• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung

BAB II KOMUNIKASI POLITIK

K. Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung

1. Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pada masa orde baru, dogma ketidakmungkinan pemilihan presiden secara langsung di republik ini nyaris menjadi konsep diri rakyat Indonesia. Pemikiran rakyat Indonesia sudah terakulturasi dengan alasan-alasan yang diberikan sejak di bangku sekolah dasar bahwa di Indonesia tidak mungkin dilakukan pemilihan presiden secara langsung. Alasan-alasan waktu itu seolah realistis, yakni berkaitan dengan wilayah Indonesia yang teramat luas dan terdiri dari beribu pulau, penduduk yang sangat banyak, biaya yang diperlukan sangat besar, dan berbagai alasan lainnya yang dipaksakan atau tidak, membuat masyarakat Indonesia maklum dan nrimo. Namun,

sunnatullah bahwa tidak ada yang mutlak di dunia ini. Terbukti, pada 20 September 2004, Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden pertama(Hikmat:2011:163).

Penyelenggaraan Pemilu presiden dan wakil presiden 2004 secara langsung telah mengilhami dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah secara langsung pula. Hal ini didukung pula dengan semangat otonomi daerah yang telah digulirkan pada tahun 1999. Pelaksanaan Pilkada secara langsung ini juga merupakan sebagai bentuk penerapan sistem Presidensialisme pada tingkat daerah. Oleh karena itu, sejak tahun 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara langsung, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Penyelenggaraan ini diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil". Pasangan calon yang akan

berkompetisi dalam Pilkada adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Pilkada masuk dalam rezim Pemilu setelah disahkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sehingga sampai saat ini Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah lebih dikenal dengan istilah Pemilukada. Pada tahun 2008, tepatnya setelah diberlakukannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasangan Calon yang dapat turut serta dalam Pemilukada tidak hanya pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tetapi juga dari perseorangan.

a. Landasan Hukum Pelaksanaan Pemilukada

1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2) PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

3) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

b. Penyelenggara Pemilukada

Pemilu gubernur dan wakil gubernur diselenggarakan oleh KPU provinsi, sedangkan Pemilu bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota oleh KPU kabupaten/kota.

c. Peserta Pemilukada

Peserta Pemilukada adalah pasangan calon dari: 1) Partai politik atau gabungan partai politik yang

memperoleh kursi paling rendah 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD di daerah bersangkutan atau memperoleh suara sah paling rendah 15% (lima belas

persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD di daerah bersangkutan.

2) Perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang telah memenuhi persyaratan secara berpasangan sebagai satu kesatuan, dengan syarat dukungan sebagai berikut:

Tabel 2. Persyaratan Minimal bagi Calon Pasangan dari Jalur Independen Jumlah dukungan sekurang- kurangnya Jumlah Penduduk Provinsi Kabupaten/Kota 6,5% sampai dengan 2 juta jiwa sampai dengan 250 ribu jiwa

5% lebih dari 2 juta - 6 juta jiwa

lebih dari 250 ribu - 500 ribu jiwa 4% lebih dari 6 juta -12

juta jiwa

lebih dari 500 ribu - 1 juta jiwa

3% lebih dari 12 juta jiwa

lebih dari 1 juta jiwa

Jumlah dukungan di atas harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan (Pemilu gubernur dan wakil gubernur). Sedangkan untuk pemilu bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota, jumlah dukungan harus tersebar di lebih dari 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan (Labolo dan Ilham:2015:174-176).

2. Pesta Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat

Besaran anggaran Pemilu 2009 yang diperkirakan mencapai Rp 47,9 triliun, layak mendapat apresiasi yang serius karena besar relevansinya dengan cita-cita luhur diselenggarakannya Pemilu di Indonesia ini.

Dalam jangka pendek, pemilihan pemimpin di negara dan daerah manapun dipastikan memiliki target terpilihnya pemimpin yang mumpuni dan sesuai dengan kehendak rakyat. Hal itu sangat sejalan dengan tujuan penyelenggaraan pemilihan pemimpin politik di Indonesia, baik dalam bentuk pemilihan

anggota legislatif, DPD, maupun presiden-wakil presiden, serta kepala daerah-wakil kepala daerah. Semuanya bermuara kepada terpilihnya pemimpin yang berkualitas.

