• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEMANTIK BAHASA INDONESIA. Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEMANTIK BAHASA INDONESIA. Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

diktat kuliah

SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Khusus Mahasiswa

Program Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Bahasa Daerah FKIP Universitas Muhammadiyah Jember

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

(2)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

diktat kuliah

SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Khusus Mahasiswa

Program Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Bahasa Daerah FKIP Universitas Muhammadiyah Jember

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

(3)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

HALAMAN PENGESAHAN

Diktat dengan materi pokok “Semantik Bahasa Indonesia” yang ditulis oleh: 1. Nama Lengkap : Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A 2. NPK/NBM : 11 10 646 / -

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 10 Januari 1986 5. Golongan Pangkat : -

6. Jabatan Fungsional : -

7. Jabatan Struktural : Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia 8. Fakultas : KIP/ Pendidikan Bahasa Indonesia 9. Alamat Rumah : Jl. Sumatera XV/40 Jember

10. Alamat Kantor : Jl. Karimata No. 49 Jember 68121

Diktat mata kuliah “Semantik Bahasa Indonesia” ini telah diperiksa dan diteliti oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember. Diktat tersebut layak dan sah digunakan dalam kegiatan pembelajaran di lingkungan Universitas Muhammadiyah Jember khususnya Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.

Jember, 08 Oktober 2012 Mengetahui,

Dekan, Penyusun,

Drs. Moch. Zaki Hasan, M.Si Astri Widyaruli A., S.S., M.A NIDN. 07 121044 01 NIDN. 07 100186 02

(4)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta nikmat–Nya. Penulis sangat berbahagia dapat menyelesaikan diktat kuliah sederhana ini. Diktat kuliah ini berjudul Semantik

Bahasa Indonesia. Diktat ini khusus untuk mahasiswa Program Studi Pendidikan

Bahasa, Sastra Indonesia, Bahasa Daerah FKIP UNMUH Jember, sebagai panduan dalam mengikuti perkuliahan mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia.

Diktat ini terdiri dari sepuluh bab, yaitu: (a) bab I: Pengenalan Semantik, (b) bab II: Hakikat Makna, (c) bab III: Ragam Makna, (d) bab IV: Makna, (e) bab V: Relasi Makna, (f) bab VI: Perubahan Makna, (g) bab VII: Medan Makna dan Komponen Makna, (h) bab VIII: Majas, (i) bab IX: Peribahasa, (j) bab X: Kosakata Dasar.

Diktat ini ditulis sederhana, baik materi, sistematika, kedalaman, maupun keluasannya. Karena itu, penulis berharap agar mahasiswa mengembangkan materi yang ada di dalamnya dengan membaca atau menelaah literature lain yang berhubungan. Penulis lebih menekankan pada materi buku Pengantar Semantik Bahasa Indonesia milik Abdul Chaer, karena dirasakan lebih mudah untuk dipahami. Sesuai dengan fungsinya, diktat ini diharapkan benar-benar dapat memandu mahasiswa memahami program pembelajaran pada mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia.

Mengingat kemungkinan adanya kekurangan dan kesalahan di dalam diktat ini, penulis berharap ada koreksi, kritik, dan saran dari mahasiswa atau pembaca diktat ini. Penulis berharap semoga diktat ini bermanfaat.

(5)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Jember, 08 Oktober 2012

Penulis

PENILAIAN TERHADAP DIKTAT

1. IDENTITAS

a. Nama : Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A b. Judul Diktat : Semantik Bahasa Indonesia

c. Mata Kuliah : Semantik Bahasa Indonesia

d. Kelas Program : V / Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Bahasa Daerah

e. Semester : Ganjil f. Tahun Pelajaran : 2012 - 2013

2. PEMBERI NILAI

a. Nama : Yerry Mijianti, M.Pd

b. Jabatan : Kaprodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Bahasa Daerah

c. Alamat : Jl. S. Parman X/69 Jember d. Tanggal : 08 Oktober 2012

3. KOMPONEN PENILAIAN

NO KOMPONEN PENILAIAN SKALA NILAI

1 2 3 4 5 A TOPOGRAFI / TAMPILAN

1 Cover depan

2 Cover belakang / kulit buku 3 Tipografi / penampilan buku

B BAGIAN AWAL 1 Halaman Judul 2 Informasi publikasi 3 Halaman persembahan 4 Kata Pengantar 5 Daftar Isi 6 Kata Sambutan 7 Lain-lain C BAGIAN ISI

1 Sistematika Unit / Bab 2 Judul bab / pelajaran / unit

(6)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

a. Tema

b. Informasi tentang KD dan indicator / tujuan c. Subbab / Judul Materi d. Uraian Materi

e. Latihan / Tugas

f. Uji Kompetensi / Ujian Blok

g. Cakupan dan

pengembangan materi h. Teknik penyajian materi i. Penggunaan bahasa

j. Ilustrasi pendukung k. Keragaman uji

kompetensi

l. Soal-soal uji kompetensi m. Kegrafikan

n. Ukuran buku / kertas o. Variasi / Ukuran huruf

dan bentuk huruf

p. Tata letak (numeralisasi) q. Penomoran / numeralisasi r. Kerapian Pengetikan D BAGIAN AKHIR 1 Daftar Pustaka 2 Indeks 3 Glosarium 4 Lain-lain JUMLAH NILAI 2 15 72

-KELEBIHAN : Isi materi telah sesuai dengan deskripsi mata kuliah.

-KEKURANGAN : Problematika makna bahasa Indonesia dan pemecahannya

belum muncul secara terfokus.

