• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi Komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi Komunikasi"

Copied!
329
0
0

Teks penuh

(1)

KEPERCAYAAN

DALAM KOMUNIKASI POLITIK:

TINJAUAN PSIKOLOGI

KOMUNIKASI

Dr. ISKANDAR ZULKARNAIN, M.Si.

DITERBITKAN OLEH USUPRESS BEKERJASAMA DENGAN

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

USU Press

Art Design, Publishing & Printing

Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU Jl. Universitas No. 9 Medan 20155, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

usupress.usu.ac.id

© USU Press 2016

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 979 458 897 0

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Zulkarnain, Iskandar

Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi Komunikasi / Iskandar Zulkarnain -- Medan: USU Press 2016.

v, 321 p.; ilus.: 24 cm

Bibliografi

ISBN: 979-458-897-0

1. Komunikasi - Politik I. Judul II. Zulkarnain, Iskandar

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan berkah, nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan buku ini. Shalawat berangkaikan salam mari kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Buku ini terinspirasi dari satu point materi dalam mata kuliah Psikologi Komunikasi yang saya asuh, yakni Trust (Kepercayaan) dalam proses komunikasi. Secara filsafat, kepercayaan dalam proses komunikasi memegang peran yang sangat penting, khususnya bila diterapkan dalam proses komunikasi politik. Kepercayaan akan menentukan, berhasil atau gagalnya sebuah proses komunikasi politik. Berangkat dari inspirasi itu, buku ini diberi judul: Kepercayaan dalam Komunikasi Politik: Tinjauan Psikologi Komunikasi. Untuk melengkapi isi buku ini, saya tambahkan resume makalah-makalah “trust” yang juga merupakan tugas dalam mata kuliah Filsafat dan Etika komunikasi yang juga saya asuh pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan Pascasarjana UINSU Medan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa, khususnya Sdr. Badrul Helmi, Lc., M.Kom. yang banyak membantu saya dalam mewujudkan terbitnya buku ini.

Akhirnya penulis berharap buku ini bisa membawa manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, 13 Juli 2016 Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II KOMUNIKASI POLITIK ... 4

A.Pengertian Komunikasi ... 4

B. Pengertian Politik ... 7

C. Pengertian Komunikasi Politik ... 10

D.Sejarah Ilmu Komunikasi Politik ... 14

E. Unsur-unsur Komunikasi Politik ... 19

F. Tujuan Komunikasi Politik ... 26

G.Teori-teori dalam Komunikasi Politik ... 27

H.Komunikasi Politik dalam Sistem Politik ... 33

I. Komunikasi Politik di Indonesia ... 37

J. Pemilihan Umum ... 41

K.Komunikasi Politik dalam Pilkada Langsung ... 44

L. Dinamisasi Komunikasi Politik ... 67

BAB III PSIKOLOGI KOMUNIKASI ... 76

A.Pengertian Psikologi dan Sejarahnya ... 76

B. Perkembangan Manusia ... 83

C. Pengertian Komunikasi menurut Psikologi ... 86

D.Pengertian Psikologi Komunikasi ... 89

E. Karakteristik Komunikator ... 91

F. Komunikasi Efektif ... 93

G.Karakteristik Manusia Komunikan ... 100

H.Sistem Komunikasi Intrapersonal ... 128

BAB IV KEPERCAYAAN DALAM KOMUNIKASI POLITIK: TINJAUAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI ... 139

A.Kepercayaan dalam Psikologi Komunikasi ... 139

B. Kepercayaan dalam Komunikasi Politik ... 151

(7)

BAB V PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA MEDAN ... 189

A.Sekilas Pilkada Serentak ... 189

B. Proses Pemilihan Wali Kota Medan ... 197

C. Konflik dalam Pemilihan Wali Kota Medan ... 231

D.Evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Kota Medan: Pendekatan Psikologi Komunikasi Mengenai Krisis Kepercayaan Rakyat Terhadap Kepala Daerah ... 238

BAB VI PENUTUP ... 279

(8)
(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Komunikasi politik sangat erat kaitannya dengan psikologi komunikasi, di mana di antara kajian psikologi komunikasi adalah persepsi yang merupakan inti komunikasi, termasuk komunikasi politik. Dari persepsi, dibangunlah kepercayaan publik yang merupakan tujuan utama komunikasi politik.

Pada tanggal 10 November 2010, mata pemerintah, masyarakat Indonesia, bahkan dunia internasional tertuju ke Indonesia. Indonesia menerima kehormatan sebagai salah satu negara yang menjadi tujuan kunjungan politik Presiden AS Barack Obama. Seluruh perhatian tertuju pada kunjungan Presidan AS itu. Media massa seakan dibombardir dengan pidato kepresidenan Barack Obama yang terus diputar. Sebagai pemimpin negara adikuasa, wajar jika kunjungan Presiden Barack Obama memberi pengaruh secara luas.

Banyak hal yang terjadi selama 18 jam kunjungan Presiden Obama. Pemberitaan di media elektronik hingga media cetak dihiasi pernyataan-pernyataan Obama sebagai presiden. Banyak rencana-rencana yang dirumuskan untuk hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Secara jelas Presidan AS tersebut langsung menyatakan bahwa ingin menjadi negara nomor satu untuk Indonesia dalam hal kerjasama.

(10)

Jika disimak dengan seksama dengan kajian ilmu komunikasi, secara psikologis terjadi perubahan pola pikir, sikap, hingga perilaku. Kunjungan kepresidenan Barack Obama mengantarkan kepada pembentukan pola pikir baru, sikap, perilaku mengenai pribadinya hingga kedudukannya sebagai Presiden AS.

Terjadi proses komunikasi dalam kunjungan Presiden Barack Obama. pidato kepresidenan, perilaku, dan ekspresi dari seorang Pemimpin Negara AS adalah pesan. Pesan tersebut kemudian ditangkap oleh pihak media massa yang menjadi saluran komunikasi massa. Setelah pesan disebarluaskan dalam bentuk pemberitaan kemudian di tangkap oleh masyarakat secara meluas, maka terbentuklah opini masyarakat, sikap, perilaku, dan penentuan pilihan untuk mengambil keputusan.

Proses yang terjadi adalah proses komunikasi yang membawa pengaruh terhadap psikologi massa. Pesan-pesan politik yang dibawa melalui berbagai simbo-simbol tertentu diteruskan melalui media massa dan kemudian sampai ke penerima pesan. Pesan yang diterima memberikan pengaruh terhadap persepsi penerima pesan. Pesan yang diterima dan sesuai dengan tujuan dari pengirim pesan akan berbuah pada keefektifan suatu proses komunikasi. Poin penting adalah komunikasi politik terjadi dalam proses yang singkat dengan pengaruh yang besar.

Komunikasi politik secara sadar maupun tidak sadar terus terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai kebijakan politik disampaikan untuk merubah pandangan terhadap suatu kepentingan. Simbol-simbol tertentu dari sebuah partai politik bisa menjadi bagian dari komunikasi politik. Begitu banyak hal yang terjadi dalam proses komunikasi politik. Memandang besarnya pengaruh komunikasi politik, komunikasi politik menjadi salah satu bidang ilmu yang berkembang. Ilmu komukasi politik mengkaji unsur-unsur yang terlibat dalam proses komunikasi.

(11)

Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan psikologi komunikasi yang meliputi pengertian psikologi dan sejarahnya, perkembangan manusia, pengertian komunikasi menurut psikologi, pengertian psikologi komunikasi, karakteristik komunikator, komunikasi efektif, karakteristik manusia komunikan, dan sistem komunikasi intrapersonal.