Pemimpin politik yang berkualitas, menurut Jurgen Habermas, pemikir mazhab Frankfurt, sebaiknya memenuhi kualifikasi quantity of participation dan quality of discourse. Idealnya, pemimpin politik terpilih adalah pemimpin yang memenuhi kualifikasi “jumlah kepala” sekaligus “isi kepala”, yakni kepala daerah yang didukung oleh jumlah pemilih mayoritas (konstituensi), sekaligus memiliki visi, konsepsi dan skill mengurus negara atau daerah serta masyarakat (kompetensi). “Jumlah kepala” penting karena memberikan legitimasi guna menjustifikasi kebijakan yang dijalankannya. Sementara itu, “isi kepala” adalah visi dasar yang menuntun dan menentukan arah (direction) pembangunan. Pemimpin politik harus bertindak sebagai manajer negara. Ia tidak cukup hanya karismatik, tetapi harus memiliki kompetensi yang memadai. Menurut R. Wayne Pace (2000), pemimpin yang baik harus dapat membantu menegakkan, mempertahankan dan meningkatkan motivasi para anggotanya. Pemimpin adalah orang yang membantu orang lain untuk memperoleh hasil-hasil yang diinginkan. Ia bertindak dengan cara-cara yang dapat melancarkan produktivitas, moral tinggi, respons yang energik, kecakapan kerja yang berkualitas, komitmen, efisiensi, sedikit kelemahan, kepuasan, kehadiran dan kesinambungan dalam organisasi.

Pemilihan pemimpin politik secara demokratis di Indonesia ini pun jangan sampai membuktikan skeptisnya filsuf legendaris zaman Yunani, Socrates. Menurutnya, demokrasi justru membuka peluang bagi manusia bebal, dungu dan tolol yang kebetulan didukung konstituen mayoritas, menjadi pemimpin negara. Socrates paham benar bahwa rakyat tidak selalu mendukung sosok yang dinilai paling mampu dan cerdas, tetapi lebih sering sosok yang paling disukai. Tragisnya, sosok- sosok demikian kerap tidak memiliki kompetensi memperjuangkan nasib rakyat.

Dalam jangka panjang, pemilihan pemimpin politik harus menghasilkan output yang sesuai dengan harapan tertinggi seluruh rakyat, yakni tercapainya kesejahteraan. Pemilu, Pilpres,

dan Pilkada langsung diharapkan menghasilkan feedback berupa perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat.

Apalagi pelaksanaan pemilihan pimpinan politik di Indonesia ini tidak hanya harus mengorbankan tenaga dan waktu, tetapi juga hak kesejahteraan rakyat. Dana triliunan rupiah yang dikeluarkan dari APBN dan APBD sejatinya adalah dana rakyat. Jika dana tersebut digunakan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan, jutaan rakyat miskin di Indonesia akan terselamatkan. Apalagi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah dana Pemilu 2009 tersebut melampaui jumlah anggaran untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.

Jika menggunakan teori “tukang pancing”, dana Pemilu triliunan rupiah dapat dianalogikan sebagai umpannya, tentu dengan harapan akan mendapatkan “ikan” yang lebih besar. Ketika dana triliunan rupiah itu dikeluarkan untuk membiayai Pemilu, tentu diharapkan hasil Pemilu itu dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi jumlah rakyat miskin.Namun realitasnya, hal itu masih menjadi tanda tanya besar. Berdasarkan pengalaman, Pemilu tahun 2004 saja yang juga menghabiskan dana tidak sedikit, diragukan relevansinya dengan menurunnya angka kemiskinan di Indonesia kendati Presiden SBY mengungkapkan bahwa tingkat kemiskinan menurun dari 23,4% pada tahun 1999 menjadi 16% pada tahun 2005. Namun, Biro Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah penduduk miskin di Indonesia dari Februari 2005 sampai Maret 2006 bertambah 3,95 juta jiwa menjadi 39,05 juta jiwa (MI, 2 September 2006). Bahkan, selama periode Februari 2005-Maret 2006, terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin. Februari 2005, sekitar 56,51% penduduk miskin, tetap tergolong miskin pada Maret 2006. BPS pun mencatat, pada Februari 2005, sekitar 30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006.