(7)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Yerry Mijianti, M.Pd

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

SILABUS PEMBELAJARAN ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

KATA PENGANTAR ……… iv

PENILAIAN TERHADAP DIKTAT ……… v

DAFTAR ISI ………... vi

BAB I. PENGENALAN SEMANTIK ………. 1

1.1 Semantik dan Semiotika ………. 1

1.2 Kedudukan Semantik dalam Semiotika ………. 5

1.3 Ruang Lingkup Semantik ………... 6

1.4 Objek Semantik ……… …. 7

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ………...…………. 9

BAB II. HAKIKAT MAKNA ……… 10

2.1 Hakikat Makna ………... 10

2.2 Batasan Makna ……… 13

2.3 Penamaan dan Pendefinisian ……….. 14

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 16

BAB III. RAGAM MAKNA ………. 17

3.1 Hakikat Ragam Makna ………... 17

3.1.1 Berdasarkan Jenis Semantiknya ……… 18

3.1.2 Berdasarkan Ada Tidaknya Referen Pada Sebuah Kata atau Leksem ……….. 19

3.1.3 Berdasarkan Nilai Rasa ………. 19

3.1.4 Berdasarkan Ketepatan Makna ………. 21

3.1.5 Berdasarkan Ada atau Tidaknya Hubungan Makna …..… 22

3.1.6 Berdasarkan Bisa atau Tidaknya Diramalkan atau Ditelusuri ……… 23

(8)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

3.2 Pendapat Lain Mengenai Penjenisan Makna ……… 24

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 25

BAB IV. MAKNA ……….……… 26

4.1 Sinonim ……….……… 26

4.2 Antonim ………. 28

4.3 Hiponim dan Hipernim ……….. 31

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 33

BAB V. RELASI MAKNA ……… 34

5.1 Denotatif dan Konotatif ……….. 34

5.2 Polisemi ……….………. 35

5.3 Homonim, Homofon, Homograf ……… 37

5.4 Redudansi ……… 39

5.5 Ambiguitas ……….. 39

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 40

BAB VI. PERUBAHAN MAKNA ……… 41

6.1 Faktor dan Penyebab Perubahan Makna ……… 41

6.1.1 Perkembangan dalam Ilmu dan Teknologi ……… 41

6.1.2 Perkembangan Sosial dan Budaya ……… 41

6.1.3 Perbedaan Bidang Pemakaian ……… 42

6.1.4 Adanya Asosiasi ……… 42

6.1.5 Pertukaran Tanggapan Indera ……… 43

6.1.6 Perbedaan Tanggapan ……… 43

6.1.7 Adanya Penyingkatan ……… 44

6.1.8 Proses Gramatikal ………. 44

6.1.9 Pengembangan Istilah ……… 44

6.2 Jenis Perubahan Makna ……….. 45

6.2.1 Meluas ……….... 45

6.2.2 Menyempit ……….…… 45

6.2.3 Perubahan Total ……… 46

6.2.4 Penghalusan (Ufemia) ……… 46

6.2.5 Pengasaran……….. 46

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 47

BAB VII. MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA ………….. 48

7.1 Medan Makna ……… 48

(9)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

7.3 Kesesuaian Struktur dan Semantik ……… 54

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 56

BAB VIII. MAJAS ………. 57

8.1 Ragam Majas ……….. 57

8.1.1 Segi Nonbahasa ………58

8.1.2 Segi Bahasa ……….. 58

8.2 Majas Perbandingan ……….. 59

8.2.1 Majas Perumpamaan (Simile) ………. 59

8.2.2 Majas Kiasan ……….. 59

8.2.3 Majas Penginsanan Personifikasi ……….. 59

8.2.4 Majas Sindiran ……… 60 8.2.5 Majas Antitesis ……… 60 8.3 Majas Pertentangan ……… 60 8.3.1 Majas Hiperbola ……….. 60 8.3.2 Majas Litotes ……….. 60 8.3.3 Majas Ironi ……….. 61 8.3.4 Majas Oksimoron ……… 61 8.3.5 Majas Paronomosia ……….. 61 8.3.6 Majas Paralipsis ……….. 61

8.3.7 Majas Zeugma dan Silepsis ………. 62

8.4 Majas Pertautan ……….. 62 8.4.1 Majas Metonimia ……… 62 8.4.2 Majas Sinekdoke ………. 62 8.4.3 Majas Alusi ……….. 63 8.4.4 Majas Eufemisme ……… 63 8.4.5 Majas Elipsis ……… 63 8.4.6 Majas Inversi ……… 63 8.4.7 Majas Gradasi ……….. 63 8.5 Majas Perulangan ……… 64 8.5.1 Majas Aliterasi ………. 64 8.5.2 Majas Antaraklasis ……….. 64 8.5.3 Majas Kiasmus ……… 64 8.5.4 Majas Repetisi ………. 65

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 65

BAB IX. PERIBAHASA ……… 66

9.1 Pepatah ……… 66

9.2 Perumpamaan ………. 66

9.3 Ungkapan ……… 67

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ……… 67

BAB X. KOSAKATA DASAR ……….. 68

(10)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

10.2 Nama-Nama Bagian Tubuh ……… 71 10.3 Benda-Benda Universal ……… 72

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI ………. 73 DAFTAR PUSTAKA

1 .1 Semantik dan Semiotika

Kata semantic berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).

Seperti halnya tataran analisis bahasa lainnya, analisis semantik sebuah bahasa hanya berlaku untuk bahasa yang bersangkutan. Pengalaman menunjukkan bahwa tiap bahasa memiliki caranya sendiri-sendiri dalam pembentukan makna tiap katanya. Kata bahasa Indonesia „ikan‟ misalnya menunjuk sejenis binatang yang hidup di air. Tetapi ‘iwak’ dalam bahasa Jawa, kecuali mengandung makna „ikan’ juga berarti daging yang dipergunakan untuk lauk. Bahkan semua jenis lauk pauk seperti tahu atau kerupuk juga sering disebut „iwak‟.

Lyons (1977) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda. Berkaitan dengan ilmu tanda, maka dalam subbab ini akan dibicarakan tentang: (a) pertandaan, dan (b) simbol, ikon, indeks, dan simton (gejala).

(a) Pertandaan

(11)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Ogden dan Richard (1923:23) membedakan simbol sebagai tanda yang digunakan orang untuk komunikasi dengan orang lain, sedangkan Piercce (1960:104) juga membicarakan simbol sebagai bagian atau subklas dari tanda, dan Miller juga sependapat dengan Pierce. Namun, Morris mengatakan bahwa sebuah simbol adalah sebuah tanda yang bertindak sebagai pengganti beberapa tanda yang lain dengan persesuaian. Selanjutnya, Buhler mengatakan bahwa semua tanda bukan berarti simbol. Dia mengatakan ujaran sebagai suatu gejala dari apa yang ada dalam pikiran pembaca. Simbol diartikan sebuah sinyal bagi pendengar. Whilst Cherry (1957:7) memakai “tanda” untuk rangkaian fisik yang digunakan dalam komunikasi dan menggunakan simbol untuk keagamaan, kebudayaan yang hanya dapat diartikan dalam konteks sejarah tertentu. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signife, signifiant) dan pertanda (signified, signifie). Penanda adalah bentuk formal tanda itu, yang dalam bahasa berupa satuan bunyi atau huruf dalam bahasa tulis, sedangkan pertanda (signified) adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penandanya itu.

Ogden dan Richards juga mengilustrasikan signifikasi secara umum sebagai suatu hubungan segitiga yang dianalisis ke dalam hubungan dua bagian dasar dan suatu derivatif. Kemudian, oleh penulis semantik mempresentasikan dengan suatu alat diagram berbentuk segitiga.

B

A ……….. C

Kita gunakan tanda A sebagai kata atau tanda, B sebagai konsep atau

makna, dan C sebagai signifikatum atau referen. Tanda A misalkan kita memiliki

konsep kata rumah, tanda B yaitu makna dari rumah yaitu dapat berarti sebuah bangunan yang digunakan oleh manusia sebagai tempat tinggal dalam waktu lama. Tanda C berarti bentuk rumah, dapat dikonsepkan yaitu bangunan yang memiliki jendela, pintu, atap, dinding, dan sebagainya.

(12)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Semantik menitikberatkan pada tanda B yaitu makna yang tentu saja memperhatikan rujukan atau acuan dan bentuk atau lambang. Rujukan boleh saja konkret, boleh juga abstrak. Lambang yang acuannya rumah bersifat konkret, oleh karena itu maknanya mudah dijabarkan, sedangkan lambang berupa demokrasi, iman, likuidasi, nuansa, zat, acuannya bersifat abstrak, oleh karena itu maknanya sulit dirinci.

