• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme .1ANAK PENDERITA AUTISME I : ZA .1ANAK PENDERITA AUTISME I : ZA

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

DEWAN PEMBINA

D. Landasan Hukum

4.3 Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme .1ANAK PENDERITA AUTISME I : ZA .1ANAK PENDERITA AUTISME I : ZA

Nama : ZA

Tempat/ Tgl Lahir : Medan, 20 Oktober 2008 Nama Ayah & Ibu : AF & DW

Kriteria Autisme : Autisme Murni

Jika dilihat sekilas, tidak ada perbedaan ZA dengan anak berumur 6 tahun lainnya, secara fisik ZA lengkap dan juga sehat. Setelah diperhatikan secara seksama barulah bisa dilihat bahwa ZA merupakan anak dengan gangguan autistik murni, yang berarti ZA sama sekali tidak bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Orang tua ZA yang berprofesi sebagai pengusaha dan guru pada awalnya tidak merasakan keanehan pada ZA saat masih bayi. Karena masih bayi, ZA yang terus menerus menangis dianggap suatu hal yang biasa oleh orang tua-nya. Keanehan mulai dirasakan orang tua ZA pada saat ZA berusia 2 tahun, ZA terus menangis karena hal yang tidak jelas, ZA juga menangis dan berteriak saat melihat dan berada di dekat orang baru, ZA tidak mau melakukan kontak mata, tidak mau bermain dengan kakaknya, bahkan ZA terkadang tidak mau dipegang oleh orang tua-nya sendiri. Keadaan ZA yang seperti ini sempat dibiarkan beberapa lama oleh orang tua-nya karena orang tua ZA percaya bahwa keanehan ini merupakan hal yang wajar, dan akan hilang pada sendirinya. Sampai akhirnya pada usia 3 tahun, ZA di bawa ke dokter anak oleh orang tua-nya, dan diberitahu bahwa ZA menderita austime dan harus segera ditangani. Atas saran dokter dan beberapa kerabat, ZA akhirnya dibawa untuk bersekolah di YAKARI.

Selama bersekolah di YAKARI sudah banyak perkembangan dalam hal komunikasi yang terjadi pada ZA. Seperti saat peneliti melakukan pengamatan, meskipun tidak melakukan komunikasi dan hanya melihat ke arah peneliti beberapa kali, ZA tidak lagi merasa terganggu dan menangis saat berada di dekat orang baru. Saat guru pendamping mengucapkan salam selamat pagi, ZA sudah bisa menjawab kembali salam tersebut, namun tanpa melakukan kontak mata. Begitu pun saat ditanyai nama dan umurnya, guru pendamping harus bertanya beberapa kali, karena fokus ZA terbagi antara menjawab pertanyaan dan pensil berwarna yang dipegangnya.

Saat proses belajar mengajar berlangsung, ZA terlihat tidak bisa fokus pada satu hal dalam waktu yang lama. Seperti saat disuruh menyebutkan warna-warna yang ada di buku, ZA hanya bisa menyebutkan sampai warna ke dua, setelah itu ZA melihat ke kiri dan ke kanan, lalu mengulang-ulang kata “hijau” beberapa kali. Disaat seperti ini, guru pendamping harus kembali memanggil nama ZA beberapa kali, dan menyuruh ZA kembali melanjutkan warna selanjutnya.

Saat peneliti melakukan pengamatan, ZA sempat menangis karena tidak mau duduk di bangku, guru pendamping harus menjelaskan kepada ZA beberapa kali bahwa selama berada di kelas ZA harus duduk di bangku, dan membujuk ZA dengan mengatakan bahwa anak yang baik dan pintar seharusnya duduk di bangku saat belajar. Setelah beberapa lama akhirnya ZA menurut dan mau duduk di bangku, meskipun sesekali berdiri dan berjalan-jalan, dan saat ZA kembali duduk ZA diberi hadiah berupa pujian.

