• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

DEWAN PEMBINA

B. Komunikasi Antarpribadi pada ND dan Orang tua (SR)

4 Rasa Postitif ( positiveness )

- Ingin membantu agar ND bisa berkomunikasi - PT yakin akan kemampuan dirinya dalam membantu ND agar bisa berkomunikasi - PT yakin akan kemampuan ND - SR yakin akan kemampuan dirinya dalam membantu ND agar bisa berkomunikasi

- SR yakin ND akan bisa berkomunikasi

5 Kesamaan (equality )

- PT menegaskan posisinya sebagai guru dan ND sebagai murid, tetapi tetap menghargai ND sebagai murid dan ND menghargai PT sebagai guru

- SR menegaskan

posisinya sebagai orang tua dan ND sebagai anak, tetapi dengan tidak membentak ND jika melakukan kesalahan, hal ini dilakukan agar ND tidak menjadi takut kepada SR

Sumber : Hasil Wawancara

4.4 Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dipaparkan diatas maka dapat dilakukan pembahasan sebagai berikut:

Anak-anak penderita autisme merupakan bagian dari anak berkebutuhan khusus dengan gangguan di bidang komunikasi dan sosialisasi terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam kasus anak penderita autisme, melakukan komunikasi dengan orang yang ada disekitarnya merupakan hal yang tidak bisa mereka lakukan. Sedangkan komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hampir setiap kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia membutuhkan komunikasi sebagai alat utama maupun alat bantu.

Banyak ahli memberikan defenisi mengenai komunikasi, dan dalam beberapa defenisi, para ahli tersebut menyebutkan bahwa komunikasi tidak hanya bertujuan untuk sekedar menyampaikan informasi tetapi juga untuk mempengaruhi pikiran dan sikap seseorang. Salah satu defenisi komunikasi yang menunjukkan hal tersebut adalah defenisi komunikasi dari Gerald R. Miller yang mengatakan, komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima(Mulyana, 2007 : 69) .

Hal ini juga lah yang menjadi alasan dan dipercaya, bahwa untuk membantu anak penderita autisme agar bisa berkomunikasi secara efektif adalah dengan menggunakan komunikasi juga. Dan salah satu bentuk dari komunikasi yang diyakini dapat membantu anak-anak tersebut untuk bisa berkomunikasi adalah komunikasi antarpribadi.

Komunikasi antarpribadi yang berlangsung secara tatap muka dan umpan balik bias yang bisa diterima secara langsung, dianggap mampu untuk membantu merubah sikap atau perilaku anak penderita autisme ke arah yang lebih baik. Seperti yang dikatakan Effendy dalam buku Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (2003 : 61), dibandingkan dengan bentuk – bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antar pribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan komunikasi antarpribadi yang juga dikemukakan oleh Effendy (2003) yaitu mengubah sikap (to change the attitude), mengubah opini/pendapat/pandangan (to change opinion), mengubah perilaku (to change behaviour), dan mengubah masyarakat (to change the society)

Dalam kasus anak penderita autisme, komunikasi antarpribadi digunakan sebagai alat untuk membantu agar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme secara perlahan-lahan dapat berkomunikasi secara efektif sesuai dengan tujuan dari guru pendamping dan orang tua

anak-anak tersebut. Pengertian komunikasi yang efektif antara anak penderita autisme dengan anak normal tentu berbeda. De Vito (1976) dalam Liliweri (1997 : 13) menyebutkan ada lima ciri-ciri komunikasi antarpribadi yaitu : keterbukaan (openess), empati (emphaty), dukungan (supportive), rasa positif (positiveness), dan kesamaan (equality). Dalam kasus ini, kelima ciri-ciri komunikasi antarpribadi ini digunakan sebagai tahapan-tahapan dalam pembentukan komunikasi efektif pada anak penderita autisme.

Berikut uraian tahapan-tahapan komunikasi antarpribadi pada anak penderita autisme di YAKARI:

Keterbukaan atau openessdalam komunikasi antarpribadi diartikan sebagai kemauan untuk menerima seseorang dalam menjalankan komunikasi antarpribadi. Keterbukaan seseorang dalam berkomunikasi menjadi salah satu pengaruh dalam terbentuknya komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan atau kemauan untuk menerima seseorang merupakan awal dari pembentukan komunikasi efektif, karena dengan membuka diri terhadap orang lain, berarti satu individu menunjukkan kebutuhan atau pun kekurangannya. Dan dalam kasus anak penderita autisme, ketika anak tersebut sudah mau menerima kehadiran orang lain di dekatnya dan menanggapi orang tersebut, meskipun hanya berupa jawaban singkat, maka anak tersebut dapat dikatakan telah menunjukkan keterbukaan.

