. dewasa + +

3. jantan + _

4. kawin + +

Keterangan : tanda + berarti mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda – berarti tidak mempunyai komponen makna tersebut.

Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu hanyalah pada ciri makna atau komponen makna: ayah memiliki makna „jantan‟, sedangkan kata ibu tidak

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

memiliki makna „jantan‟. Konsep analisi biner ini diterapkan untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain.

Perumusan makna di dalam kamus pun tampaknya memanfaatkan atau berdasarkan analisis biner ini. Sebagai contoh Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta mendefinisikan kata kuda sebagai „binatang menyusui yang berkuku satu, dan biasa dipiara orang‟ adalah yang menjadi ciri umum. Kemudian, ciri makna „kendaraan‟ menjadi ciri khusus yang membedakannya dengan sapi atau kambing. Sapi dan kambing juga biasa dipiara tetapi bukan untuk kendaraan. Berikut disajikan bagan.

.Ciri-ciri kuda sapi kambing

1. menyusui + + +

2. berkuku satu + + +

3. dipiara + + +

4. kendaraan + _ _

Dari bagan tersebut tampak ciri pembeda kuda dari sapi dan kambing. Tetapi jika ditanya, apa bedanya sapi dan kambing karena dalam bagan tersebut belum Nampak perbedaannya. Dalam hal ini, kita harus menambah ciri pembeda lain. Mungkin ciri kemanfaatan sapi dan kambing itu. Sapi terutama dimanfaatkan susunya (walaupun dagingnya juga), sedangkan kambing terutama dimanfaatkan dagingnya.

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Dengan analisis biner ini kita juga dapat menggolongkan kata atau unsur leksikal seperti yang diinginkan teori medan makna. Misalnya:

benda

+ bernyawa - bernyawa

+ hewan - hewan

bertulang belakang - bertulang belakang berkaki empat - berkaki empat + reptil - reptil + manusia - manusia Kadal kucing orang monyet

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa banyaknya ciri-ciri semantik setiap kata tidak sama; jumlahnya sesuai dengan sifat unsur leksikal tersebut. Kata-kata yang cukup umum seperti manusia, hewan, dan makanan memiliki makna yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan unsur leksikal yang lebih khusus seperti guru, kucing, dan bakso.

Analisis biner ini dapat pula digunakan untuk mencari perbedaan semantik kata-kata yang bersinonim. Misalnya, kata-kata kandang, pondok rumah, istana,

keraton, dan wisma. Keenam kata itu dapat dianggap bersinonim dengan makna

dasar atau makna denotatif „tempat tinggal‟ atau „tempat kediaman‟.

Dalam unsur leksikal, analisis biner harus mengemukakan tiga hal, yaitu.

Pertama, ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bbersifat netral

atau umum, sedangkan yang lain bersifat khusus. Misalnya, pasangan kata

mahasiswa dan mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral

karena dapat termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya, kata mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya mengenai “wanita”. Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena tidak ada atau mempunyai pasangan lebih dari satu. Misalnya, contoh yang sangat sukar dicari pasangannya antara lain, kata-kata yang berkenaan dengan nama warna. Selama ini kata putih

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

memang dapat dipasangkan dengan kata hitam (yang secara teknis ilmiah bukannya warna), tetapi nama-nama warna lain tidak mudah untuk dicarikan pasangannya. Ketiga, kita seringkali sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang lebih bersifat umum, dan mana yang lebih bersifat khusus. Misalnya, ciri [jantan] dan [dewasa], mana yang lebih bersifat umum jantan atau

dewasa. Bisa jantan tetapi bisa pula dewasa, sebab tidak ada alasan bagi kita

untuk menyebutkan ciri [jantan] lebih bersifat umum daripada ciri [dewasa] atau juga sebaliknya, karena ciri yang satu tidak menyiratkan ciri makna yang lain. Karena itu, keduanya [jantan] dan [dewasa] tidak dapat ditempatkan dalam suatu hierarkhi. Keduanya dapat ditempatkan sebagai unsur yang “lebih tinggi” dalam diagram yang berlainan. Berikut disajikan diagram.

manusia

+ jantan - jantan

+ dewasa - dewasa + dewasa - dewasa

ayah “buyung” ibu “upik”

Catatan: istilah “buyung” dan “upik” sengaja dipakai untuk mencari

padanan boy (buyung) dan girl (upik). Ciri-ciri semantik yang tidak dapat ditempatkan secara hierarkhial di antara sesamanya seperti pada „jantan‟ dan „dewasa‟ di atas dikenal sebagai ciri-ciri penggolongan silang.