Perkembangan yang ditunjukkan ZA tidak hanya dalam bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam komunikasi non-verbal. ZA dulunya tidak mau di sentuh, bahkan dalam beberapa kejadian ZA juga tidak mau disentuh oleh orang tua-nya sendiri. Saat peneliti melakukan pengamatan, ZA terlihat beberapa kali memegang tangan guru pendampingnya, bahkan dalam beberapa kesempatan, seperti saat dipuji ZA memeluk guru pendampingnya. A. Komunikasi Antarpribadi pada ZA dan Guru Pedamping (MR)

MR merupakan salah satu guru pendamping bagi anak penderita autisme di sekolah khusus autisme YAKARI. MR sudah merasakan ketertarikan di bidang pengajaran untuk anak berkebutuhan khusus semenjak berada di bangku kuliah. Setelah lulus dari fakultas psikologi di salah satu perguruan tinggi swasta di Medan tahun 2007, MR langsung melamar pekerjaan di berbagai sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di daerah Sumatera Utara, dan akhirnya mulai bergabung dengan YAKARI di tahun 2009.

Selama mengajar di YAKARI, MR mengakui bahwa ZA merupakan salah satu murid yang susah untuk di dampingi. Pada awalnya, ZA yang merupakan anak penderita autisme murni sama sekali tidak mau berkomunikasi dengan MR dan hanya menangis terus. Sesuai dengan prosedur yang ada, MR harus melakukan observasi terlebih dahulu selama seminggu, untuk melihat karakter ZA, lalu memutuskan bagaimana cara yang tepat untuk mendekati dan mengajari ZA. Setelah di lakukan observasi, MR memutuskan bahwa ZA adalah anak yang harus di ajar dengan tegas, dan untuk mendekati-nya MR mencoba untuk masuk ke dunia ZA dan mencoba untuk mengerti bagaimana keadan-nya.

“Dengan ZA pun gitu dek, setelah di lihat hasil observasi nya ternyata dia tipe anak yang kita harus tegas sama dia, jadi kakak pelan-pelan panggil nama dia, baru dia diam aja kan, di situ kakak kasi tau lah kalau orang panggil nama kamu, kamu harus jawab “apa” ya, gitu. Jadi ya kakak dekati dia pelan-pelan, kakak coba masuk ke dunia dia, kakak coba mengerti dia gimana”

MR juga mengungkapkan bahwa ZA merupakan anak yang sangat manja, bahkan mau menyakiti dirinya sendiri saat keinginannya tidak di penuhi dan seperti anak autis lainnya ZA juga mengalami kesulitan untuk membedakan tingkatan umur seseorang, hal ini lah yang membuat MR harus bersikap tegas dalam mengajari ZA, agar mereka bisa saling menghargai dalam proses belajar mengajar.

ZA itu anak yang terlalu manja dek, jadi semua kemauan dia harus diikuti gitu, kalau ngga dia nangis, menjerit, jambak rambut sendiri bahkan mau mengantukkan kepalanya ke dinding. Selama kk di sini, ZA termasuk anak yang susah lah dek buat di dekatin. Di sentuh pun dia ga suka kemarin itu. Jadi, kalau sama ZA kita harus tegas, karena dia itu kalau kita ikut-ikut kan terus kemauannya dia bakalan ngelunjak dek dan ya jadinya ga berkembang lah. Anak autis kan ga tau dek apakah kita itu lebih tua dari dia atau guru dia, jadi dia ngeliat kita semua ini sama aja. Jadi ZA pun gitu, kakak harus menegaskan, kakak ini lebih tua dari dia, jadi dia harus menghargai kakak, karena kakak pun juga mau melakukan yang baik sama dia, kakak pun menghargai dia ”

MR sempat merasa gagal untuk mendekati ZA, karena setelah hampir dua bulan berada di bawah pendampingannya ZA tetap tidak mau memulai komunikasi dengan MR. Meskipun sudah tidak menangis lagi, ZA tetap belum mau untuk menjawab sapaan dan pertanyaan MR. MR yang dari awal sudah berniat untuk membantu ZA memutuskan untuk tetap berusaha sekeras apa pun agar ZA setidaknya bisa menerima dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. MR merasa jika dirinya sendiri merasa tidak bisa atau tidak sanggup, bagaimana bisa membantu orang lain untuk menjadi lebih baik seperti yang MR harapkan.

“ Kakak berpikir, kalo aku pun ga yakin sama diri ku kan, gimana aku mau bantu dia. Jadi kakak yakinkan diri kakak dulu kalo kakak pasti bisa membantu dia, dia pasti bisa berkembang. Baru lah kakak berusaha lagi lebih, biar dia bisa seenggaknya bisa nerima sekitarnya ”

Dan ternyata usaha MR tidak sia-sia, memasuki bulan ke empat, AZ mulai mau berada di kelas tanpa Ibu-nya, dan menjawab sapaan MR meskipun hanya berupa gumaman. Sikap AZ yang mulai membuka diri membuat MR semakin bersemangat dan yakin bahwa AZ akan bisa berkomunikasi nanti nya.