Dalam kasus ZA, yang merupakan seorang anak penderita autisme murni , membuka diri merupakan langkah awal yang cukup sulit untuk dilakukan. Autisme murni merupakan salah satu karakter autisme, dimana anak tersebut sama sekali tidak menunjukkan minat untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan sekitarnya. MR yang telah terlebih dahulu melakukan observasi sesuai dengan prosedur yang ada untuk melihat bagaimana karakter ZA, lalu mencari cara untuk menstimulasi ZA agar mau merespon kehadiran MR. ZA yang pada awal masuk sekolah selalu menangis dan tidak mau lepas dari ibu-nya, diberi waktu untuk bisa terbiasa dengan lingkungan barunya. Selama ZA berada di kelas dengan ibu-nya, MR terus mencoba untuk membiasakan ZA dengan lingkungan dan kehadiran MR, yaitu dengan cara terus mencoba berkomunikasi dengan ZA. Hal ini ternyata berhasil, ZA perlahan-lahan dengan sendirinya terbiasa dengan lingkungan baru dan terbiasa dengan kehadiran MR. ZA lalu mulai merespon kehadiran MR dengan sesekali melihat kearah ZA. MR juga terus menstimuli agar ZA mau merespon pertanyaannya, dengan terus bertanya dan menginstruksikan ZA agar menjawab sesuai dengan yang diberitahukan MR. Setelah beberapa bulan melakukan hal ini secara terus menerus, ZA akhirnya sudah mulai mau

merespon dan menjawab sapaan atau pertanyaan MR sesuai dengan yang sudah diajarkan, bahkan ZA yang dulu menolak untuk melakukan kontak fisik kini sudah mau memegang tangan dan memeluk. ZA yang kini mau menyentuh tangan dan memeluk MR diyakini juga sebagai bentuk penerimaan ZA kepada MR. Perkembangan ZA tersebut juga dirasakan oleh DW, ibu dari ZA, di rumah. ZA sudah mulai berhenti menangis karena alasan yang tidak jelas, ZA sudah bisa menjawab pertanyaan dan menyuarakan keinginannya meskipun dalam kalimat yang singkat dan sederhana, ZA yang dulu tidak pernah mau merespon dan bermain dengan kakaknya, kini mau bermain meskipun hanya sebentar. ZA yang sekarang tidak pernah lagi menolak untuk disentuh oleh DW juga merupakan tanda bahwa ZA sudah lebih mulai membuka dirinya lagi kepada DW.

Berbeda dengan kasus pada ZA, ND yang merupakan anak dengan kriteria autisme

hyperactive dan speechdelay tidak mengalami banyak kesulitan dalam membuka diri dengan lingkungan dan orang baru. ND hanya memerlukan waktu satu minggu untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Sesuai dengan prosedur yang ada, guru pendamping ND, yaitu PT, melakukan observasi terlebih dahulu untuk melihat karakter ND dan mencari cara untuk membantu ND agar mau membuka diri dan berkomunikasi. ND yang

hyperactive tidak bisa berdiam diri di satu tempat dan melakukan satu kegiatan dalam waktu yang lama, namum ND akan bisa berkonsentrasi pada satu hal dalam waktu yang lebih lama ketika ND merasa tertarik pada satu benda dengan bentuk dan warna yang mencolok. Hal ini dimanfaatkan PT sebagai cara untuk menarik perhatian ND. PT menggunakan mainan dan gambar dengan bentuk dan warna yang menarik, sehingga perhatian ND akan tertuju pada mainan dan gambar tersebut, setelah PT mendapatkan perhatian dari ND, baru lah PT mulai mengajari ND nama atau warna dari gambar dan mainan tersebut. Dengan cara ini perlahan-lahan ND mulai mau membuka diri kepada PT, dengan memberikan perhatiannya kepada apa yang diajarkan oleh PT, lalu mulai mau mengikuti dan menjawab sesuai dengan ajaran PT. ND yang memiliki kemampuan sangat baik dalam belajar dan mengingat diyakini PT sebagai salah satu faktor yang mendukung perkembangan kemampuan berkomunikasi ND sehingga bisa berkembang dengan lebih cepat. Perkembangan ini juga dirasakan oleh SR, ibu dari ND, saat ND berada di rumah. ND yang dulu berperilaku tidak bisa diam atau sangat aktif namun tidak pernah mau melibatkan orang lain dalam kegiatannya, kini sudah mulai mau melibatkan kakaknya dan SR.ND bahkan sudah mau mengungkapkan keinginannya, seperti saat ingin makan atau pun ke kamar mandi, dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Kebutuhan ND untuk makan atau pun ke kamar mandi merupakan salah satu faktor yang mendorong ND