(b) Simbol, Ikon, dan Indeks

Definisi simbol didasarkan atas kearbriterian hubungan antara tanda dan signifikasinya. Sausure menyebut bahwa kearbriteran tanda linguistik ini merupakan salah satu prinsip yang paling mendasar dan sebagian besar para ahli bahasa mengikutinya. Simbol adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah; hubungan arbriter (semau-maunya) berdasarkan konvensi. Misalnya, kata „ibu‟ (penanda) menandai „orang yang melahirkan kita‟, dalam bahasa Inggris „mother‟, dalam bahasa Perancis „ia mere‟, dan sebagainya. Sebagian besar tanda bahasa merupakan simbol. Hubungan antara penanda dan pertanda bersifat konvensional, yaitu artinya ditentukan oleh konvensi atau kesepakatan.

Arti dari istilah “arbriter” dapat dijelaskan secara umum dengan suatu contoh: dalam bahasa Inggris kata „tree‟ (pohon) dalam bahasa Jerman „baum‟, bahasa Perancis „arbre‟. Tiap kata-kata itu dianggap mempunyai signifikasi yang sama, kata itu digunakan untuk mengacu pada objek yang sama. Ketiga kata tersebut sangat berbeda dalam bentuknya dan tidak ada satu kata pun yang secara natural menandakan „pohon‟, baik tulisan maupun ucapannya tidak mewakili ciri dari bendanya. Sebaliknya kata „cuckoo‟ dalam bahasa Inggris, „kuckuc‟ bahasa Jerman, „coucou‟ dalam bahasa Perancis, dalam ucapannya secara natural menunjukkan karakteristik spesies burung, bentuk itu disebut anamatope. Sausurre menyatakan bahwa kearbriteran tanda linguistik dan anamatope hanya bagian kecil bentuk kata dari sistem bahasa.

Istilah Pierce untuk non-arbriter adalah ikon. Ikon adalah suatu tanda yang memiliki karakter berarti. Simbol adalah suatu tanda yang akan hilang karakter

(13)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

tandanya, jika tidak diinterpretasikan. Dalam teorinya, Pierce terdapat pengaruh mental yang dihasilkan oleh tanda dalam segitiga signifikasi. Kearbritertan simbol kontras dengan „ikonik‟. Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, misalnya gambar, potret, atau patung. Gambar rumah (penanda) sama dengan rumah yang sesungguhnya (Djoko Pradopo, 1998:1). Menurut Sudaryanto (1993:11;1996:10), ikon yang merupakan tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu ikon yang menonjolkan aspek kualitas dan ikon yang menonjolkan aspek kuantitas.

Kata ikonik yang menonjolkan aspek kualitas, contohnya dalam bahasa Jawa, bunyi „c e c a k‟ yang bermakna „cecak‟, „tekek‟ yang bermakna „tokek‟, sedangkan kata ikonik yang menonjolkan aspek kuantitas, seperti dalam bahasa Jawa kata „ditutupi‟ jelas memiliki „jumlah makna‟ yang lebih banyak daripada kata „ditutup‟. Hal itu mengisyaratkan bahwa kata yang lebih panjang ternyata menyatakan makna yang lebih banyak pula.

Indeks adalah suatu tanda yang akan kehilangan karakternya bila objeknya berpindah, tetapi tanda itu tidak akan kehilangan karakternya, bila tidak terinterpretasikan. Pierce menyatakan dalam ilustrasinya bahwa suatu bentuk yang di dalamnya terdapat inti. Selanjutnya, Abercombie memakai istilah „indicate‟ yang berarti „tanda yang mengungkapkan karakter penulis atau pembicara‟, sedangkan „indexical‟ itu adanya hubungan antara A dan C. Misalnya, ketika kita mengatakan asap berarti ada api, dan kata-kata kotor menunjukkan orang mabuk, sehingga asap dan kata-kata kotor itu termasuk indeks. Ciri indeks berhubungan dengan anggota kelompok sosial tertentu, misalnya umur, jenis kelamin.

Indeks adalah tanda yang „penanda‟ dan pertandanya menunjukan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya asap menandai api, mendung menandai kalau di langit ada mendung sebagai petanda kalau ada hujan. Dalam indeks tercakup istilah simton (gejala). Penggunaan istilah simton (gejala) ini dapat diamati yang berhubungan dengan arti yang di dalamnya digunakan dalam ilmu kedokteran, seperti pernyataan dalam bidang kesehatan, misalnya penderitaan radang pada pangkal tenggorokan. Selanjutnya, beberapa informasi

(14)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

memberikan tanda yang berupa gejala bagi penerima bahwa pembicara berada dalam pernyataan tertentu. Apakah itu pernyataan sebuah pernyataan emosional (ketakutan, kemarahan, dorongan seksual), atau pernyataan kegembiraan atau apa pun akan dideskripsikan sebagai gejala dari pernyataan itu. Di dalam banyak kasus tidak semua pendapat, pernyataan yang merupakan suatu gejala dapat dimengerti atau dapat diterima. Buhler berpendapat bahwa setiap ungkapan adalah sebuah gejala bagi penerima dari apa yang pengirim pikirkan. Contoh lain simton (gejala), misalnya suhu panas orang sakit tidak menunjukkan penyakit tertentu. Suhu panas itu hanya menunjukkan bahwa orang itu sakit, tetapi apakah sakit malaria, tifus, atau influenza belum jelas. Sebab semua penyakit mesti diikuti oleh suhu panas badan.

1.2 Kedudukan Semantik dalam Semiotika

Unsur bahasa yang disebut kata yang sering didengar atau dibaca disebut

lambang (symbol). Lambang dalam semiotik biasa disebut tanda (sign). Oleh karena lambang memiliki beban yang disebut makna dan makna merupakan objek semantik, sedangkan lambang itu sendiri disebut tanda dalam semiotik, maka ada alasan untuk membicarakan kedudukan semantik dalam semiotik.

Sebuah ambulans yang meluncur di jalan raya yang membunyikan sirine dengan lampu merah berputar-putar, menandakan ada orang celaka yang dilarikan ke rumah sakit. Tafsiran tanda ini berbeda jika sirine itu berasal dari mobil polisi yang melaju di depan rombongan pembesar, karena sirine itu menandakan bahwa ada pembesar yang lewat, maka pengguna jalan harap menepi. Sirine yang disertai lampu merah berputar-putar berbeda tafsirannya jika hal itu berasal dari mobil pemadam kebakaran. Orang yang melihat langit mendung pasti menafsirkan dalam waktu tidak lama akan turun hujan, karena itu sekurang-kurangnya ia akan membawa payung jika akan bepergian. Orang yang melihat air sungai keruh akan menafsirkan di hulu telah turun hujan, dan jika mendengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan pada waktu malam itu menandakan bahwa fajar telah tiba.

(15)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Jika seseorang bertemu dengan seorang anggota TNI, ia sudah dapat memastikan pangkat anggota TNI tersebut dengan cara melihat tanda pangkat yang terdapat di lengan baju atau yang terdapat di bahu. Jika di pundak terlihat bintang melekat di logam berwarna kuning menandakan bahwa anggota TNI itu sudah perwira tinggi. Rupanya lambang bintang menandakan sesuatu sudah pada taraf tinggi, ingat saja hotel bintang 1, hotel bintang 5, dan seterusnya.