Waktu itu kakak senangnya bukan main lah. Kakak langsung semangat lagi buat membantu dia biar bisa lebih bagus lagi. Padahal dia cuma menjawab emmmm sambil diliatnya kakak sekilas, kalo untuk kita mungkin belum bisa dibilang membuka diri ya dek, tapi untuk kasus mereka ini, apalagi kakak orang baru sama dia, itu udah hebat kali udah mau dia mengakui kakak disitu gitu karena sebelumnya kayak ga ada kakak disitu dibuatnya ”

Keyakinan dan semangat MR agar ZA bisa berkomunikasi terus berlanjut, dan ZA perlahan-lahan menunjukkan beberapa perkembangan lainnya. Salah satu perkembangan yang menurut MR sangat mebuat dirinya bangga dan terharu adalah ZA yang sudah mau untuk melakukan kontak fisik, seperti menyentuh, menggenggam bahkan memeluk. Hal ini dirasakan MR sangat membanggakan karena ZA pada awalnya sama sekali tidak suka di

sentuh oleh orang lain, dan dalam beberapa kejadian ZA bahkan tidak mau di sentuh oleh orang tua-nya sendiri.

“ Pertama kali dia mau sentuh tangan kakak, itu rasanya, campur aduk hati kakak. Bangga iya, senang juga iya, terharu juga iya. Karena kayak yang kakak bilang tadi lah, dulu dia jangankan mau sentuh kakak, nganggap kakak ada di situ sama dia aja nggak kan. Ini dia mau sentuh, sekarang mau meluk lagi kan, waduh senangnya ga terkira”

Selama proses belajar mengajar MR banyak menggunakan hadiah sebagai alat untuk membantu ZA agar lebih bersemangat untuk belajar. Hadiah yang diberikan bukan hanya berupa barang, akan tetapi pujian terhadap hal-hal baik yang sudah dilakukan oleh ZA. Seperti anak-anak normal, pujian merupakan pemacu bagi anak penderita autisme untuk belajar dan melakukan hal baik yang sudah di ajarkan.

“ Pujian itu harus,itu jadi kayak penyemangat, jadi dia tau kalo yang dia lakukan itu baik,benar gitu. Misalnya kakak suruh dia sebutkan angka satu sampai sepuluh, di angka lima dia berhenti karena konsentrasinya pecah, kakak langsung bilang, ayok yang bisa sebutkan sampai sepuluh anak pintar! Terus dilanjutkannya sampai sepuluh, terus kakak puji lagi, pintarnya adek kakak. Senang kali dia itu, senyum-senyum dia”

Kedekatan yang terjalin selama proses belajar mengajar membuat MR merasa bahwa kesembuhan atau perkembangan yang dialami oleh ZA membuat MR bangga dan senang bukan hanya karena tugasnya sebagai pengajar dan pendamping tetapi juga karena MR sudah mengganggap ZA seperti adiknya sendiri. Sikap yang tegas memang diperlukan dalam mengajar dan mendampingi ZA, akan tetapi sikap tegas yang berlebihan dan cenderung seperti memaksa malah akan membuat ZA takut dan tidak mau untuk kembali ke sekolah. MR juga meyakini bahwa kedekatan secara emosional akan membantu perkembangan ZA dalam hal komunikasi dan sosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

“ Kakak itu udah menganggap anak-anak yang kakak dampingi kayak adek sendiri. Kalo sama adek sendiri pasti kita mau yang terbaik kan, biar dia sembuh, biar dia berkembang. Kakak yakin kalo kita udah sayang sama anak itu, kita juga pasti membantunya tulus, semua yang dikerjakan dengan tulus, hasilnya pasti baik. Kakak pun yakin kalo AZ ini tau kakak niat baik sama dia, sayang sama dia, biar kata orang anak ini ga tau kalo kau sayang sama dia, kakak yakin dia tau, dia bisa merasa ”

Proses komunikasi yang sudah berlangsung selama hampir 3 tahun antara ZA dan MR sudah membawa beberapa perkembangan ke arah yang lebih dalam diri ZA, baik dalam hal komunikasi mau pun sosialisasi dengan sekitarnya. MR merasa bahwa selama proses komunikasi ini MR jadi bisa lebih lebih mengenal ZA dengan lebih baik.