Jika “umpan” triliunan rupiah yang digunakan anggaran Pemilu tidak menghasilkan “ikan” yang lebih besar, bahkan malah menjadi santapan “hiu-hiu” (oknum tidak bertanggungjawab, seperti koruptor), apalah artinya Pemilu bagi rakyat Indonesia. Apalagi dalam konteks Indonesia kekinian, dalam kurun waktu lima tahun, rakyat harus melakukan

pemilihan pemimpinnya sebanyak lima kali, yakni pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, presiden, anggota legislatif dan anggota DPD. Tentu, kelima pesta demokrasi tersebut menelan biaya yang tidak sedikit. Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat saja yang digelar tahun 2008 diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar Rp 400 miliar; sama dengan gabungan APBD 10 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Beranjak dari realitas tersebut, bukan hal yang tidak mungkin seluruh elemen di republik ini dapat me-review kelima pesta demokrasi tersebut sehingga lebih realistis. Kita harus memikirkan kembali mana pesta demokrasi yang harus diselenggarakan secara langsung melibatkan seluruh rakyat dan yang cukup melibatkan wakil rakyat, bahkan yang mana pula yang cukup hanya melalui kesertaan kebijakan pemerintah (pusat). Apalagi dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945 disebutkan bahwa dalam membentuk suatu pemerintahan Indonesia hendaknya berdasarkan “permusyawaratan/ perwakilan”. Jadi, bukan sistem pemilihan langsung.

Kehidupan demokrasi dalam suatu negara tidak selamanya harus diwujudkan dengan serba langsung melibatkan seluruh rakyat. Sistem permusyawaratan dan perwakilan pun adalah bagian dari demokrasi. Apalagi demokrasi langsung pun realitasnya tidak memberikan jaminan tercapainya partisipasi seluruh rakyat. Fakta di lapangan membuktikan, baik dalam Pemilu legislatif dan DPD, pilpres, maupun Pilkada, angka partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi tersebut rata-rata hanya 60-70 %. Bahkan, ke depan bukan hal yang tidak mungkin angka tersebut akan merosot karena seringnya pemilihan mengakibatkan kejenuhan. Hal tersebut akan semakin diperparah dengan realitas bahwa pesta demokrasi itu tidak memberikan jaminan terjadinya perubahan struktur dan kultur bagi perbaikan kesejahteraan rakyat(Hikmat:2011:169-171).

3. Calon Perseorangan

Selama ini semua calon peserta Pilkada adalah dari partai. Tapi, dengan terbitnya putusan MK yang meloloskan calon independen dapat mencalonkan diri dalam Pilkada langsung dan dikuatkan dengan lahirnya UU No. 12/ 2008 maka calon peroranganpun disahkan.

Dalam UU No. 12/ 2008 tersurat diperbolehkannya calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Secara tersurat dalam pasal 56 ayat (2) disebutkan, “Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan UU ini.” Hal ini dijelaskan pula pada pasal 59 ayat (1),“Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. Pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik dan b. Pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.”

Masih pada pasal 59 ayat (2a)-nya disebutkan,“Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 3% (tiga persen).”

Pada ayat (2b)-nya disebutkan,“Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang- kurangnya 5% (lima persen); c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan

1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).”

Lahirnya ketentuan memperbolehkan calon perseorangan mendaftarkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan persyaratan pokok harus mendapatkan dukungan langsung dari rakyat, melahirkan fenomena komunikasi politik baru. Ketika peraturan perundangan hanya membolehkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dari parpol atau gabungan parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD dan 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, potensi komunikasi politik sangat rendah. Kemungkinan terjadinya komunikasi politik hanya di antara parpol yang tidak memiliki kursi atau akumulasi hasil Pemilu DPRD di bawah 15%. Hal itu secara kasat mata terjadi dalam Pilkada di semua daerah.

Calon yang paling banyak tetap dari partai tertentu atau dari koalisi beberapa partai. Komunikasi politik dalam sebuah koalisi antarparpol yang mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sangat kental. Lobi-lobi politik di antara pemimpin parpol ataupun di antara calonnya sendiri sangat transparan. Bahkan, tawar-menawar politik, terutama berkaitan dengan posisi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sering terjadi juga di antara mereka. Biasanya, dalam beberapa kasus, partai yang merasa lebih besar persentase jumlah kursinya di DPRD akan berusaha mengajukan calon untuk menjadi kepala daerah, sedangkan yang lebih kecil jumlah suaranya harus rela diposisi wakil kepala daerah(Hikmat:2011:178-183).