Pada masyarakat luas, apa yang dipaparkan di depan diganti dengan lambang, apakah kata atau kalimat, dan pada keadaan tertentu lambang-lambang ini dikembalikan lagi kepada tanda-tanda yang secara konvensional dipahami maknanya dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

1.3 Ruang Lingkup Semantik

Objek semantik adalah makna. Telah diketahui pula bahwa suatu ilmu memiliki lingkupan yang menjadi kajiannya. Lingkupan kajian inilah yang biasanya digunakan sebagai kriteria untuk menentukan, apakah suatu ilmu dapat disebut ilmu pengetahuan atau tidak. Hal yang sama berlaku pula dalam semantik.

Semantik sebagai subdisiplin linguistik melingkupi kajian yang dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan.

1. Apakah pengertian semantik?

2. Apakah objek pembahasan semantik? 3. Berapa jeniskah semantik itu?

4. Bagaimanakah kedudukan semantik dalam semiotik?

5. Bagaimanakah hubungan semantik dengan disiplin ilmu yang lain? 6. Oleh karena semantik berobjekan makna, apakah pengertian makna? 7. Manakah jenis-jenis makna?

8. Bagaimanakah perubahan (yang meliputi penggantian, perluasan, pembatasan, pergeseran makna)?

9. Pada tingkat mana pembahasan makna itu?

10. Bagaimanakah hubungan makna dalam gaya bahasa, peribahasa, dan ungkapan?

(16)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

11. Hal-hal apa yang tersangkut dalam soal makna? Misalnya yang berhubungan dengan antonim, hiponim, homonim, polisemi, sinonim, dan medan makna?

12. Bagaimanakah caranya menganalisis makna?

13. Bagaimanakah makna menampakkan diri dalam bentuk kata dengan segala persoalannya?

14. Bagaimanakah makna yang muncul akibat kata diujarkan dalam bentuk yang lebih besar?

Dengan menelaah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dapatlah ditentukan dari mana dan di mana persoalan semantik itu dibahas. Tentu saja semantik yang dibahas bersifat umum. Jika semantik itu membahas semantik bahasa tertentu, maka dapat saja orang mengatakan semantik bahasa Jawa, semantik bahasa Jerman, semantik bahasa Perancis, semantik bahasa Sangir (Mansoer Pateda, 2010: 21-22).

1.4 Objek Semantik

(17)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Jika objek kajian semantiknya adalah makna-makna gramatikal, maka jenis semantik ini disebut Semantik Gramatikal. Jenis semantik ini mengkaji satuan-satuan gramatikal yang terdiri atas sintaksis dan morfologi.

Konteks morfologi:

Kata „sepatu‟ akan memiliki makna yang berbeda setelah mengalami proses morfologis, misalnya dengan afiksasi menjadi „bersepatu‟.

Konteks sintaksis:

- Di kebun binatang ada enam ekor beruang.

- Hanya orang yang beruang yang dapat membeli rumah itu.

Perbedaan makna „beruang‟ pada kalimat pertama dan kedua itu terjadi karena adanya perbedaan konteks kalimat yang dimasuki kata-kata tersebut.

- Pada fonologi tidak ada semantiknya, atau dengan kata lain fonologi tidak termasuk dalam jenis-jenis semantik karena fonologi hanya mampu membedakan makna kata dengan perbedaan bunyi.

Jika objek kajian semantiknya leksikon (kosa kata) dari suatu bahasa, maka jenis semantiknya dinamakan Semantik Leksikal. Kajian semantik leksikal ini adalah makna utuh yang terdapat pada masing-masing leksikon tanpa terpengaruh proses apapun (proses morfologi maupun sintaksis).

Dikatakan Semantik Wacana kalau objek kajiannya adalah wacana. Tugas jenis semantik ini adalah mengkaji makna wacana. Pemaknaan suatu wacana tidak terlepas dari pola berpikir yang runtut dan logis.

Jika semantik dilihat dari tataran linguistik akan terlihat sebagai berikut.

Wacana makna wacana

(18)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Morfologi makna leksikal

Morfofonologi mempengaruhi perubahan makna

Fonologi satuannya membedakan makna

Semantik objeknya makna

Berdasarkan skema ini terdapat titik-titik (….) di antara semantik dan satuan yang lain. Maksudnya tidak ada kaitan antara acuan, lambang, dan makna. Kalau kita perhatikan sebuah bentuk, apakah kata frase, klausa, atau kalimat sebenarnya terdiri dari dua lapis, yakni lapis bentuk dan lapis makna. Untuk membedakannya diambil bentuk misalnya:

Meja

Meja tulis

Meja tulis kepunyaan ayah

Meja tulis kepunyaan ayah dan sekarang sudah rusak.

Setiap bentuk dari urutan di atas (kecuali bentuk pertama), pasti kita ketahui maknanya. Dengan demikian, ada makna yang muncul pada tataran morfologi, di sini bentuk meja dan meja tulis, dan ada yang muncul pada tataran sintaksis, di sini bentuk meja tulis kepunyaan ayah, meja tulis kepunyaan ayah

dan sekarang sudah rusak.

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI

1. Bahasa itu bersifat arbitrer. Coba jelaskan dan beri contoh! 2. Jelaskan mengenai pertandaan, indeks, ikon dan lambang!

3. Sebutkan manfaat yang dapat diberikan oleh linguistik kepada seseorang: a. Guru bahasa

(19)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

c. Penerjemah d. Kritikus Sastra e. Orang awam

4. Bagaimana pendapat anda terhadap seorang guru bahasa yang tidak mengenal linguistik? Jelaskan!

5. Apakah hubungan antara lambang dan yang dilambangkan selalu bersifat satu lawan satu? Coba jelaskan!

2.1 Hakikat Makna

Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ‟pengertian‟ atau ‟konsep‟ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie,

signified) sebenarnya tidak lain daripada konsep atau makna dari sesuatu

tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).

Dalam bidang semantik istilah yang biasa digunakan untuk tanda-linguistik itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai kata atau frase yang merupakan satuan bermakna (Harimurti, 1982:98). Sedangkan istilah kata, yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri yang dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem (Harimurti, 1982:76) adalah istilah dalam bidang gramatika. Dalam diktat ini kedua istilah itu dianggap memiliki pengertian yang sama.

(20)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Misalnya leksem seperti agama, cinta, kebudayaan, dan keadilan tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret. Di dalam penggunaannya dalam pertuturan, yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Misal kata buaya dalam kalimat (1).

(1). Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya.

Oleh karena itu, kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Makna sebuah kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya.

Kita dapat melihat contoh lain, yaitu: seorang setelah memeriksa buku rapor anaknya dan melihat angka-angka dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada memuji.

(2). ”Rapormu bagus sekali, Nak!”

Jelas, dia tidak bermaksud memuji walaupun nadanya memuji. Dengan kalimat itu dia sebenarnya bermaksud menegur atau mungkin mengejek anaknya itu.

Namun, harus dapat dibedakan antara semantik dan pragmatik, karena kedua ilmu tersebut sama-sama mengkaji tentang makna. Namun, pragmatik lebih mengkaji makna dalam sebuah ujaran dalam konteks. Untuk membedakannya, berikut ini ada beberapa poin yang mudah untuk diingat dan dapat dengan jelas membedakan semantik dengan pragmatik.

Perbedaan kajian makna dalam semantik dengan pragmatik:

(21)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Contoh: Di sebuah ruang kelas, Dewi duduk di deretan kursi belakang. Lalu, ia berkata kepada gurunya, “Pak, maaf saya mau ke belakang.”