Analisis komponen makna ini banyak memberi manfaat untuk memahami makna kalimat, namun pembuatan daftar kosakata dengan disertai ciri-ciri semantiknya secara lengkap bukanlah pekerjaan yang mudah sebab memerlukan pengetahuan budaya, ketelitian, waktu, dan tenaga yang cukup besar.

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

7.3 Kesesuaian Sintaksis dan Semantik

Adanya unsur kesesuaian atau kecocokan ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal yang lain membuat kita mampu memahami bahasa tersebut. Misalnya, antara kata wanita dan mengandung ada kesesuaian ciri semantik. Tetapi, antara kata jejaka dan mengandung tidak ada kesesuaian ciri itu. Hal ini dikarenakan pada kata wanita ada ciri (+ mengandung) sedangkan pada kata jejaka ada ciri (- mengandung). Kesesuaian ciri ini berlaku bukan hanya pada unsur-unsur leksikal saja tetapi juga berlaku antara unsur-unsur leksikal dan unsur gramatikal. Misalnya, kata seekor hanya sesuai dengan kata

ayam tetapi tidak sesuai dengan kata ayam-ayam, yaitu bentuk reduplikasi dari

kata ayam. Dengan demikian, kalimat Nenek membeli seekor ayam dapat diterima, tetapi kalimat * Nenek membeli seekor ayam-ayam tidak dapat diterima. Kata

seekor sesuai dengan kata ayam karena keduanya mengandung ciri (+ tunggal),

sebaliknya kata seekor tidak sesuai dengan kata ayam-ayam Karena kata seekor berciri makna (+ tunggal) sedangkan ayam-ayam berciri makna (- tunggal).

Para ahli tata bahasa generative semantik seperti Chave (1970) dan Fillmore (1971), berpendapat setiap unsur leksikal mengandung ketentuan-ketentuan penggunaannya yang sudah pasti yang bersifat gramatikal dan semantis. Ketentuan-ketentuan gramatikal memberikan kondisi-kondisi gramatikal yang berlaku jika suatu unsur gramatikal hendak digunakan. Misalnya, kata kerja

makan dalam penggunaannya memerlukan adanya sebuah subjek dan sebuah

objek (walaupun di sini objek ini bisa dihilangkan).

Subjek--- - --- Objek

Ketentuan-ketentuan semantis menunjukkan ciri-ciri semantis yang harus ada di dalam unsur-unsur leksikal yang bersangkutan yang disebut di dalam ketentuan gramatikal itu. Kata makan di atas, misalnya menyiratkan bahwa subjeknya harus mengandung ciri makna (+ bernyawa) dan objeknya mengandung ciri makna (+ makanan). Jadi.

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Subjek--- --- --- Objek

(+ bernyawa ) (+ makanan)

Kalimat Adik makan dendeng atau Kucing makan dendeng dapat diterima, sebab adik maupun kucing mengandung ciri makna (+ bernyawa) dan dendeng mengandung ciri makna (+ makanan). Tetapi, kalimat * pinsil makan dendeng dan kalimat * Adik makan lemari tidak dapat diterima tidak dapat diterima karena kata

pinsil pada kalimat pertama mengandung ciri makna (- bernyawa) dan kata lemari

pada kalimat kedua mengandung ciri makna (- makanan). Jadi, tidak dapat diterimanya kedua kalimat itu bukanlah karena masalah gramatikal, melainkan karena masalah semantik.