untuk mau berkomunikasi, seperti yang dikatakan oleh Rakhmat (2007 : 32), bahwa ada dua faktor personal yang mempengaruhi manusia untuk berkomunikasi, dan salah satunya adalah faktor biologis, yaitu kebutuhan yang berasal dari dalam diri (biologis) manusia, dan dalam kasus ini, ND melakukan komunikasi karena kebutuhannya untuk makan dan ke kamar mandi.

Empati adalah kesediaan invidu untuk menghayati dan memahami perasaan indivu lain. Ketika sudah dapat berempati, maka individu tersebut dapat menempatkan dirinya dalam suasana perasaan, pikiran , dan keinginan orang lain secara lebih dekat. Apabila dalam proses komunikasi empati tersebut berkembang maka suasa hubungan komunikasi antarpribadi juga akan ikut berkembang, karena akan tumbuh sikap saling menerima, mengerti dan memahami.

Dalam mengajari dan membantu ZA dan ND untuk dapat berkomunikasi secara efektif, kedekatan secara emosional menjadi hal yang penting. Oleh sebab itu, awal dari kedekatan emosional adalah kemampuan untuk menghayati dan memahami perasaan individu lain, dalam kasus ini, sebagai guru pendamping, MR dan PT, harus bisa mengerti bagaimana perasaan dan keadaan dari ZA dan ND. Seperti pada kasus ZA, MR mengatakan bahwa untuk mendekati ZA, MR mencoba untuk menempatkan diri di posisi ZA, dan mencoba untuk masuk ke dunianya, dengan cara ini MR bisa lebih memahami bagaimana perasaan dan keadaan ZA, sehingga ketika MR bisa memahami hal-hal tersebut, MR bisa mengetahui keinginan dan kebutuhan dari ZA. Begitupun dalam kasus ND, PT sebagai guru pendamping, berusaha untuk mengerti keadaan ND, dalam hal ini PT berusaha menyesuaikan cara belajar sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dari ND, yaitu suasana belajar yang santai dan menggunakan gambar atau mainan yang menarik perhatian ND. Bahkan, ND sudah bisa menunjukkan respon balik, atau sudah bisa menunjukkan bahwa ND mengetahui ketika PT merasa sedih. Hal ini dikarenakan, ketika ND menangis, PT menunjukkan bahwa ia mengerti perasaan ND yang sedang sedih dan menunjukkannya dengan menepuk-nepuk pundak ND dan membujuk ND agar tidak menangis atau bersedih lagi. ND yang perlahan-lahan mulai mengerti, lalu menunjukkan hal yang sama, ketika PT berpura-pura menangis saat ND melakukan hal yang tidak baik atau tidak sesuai dengan yang diajarkan, ND akan mendekati PT dan menepuk-nepuk pundaknya dan mengatkan ‘jangan sedih’ , sebagai tanda bahwa ia mengetahui bahwa PT sedang bersedih karena hal yang ND lakukan.

Berbeda dengan guru pendamping, DW dan SR, sebagai orang tua dari ZA dan ND, merasa lebih sulit dalam mengerti dan memahami keadaan anak-anak mereka, karena mereka tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas mengenai anak penderita autisme. Dalam hal ini lah, disukusi antara guru pendamping dan orang tua sangat dibuthkan. Setelah banyak berdiskusi dengan guru pendamping dari ZA dan ND, kini DW dan SR bisa lebih mengerti dan memahami keadaan anak mereka. Perkembangan ZA dan ND dalam berkomunikasi, seperti menyuarakan kebutuhan dasar mereka, menjadi bantuan bagi DW dan SR untuk lebih bisa memahami keinginan dan kebutuhan anak-anak mereka. Dalam kasus ND, hal yang ND pelajari dari PT ketika melihat orang menangis atau mengatakan bahwa mereka sedih, juga ia terapkan di rumah kepada SR dan anggota keluarga ND yang lain.