Pembahasan dilanjutkan dengan kepercayaan dalam komunikasi politik: tinjauan psikologi komunikasi yang meliputi kepercayaan dalam psikologi komunikasi, kepercayaan dalam komunikasi politik, dan membangun kepercayaan publik.

(12)

BAB II

KOMUNIKASI POLITIK

A. Pengertian Komunikasi

Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa Latin

communico yang berarti membagi. Yang dimaksud membagi adalah membagi gagasan, ide, atau pikiran antara seseorang dan orang lain.

Communico berakar dari kata communis yang berarti sama, sama arti atau sama makna. Dalam komunikasi, hakikatnya harus terkandung kesamaan makna atau kesamaan pengertian. Jika tidak ada kesamaan pengertian di antara mereka yang melakukan komunikasi, maka komunikasi tidak akan berlangsung. Tegasnya tidak ada komunikasi(Shoelhi:2009:2).

Komunikasi manusia itu dapat dipahami sebagai interaksi antarpribadi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik, misalnya simbol verbal dan nonverbal. Seperti kata Mehrabian, 55% dari komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol nonverbal, 38% melalui nada suara, dan 7% komunikasi yang efektif dinyatakan melalui kata-kata. Simbol-simbol itu dinyatakan melalui sistem yang langsung seperti tatap muka atau media (tulisan, visual dan aural). Melalui pertukaran simbol-simbol yang sama dalam menjelaskan informasi, gagasan dan emosi di antara mereka itulah, akan lahir kesamaan makna atas pikiran, perasaan dan perbuatan.

Manusia harus berkomunikasi, karena itu ia harus bicara, seperti kata Knapp dan Vangelisti:

1. Orang bicara tentang relasi mereka dalam pekerjaan, bagaimana mereka terlibat, bagaimana kebutuhan untuk menyatakan tenaganya.

(13)

3. Orang bicara tentang relasi sebagai keterlibatan, terlibat bersama secara kuantitatif maupun kualitatif dalam percakapan, dialog, dan membagi pengalaman.

4. Orang bicara tentang relasi dalam istilah manipulasi, misalnya bagaimana saling mengawasi.

5. Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk mempertimbangkan dan memperhatikan.

Dari sini akan muncul "sebab" dan "akibat" bagi lahirnya sebuah komunitas bersama, karena kesamaan latar belakang sosial dan kebudayaan.

Sekelompok orang yang mengikuti arisan atau sekelompok mahasiswa, hanya bisa tumbuh dan berkembang sebagai sebuah komunitas atau bahkan masyarakat, kalau setiap anggotanya saling bertukar pengalaman, makin hari makin mendalam dan terjadi berulang-ulang. Sebagaimana dikatakan para ahli komunikasi, bahwa komunikasi itu meliputi usaha untuk menciptakan pesan, mengalihkan pesan, memberikan diri kita sebagai sebuah tempat yakni di hati dan otak orang lain untuk menerima pesan. Hasil dari komunikasi bersama itu adalah

interpersonal understanding (pemahaman atas hubungan antarpribadi) karena ada kesamaan orientasi perseptual, kesamaan sistem kepercayaan dan keyakinan, serta kesamaan gaya berkomunikasi.

Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah peristiwa komunikasi. Jadi, kalau satu komponen kurang maka komunikasi tidak akan terjadi. Ia menyatakan bahwa komunikasi merupakan:

1. Transmisi informasi. 2. Transmisi pengertian.

3. Menggunakan simbol-simbol yang sama.

Bernardo Attias menyatakan bahwa definisi komunikasi itu harus mempertimbangkan tiga model komunikasi (model retorikal dan perspektif dramaturgi, model transmisi, dan model ritual). Jadi komunikasi itu:

1. Membuat orang lain mengambil bagian, menanamkan, mengalihkan berita atau gagasan.

2. Mengatur kebersamaan untuk kepentingan bersama. 3. Membuat orang yang terlibat berkomunikasi. 4. Membuat orang saling berhubungan.

(14)

Definisi komunikasi secara terminologi banyak diperdebatkan dan diperselisihkan oleh para pakar komunikasi, karena para pakar komunikasi berasal dari berbagai disiplin ilmu. Definisi komunikasi dari pakar politik dan sosiologi seperti Harold Dwight Lasswell berbeda dengan definisi komunikasi dari pakar elektronik seperti Claude Shannon yang mendefinisikan komunikasi dengan pendekatan scientific. Ia menyatakan “Communication is the transmission and reception of information” (Taufik:2012:30), dan Harold Dwight Lasswell dalam artikelnya “The Structure and Function of Communication in Society,” menulis: “Convenient way to describe an act of communication is to answer the following questions:Who says what in which channel to whom and with what effects?”(Lasswell:1948:117).

Everett M. Rogers, seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi bahwa “Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”(Cangara:2014:22).

Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari satu pihak kepada pihak lain untuk mendapatkan saling pengertian (Wursanto:2005:157).

Walstrom – dari pelbagai sumber – menampilkan beberapa definisi komunikasi, yakni:

1. Komunikasi antarmanusia sering diartikan dengan pernyataan diri yang paling efektif.

2. Komunikasi merupakan pertukaran pesan-pesan secara tertulis dan lisan melalui percakapan, atau bahkan melalui penggambaran yang imajiner.

3. Komunikasi merupakan pembagian informasi atau pemberian hiburan melalui kata-kata secara lisan atau tertulis dengan metode lainnya.

4. Komunikasi merupakan pengalihan informasi dari seseorang kepada orang lain

5. Komunikasi adalah pertukaran makna antarindividu dengan menggunakan sistem simbol yang sama.

(15)

7. Komunikasi adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis, melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna (Liliweri:2003:8).

Dari definisi-definisi komunikasi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media komunikasi yang mana penyampaian pesan itu menimbulkan pengaruh.

B. Pengertian Politik

Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics

atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia terkenal pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia

atau the good life. Politik dalam arti ini begitu penting karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber daya alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas. Ini adalah politik.

Usaha untuk menggapai kebahagiaan itu dapat ditempuh melalui berbagai cara, yang kadang-kadang bertentangan satu dengan lainnya. Akan tetapi semua pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya dapat dicapai jika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem politik). Kekuasaan itu perlu dijabarkan dalam keputusan mengenai kebijakan yang akan menentukan pembagian atau alokasi dari sumber daya yang ada. Para sarjana politik cenderung untuk menekankan salah satu saja dari konsep-konsep ini, akan tetapi selalu sadar akan pentingnya konsep-konsep lainnya.

Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (publicpolicy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).

(16)

politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Pandangan normatif ini berlangsung sampai abad ke-19.

Dewasa ini definisi mengenai politik yang sangat normatif itu telah terdesak oleh definisi-definisi lain yang lebih menekankan pada upaya (means) untuk mencapai masyarakat yang baik, seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai, dan sebagainya. Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya, atau yang disebut Peter Merkl: “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at its best is a noble quest for a good order and justice)” betapa samar-samar pun tetap hadir sebagai latar belakang serta tujuan kegiatan politik. Dalam pada itu tentu perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan adil dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing dan zaman yang bersangkutan.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apa yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan itu.

(17)

kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict resolution) atau konsensus (consensus).

Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan politik, di samping segi-segi yang baik, juga mencakup segi-segi yang negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan sering saling bertentangan, mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu, dan marah. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita acapkali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti dirumuskan oleh Peter Merkl sebagai berikut: “Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (Politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches)!” Singkatnya, politik adalah perebutan kuasa, takhta, dan harta (Budiardjo:2008:13-15).

Di bawah ini ada tiga sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konflik dan consensus:

1. Menurut Rod Hague dan kawan-kawan: “Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya (Politics is the activity by which groups reach binding collective decisions through attempting to reconcile differences among their members).”

2. Menurut Andrew Heywood: “Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama (Politics is the activity through which a people make, preserve and amend the general rules under which they live and as such is inextricaly linked to the phenomen of conflict and cooperation)”(Budiardjo:2008:15-16).

3. Dalam pandangan Dye, politics didefinisikan sebagai "the management of conflict" (Dye:1988:1).

(18)

masyarakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik di antara individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Seperti dikatakan Dye, "the management of conflict is one of the basic purposes of government." Untuk bisa mengatur konflik tentu tidak bisa menghindari pentingnya kekuasaan dan otoritas formal seperti dinyatakan dalam pengertian sebelumnya. Penguasa yang tidak memiliki kekuasaan tidak akan pernah mampu mengatasi masalah-masalah yang sewaktu-waktu muncul di masyarakat. Konsekuensinya, ia dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi dan dianggap tidak berfungsi. Bahkan pada tingkat tertentu, terutama jika tetap bertahan berkuasa, penguasa seperti itu memiliki potensi otoriter, dan berakibat pada situasi semakin melemahnya kedaulatan rakyat. Dalam keadaan seperti ini, komunikasi politik akan semakin kehilangan fungsi yang sesungguhnya (Muhtadi: 2008b:29).

Di samping itu ada definisi-definisi lain yang lebih bersifat pragmatis. Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang dijumpai disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur dari politik. Unsur ini diperlukannya sebagai konsep pokok yang akan dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep pokok itu adalah:

1. Negara (state). 2. Kekuasaan (power).

3. Pengambilan keputusan (decision making). 4. Kebijakan (policy, beleid).

5. Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) (Budiardjo: 2008:16-17).

C. Pengertian Komunikasi Politik

(19)

Menurut Rush dan Althoff, komunikasi politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem publik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik; dan proses sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada komunikasi (Althoff dan Rush: 1997:255).

Secara sederhana unsur-unsur tersebut digambarkan seperti berikut:

Gambar 1. Unsur-unsur Politik (Muhtadi: 2008b:28).

Sampai saat ini, sudah banyak definisi tentang komunikasi politik. Berikut ini adalah beberapa diantaranya:

1. Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat enam fungsi lainnya itu dijalankan, yaitu sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, membuat peraturan, aplikasi peraturan, dan ajudikasi peraturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.

2. Process by which a nation's leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy (Komunikasi politik adalah proses di mana pemimpin bangsa, media, dan warga negara mengubah dan memberi makna pada pesan-pesan yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan umum).

3. Communicatory activity considered political by virtue of its conse-quences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political system (Aktivitas komunikasi dikatakan bersifat politik berdasarkan konsekuensi, kebenaran, dan potensinya yang memiliki fungsi pada sistem politik).

BUDAYA POLITIK

(20)

4. Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Komunikasi politik memiliki makna setiap perubahan simbol-simbol dan pesan-pesan yang signifikan terhadap suatu keadaan politik atau memiliki konsekuensi terhadap sistem politik).

5. Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat serta mengaturnya sedemikian rupa "penggabungan kepentingan" (interest aggregation) dan "perumusan kepentingan" (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi kebijakan politik.

6. Komunikasi politik merupakan penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi, seperti komunikator, pesan, dan lainnya.

7. Political communication is a field of communications that is concerned with politics (Komunikasi politik merupakan area komunikasi yang memiliki perhatian khusus terhadap aspek politik).

8. Komunikasi politik adalah aktivitas komunikasi yang bermuatan politik untuk tujuan kebajikan dengan berbagai konsekuensi yang mengatur tingkah laku manusia dalam keadaan konflik.

9. Komunikasi politik adalah yang diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.

10.Komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah.

(21)

bentuk media massa merupakan saluran komunikasi politik yang sangat urgen. Sebaliknya ilmuwan politik menilai saluran media massa dan saluran tatap muka memainkan peranan yang sama pentingnya. Namun, ilmuwan politik dan ilmuwan komunikasi sama-sama memandang bahwa pesan dan media memiliki peranan yang penting dalam proses komunikasi politik. Keduanya memberikan makna terhadap sebuah aktivitas komunikasi politik. Pesan dan media senantiasa ada serta berkembang seiring dengan kemajuan kajian dan aktivitas komunikasi politik pada tataran praktis. Di antara prasyarat yang lain, pesan dan media membuat komunikasi politik memiliki fungsi strategis.

Menurut Ardial (2010), fungsi komunikasi politik dapat dilihat di dalam fungsi-fungsi sistem politik yang lainnya. Komunikasi politik merupakan proses yang menentukan keberhasilan fungsi-fungsi lainnya, sedangkan keberhasilan penyampaian pesan dalam setiap fungsi menentukan keberhasilan pelaksanakaan fungsi bersangkutan.

Artikulasi kepentingan misalnya, sangat bergantung pada komunikasi politik. Tanpa adanya komunikasi politik, arlikulasi kepentingan adalah benda mati karena artikulasi itu sendiri tidak ada. Menurut Almond, artikulasi kepentingan dijalankan oleh organisasi politik dalam bentuk penyampaian kepentingan yang terdapat di dalam masyarakat kepada penguasa politik. Proses komunikasinya terletak pada penyampaian. Keberhasilan penyampaian pesan memainkan peranan yang amat penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi artikulasi kepentingan.

(22)

Dalam perkembangannya, komunikasi politik menjadi tidak terpisahkan dalam proses kampanye politik. Sistem demokrasi di Indonesia yang mengatur proses pemilihan secara langsung, baik legislatif, presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur,bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota, menjadikan komunikasi politik semakin fungsional. Setelah reformasi, proses sosialisasi kandidat pemimpin semakin variatif dan menarik. Kemasan kampanye politik kini sudah berubah layaknya kemasan produk makanan atau pakaian. Kampanye politik tidak lagi hanya pada persoalan visi misi, tetapi juga memoles kandidat, menciptakan pesan dan mengatur ritme kemunculan di media adalah bagian penting yang harus disentuh. Jika tidak dapat melakukannya sendiri, para kandidat akan menyewa agen iklan profesional untuk membantu mengemas proses kampanye politiknya. Inilah abad citra di mana politik tidak cukup dengan substansi, tetapi juga harus memperhatikan citra sebagai tuntutan dari kepentingan politikus yang sedang "dijajakan" dan "ditawarkan" kepada publik sebagai calon pemilihnya (Tabroni:2012:18-20).

D. Sejarah Ilmu Komunikasi Politik

Sebenarnya, karya tentang komunikasi politik sudah ada sejak zaman Aristoteles pada tahun 350 SM. Saat itu, Aristoteles sudah mengkaji bagaimana sebuah pesan politik disampaikan kepada khalayak. Dalam perkembangannya, komunikasi politik pun menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Penetapan komunikasi politik sebagai ilmu, terhitung sejak dibentuknya divisi komunikasi politik oleh International Communication Association (ICA) dan American Political Science Association (APSA) pada awal tahun 70-an.