Kata yang dicetak miring itu „belakang‟ secara semantik berarti lawan dari depan, berarti kalau dikaji secara semantik, Dewi hendak ke belakang. Akan tetapi, kalau kita lihat konteksnya, Dewi sudah duduk di deretan paling belakang. Tentu saja tidak mungkin makna „belakang‟ yang diartikan secara semantik yang dimaksud Dewi. Jika kita kaji dengan menggunakan pragmatik, di mana dalam pragmatik ini dilibatkan yang namanya “konteks”. Konteksnya apa? Konteksnya yaitu keadaan Dewi yang sudah duduk di belakang, sehingga tidak mungkin ia minta izin untuk ke belakang lagi (kita gunakan logika). Biasanya, orang minta izin ke belakang untuk keperluan sesuatu, seperti pergi ke toilet atau tempat lainnya. Jadi, makna kata „belakang‟ dalam kalimat di atas tidak dapat dijelaskan secara semantik, hanya bisa dijelaskan secara pragmatik. Maka dari itulah dinyatakan bahwa kajian makna pragmatik berada di luar jangkauan semantik. 2) Sifat kajian dalam semantik adalah diadic relation (hubungan dua arah), hanya

melibatkan bentuk dan makna. Sifat kajian dalam pragmatik adalah triadic

relation (hubungan tiga arah), yaitu melibatkan bentuk, makna, dan konteks.

3) Semantik merupakan bidang yang bersifat bebas konteks (independent

context), sedangkan pragmatik bersifat terikat dengan konteks (dependent context). Hal ini dapat dijelaskan pada contoh soal poin ke-1. Pada contoh

tersebut, ketika makna kata „belakang‟ dikaji secara semantik, ia tidak memperhatikan konteksnya bagaimana (independent context), ia hanya dikaji berdasarkan makna yang terdapat dalam kamus. Namun, ketika kata „belakang‟ dikaji dengan pragmatik, konteks siapa yang berbicara, kepada siapa orang itu berbicara, bagaimana keadaan si pembicara, kapan, di mana, dan apa tujuannya ini sangat diperhatikan, sehingga maksud si pembicara dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya.

4) Salah satu objek kajian semantik adalah kalimat, sehingga semantik ini sering disebut makna kalimat. Dalam pragmatik, objek kajiannya adalah tuturan (utterance) atau maksud.

(22)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

5) Semantik diatur oleh kaidah kebahasaan (tatabahasa), sedangkan pragmatik dikendalikan oleh prinsip komunikasi. Jadi, kajian makna dalam semantik lebih objektif daripada pragmatik, karena hanya memperhatikan makna tersebut sesuai dengan makna yang terdapat dalam leksemnya. Kajian makna pragmatik dapat dikatakan lebih subjektif, karena mengandung konteks atau memperhatikan konteks. Setiap orang pasti mempunyai makna sendiri sesuai dengan konteks yang dipandangnya. Selain itu, pragmatik juga dimotivasi oleh tujuan komunikasi. Selain itu, pemaknaan semantik itu ketat, karena terpaku pada makna kata secara leksikal (tanpa konteks), sedangkan pemaknaan pragmatik lebih lentur karena tidak mutlak bermakna “itu”.

6) Semantik bersifat konvensional, sedangkan pragmatik bersifat non-konvensional. Dikatakan konvensional karena diatur oleh tatabahasa atau menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan.

7) Semantik bersifat formal (dengan memfokuskan bentuk: fonem, morfem, kata, klausa, kalimat), sedangkan pragmatik bersifat fungsional.

8) Semantik bersifat ideasional, maksudnya yaitu makna yang ditangkap masih bersifat individu dan masih berupa ide, karena belum dipergunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan pragmatik bersifat interpersonal, maksudnya yaitu makna yang dikaji dapat dipahami/ditafsirkan oleh orang banyak, tidak lagi bersifat individu, karena sudah menggunakan konteks.

9) Representasi (bentuk logika) semantik suatu kalimat berbeda dengan interpretasi pragmatiknya.

Contoh: “Kawan, habis makan-makan kita minum-minum yuk…”

- Dikaji dari semantik, kata “minum-minum” berarti melakukan kegiatan „minum air‟ berulang-ulang, tidak cukup sekali minum.

- Dikaji dari segi pragmatik, kata “minum-minum” berarti meminum minuman keras (alkohol).

(23)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Telah disinggung bahwa inti persoalan yang dikaji di dalam semantik ialah makna. Lyons (1968:400) mengatakan “Semantiks may be defined, initially and

provisionally, as the study of meaning”- ilmu yang mengkaji makna. Telah

diketahui bahwa jika seseorang memperkatakan sesuatu, terdapat tiga hal yang oleh Ulmann (1972:57) diusulkan istilah: name, sense, dan thing. Soal makna terdapat dalam sense. Apabila seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dengan pengertian, itulah yang disebut makna.

Stevenson (Shipley, 1962:261) berpendapat bahwa jika seseorang menafsirkan makna sebuah lambang berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut, yakni suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula. Dengan mengetahui makna kata, baik pembicara, pendengar, penulis, maupun pembaca yang menggunakan, mendengar atau membaca lambang-lambang berdasarkan sistem bahasa tertentu, percaya tentang apa yang dibicarakan, didengar atau dibaca.

Orang dapat melihat kamus jika ia ingin mengetahui makna sesuatu kata, namun dalam kehidupan sehari-hari orang tidak selamanya membuka kamus kalau ada kata yang tidak dimengerti maknanya, dan juga orang tidak harus membuka kamus kalau ingin berkomunikasi. Kata, urutan kata, makna kata dan kaidah bahasa pendukungnya telah ada di dalam otaknya yang sewaktu-waktu muncul kalau diperlukan. Pengetahuan tentang bahasa sendiri seperti itu, disebut kompetensi (competence). Kompetensi itu sendiri menurut Chomsky (lihat Herriot, 1970:57) merupakan suatu potensi yang tidak terbatas, sedang penampilan (performance) terbatas pada faktor-faktor fisik dan temporal.

Memang sulit memberikan batasan tentang makna. Tiap linguis memberikan batasan makna sesuai dengan bidang ilmu yang merupakan keahliannya. Itu tidak mengherankan karena kata dan kalimat yang mengandung makna adalah milik pemakai bahasa, dikarenakan pemakai bahasa bersifat

(24)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

dinamis yang terkadang memperluas makna suatu kata ketika ia berkomunikasi sehingga makna kata dapat saja berubah.

2.3 Penamaan dan Pendefinisian

Dalam kehidupan sehari-hari, mudah bagi kita menghubungkan nama dengan benda yang kita maksudkan. Dengan kata lain, untuk nama benda tidak susah untuk kita menghayati. Misalnya, kalau orang mengatakan kursi, pasti kita tahu apa yang dimaksudkan dengan kata kursi. Kita boleh menunjuk salah satu benda yang terdapat di sekitar kita yang namanya kursi, meskipun wujudnya berbeda-beda.

Penamaan dalam semantik ini ada 8 penyebab yaitu:

1. Peniruan bunyi; contohnya „tokek‟ disebut demikian karena bunyi hewan tersebut adalah „tokek-tokek‟. Penamaan sesuatu berdasarkan peniruan bunyinya disebut Onomatope.