Menurut Langendoen (1970), kita dapat saja mengganti subjek maupun objek dengan apa saja, seperti dalam kalimat-kalimat metaforis atau figurative, tanpa mengubah arti kalimat itu. Misalnya dalam kalimat Pucuk kelapa

melambai-lambai. Di sini kata pucuk kelapa ditafsirkan secara personifikasi sebagai

manusia. Tafsiran ini terjadi karena kata kerja melambai-lambai, dan bukan karena arti kata benda pucuk kelapa itu sendiri. Jika subjek dan objek dapat diganti dengan apa saja tanpa mengubah arti dan struktur kalimat tersebut, meskipun juga dalam penggunaan secara metaforis atau figuratif, tetapi kalau bentuk atau struktur gramatikal predikatnya yang diubah, maka makna dan struktur kalimat itu akan berubah. Sebagai contoh mari kita lihat kata kerja

beredar, mengedarkan dan diedarkan dalam kalimat-kalimat berikut.

(a) Buletin itu sudah beredar.

(b) Pemerintah mengedarkan bulletin itu. (c) Buletin itu diedarkan oleh pemerintah.

Kata kerja beredar dalam kalimat (a) hanya memerlukan adanya subjek dan tidak memerlukan kehadiran objek atau lainnya karena sifatnya yang intransitif. Kata kerja mengedarkan pada kalimat (b) memerlukan hadirnya sebuah

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

subjek pelaku dan sebuah objek penderita karena sifatnya yang aktif transitif.

Sedangkan kata kerja diedarkan memerlukan hadirnya sebuah subjek penderita dan sebuah objek pelaku karena sifatnya yang pasif transitif.

Subjek pada kalimat (a) haruslah berciri [+ kata benda, + konkret, + bacaan, + relatif kecil]. Ciri [+ relatif kecil] menyebabkan kata jembatan atau

gedung, di samping hambatan ciri lain, tidak dapat menjadi subjek dalam kalimat

itu. Lain halnya dengan subjek pada kalimat (b) yang harus berciri [+ manusia]. Oleh karena itu, kata kucing yang berciri [-manusia] tidak dapat menjadi subjek pada kalimat (b) itu.

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI

1. Rumuskan kembali dengan kata-kata Anda mengenai pengertian medan makna?

2. Jelaskan pengertian pengelompokan makna menurut set dan kolokasi? 3. Mengapa kalimat-kalimat berikut tidak dapat berterima?

a. * Ibu menggoreng sebuah ikan. b. * Nenek menggendong seekor gajah.

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

8.1 Ragam Majas

Majas atau gaya bahasa (Inggris: style) adalah bahasa berkias yang disusun untuk meningkatkan efek dan asosiasi tertentu. Kajian gaya bahasa disebut

stilistika. Kata ini berasal dari bahasa Yunani stilus yakni alat dan kemahiran

menulis dalam lempengan lilin. Kemudian, istilah stilistika berubah menjadi kemahiran dan gaya berbahasa. Oleh karena itu, makna yang dikandung oleh gaya bahasa disebut makna stilistika.

Dalam pemakaiannya, terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah majas yang baik. Syarat-syaratnya adalah kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran dalam bahasa adalah sadar untuk mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar. Singkatnya, kejujuran berbahasa adalah penggunaan bahasa secara efektif dan efisien. Sopan santun atau tatakrama

berbahasa ialah menghargai dan menghormati pesapa. Kesopansantunan dalam

gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan kata. Kejelasan ialah menyampaikan sesuatu secara jelas atau efektif dalam segala aspek seperti struktur kata dan kalimat, korespondensi dengan fakta yang diungkapkan, pengaturan secara logis, penggunaan kiasan, dan perbandingan. Singkat ialah menyampaikan sesuatu secara singkat dan efisien, meniadakan ka-kata yang bersinonim longgar, menghindari tautology atau mengadakan repetisi yang tidak perlu. Menarik artinya dalam pemakaian bahasa tidak membosankan atau monoton, diukur melalui variasi, humor yang baik, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas) dan penuh daya khayal (imajinasi).

Majas dapat digolongkan menjadi dua aspek, yaitu aspek nonbahasa dan segi bahasa.

Dokumen terkait