Studi komunikasi politik mulai marak sejak Perang Dunia I. Sejarah komunikasi politik seperti dijelaskan Lynda Lee Kaid (2004) tidak lepas dari dua tokoh ternama, yaitu Walter Lippmann (1922) dan Harold Dwight Lasswell (1927).

(23)

Amerika Serikat pada Perang Dunia I. Analisisnya menggunakan model lima pertanyaan yang sangat terkenal dalam ilmu komunikasi, yaitu “Who says what in which channel to whom and with what effects?” Dua tokoh ini hidup pada masa Perang Dunia I, di mana pada masa itu propaganda (istilah "komunikasi massa" yang secara umum kita kenal) belum dikenal. Pada saat itu yang digunakan adalah istilah public opinion and propaganda.

Dalam praktiknya, proses opini publik dan propaganda selalu menggunakan media sebagai saluran komunikasinya. Dengan menggunakan media massa diharapkan dapat berdampak lebih luas kepada publik seiring dengan tuntutan massa dan perkembangan teknologi informasi. Sesuai dengan kajian komunikasi, di mana media massa selalu memiliki efek yang cukup kuat kepada publik.

Paul F. Lazarsfeld (13 Februari 1901 - 30 Agustus 1976) dengan

Communication Effect and the Erie County Study lebih dikenal dengan fokus kajiannya pada efek media massa. Ia juga dikenal sebagai ilmuwan sosial yang menggunakan metodologi kuantitatif dalam melakukan studi tentang perilaku pemilih yang dikenal dengan Erie County Study dalam kasus pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Dalam penelitian itu, Lazarsfeld melihat bagaimana efek media massa mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan presiden. Penelitiannya tersebut menemukan bahwa media massa tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku pemilih waktu itu, kebanyakan pemilih (followers) sudah menentukan pilihan melalui opinion leaders sebelum masa kampanye dimulai. Hasil penelitian ini dikenal dengan two step flow model.

Pada Abad 21, politik mulai dilihat sebagai persaingan untuk memperoleh sumber daya yang terbatas. Bentley berpandangan bahwa esensi politik adalah tindakan kelompok. Bentley membedakan kelompok berdasarkan kepentingannya, dan melihat bagaimana interaksi antarkelompok tersebut. Ini dikenal juga dengan model pluralis. Selain Bentley, ada David Truman dan Robert Dahl. Hal ini terkait dengan studi tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan kampanye.

Studi komunikasi politik juga berkembang menjadi kajian tentang efek dan dampak. Di sini studi komunikasi politik terfokus pada kajian tentang peran media massa dalam politik, seperti agenda setting

(24)

tidak setiap komunikasi politik dalam praktiknya menggunakan media massa (Tabroni:2012:20-22).

Menurut Lely Arrianie, komunikasi politik kian hari kian menjadi kajian yang menarik perhatian. Dalam perkembangannya, komunikasi politik tidak hanya menarik bagi mereka yang fokus pada kajian ini, tetapi juga bagi mereka yang fokus pada kajian komunikasi dan politik secara akademis. Selain itu, komunikasi politik juga menjadi menarik bagi para aktivis, politikus, serta profesional di bidang komunikasi dan politik. Komunikasi politik sebagai disiplin ilmu pada dasarnya masih relatif baru, terlebih di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat dalam Lely menyatakan bahwa di Amerika sekalipun komunikasi politik masih mencari bentuk. Namun dalam realitasnya, komunikasi dan politik sekaligus pemanfaatan komunikasi untuk kepentingan politik sebetulnya telah berlangsung sangat lama (Arrianie:2006:12).

Walaupun banyak pakar yang telah berkontribusi terhadap penemuan dan pengembangan komunikasi politik, Arrianie menyebutkan paling tidak ada empat orang yang dianggapnya sebagai funding fathers

komunikasi studi komunikasi politik di Amerika Serikat. Pada dasarnya, mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Kurt Lewin, Paul F. Lazarsfeld dan Carl I. Hovland memiliki latar belakang pendidikan psikologi, sedangkan Harold Dwight Lasswell memiliki latar belakang ilmu politik. Pada tahun 1927, Lasswell menulis buku Propaganda Technique in the Word War. Dalam bukunya yang berjudul The Structure and Functions of Communication in Society dengan formula who says what in wich channel to whom with what effect, Lasswell menghadirkan sebuah karya monumental yang terus dikembangkannya dan menjadi rujukan para pakar dan mahasiswa termasuk di Indonesia. Pada tahun 1936, Lasswell pun menulis buku hasil penelitiannya yang lain tentang politik yang sangat populer, yaitu Politics: Who Gets What, When, How.

(25)

Menurut Arrianie, di Eropa juga dikembangkan beberapa penelitian komunikasi politik berkaitan dengan studi opini publik, perkembangan arus sosiokultural, telaah hubungan antara media dengan pemerintah, juga sistem informasi yang berlangsung pada institusi birokratis. Fenomena ini ternyata memiliki relevansi dominan pada penelitian komunikasi politik di Indonesia sampai sekarang.

Sebagian besar penelitian komunikasi yang menyentuh bidang politik umumya lebih banyak tersajikan dalam bentuk penelitian tentang pemberian suara (voting), serta pengaruh komunikasi terhadap responden khalayak tentang kampanye. Penelitian tentang pemberian suara dalam Pemilu dilakukan oleh Paul L. Lazarsfeld dalam The People's of Opinion Formation in a Presidential Campaign. Bersama Elihu Katz, Lazarsfeld juga meneliti tentang Personal Influence: the Part Played by People in the Flow or Mass Communications. Kemudian Campbell, Converse, Miller dan Stokes meneliti tentang The Voters Decides (Tabroni:2012:22-23).

Menurut Ardial, Lazarsfeld dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa kontak tatap muka adalah faktor penyebab terpenting dalam perubahan pilihan para pemilih. Hubungan yang erat dengan sesama anggota masyarakat yang dikenal baik dan dipercaya merupakan jaminan bahwa informasi yang disampaikan oleh tokoh tersebut layak diikuti. Sifat-sifat hubungan tatap muka langsung memungkinkan komunikan (followers) untuk mendapat lebih banyak informasi dari pemuka pendapat (opinion leaders) (Ardial:2010:6).

Model dua tahap penyebaran arus komunikasi ini (two step flow model) menganut pandangan bahwa media massa sebelumnya memainkan peranan yang penting dalam penyebaran informasi. Tanpa penyebaran media massa yang cukup luas, model dua tahap penyebaran arus komunikasi tersebut tidak akan banyak berarti. Studi Lazarsfeld, Berelson dan Gaudet, menurut Ardial, juga menemukan bahwa media massa telah memainkan peranan penting sebagai penyalur informasi pada waktu penelitian mereka berlangsung. Sejak awal surat kabar memainkan peranan terpenting di antara berbagai bentuk media massa sebagai penyalur informasi.

(26)

Bahkan, mereka berpendapat bahwa semenjak tahun 1950-an di Amerika Serikat televisi berkembang pesat dan telah berhasil menggeser kontak tatap muka sebagai saluran terpenting dalam penyampaian informasi politik.

Dengan membandingkan studi Lazarsfeld dan kawan-kawan yang diadakan pada tahun 1940 dengan tulisan Kraus dan Davis terlihat bahwa model dua tahap penyebaran arus komunikasi menjadi kurang relevan dengan meningkatnya peranan televisi sebagai media massa. Televisi menjadi media massa yang paling banyak dikaji oleh para ilmuwan sosial mengingat daya tariknya yang hebat sebagai sarana hiburan yang relatif murah. Daya tarik kuat yang dimiliki oleh televisi sebagai sarana hiburan membuat banyak pihak (termasuk pemerintah) memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat karena jangkauan audiensnya yang jauh lebih luas dibandingkan dengan media massa lainnya.