2. Penyebutan bagian; contoh “Ibu membeli empat ekor ayam”, yang dimaksud kalimat tersebut pastilah bukan hanya ekor ayamnya saja yang dibeli ibu, tetapi ayam secara keseluruhan.

3. Penyebutan sifat khas; contoh „si kerdil‟ karena anak tersebut tetap berbadan kecil, tidak tumbuh menjadi besar.

4. Penemu dan pembuat; contoh „Aqua‟ dan „kodak‟, kalau kita mau membeli air minum dalam kemasan, pasti kita akan berkata, “Pak, beli Aqua satu botol.” Padahal di toko tersebut tidak ada air minum kemasan bermerek Aqua. Demikian juga dengan „Kodak‟ yang merupakan nama merek sebuah kamera.

5. Tempat asal; contoh kata „magnet‟ berasal dari nama tempat Magnesia, nama burung „kenari‟ diambil dari asal burung itu berada yaitu Pulau Kenari di Afrika, ikan „sarden‟ berasal dari Pulau Sardinia di Italia. Ada juga nama piagam atau perjanjian-perjanjian besar seperti „Piagam Jakarta‟ karena

(25)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

tempatnya di Jakarta, „Perjanjian Linggarjati‟ karena pelaksanaan perjanjian tersebut di Linggarjati.

6. Bahan; contoh nama karung „goni‟ karena bahan karung tersebut dari goni, dan „bambu runcing‟ karena benda tersebut terbuat dari bambu dan ujungnya runcing.

7. Keserupaan; perhatikan contoh „kaki‟, „kaki gunung‟, „kaki kursi‟, dan „kaki meja‟, hal yang sama dari empat contoh tersebut adalah letaknya, di mana letak kaki selalu ada di bawah. Contoh lain misalnya „kepala‟, „kepala masinis‟, „kepala sekolah‟, dan „kepala surat‟, hal yang sama pada kata-kata tersebut yaitu letaknya, di mana letak kepala selalu berada di atas, „kepala surat‟ selalu diletakkan di bagian atas.

8. Pemendekan; contoh „UPI‟ menjadi nama sebuah universitas negeri di Bandung, padahal namanya bukan UPI, tetapi Universitas Pendidikan Indonesia. Contoh lain yaitu „cireng‟ yang menjadi nama sebuah makanan ringan, „cireng‟ merupakan kependekan dari „aci digoreng‟.

Penamaan perlu dibedakan dengan pendefinisian, juga dengan istilah. Definisi atau istilah berisi pembatasan tentang suatu fakta, peristiwa, benda, proses, misalnya kita ingin memberikan batasan terhadap istilah morfologi. Kata kursi bukanlah istilah. Kita dapat mengatakan bahwa kursi adalah seluruh realisasi benda yang disebut kursi. Seandainya ada seseorang yang membawa kepada kita sebuah tangan kursi, maka tangan kursi tersebut tidak dapat disebut kursi. Jadi, dengan menyebut kursi, kita telah memberikan pembatasan terhadap suatu benda, fakta, peristiwa, atau kejadian, baik pembatasan yang dilihat dari unsur-unsurnya maupun pembatasan yang dilihat dari benda-benda lain yang ada di sekeliling kita.

Seandainya nama tersebut berisi kata atau gabungan kata yang cermat dan mengungkapkan suatu makna, konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang ilmu tertentu, maka nama tersebut disebut istilah. Jika nama tersebut telah dimaknakan dengan keterangan singkat dan jelas, dan dalam bidang ilmu tertentu, maka nama tersebut dikatakan definisi. Dengan demikian, terkadang suatu nama

(26)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

dapat berfungsi sebagai istilah. Istilah-istilah itu menjadi jelas apabila diberikan definisinya, demikian pula nama.

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI

1. Coba anda jelaskan beberapa konsep leksem dan kata! Beri contoh!

2. Apakah setiap kata mempunyai referen? Jelaskan! Jelaskan pula bagaimana hubungan antara kata meja dengan kata meja yang digunakan dalam frase meja hijau dan meja panas!

3. Kalimat Ibu memasak sayur dan Sayur dimasak Ibu sama maknanya. Benarkah pernyataan tersebut dilihat dari segi semantik?Jelaskan!

4. Carilah dan jelaskan contoh penggunaan makna dalam semantik dan pragmatik dalam lingkungan sehari-hari!

3.1 Hakikat Ragam Makna

Bahasa pada dasarnya digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa pun sangat bermacam-macam bila dilihat dari beberapa kriteria dan sudut pandang. Jenis makna itu sendiri menurut Abdul Chaer dalam buku “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia”, dibagi menjadi tujuh jenis makna, diantaranya:

1. Berdasarkan jenis semantiknya dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

2. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dibedakan menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.

3. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

4. Berdasarkan ketepatan maknanya dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus.

(27)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

5. Berdasarkan ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain dibagi menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.

6. Berdasarkan bisa atau tidaknya diramalkan atau ditelusuri, baik secara leksikal maupun gramatikal dibagi menjadi makna idiomatikal dan peribahasa.

7. Kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya, yaitu oposisi dari makna sebenarnya disebut makna kias.

Terdapat berbagai macam istilah untuk menamakan jenis atau tipe makna. Pateda (1986), secara alfabetis telah mendaftarkan adanya 25 jenis makna, yaitu makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekstensi, makna emotif, makna gereflekter, makna idesional, makna intensi, makna gramatikal, makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna piktorial, makna proposisional, makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Sedangkan Leech (1976) membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna reflektif, makna kolokatif, dan makna tematik.

3.1.1 Berdasarkan Jenis Semantiknya

Penjenisan ini membedakan antara makna leksikal dan gramatikal. Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturukan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Contohnya; kata tikus, makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati

diterkam kucing atau dalam kalimat Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kedua kalimat tersebut jelas merujuk kepada binatang tikus

(28)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

ternyata berkepala hitam bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk

kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia, yang perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang konsep seperti yang dilambangkan itu. Makna leksikal suatu kata sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran kata itu dalam suatu konteks kalimat (Abdul Chaer, 1989:60-61).

Selain itu, terdapat pula satuan bahasa yang baru dapat diidentifikasi setelah satuan itu bergabung dengan satuan kebahasaan yang lain. Makna yang demikian disebut makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan

ter- , pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik

melahirkan makna „dapat‟, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu

terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal „tidak sengaja‟.

Sebuah imbuhan, seperti awalan ter- di atas baru memiliki makna atau kemungkinan makna apabila sudah berproses dengan kata lain. Sedangkan kepastian maknanya baru diperoleh setelah berada dalam konteks kalimat atau satuan sintaksis lain.

3.1.2 Berdasarkan Ada Tidaknya Referen Pada Sebuah Kata atau Leksem

Pengklasifikasian ini berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu, terbagi atas makna referensial dan nonreferensial. Makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), maka referensial disebut juga makna kognitif, karena memiliki acuan. Makna ini memiliki hubungan dengan konsep, sama halnya seperti makna kognitif. Makna referensial memiliki hubungan dengan konsep tentang sesuatu yang telah disepakati bersama oleh masyarakat bahasa, seperti terlihat di dalam kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya memiliki referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

(29)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Kata–kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, juga kata tugas lainnya, tidak mempunyai referen, maka banyak orang menyatakan kata-kata tersebut tidak mempunyai makna. Lalu, karena hanya memiliki fungsi atau tugas, maka dinamailah kata-kata tersebut dengan nama kata fungsi atau kata tugas. Sebenarnya, kata-kata ini juga mempunyai makna ; hanya tidak mempunyai referen. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu kata yang bermakna nonreferensial. Mempunyai makna, tetapi tidak memiliki referen.

