• Tidak ada hasil yang ditemukan

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Makna denotatif sering juga disebut makna kognitif konsepsional atau juga makna referensial. Untuk menjelaskan makna denotatif, berikut disajikan contoh kalimat Saya membaca kamus. Anda maksudkan untuk menunjuk bahwa anda membaca kamus apa pun kamus yang anda baca, maka makna kata kamus dalam ucapan anda itu disebut makna denotatif. Makna denotatif tersebut akan jelas lagi bila kita menghubungkannya dengan makna konotatif. Bilamana makna denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan, seperti kata kamus, makna konotatif menunjuk kepada sesuatu yang lain, yang tidak sepenuhnya sama seperti yang terdapat dalam dunia kenyataan. Sebuah kata, misalnya kata perempuan yang terdapat dalam kalimat

Perempuan itu ibu saya, secara denotatif mengandung konsep „manusia dewasa

berkelamin perempuan‟. Kata yang sama dalam kalimat Ah, Dasar Perempuan tidak menunjuk kepada konsep „manusia dewasa berkelamin perempuan‟, tetapi kepada salah satu sifat perempuan yang antara lain suka bersolek. Jadi, makna konotatif ialah makna yang dibentuk lewat makna denotatif, tetapi kepada makna itu ditambahkan komponen makna lain. Dalam kalimat Ah, dasar perempuan arti denotatifnya ditambah dengan salah satu sifat perempuan.

Makna konotatif sangat luas dan tidak dapat diperikan secara tepat. Kata

perempuan tersebut, di samping makna denotatifnya mungkin pula ditambah

dengan salah satu unsur psikologis fisis atau sosial untuk memperoleh makna konotatif. Kata perempuan dapat dipakai untuk menunjuk semua kebaikan, kemanisan, dan kejelekannya. Secara psikologis misalnya perempuan dapat mengandung makna suka bersolek, suka pamer, egositis, tetapi dapat juga dihubungkan dengan sifat keibuan, kasih sayang, lemah lembut, dan sebagainya. Dari segi fisiknya dapat disebut badannya yang lemah, berambut panjang, lembut, dan sebagainya. Secara sosial perempuan dapat pula dihubungkan dengan kedudukannya yang khusus dalam masyarakat. Semuanya itu dapat menjadi dasar untuk menumbuhkan makna konotatif.

Makna konotatif itu dapat berbeda-beda menurut bentuk masyarakat yang menghasilkannya atau menurut individu yang menciptakannya, bentuk medium yang dipergunakan (bahasa lisan atau tulisan) menurut bidang yang menjadi

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

isinya. Makna konotatif dapat dikatakan bersifat incidental. Perhatikan betapa banyak makna konotatif baru yang tumbuh dalam masyarakat kita sekarang seperti misalnya makna baru diamankan, diciduk, dan dirumahkan dan sebagainya.

5.2 Polisemi

Polisemi berarti satuan bahasa (terutama kata, frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal yang penting atau terutama, seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta

api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang, seperti dalam kalimat setiap kepala menerima bantuan Rp. 5.000, 00; dan (6) akal budi, seperti dalam

kalimat badannya besar tetapi kepalanya kosong.

Dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan bahwa kata kepala setidaknya mengacu kepada enam buah konsep atau makna:

makna 1 makna 2 makna 3 makna 4 makna 5 makna 6 kepala

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Jika kita perhatikan kata kepala dengan segala macam maknanya itu, maka kita dapat menyatakan bahwa makna-makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada hubungannya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut. Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal, sebab tidak merujuk kepada makna referen dari kata itu. Kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperi frase atau kalimat. Kata kepala yang berarti „pemimpin‟ atau „ketua‟ baru muncul dalam pertuturan karena kehadirannya dalam frase seperti frase kepala sekolah, kepala rombongan, dan

kepala gerombolan. Tanpa kehadirannya dalam satuan gramatikal yang lebih

besar dari kata, kita tidak akan tahu akan makna-makna lain itu. Berbeda dengan makna asalnya yang sudah jelas dari makna leksikalnya, karena adanya referen tertentu dari kata tersebut.