Menyadari pentingnya dampak televisi, pada tahun 1976, pemerintah Indonesia (Departemen Penerangan) bekerja sama dengan LRKN-LIPI (pada waktu itu) dan East West Center mengadakan penelitian tentang dampak televisi bagi masyarakat Indonesia. Arti penting penyelenggaraan penelitian ini juga didorong oleh pemakaian sistem satelit domestik Palapa untuk menyiarkan televisi ke seluruh wilayah Indonesia. Penelitian tersebut telah menghasilkan sejumlah laporan penelitian yang telah dimanfaatkan oleh Departemen Penerangan dalam perumusan kebijakannya.

(27)

Penelitian dan kajian semacam ini bahkan terus dikaji oleh para tokoh psikologi khususnya psikologi sosial dalam memahami komunikasi politik.

Para sosiolog juga menurut Arrianie, memberikan sumbangan yang tidak kalah pentingnya dalam perkembangan studi komunikasi politik. Salah satunya adalah Herbert Blumer yang selalu menegaskan dalam teorinya bahwa manusia sebetulnya bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut. Pandangan inilah yang memunculkan perspektif interaksionis simbolik bahwa makna dan tindakan itu sesungguhnya saling mempengaruhi, dan penginterpretasian yang terjadi di dalamnya melibatkan kelangsungan, gabungan, saling menukar makna kelakuan, suatu transaksi di mana sebab akibat tidak dapat dibedakan.

Manusia bertindak dengan mempertimbangkan segala hal yang diamati dan mengarahkan perilakunya pada suatu perbuatan sebagaimana ia menginterpretasikannya. Sebuah pendekatan yang jika diketengahkan dalam konteks komunikasi politik akan sangat menentukan bagaimana para pelakunya bermain dengan sangat cair di panggung politik termasuk interpretasinya terhadap wilayah panggung politik yang menjadi tempat pementasan skenario politik.

Komunikasi politik juga mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik (hybrid interdisipliner). Jika disimak dari berbagai literatur yang ada, ternyata komunikasi politik telah menjadi kajian tersendiri (field inquiry) sejak tergabung dalam organisasi ilmiah

International Communication Association bersama dengan divisi lain, seperti divisi sistem informasi, komunikasi antarpribadi, komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi instruksional, dan komunikasi kesehatan (Tabroni:2012:23-25).

E. Unsur-unsur Komunikasi Politik

(28)

dimensi-dimensi komunikasi pada umumnya. Seperti dalam bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi politik berlangsung dalam suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berasal dari sumber, selaku pihak yang memprakarsai komunikasi, kepada khalayak dengan menggunakan media tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu pula. Dimensi-dimensi inilah pada dasarnya yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan komunikasi politik dalam suatu masyarakat. Sehingga keluaran (output) komunikasi politik pada akhirnya akan ditentukan oleh dimensi-dimensi tersebut secara keseluruhan.

Ada lima unsur penting yang terlibat dalam proses komunikasi politik:

1. Komunikator

Komunikator dalam komunikasi politik yaitu pihak yang memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi. Seperti dalam peristiwa komunikasi pada umumnya, komunikator dalam komunikasi politik dapat dibedakan dalam wujud individu, lembaga, ataupun berupa kumpulan orang. Jika seorang tokoh, pejabat ataupun rakyat biasa, misalnya, bertindak sebagai sumber dalam suatu kegiatan komunikasi politik, maka dalam beberapa hal ia dapat dilihat sebagai sumber individual (individual source). Sedang pada momentum yang lain, meskipun individu-individu itu yang berbicara tapi karena ia mewakili suatu lembaga atau menjadi juru bicara dari suatu organisasi, maka pada saat itu ia dapat dipandang sebagai sumber kolektif (collective sourve) (Muhtadi: 2008b:31-32).

(29)

telah ditentukan sebelumnya. Pada masa Orde Lama, misalnya, Soekarno telah berhasil membentuk opini masyarakat dalam berbagai sikap politik yang diambilnya baik menyangkut kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri; demikian pula Soeharto selama masa Orde Baru, melalui langkah-langkah komunikasi politik yang diperankannya telah berhasil membentuk sedemikian rupa opini masyarakat terutama tentang pentingnya stabilitas politik untuk membangun ekonomi; dan bagi warga nahdhiyyin, Gus Dur adalah komunikator utama yang telah berhasil memainkan unsur-unsur ethos, pathos dan logos

yang dimilikinya.

Secara rinci, contoh kelompok-kelompok komunikator politik yang termasuk pada kategori individual ataupun kolektif dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Sumber (Komunikator) Individual dan Kolektif dalam Komunikasi Politik

(30)

sangat rendah. Komunikator kunci ini merupakan penentu yang sangat dominan dalam proses pencapaian tujuan politik suatu partai atau organisasi (Muhtadi: 2008b:32-33). Oleh karena itu, meskipun tidak semua pesan yang disampaikan oleh suatu partai ataupun ormas melalui para politisinya merupakan sesuatu yang orisinal, tapi tetap dianggap sebagai suara atau sikap politik partai atau ormas itu (Nasution:1990:47).

2. Pesan

Pesan adalah isi atau content dari kegiatan komunikasi secara umum yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.Pesan komunikasi politik dalam praktik sejarahnya pernah dimaknai sebagai peluru untuk mempengaruhi atau mempersuasi komunikan atau khalayak yang menjadi sasaran dalam kegiatan komunikasi politik pada tahun 1940-an. Masyarakat atau khalayak dipandang sebagai entitas pasif menjadi sasaran gempuran pesan atau informasi. Itulah yang dikenal dengan istilah the bullet theory. Komunikasi persuasi memiliki kekuatan pengaruh yang powerful, tidak hanya karena kekuatan komunikator yang menyampaikan, tetapi lebih karena kedahsyatan isi yang disampaikan untuk mempengaruhi khalayaknya.

Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa positif dan bisa juga negatif, tergantung dari persepsi yang muncul dari khalayak yang menerima dan memaknai pesan komunikasi yang disampaikan. Kekuatan pesan juga dipengaruhi oleh cara membungkus pesan tersebut (Subiakto dan Ida:2014:46-47).

Cara membungkus pesan ini kemudian memunculkan apa yang disebut dengan sound bite culture,yaitu satu baris kalimat yang diambil dari pidato atau pernyataan yang panjang atau dari seperangkat teks yang dapat digunakan sebagai indikasi dari pesan yang lebih besar (Lilleker:2005:188).

3. Saluran

(31)

Misalnya, dalam proses komunikasi politik, birokrasi dapat memerankan fungsi ganda. Di satu sisi, ia berperan sebagai komunikator yang menyampaikan pesan-pesan yang berasal dari pemerintah; dan di sisi lain, ia juga dapat berperan sebagai saluran komunikasi bagi lewatnya informasi yang berasal dari khalayak masyarakat. Fungsi ganda yang sama juga biasa diperankan oleh organisasi termasuk ormas-ormas Islam di Indonesia seperti halnya Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan media massa (Muhtadi: 2008b:34).