3.1.3 Berdasarkan Nilai Rasa

Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” (istilah dari Slamet Mulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.

Makna denotatif, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotative ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Makna denotatif sering disebut sebagai “makna sebenarnya”. Umpamanya kata perempuan dan wanita, kedua kata ini mempunyai makna denotatif yang sama, yaitu „manusia dewasa bukan laki-laki‟, begitu juga kata

gadis dan perawan; kata istri dan bini. Kata gadis dan perawan memiliki makna

denotatif yang sama, yaitu „wanita yang belum bersuami‟ atau „belum pernah bersetubuh‟; sedangkan kata istri dan bini memiliki makna denotatif yang sama, yaitu „wanita yang mempunyai suami‟.

Walaupun kata perempuan dan wanita mempunyai makna denotatif yang sama tetapi dewasa ini kedua kata itu mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata

perempuan mempunyai nilai rasa yang “rendah” sedangkan kata wanita

mempunyai nilai rasa yang “tinggi”. Jadi, kata perempuan memiliki nilai rasa yang lebih rendah dari kata wanita. Ini terbukti dari tidak digunakannya kata

(30)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

lembaga itu selalu menggunakan kata wanita, misalnya dharma wanita, gedung

wanita, menteri urusan peranan wanita, dan Ikatan Wanita Pengusaha.

Makna denotatif sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat. Makna konotatif disebut sebagai makna tambahan. Makna konotatif sebuah kata dapat berbeda dari suatu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Umpamanya kata babi, di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, memiliki konotatif negative karena binatang tersebut menurut hukum Islam adalah haram dan najis. Sebaliknya di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan Islam. Seperti di pulau Bali atau pedalaman Irian Jaya, kata babi tidak berkonotatif negative. Kata laki dan

bini dalam masyarakat Melayu Jakarta tidak berkonotatif negative, tetapi dalam

masyarakat intelek Indonesia dianggap berkonotatif negative.

Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata

ceramah dulu kata ini berkonotatif negative karena berarti „cerewet‟, tetapi

sekarang konotatifnya positif. Dalam perkembangan selanjutnya ada juga kata-kata yang telah dianggap bernilai halus (seperti kata-kata tunanetra untuk pengganti

buta) lama-lama dirasakan tidak halus lagi, maka diganti lagi dengan kata lain

diganti dengan kata cacat netra. Misalnya kata tunanetra itu yang kini diganti dengan kata cacat netra.

3.1.4 Berdasarkan Ketepatan Makna

Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaannya secara umum dari secara khusus. Makna kata baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Jika lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Misalnya kata

tahanan. Apa makna kata tahanan? mungkin saja yang dimaksud dengan tahanan

itu adalah „orang yang ditahan‟, tetapi bisa juga „hasil perbuatan menahan‟, atau mungkin makna yang lainnya lagi. Begitu juga dengan kata air. Apa yang dimaksud dengan air itu? Apakah air yang berada di sumur? di gelas? Atau di bak

(31)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

mandi? Atau yang turun dari langit ? kemungkinan-kemungkinan itu bisa terjadi karena kata air itu lepas dari konteks kalimatnya.

Makna istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Hal tersebut dikarenakan istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan dan keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Misalnya, kata tahanan di atas. Sebagai kata, makna kata tahanan masih bersifat umum, tetapi sebagai istilah misalnya istilah dalam bidang hukum makna tahanan itu sudah pasti, yaitu orang yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara. Istilah yang sudah menjadi unsur leksikal bahasa umum itu adalah disebut istilah umum. Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Di luar bidang istilah sebenarnya dikenal juga adanya pembedaan kata dengan makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang lebih terbatas. Kata dengan makna umum mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus atau makna terbatas mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus atau makna terbatas mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya, dalam deretan sinonim

besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata besar adalah kata yang bermakna

umum dan pemakaiannya lebih luas daripada kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar, raya dan kolosal dengan kata besar itu secara bebas.

3.1.5 Berdasarkan Ada atau Tidaknya Hubungan Makna

Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara garis besar Leech (1976) membedakan makna atas makna

konseptual dan makna asosiatif dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif,

stilistik, afektif, refleksi, dan kolokatif.

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna

(32)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

referensial, makna leksikal, dan makna denotative. Sedangkan, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna „berani‟, atau juga „dengan golongan komunis‟; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna „indah‟.

Makna asosiasi ini berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa, maka ke dalam makna asosiatif ini termasuk juga makna konotatif. Di samping itu, termasuk juga makna-makna lain seperti makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif (Leech 1976).

Makna stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat. Maka, dibedakanlah makna kata guru, dosen, pengajar, dan instruktur. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih terasa secara lisan daripada secara tertulis. Makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai “tempat” yang sama dalam sebuah frase (ko = sama, bersama; lokasi = tempat). Kata laju, deras, kencang, cepat, dan lancar yang mempunyai makna yang sama, tetapi pasti mempunyai kolokasi yang berbeda. Kita bisa mengatakan hujan deras dan berlari dengan cepat; namun tidak bisa sebaliknya * hujan cepat dan *

berlari dengan deras.

3.1.6 Berdasarkan Bisa atau Tidaknya Diramalkan atau Ditelusuri

Penjenisan ini terdiri atas makna idiomatikal dan peribahasa. Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Untuk mengetahui makna idiom sebuah kata (frase atau kalimat) haruslah melalui kamus. Terdapat istilah idiom, ungkapan, dan metafora. Idiom dilihat dari segi makna, yaitu “menyimpangnya” makna idiom ini dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Ungkapan dilihat dari

(33)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

segi ekspresi kebahasaan, yaitu dalam usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosinya dalam bentuk-bentuk satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat. Sedangkan metafora dilihat dari segi digunakannya sesuatu untuk memperbandingkan yang lain dari yang lain, misalnya matahari dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja siang, bulan sebagai putri malam adalah termasuk idiom.

Ungkapan sebagai masalah ekspresi dalam pertuturan akan bertambah dan berkurang sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut dan kreativitas penutur bahasa tersebut dalam menggunakan bahasanya. Misalnya, tebal muka, duduk perut, ke belakang, tamu yang tidak diundang, dan sebagainya.

Kata mulut gua, tangan kursi, dan kepala kantor merupakan metafora karena digunakan secara metaforis (ada yang diperbandingkan). Dapat juga disebut sebagai ungkapan, tetapi bukan idiom, karena kata mulut pada mulut gua,

tangan pada tangan kursi, dan kepala pada kepala kantor masih berada dalam

lingkungan poliseminya. Sedangkan, kata gua, kursi dan kepala kantor pada frase-frase tersebut masih tetap bermakna leksikal.

Makna peribahasa masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya. Misalnya, dua orang yang selalu bertengkar dikatakan dalam bentuk peribahasa Bagai anjing dengan kucing. Peribahasa bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan, maka sering juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana dan

umpama sering digunakan dalam peribahasa.