Dalam komunikasi antarpribadi sikap supportive atau mendukung sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang memotivasi agar tercipta komunikasi antarpribadi yang efektif. Dalam hal ini komunikator berperan dalam menciptakan suasana yang memotivasi tersebut, hal ini bertujuan untuk memberikan komunikan dorongan atau semangat agar turut berpartisipasi dalam proses komunikasi antarpribadi. Ketika hal ini berhasil maka komunikasi antarpribadi dapat berjalan secara efektif, karena dengan adanya sikap supportive akan tercipta suasana yang memotivasi komunikator dan komunikan untuk ikut dalam proses komunikasi tersebut.

Seperti anak normal, anak dengan gangguan spektrum autisme juga merespon baik terhadap pujian-pujian. Dalam kasus ZA dan ND, pujian digunakan sebagai hadiah ketika mereka bisa menjawab pertanyaan dengan baik atau benar. Pujian seperti “anak baik” atau “anak pintar”, lalu guru mengacungkan jempol, digunakan sebagai bentuk untuk menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan itu baik, dan setiap mereka melakukan hal yang baik mereka akan mendapatkan hadiah tersebut. Pujian tersebut menjadi motivasi bagi anak-anak tersebut untuk selalu menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seperti pada kasus ZA, ketia dia melakukan hal yang baik atau menjawab pertanyaan dengan benar, maka ZA akan mendapatkan pujian sebagai hadiahnya, dan ZA merespon sangat baik terhadap pujian, ZA akan tersenyum ketika dipuji. ND juga akan mendapatkan hadiah berupa pujian ketika bisa menjawab pertanyaan dengan baik, atau guru pendamping akan menunjukkan gambar atau pun mainan, dan ketika ND bisa menyebutkan gambar dan mainan tersebut sesuai dengan apa yang telah diajarkan, maka ND akan mendapatkan gambar atau pun mainan tersebut. Hal-hal tersebut lah yang dijadikan sebagai alat motivasi, agar anak-anak

tersebut bisa berkembang kemampuan komunikasinya. Dan, hal tersebut juga diterapkan oleh DW dan SR, saat mengajari ZA dan ND dirumah. Pujian dan hadiah merupakan motivasi yang bisa dirasakan langsung oleh anak penderita autisme. Harapan untuk mendapat pujian dan hadiah merupakan dorongan bagi ZA dan ND untuk melakukan komunikasi.

Memiliki perasaan positif merupakan awal dari komunikasi yang baik. Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya terlebih dahulu sehingga tercipta situasi komunikasi yang positif pula. Dengan situasi komunikasi yang positif , maka komunikan akan terdorong untuk lebih aktif berpartisipasi dalam proses komunikasi tersebut. Rasa positif dapat ditunjukkan dan diciptakan dengan beberapa cara yaitu : percaya dengan kemampuan diri sendiri, mampu memberi dan menerima pujian tanpa berpura-pura, peka terhadap kebutuhan dan kepentingan orang lain, dan mampu menerima kesalahan. Rasa positif dapat dimulai dari diri sendiri, ketika kita memandang dan merasakan diri kita postif maka akan lahir pola perilaku yang postif.

Ketika komunikator dan komunikan bisa saling menunjukkan sikap positif maka akan tercipta suasana komunikasi yang menyenangkan dan efektif.

Untuk membantu anak-anak penderita autisme agar bisa berkomunikasi secara efektif, guru pendamping dan orang tua dari anak tersebut harus terlebih dahulu meyakini kemampuan mereka dalam menangani anak-anak tersebut. Seperti dalam kasus ZA, guru dan orang tua dari ZA, sempat merasa pesimis dan tidak yakin bahwa mereka bisa membantu ZA untuk bisa berkomunikasi, karena perkembangan ZA yang terbilang lambat. Akan tetapi, akhirnya MR dan DW menyadari, bahwa ketika mereka sendiri tidak percaya akan kemampuan mereka untuk membantu ZA, maka usaha yang mereka lakukan akan menjadi tidak maksimal. Setelah meyakinkan kemampuan diri mereka dan melihat sedikit perkembangan dari ZA, MR dan DW kembali merasa yakin dan optimis bahwa mereka bisa membantu ZA untuk berkomunikasi. Pada kasus ND, rasa optimis dan yakin bahwa ND bisa sembuh di rasakan oleh PT ketika melihat kemampuan ND yang sangat baik dalam menangkap dan mengingat pelajaran. Kemampuan tersebut menciptakan rasa positif bagi PT, bahwa dengan kemampuan ND dan kemampuan dirinya sendiri, makan PT bisa membantu ND untuk bisa berkomunikasi. Begitupun dengan yang dirasakan oleh SR, SR yakin dengan waktu yang banyak ia miliki, karena bekerja sebagai ibu rumah tangga, SR yakin bahwa ia akan lebih bisa memberikan perhatian dalam membantu ND untuk bisa berkomunikasi dengan efektif. Rasa optimis dan yakin dari guru dan orang tua anak penderita autisme bahwa

anak-anak tersebut akan bisa berkomunikasi dengan baik, akan membentuk suasana yang positif, sehingga anak-anak tersebut nantinya akan bisa berkomunikasi dengan efektif.