Untuk menganalisis gejala munculnya ormas-ormas ataupun partai-partai politik di Indonesia, penting pula dicatat bahwa struktur sosial tradisional juga merupakan saluran komunikasi yang memiliki keampuhan tersendiri, karena pada masyarakat tersebut arus komunikasi ditentukan oleh posisi sosial pihak-pibak yang berkomunikasi. Menurut Nasution, dalam masyarakat tradisional, susunan struktur sosial yang ada menentukan siapa yang layak berkomunikasi dengan siapa, tentang masalah apa, dan dengan cara apa. Tanpa menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia tergolong masyarakat tradisional, tetapi faktanya mengindikasikan masih adanya ukuran-ukuran tertentu untuk membuat klasifikasi para pemeran komunikasi, termasuk dalam komunikasi politik. Kasus polarisasi massa politik ke dalam partai-partai politik di Indonesia, misalnya, terjadi umumnya karena ikatan-ikatan emosional tentang siapa yang menjadi komunikatornya serta pesan-pesan politik apa vang menjadi tujuan perjuangannya (Nasution:1990:57).

(32)

karena secara umum media massa memiliki efek potensial yang sangat besar pada khalayaknya. Lebih-lebih karena pemberitaan di media, senantiasa dirumuskan sarat dengan muatan-muatan etika, moral, dan nilai-nilai. Para jurnalis sendiri bukanlah robot yang dapat diprogram untuk senantiasa melaporkan fakta secara apa adanya. Sehingga pada gilirannya, media bukan saja berfungsi sebagai saluran informasi politik, tapi juga berperan sebagai kekuatan sosial yang ikut menentukan perubahan-perubahan di dalam kehidupan bermasyarakat (Sudibyo:2001:259).

4. Khalayak

Khalayak komunikasi politik yaitu peran penerima yang sebetulnya hanya bersifat sementara. Sebab, seperti konsep umum yang berlaku dalam komunikasi, ketika penerima itu memberikan feedback dalam sesuatu proses komunikasi politik, atau pada saat ia meneruskan pesan-pesan itu kepada khalayak lain dalam kesempatan komunikasi yang berbeda, maka pada saat itu peran penerima telah berubah menjadi sumber atau komunikator. Khalayak komunikasi politik dapat memberikan respon atau umpan balik, baik dalam bentuk pikiran, sikap maupun perilaku politik yang diperankannya. Dalam berbagai riset tentang sosialisasi politik, menurut Kraus dan Davis, diperoleh indikasi bahwa komunikator tahap kedua (yang sebelumnya berperan sebagai khalayak) memainkan peran yang signifikan pada komunikasi berikutnya. Dengan memfokuskan obyek risetnya pada keluarga (family) dan kelompok sebaya (peers), para peneliti menyimpulkan bahwa keluarga memiliki peran yang cukup besar dalam proses sosialisasi politik. Orang tua dapat menyampaikan pesan-pesan politik sesuatu partai dengan pendekatan yang khas dalam satu lingkungan keluarga (Muhtadi: 2008b:33).

(33)

Publik atentif ini menempati posisi penting dalam proses opini karena lapisan inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antarpribadi dalam arus pesan yang timbal balik antara pemimpin politik dengan masyarakatnya. Publik berpikiran isu adalah bagian dari publik atentif yang lebih tertarik kepada isu khusus ketimbang kepada politik pada umumnya. Kelompok ini muncul dari proses konvergensi selektif sehingga sampai pada satu titik yang dipilih yang berhubungan dengan isu tertentu. Sedangkan publik ideologis adalah kelompok orang yang memiliki sistem kepercayaan yang relatif tertutup, dengan menggunakan ukuran nilai-nilai suka dan tidak suka. Mereka menganut kepercayaan dan atau nilai yang secara logis saling melekat dan tidak berkontradiksi satu sama lain (Nimmo:1993:55-62).

5. Efek

Semua peristiwa komunikasi yang dilakukan secara terencana mempunyai tujuan, yakni mempengaruhi audiens atau penerima. Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.

Pengaruh adalah salah satu elemen dalam komunikasi yang sangat penting untuk mengetahui berhasil tidaknya komunikasi yang diinginkan. Pengaruh dapat dikatakan mengena jika perubahan (P) yang terjadi pada penerima sama dengan tujuan (T) yang diinginkan oleh komunikator (P = T), atau seperti rumus yang dibuat oleh Jamias, yaitu pengaruh (P) sangat ditentukan oleh sumber, pesan, media, dan penerima (Cangara:2014:185).

Pengaruh dalam komunikasi politik adalah bahwa pesan politik telah menimbulkan pengaruh pada khalayak atau komunikan, seperti persetujuan kerjasama, perdamaian, gencatan senjata, koalisi dan lain-lain.

Efek komunikasi politik ada tiga:

(34)

bidang politik. Melalui media komunikasi politik, bisa diperoleh informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan politik.

b. Efek afektif yang kadarnya lebih tinggi daripada efek kognitif. Tujuan dari komunikasi politik bukan sekadar memberitahu khalayak tentang sesuatu yang berhubungan dengan politik, tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut serta merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.

c. Efek konatif (behavioral) merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Efek inilah yang merupakan efek tertinggi dari tiga efek yang ada. Khalayak dalam efek konatif melakukan tindakan nyata yang merupakan respons terhadap pesan-pesan politik yang disampaikan, seperti seruan berperang yang disampaikan pemerintah. Masyarakat yang merupakan khalayak dengan rela bahu membahu bertempur melawan musuh yang menyerang.

F. Tujuan Komunikasi Politik

Ardial memandang bahwa tujuan komunikasi politik sangat terkait dengan pesan politik yang disampaikan komunikator. Sesuai dengan tujuan komunikasi, tujuan komunikasi politik itu adakalanya sekadar menyampaikan informasi politik, membentuk citra politik, membentuk opini publik, dan bisa juga menghendel pendapat atau tuduhan lawan politik. Jadi, tujuan utama komunikasi politik adalah membangun kepercayaan publik. Lebih jauh dari itu, komunikasi politik juga bertujuan menarik simpati publik untuk meningkatkan partisipasi politik sesuai dengan kepentingannya (Ardial:2010:44).

(35)

sama-sama ber-KTP DKI Jakarta, masyarakat Jabar sudah tahu nama dan sosok Agum Gumelar.

Banyak pihak menduga bahwa kemenangan pasangan HADE (Ahmad Heryawan-Dede Yusuf) adalah faktor Dede Yusuf yang merupakan selebritas, muda, dan good looking. Kendati Dede Yusuf dianggap pendongkrak suara pasangan yang awalnya paling tidak dijagokan, hal ini ada benarnya karena banyak orang mengaku memilih karena tahu dan tertarik terhadap Dede Yusuf. Namun, beberapa riset menunjukkan bahwa faktor paling berpengaruh atas kemenangan kampanye HADE adalah adanya pesan-pesan politik yang sangat baik. Kemasan pesan yang di-manage dengan baik, mencuri perhatian para pemilih. Di antara sekian banyak pesan yang disampaikan, HADE memiliki inti pesan yang kemudian lebih dikenal dengan 7 (tujuh) janji HADE. Tujuh janji HADE terkait dengan persoalan-persoalan dan kebutuhan mendasar masyarakat Jawa Barat saat itu, seperti masalah buruh, pertanian, pendidikan, jaminan kerja dan lain sebagainya. Namun di antara tujuh janji itu, yang dianggap paling mengena di masyarakat Jawa Barat adalah masalah pendidikan gratis dan jaminan satu juta lapangan kerja.