4. Peran Media Massa dalam Pilkada

Ada tiga fungsi utama media massa yang melekat dalam pekerjaan mereka, yaitu memberikan informasi, memberikan pendidikan, dan menghibur masyarakat. Melalui informasi, media dapat membantu khalayaknya untuk membentuk pendapat tentang berbagai persoalan. Dengan menggunakan media massa, masyarakat dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan belajar tentang perkembangan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Begitu pula dalam hal hiburan, banyak masyarakat

memanfaatkan waktu luangnya untuk menggunakan media agar memperoleh hiburan yang menyenangkan. Dalam hal ini hiburan yang berbobot tinggi pada saat yang sama mempunyai sifat informatif dan mendidik.

Idealnya, media harus menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat agar mereka dapat membentuk pendapat dan membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk persoalan politik.

Fungsi mendidik melalui informasi inilah merupakan tugas utama media dalam sistem sosial di mana institusi itu berada. Semakin mampu media massa ini memperkuat dan mendukung khalayaknya sebagai warga negara yang berperan di dalam proses demokrasi (promoting active citizen), maka semakin baik media itu. Karena itu, kalangan jurnalis banyak yang tidak ragu-ragu merasa, secara ideal profesi mereka yaitu memberikan informasi agar warga negara mampu memainkan peran demokratiknya secara signifikan.

Dalam pelaksanaan Pilkada beberapa tahun terakhir ini, media massa di Indonesia juga diharapkan memiliki peran cukup besar terhadap political empowerment terhadap warga negara di berbagai daerah. Pers diharapkan bukan hanya menyukseskan dengan menyebarkan electorate information tentang bagaimana cara memberikan suara dalam Pilkada, tetapi juga dituntut melalui pemberitaannya melakukan voters education (pendidikan pada pemilih), mendidik masyarakat tentang relevansi Pilkada pada kepentingan masyarakat, serta mendiskusikan apa dan bagaimana pentingnya Pilkada langsung bagi masyarakat. Dengan demikian, media massa juga mengajak publik untuk bersama-sama melakukan watching to the political process dalam Pilkada tersebut(Subiakto dan Ida:2014:196-197).

5. Panwaslu

Dalam sistem Pilkada langsung, Panwaslu dapat dikategorikan sebagai aktor komunikasi politik sehingga komunikasi politik merupakan bagian dari kinerjanya. Aktor komunikasi politik adalah semua pihak yang terlibat atau mengambil peran dalam proses penerimaan pesan dan penyampaian pesan. Aktor komunikasi politik dapat perorangan

atau individu, kelompok, organisasi, lembaga, ataupun pemerintah (Pawito:2009:6).

Komunikator politik ada dua bagian, yakni komunikator yang menangani masalah nasional (governmental opinion maker) dan komunikator yang menangani masalah khusus (single issue opinion maker). Single issue opinion maker dapat diistilahkan komunikator pelaksana, yaitu para pejabat yang berada di daerah, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat distrik (Nimmo:1993:123).

Panwas Pilkada langsung dapat memiliki dua posisi, baik komunikator utama maupun komunikator pelaksana. Panwas Pilkada langsung dapat menjadi governmental opinion maker

karena mengelola manajerial pengawasan secara mandiri dan independen serta membawahi panwas lainnya secara berjenjang. Namun, pada sisilain, karena dibentuk oleh DPRD (2005-2008), panwas Pilkada langsung pun dapat menjadi single issue opinion maker. Panwas Pilkada langsung memegang amanah dari DPRD untuk melaksanakan pengawasan Pilkada langsung.

Apa pun kedudukannya, dalam konteks komunikasi politik, panwas Pilkada langsung memiliki posisi yang sangat strategis. Komunikasi politik yang dilakukan oleh panwas Pilkada langsung merupakan bukti eksistensi lembaga tersebut dalam sistem politik yang berkembang di Indonesia (Hikmat:2011:200-201).

McQuail mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan semua proses penyampaian, pertukaran, dan pencarian informasi, termasuk fakta, pendapat-pendapat, keyakinan-keyakinan dan seterusnya, yang dilakukan oleh para partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat melembaga (McQuail:1994:427).

Sebagai lembaga politik, panwas Pilkada langsung ikut menentukan berkembangnya sistem politik Pilkada. Upaya panwas dalam mengembangkan alih-alih melaksanakan sistem politik Pilkada langsung merupakan komunikasi politik yang dilakukan oleh lembaga politik. Meadow menegaskan bahwa komunikasi politik merupakan segala bentuk pertukaran simbol atau pesan yang dilakukan oleh suatu lembaga dapat mempengaruhi sistem politik yang berkembang di suatu Negara (Meadow:1980:4).