3.1.7 Makna Kias

Bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti ‘puteri malam’ dalam arti

(34)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

„bulan‟, raja siang dalam arti „matahari’, membanting tulang dalam arti „bekerja keras‟, semuanya memiliki arti kiasan.

3.2 Pendapat Lain Mengenai Penjenisan Makna

Terdapat beberapa pendapat mengenai jenis makna. Palmer (1976:34) mengemukakan jenis-jenis makna: (1) makna kognitif (cognitive meaning), (2) makna ideasional (ideational meaning), (3) makna denotasi (denotasional

meaning), (4) makna proposisi (propositional meaning), sedangkan Shipley, Ed,

(1962:261-262) berpendapat bahwa makna mempunyai jenis: (1) makna emotif (emotive meaning), makna kognitif (cognitive meaning) atau makna deskriptif (descriptive meaning), makna referensial (referential meaning), makna piktorial (pictorial meaning), makna kamus (dictionary meaning), makna samping (fringe

meaning), dan makna inti (core meaning).

Verhaar (1983:124) mengemukakan istilah makna gramatikal dan makna

leksikal, sedangkan Bloomfield (1933:151) mengemukakan istilah makna sempit

(narrowed meaning), dan makna luas (widened meaning). Tentu masih banyak pendapat lain yang ditambahkan sehingga lengkaplah jenis-jenis makna tersebut. Selebihnya bacalah buku Semantik Leksikal, Penulis Prof. DR.Mansoer Pateda, Edisi Kedua 2010.

LATIHAN PEMAHAMAN MATERI

1. Betulkah pernyataan yang menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna seperti yang terdapat di dalam kamus? Jelaskan!

2. Jelaskan perbedaan dasar antara kata dan istilah! Beri contoh? 3. Apakah setiap kata memiliki makna leksikal? Coba jelaskan!

4. Mengapa konstruksi *berlari deras dan *masjid kolosal tidak berterima dalam bahasa Indonesia sekarang?Jelaskan!

5. Simak kembali konsep mengenai peribahasa, bandingkan dengan konsep idiom, lalu rumuskanlah hasil simakan anda itu secara singkat!

(35)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

4.1 SINONIM

Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Misalnya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; bunga,

kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim; mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim. Dua buah kata

yang bersinonim itu, kesamaannya tidak bersifat mutlak (Zgusta 1971:89, Ulman 1972:141). Makna kata buruk dan jelek tidak persis sama; makna kata bunga,

kembang, dan puspa pun tidak persis sama. Andaikata kata mati dan meninggal

itu maknanya persis sama, tentu kita dapat mengganti kata mati dalam kalimat

Tikus itu mati diterkam kucing dengan kata meninggal menjadi * Tikus itu

(36)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

meninggal diterkam kucing. Tetapi ternyata penggantian tidak dapat dilakukan. Ini

bukti yang jelas bahwa kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang persis sama.

Jika dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama, maka yang sama adalah informasinya, padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata mati memiliki komponen makna (1) tiada bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon, dsb). Sedangkan meninggal memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa, (2) hanya dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian kata mati dan meninggal hanya bersinonim pada komponen makna (1) tiada bernyawa. Karena itu, jelas kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.

Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya, yaitu:

(1) Faktor Waktu. Misalnya, kata hulubalang bersinonim dengan kata

komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan

kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modern).

(2) Faktor Tempat atau Daerah. Misalnya, kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi, kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku); sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.

(3) Faktor Sosial. Misalnya, kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.

(4) Faktor Bidang Kegiatan. Misalnya, kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun, kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam, dan kata mistik untuk semua agama. Contoh lain kata

(37)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

matahari bersinonim dengan kata surya; tetapi kata surya hanya cocok

atau lazim digunakan dalam sastra, sedangkan kata matahari dapat digunakan secara umum.

(5) Faktor Nuansa Makna. Misalnya, kata kata melihat, melirik, melotot,

meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat

memang bisa digunakan secara umum, tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar; kata meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata

mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.

Sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya.

(a) Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfrm (terikat), seperti antara

dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat.

(1) Minta bantuan dia Minta bantuannya (2) Bukan teman saya

Bukan temanku

(b) Sinonim antara kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek; antara bunga dengan puspa, dan sebagainya.

(c) Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara

meninggal dengan tutup usia; antara hamil dengan duduk perut; antara pencuri dengan tamu yang tidak diundang; antara tidak boleh tidak

dengan harus.

(d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan

orang tua; antara meninggal dunia dengan berpulang ke rahmatullah;

(38)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

(e) Sinonim antara kalimat dengan kalimat. Seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang adik. Kedua kalimat ini pun dianggap bersinonim, meskipun yang pertama kalimat aktif dan yang kedua kalimat pasif.

Keterangan:

Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.

Misalnya, kata beras, salju, batu, dan kuning tidak memiliki sinonim. Kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya, kata benar bersinonim dengan kata betul, tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Keempat, ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.

4.2 ANTONIM

Antonim berarti „nama lain untuk benda lain pula‟. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya dengan kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar adalah berantonim dengan kata kecil; dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.

Antonim tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya barangkali dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan “… yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan, bukan mutlak berlawanan. Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja.

Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi:

(39)

Astri Widyaruli Anggraeni, S.S., M.A

Elearning Unmuh Jember

Terdapat pertentangan makna secara mutlak. Misalnya, antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati, sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi. Contoh lain dari oposisi mutlak ini adalah kata

gerak dan diam.

(2) Oposisi Kutub

Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan

miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin,

dan begitu juga orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.

Oposisi kutub ini sifatnya relatif, sukar ditentukan batasnya yang mutlak. Kalau didiagramkan keadaan tersebut menjadi sebagai berikut.

Kutub A kaya

--- batas

miskin

Kutub B

Semakin ke atas makin kaya dan makin ke bawah makin miskin. Namun, batas kaya-miskin itu sendiri dapat bergeser ke atas dan ke bawah. Ketidakmutlakan makna dalam oposisi ini tampak juga dari adanya gradasi seperti agak kaya, cukup kaya, kaya dan sangat kaya. Atau pun juga dari adanya

Referensi

Dokumen terkait

Apabila si pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki- lakinya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, atau meninggal secara bersamaan, maka cucu

Pendekatan teknokratis menitikberatkan kepada metoda dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah, antara lain digunakan untuk:

Dari analisis uji hipotesis diketahui bahwa ada pengaruh positif persepsi siswa tentang tingkat perhatian orang tua terhadap prestasi mata pelajaran Fiqih siswa MI

Untuk aspek kompetensi dosen pada tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa sebanyak 66(59%) mahasiswa yang setuju dosen selalu menemani ketika pembelajaran secara daring hingga

Surat berharga yang dijual dengan janji dibeli kembali (repo) 7. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba/rugi b. Dimiliki hingga jatuh tempo.. d. Cadangan kerugian penurunan

Apabila kandungan air tersebut dihilangkan maka pertumbuhan mikroorganisme dan terjadi reaksi pencokelatan (browning). Hidrolisa atau oksidasi lemak dapat dikurangi. Jika air

Keuntungan metode granulasi basah yaitu meningkatkan kohesifitas dan kompaktibilitas serbuk, zat aktif yang kompaktibilitasnya rendah dalam dosis yang tinggi harus