Dalam konteks komunikasi, apa yang telah dirumuskan oleh HADE merupakan pesan yang sangat penting sehingga publik mempercayainya. Dalam etikanya, setiap janji wajib ditunaikan, terlebih bagi mereka yang memenangkan persaingan. Ketika berada diposisi pemerintahan, mereka memiliki posisi dan kewenangan yang besar untuk merealisasikannya. Dalam konteks politik, pesan-pesan itu bukan pesan biasa karena dirumuskan dan disampaikan dalam situasi yang sarat politik. Tujuh janji HADE merupakan pesan komunikasi politik yang dibuat untuk mensukseskan sebuah kepentingan politik tertentu (Tabroni:2012:25-26).

G. Teori-teori dalam Komunikasi Politik

1. Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)

(36)

yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (the bullet theory) (Cangara:2009:119-120).

Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, profesional, dan aktivis) selalu memandang bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh lebih dominan dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus pengaruh pada sikap dan perilaku. Ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam menerima pesan.Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan media perkasa, tidak terbukti secara empiris. Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru tidak runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efektivitas dalam komunikasi politik. Hal ini tergantung kepada sistem politik, sistem organisasi dan situasi, terutama yang dapat diterapkan dalam sistem politik yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, instruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Teori ini juga lebih memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral. (Arifin:2003:43-45).

2. Teori Kepala Batu (Obstinate Audience)

(37)

terdapat pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi, dan latar belakang sosial budaya (Cangara:2009:120).

Raymond Bauer mengeritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan bila pesan itu memberi keuntungan atau memenuhi kepentingan dan kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linear tetapi merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual atau faktor-faktor personal yang mempengaruhi reaksi mereka.

Dengan teori khalayak kepala batu itu, fokus penelitian bergeser dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama pakar psikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian kepada faktor individu. Mereka mengkaji faktor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesan-pesan komunikasi. Salah satu di antaranya adalah lahirnya uses and gratifications model (model kegunaan dan kepuasaan). (Arifin:2003:46).

3. Model Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Model)

Secara umum, uses and gratifications model

berpandangan bahwa individu atau masyarakat menggunakan media dan isi media massa untuk memenuhi keperluan-keperluan tertentu yang dapat memberikan kepuasan bagi mereka. Individu atau khalayak memiliki kebebasan yang lebih besar untuk memilih dan menentukan media dan isi media yang dapat memberikan kepuasan, dibandingkan dengan kekuasaan media untuk mempengaruhi mereka. Ada sumber-sumber lain selain media massa yang dapat memberikan kepuasan. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber tersebut (Kholil:2007:37-38) dan dalam waktu bersamaan, media massa harus mampu bersaing dengan sesama media massa dalam memenuhi keperluan dan kepuasan audiens.

Ada sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti gagasan

(38)

a. The audience is active and its media use is goal oriented.

(Audiens adalah aktif dan penggunaan media berorientasi pada tujuan).

b. The initiative in linking need gratifications to a specific medium choice rests with the audience member. (Inisiatif yang menghubungkan antara kebutuhan, kepuasan dan pilihan media secara spesifik terletak di tangan audiens). c. The media compete with other sources need satisfaction.

(Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens).

d. People have enough self-awareness of their media use, interests, and motives to be able to provide researchers with an accurate picture of that use. (Orang-orang mempunyai kesadaran diri yang memadai berkenaan dengan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu). e. Value judgments of media content can only be assessed by

the audience (Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang isi media ditentukan oleh audiens) (Katz, et. al.:1974:20).

Model ini merupakan pergeseran fokus dari tujuan komunikator ke tujuan komunikan. Model ini menentukan fungsi komunikasi massa dalam melayani khalayak (Effendy:2007:289).

4. Teori Empati danTeori Homofili

Secara sederhana dapat disebutkan bahwa empati adalah kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Dalam hal ini David K. Berlo (1960) memperkenalkan teori yang dikenal dengan nama influence theory of emphaty (teori penurunan dari penempatan diri kedalam diri orang lain). Artinya, komunikator mengandaikan diri, bagaimana kalau ia berada pada posisi komunikan. Dalam hal ini individu memiliki pribadi khayal sehingga individu-individu yang berinteraksi dapat menemukan dan mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan masing-masing, yang kemudian menjadi dasar dalam melakukan penyesuaian.

(39)

pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain itu memang sangat tidak mudah. Justru itu, empati dapat ditingkatkan atau dikembangkan oleh seorang politikus melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering dilakukan. Dengan demikian, empati dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra seorang politikus tentang diri dan tentang orang lain. Itulah sebabnya empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui komunikasi antarpribadi (Arifin:2003:54).

5. Teori Lingkar Kesunyian (Spiral of Silence Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle Neumann, mantan jurnalis kemudian menjadi professor emeritus pada salah satu institute publisistik di Jerman. Teorinya banyak berkaitan dengan kekuatan media yang bisa membuat opini publik, tetapi di balik itu ada opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang bersifat manifes. Opini publik yang tersembunyi disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan (the spiral of silence) (Cangara:2009:122).

6. Teori Penyuburan (Cultivation Theory)

Cultivation theory (teori penyuburan) beranggapan bahwa media massa modern tidak mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk opini dan merubah tingkah laku masyarakat. Tetapi media massa lebih berperan untuk menyuburkan atau menguatkan pendapat dan tingkah laku khalayak sasaran (McQuail:1987:283).

(40)

7. Teori Media Kritis

Teori ini berkembang di Eropa dan khususnya di Jerman. Teori media kritis menurut Hollander (1981) adalah merupakan teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa media massa dalam berfungsi banyak dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah.

Permasalahan yang sentral dalam teori media kritis adalah bukan saja bagaimana media berfungsi, tetapi justru fungsi-fungsi apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam masyarakat. Dengan kata lain bahwa kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru tidak berlaku. Para penganut teori komunikasi kritis sama sekali tidak lagi memberikan tekanan efek komunikasi massa terhadap khalayak, melainkan memusatkan perhatian pada pengertian kontrol terhadap sistem komunikasi.

Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media massa lain, seperti teori perseptual dan teori fungsional, yang justru kedua teori itu memberi tekanan kepada akibat apa yang dilakukan oleh media terhadap orang. Namun, teori fungsional kemudian mengalami sedikit pergeseran, yaitu memusatkan kajiannya pada pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak dari media massa, dan mengapa hal itu dapat diperoleh (Arifin:2003:61-63).

8. Teori Informasi dan Nonverbal

Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teori informasi yang banyak digunakan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan teori sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak sama dengan berkomunikasi, artinya semua tindakan politik dapat dipandang sebagi komunikasi politik yang bersifat nonverbal. Sering juga dikatakan bahwa tidak ada komunikasi (verbal), tetapi ada komunikasi (nonverbal).

(41)

dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif karena informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan jumlah, benda dan energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan sebuah informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).

Informasi dalam komunikasi politik dapat berarti sikap politik, pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalah semua hal harus dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung sebuah kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).

Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan tindakan dalam peristiwa komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Tindakan itu harus diamati dari waktu ke waktu sehingga dapat ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya prediksi dilakukan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola, maka terjadilah kejutan (Arifin:2003:57-59).

H. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik

(42)

proses-proses yang dapat diramalkan untuk memenuhi kebutuhan publik. Jadi, konsep sistem politik itu pada dasarnya menunjuk kepada seluruh lingkup aktivitas politik dalam suatu masyarakat. Termasuk salah satu komponen yang berpotensi menghidupkannya adalah aktivitas komunikasi politik.