Perbedaan polisemi dan homonimi adalah (1) homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh karena itu, di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu; (2) makna-makna pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lain, sedangkan makna pada kata yang polisemi masih ada hubungannya karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut. Namun, terkadang, dalam beberapa kasus kita sukar membedakan secara tegas antara polisemi dengan homonimi itu.

5.3 Homonim, Homofon, Homograf

Homonim dapat diartikan sebagai „nama sama untuk benda atau hal lain‟. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonym sbagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Misalnya, kata

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti „racun ular‟ homonim dengan kata bisa yang berarti „sanggup‟, maka kata bisa yang berarti „sanggup‟ juga homonim dengan kata bisa yang berarti „racun ular‟.

Jika ditanyakan bisa terjadi bentuk-bentuk homonim ini ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonim ini; 1) Bentuk-bentuk yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti „racun ular‟ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti kata „sanggup‟ berasal dari bahasa Jawa, 2) Bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.

Homonim dapat terjadi juga pada tataran morfem, kata, frase, dan kalimat. Homonim antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang lainnya. Misalnya, antara morfem-nya pada kalimat “Ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya‟ berhomonimi dengan –nya pada kalimat “Mau belajar tetapi bukunya belum ada”. Morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan buku tertentu.

Homonim antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti „racun ular‟ dan kata bisa yang berarti „sanggup atau dapat‟ seperti sudah disebutkan. Contoh lain, antara kata semi yang berarti „tunas‟ dan kata semi yang berarti „setengah‟.

Homonim antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti „perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya‟ dan frase cinta anak yang berarti „cinta kepada anak dari seorang ibu‟. Misalnya, orang tua yang berarti „ayah ibu‟ dan frase orang tua yang berarti „orang yang sudah tua‟.

Homonim antar kalimat, misalnya antara Isteri lurah yang baru itu cantik yang berarti „lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik‟, dan kalimat Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti „lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik‟.

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Di samping homonim terdapat pula istilah homofon dan homograf. Kalau istilah homonim dilihat dari segi bentuk satuan bahasanya itu. Homofon dilihat dari segi “bunyi”, sedangkan homograf dilihat dari segi “tulisan, ejaan”. Homofon sama saja dengan homonim karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Misalnya, kata bank dan bang, yang bunyinya persis sama, tetapi maknanya berbeda. Bank adalah lembaga mengurus lalu lintas uang, sedangkan bang adalah bentuk singkat dari abang yang berarti „kakak laki-laki‟.

Di dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi homograf), sedangkan lafalnya atau bunyinya tidak sama (jadi, tidak homofon). Misalnya, kata sedan yang dilafalkan [ s d a n] dan berarti „tangis kecil, isak‟ dengan kata sedan yang dilafalkan [sedan] dan berarti „sejenis mobil penumpang‟.

Masalah kehomografian di dalam bahasa Indonesia adalah karena tidak diperbedakannya lambang untuk fonem / / dan fonem / e / di dalam system ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sekarang. Seandainya semua fonem itu dilambangkan dengan huruf yang berbeda, maka masalah kehomografian itu dengan sendiri menjadi tidak ada.

5.4 Redudansi

Istilah redudansi sering diartikan sebagai „berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran‟. Misalnya Bola di tendang oleh Si

Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna

pelaku (agentif) daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh. Pemakaian kata

oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redudans, yang mubazir, karena

makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama adalah pernyataan yang mengelirukan atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external). Jadi, yang sama

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya.

5.5 Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Perbedaan polisemi dan ambiguitas adalah kalau polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Misalnya, frase buku sejarah

baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu

berisi sejarah zaman baru.

Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Perbedaan homonimi dan ambiguitas adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna, ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat).

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI

1. Apakah ambiguitas dapat terjadi baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis? Jelaskan!

2. Rumuskan kembali apa yang dimaksud redudansi?

3. Relasi burung dengan merpati disebut hiponimi atau hipernimi? Jelaskan!

4. Apakah dasar perbedaan adanya makna denotatif dan makna konotatf itu? Jelaskan!

5. Jelaskan seba-sebab mengapa sebuah kata memiliki makna lebih dari satu? Berikan contoh!

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

6.1 Faktor dan Penyebab Perubahan Makna

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata adalah:

6.1.1 Perkembangan dalam Ilmu dan Teknologi

Dokumen terkait