Sebagai aktor komunikasi politik, panwas Pilkada langsung diberikan peran yang diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dan PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ketiga peraturan perundangan inilah yang menjadi landasan hukum yang tersurat tentang panwas Pilkada langsung, termasuk di dalamnya tugas, wewenang, dan kewajibannya.

Walaupun dalam takaran konstitusional, sejumlah pakar hukum berkeyakinan bahwa eksistensi panwas Pilkada pun secara tersurat tercantum dalam UUD 1945 pasal 22E ayat (5), “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Penyebutan komisi pemilihan umum (KPU) dengan huruf kecil, tidak hanya menunjukkan KPU sebagai lembaga yang mengelola Pemilu seperti yang ada sekarang dan beranak pinak di daerah menjadi KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, tetapi menunjukkan penyelenggara Pemilu yang namanya boleh apa saja. Bahkan, KPU yang dalam UUD 1945 ini telah melahirkan bayi kembar siam: KPU dan Panwaslu (Hikmat:2011:201).

6. Konflik Pilkada Langsung

Kendati sudah puluhan kali Pilkada langsung dilaksanakan di beberapa daerah (sejak 2005), konflik horizontal dan vertikal, baik menjelang, saat pelaksanaan, maupun setelah pelaksanaan, masih saja terjadi. Salah satu pemicu terjadinya konflik dalam Pilkada langsung adalah masih adanya pasal-pasal dalam ketentuan perundang-undangan Pilkada langsung yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat.

Oleh karena itu, salah satu yang paling pokok yang muncul sebagai desakan rakyat terhadap pemerintah guna memperbaiki pelaksanaan Pilkada langsung ke depan adalah merevisi peraturan perundangan yang mengatur mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung.

Dalam konteks real, secara struktural perundangan yang mengatur Pilkada langsung berada pada Bab VI pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil revisi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing sebagai kepala daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota

dipilih secara demokratis.” Penerjemahan dari UUD 1945 tersebut lebih perinci diatur dalam UU No. 32/2004, PP No. 6/2005 dan yang terakhir UU No. 22/2007 serta UU No. 12/2008 yang merupakan revisi dari UU No. 32/2004.

Menyimak hasil penelitian pelaksanaan Pilkada langsung yang pernah dilakukan tahun 2005, titik tekan partisipasi rakyat yang berkaitan dengan revisi perundangan Pilkada langsung lebih fokus pada kebijakan-kebijakan teknis. Setidaknya, terdapat beberapa catatan yang menurut aspirasi masyarakat perlu direvisi dalam ketentuan mekanisme pelaksanaan Pilkada langsung, di antaranya:

a. PP No. 6/2005 tidak menyuratkan pengesahan hasil pemilihan harus mempertimbangkan persentase jumlah pendaftar pemilih terhadap penduduk usia hak memilih (17 tahun atau menikah) atau jumlah pemilih terhadap pendaftar. Yang ada hanya persentase jumlah suara yang memilih dari seluruh jumlah pemilih. Seperti yang tersurat dalam pasal 95 bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (ayat 1) atau pasangan yang memperoleh 30% suara dan memiliki suara terbesar (ayat 2) dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

b. PP No. 6/2005 lemah dalam mengakui eksistensi warga nonpartai dalam Pilkada langsung sehingga mendorong makin berkembangnya pemilih golput. Tatkala UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005 masih menjadi bahasan legislatif, sejak awal aspirasi rakyat yang menghendaki munculnya calon independen (jalur nonpartai politik) deras ke permukaan. Kini, MK telah membuka lebar bagi calon nonpartai untuk mencalonkan diri dalam Pilkada langsung dengan ditindaklanjuti lahirnya UUNo. 12/2008.

c. Pemilih golput di beberapa daerah masih cukup besar. Banyaknya calon yang harus dipilih tidak menjadi jaminan kecilnya jumlah pemilih yang golput. Besarnya jumlah pemilih yang golput ditambah jumlah pemilih yang tidak memilih karena kelalaian dalam pendataan, mendorong makin membengkaknya jumlah pemilih yang tidak menunaikan hak pilihnya. Hal ini pula yang merupakan ancaman legitimasi rakyat terhadap kepala daerah yang terpilih dalam Pilkadalangsung.

Perbaikan ketentuan yang mengatur mekanisme