Ada beberapa komponen dalam sistem politik, yaitu komunitas politik, budaya politik, otoritas politik, rezim, dan etos politik. Anggota komunitas politik adalah warga negara, pembayar pajak, tentara, pegawai negeri, pemilih, dan lain sebagainya. Mereka terikat oleh budaya politik. Artinya, mereka memiliki kesadaran bersama tentang lembaga-lembaga negara serta fungsinya masing-masing; mereka memiliki ikatan emosional pada banyak simbol dan mitos; dan mereka juga mempunyai pandangan tertentu, baik positif maupun negatif, terhadap kinerja sistem. Komponen penting berikutnya adalah sekumpulan pejabat yang keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar warga sebagai sesuatu yang mengikat. Mereka adalah otoritas politik, dan tiada sistem politik tanpa mereka. Otoritas politiklah yang melalui rezim berwenang membuat keputusan-keputusan yang mengikat. Rezim sendiri berisikan aturan-aturan dasar (konstitusi), struktur-struktur formal, lembaga-lembaga/badan-badan, serta prosedur-prosedur. Terakhir adalah komponen etos politik, yaitu pola-pola kebiasaan yang informal dan tidak tertulis yang menghidupkan pengaturan-pengaturan formal dari suatu rezim.

Sejalan dengan pengertian itu, maka komunikasi politik memungkinkan berfungsinya sistem politik, karena komponen-komponen sistem politik itu bekerja dan saling berhubungan melalui proses komunikasi. Hal ini secara sederhana dapat dilihat pada diagram model grafis sistem politik.

(43)

melalui rezim (D) yang menghasilkan keputusan-keputusan dan aturan-aturan (g) yang harus diimplementasikan (E) demi kepentingan komunitas politik (A).

Apabila dicermati aliran prosesnya, terlihat jelas bahwa sebagian besar aliran itu berupa komunikasi politik. Semua fungsi yang ditampilkan oleh suatu sistem politik dilaksanakan melalui sarana komunikasi. Lewat komunikasi, misalnya, para pemimpin kelompok kepentingan, wakil-wakil dan pemimpin partai melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi politik. Mereka mengkomunikasikan tuntutan dan rekomendasi untuk dijadikan kebijakan pemerintah. Para anggota legislatif juga melaksanakan tugas pembuatan undang-undang serta berbagai peraturan lainnya dengan mendasarkan pada informasi yang diterimanya, serta dengan saling mengkomunikasikan di antara sesamanya. Demikian pula masyarakat, menyampaikan aspirasi dan tuntutannya kepada eksekutif ataupun legislatif melalui komunikasi. Jika dilihat dari sisi proses serta muatan komunikasi yang disampaikannya, maka hampir semua fungsi yang berperan di dalamnya berupa komunikasi politik (Muhtadi: 2008b:41-44).

Menurut Nasution, arus komunikasi politik memang melintasi semua fungsi yang terdapat pada suatu sistem politik. Ia memerankan fungsinya tersendiri, di samping fungsi-fungsi lainnya pada suatu sistem politik. Komunikasi politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik, dan pada saat yang sama, ia juga menyalurkan kebijakan-kebijakan yang diambil atau output sistem politik itu. Melalui komunikasi politik rakyat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Melalui itu pula rakyat mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan kontrol dapat tersalurkan atau tidak, sebagaimana dapat mereka simpulkan dari berbagai kebijakan politik yang diambil oleh kekuasaan. Itulah sebabnya, komunikasi politik tidak bisa dipisahkan dari gejala politik pada umummya, baik dalam lingkup praktis maupun sebagai bidang kajian para ahli ilmu politik ataupun ilmu komunikasi (Nasution:1990:78).

(44)

secara emosional maupun dalam bentuk indoktrinasi politik serta melalui saluran partisipasi dan pengalaman setiap individu yang menjalaninya. Cakupan sosialisasi politik seperti dijelaskan di atas juga berujung pada proses pembentukan perilaku politik. Dalam kasus kampanye untuk kepentingan Pemilu, misalnya, sosialisasi politik mentargetkan terjadinya perubahan perilaku memilih dari khalayak yang menjadi sasaran utamanya. Untuk mencapai sasaran seperti ini, pada tahap tertentu, komunikasi politik berperan sebagai pembuka jalan untuk memasuki wilayah perubahan individu, baik pada aspek kognisi, afeksi, maupun aspek psikomotorik(Kraus dan Davis:1976:12).

Dengan demikian, budaya politik yang berkembang pada suatu masyarakat pada hakikatnya merupakan produk dari proses sosialisasi politik yang secara kontinyu berlangsung dalam jangka waktu vang cukup lama. Melalui sosialisasi politik, masyarakat dapat belajar tentang politik sehingga mampu menentukan sikap terhadap lembaga-lembaga politik tertentu dan bahkan dimanifestasikannya dalam bentuk perilaku politik. Perilaku inilah yang jika diturunkan melalui proses komunikasi dari generasi ke generasi berikutnya, pada gilirannya akan membentuk budaya politik. Sub-sub kelompok seperti keluarga, sekolah, dan kelompok keagamaan, dapat memperkenalkan kepada anggota kelompoknya masing-masing tentang sistem politik yang ada dan mengikat kehidupannya. Di Indonesia, misalnya, munculnya perbedaan cara pandang tentang politik, antara lain, merupakan akibat dari proses sosialisasi yang berbeda-beda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, meskipun dalam satu lingkungan masyarakat politik yang sama(Muhtadi: 2008b:45).

Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, kini dapat melahirkan cara pandang dan perilaku politik yang berbeda. Dalam kategorisasi yang banyak digunakan, terdapat cara pandang politik yang berbeda antara kaum modernis dan tradisionalis. Hal ini tidak lepas dari proses sejarah yang sarat dengan muatan-muatan politis dalam pembinaan masing-masing komunitas itu. Sebab sirkulasi informasi yang homogen dan berlangsung terus menerus menyebabkan terbinanya serta terpeliharanya suatu perangkat keyakinan bersama mengenai politik dan sifat-sifat permainan politik yang berlaku(Nasution:1990:81).

Gambar

Gambar 1. Unsur-unsur Politik (Muhtadi: 2008b:28).
Tabel 1. Sumber (Komunikator) Individual dan Kolektif dalam Komunikasi Politik
Tabel 2.  Persyaratan Minimal bagi Calon Pasangan dari Jalur Independen
Tabel 3. Ringkasan Empat Teori Psikologi (Rakhmat:2011:19)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyertaan, pelaku ( Subyek) disyaratkan lebih dari seorang, baik bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dan bersekutu. masing-masing peserta menyadari

Realitas sosial tersebut terdiri dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat, misalnya konsep, kesadaran umum, maupun wacana

Demikian halnya masing- masing kelompok etnik yang berbeda tersebut didasari oleh terbentuknya system sosial dalam masyarakat (Barth, 1988:11), disebutkan kelompok

untuk setiap individu dalam proses sosialisasi dan pada saat yang sama berkontribusi terhadap. stabilitas dan keteraturan

Menurut friedman (1998), keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing

6) perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan individu; dan mendapatkan pendampingan sosial. Selanjutnya dalam pasal 125

Masing-masing anggota memunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain; (2) konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor psikologis yang terdiri dari sikap, persepsi, dan motivasi (baik secara bersama-sama maupun