Kesamaan merupakan perasaan bahwa kita sama dengan orang lain, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah meskipun terdapat beberapa perbedaan, baik dalam hal kemampuan, latar belakang ataupun sifat. Kesamaan ini dapat dicapai ketika keduabelah pihak mampu menghargai satu sama lain. Ketika kita bisa saling menghargai, maka tidak akan ada yang merasa dirinya lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain, sehingga saat proses komunikasi berlangsung tidak ada pihak yang merasa dikecilkan atau tidak dihargai. Hal ini dapat membantu proses komunikasi berjalan dengan efektif karena komunikator dan komunikan bisa saling menghargai dan merasa nyaman.

Selain mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, anak penderita autisme juga mengalami kesulitan dalm mengklasifikasikan umur seseorang. Anak dengan gangguan spektrum autisme, tidak bisa membedakan apakah orang tersebut lebih tua atau pun lebih muda. Dalam hal ini, guru dan orang tua menerapkan hal yang sama pada ZA dan ND. Sejak awal masuk sekolah, MR dan PT akan menegaskan bahwa mereka adalah orang yang lebih tua dari ZA dan ND, dan mereka akan belajar dan mendengarkan apa yang MR dan PT ajarkan. Hal serupa juga diterapkan oleh orang tua dari ZA dan ND, setelah berdiskusi dengan MR dan PT, DW dan SR belajar untuk menegaskan bahwa mereka adalah orang tua, dan harus dihargai. Dalam menegaskan dan mengajarkan hal tersebut kepada ZA dan ND, guru dan orang tua dari anak penderita autisme tidak boleh menggunakan kekerasan atau membentak anak tersebut. MR dan PT mengatakan bahwa, membentak dan menggunakan kekerasan malah akan membuat anak-anak tersebut takut. Cara yang mereka gunakan adalah, dengan tetap menggunakan kata-kata yang sederhana tetapi dengan mengubah sedikit intonasi suaranya, hal ini dilakukan agar anak tersebut bisa membedakan dan mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan tidak baik. Seperti saat anak-anak tersebut melawan, maka guru dan orang tua menggunakan kata, “kalau kamu begitu,kamu anak nakal” , dengan intonasi yang sedikit keras, tetapi tidak membentak. Hal ini dilakukan agar anak tersebut bisa mengetahui bahwa mereka salah dan tidak boleh melawan orang yang lebih tua, tetapi orang tua juga tetap menghargai anak-anak tersebut.

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diungkapkan oleh peneliti berdasarkan temuandata penelitian dan pembahasan tentang komunikasi antarpribadi pada anak penderita autisme di sekolah terapi YAKARI JL. Sei Batu Rata No. 14 Medan adalah sebagai berikut:

1. Terdapat lima tahap komunikasi antarpribadi untuk mencapai komunikasi yang efektif pada anak penderita autisme. Kelima tahap tersebut adalah : keterbukaan (openess), empati (emphaty), dukungan (supportive), rasa positif (positiveness), dan kesamaan (equality). Ketika semua tahapan tersebut terpenuhi, maka tercapailah komunikasi yang efektif pada anak penderita autisme.

2. Temuan menunjukkan bahwa komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh guru pendamping dan orang tua pada anak penderita autisme di sekolah khusus autisme YAKARI berperan besar dalam membantu anak-anak tersebut mencapai komunikasi yang efektif. Komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh guru pendamping dan orang tua pada anak penderita autisme, membantu anak tersebut untuk dapat berkomunikasi secara efektif melalui tahapan-tahapan yang ada.

5.2 Saran

Adapun beberapa saran yang diajukan, yaitu sebagai berikut:

1. Peneliti merasa penelitian yang dilakukan kurang mendalam. Hal ini disebabkan oleh kesibukan dari orang tua anak penderita autisme, sehingga peneliti sulit untuk bertemu dan mendapatkan informasi yang lebih banyak dan mendalam lagi

2. Peneliti juga merasakan waktu untuk melakukan observasi di lapangan kurang. Hal ini