• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Politik di Indonesia

BAB II KOMUNIKASI POLITIK

H. Komunikasi Politik dalam Sistem Politik

I. Komunikasi Politik di Indonesia

Fenomena komunikasi politik suatu masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik di mana komunikasi itu bekerja. Karena itu, kegiatan komunikasi politik di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari proses politik nasional yang menjadi latar kehidupannya. Kerangka konseptual pergumulan politik di Indonesia menarik untuk dikaji. Dari pernyataan Muhtadi (2008), dicoba mengadaptasi konsep "revolusi partisipasi", yang merupakan suatu penjelasan bagi partisipasi politik Ormas yang mengawali ledakannya pada awal 1990-an dan kemudian semakin tidak terbendung lagi pada saat menjelang suksesi 1997.

Jika tulisan Patterson merujuk pada masyarakat Amerika tahun 1960-an yang bercirikan tradisi politik yang lemah dan telah melahirkan revolusi partisipasi ormas melebihi fungsi partai politik sebagai saluran resminya, maka dalam tulisan Cipto tampak adanya usaha melakukan klarifikasi di sana sini untuk menemukan relevansinya dengan setting sosial politik Indonesia. Dengan melihat beberapa ciri masyarakat yang kurang lebih sama antara Indonesia selama masa Orde Baru dengan Amerika 1960-an, ditambah beberapa kondisi berbeda sebagai varian pentingnya, Cipto berhasil mengungkap suatu fenomena politik yang dalam analisisnya terlihat bahwa dekade 1990-an bagi Indonesia merupakan masa yang riuh untuk sebuah revolusi partisipasi. Tulisan tersebut menyebut ormas keagamaan sebagai salah satu agregat yang juga mengalami revolusi partisipasi. Sambil menyebut NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia, Cipto juga menyediakan beberapa peluang penelitian lebih lanjut mengenai revolusi partisipasi yang dapat menarik minat peneliti.

Perkembangan teoritis dalam studi ilmu politik yang menyangkut lahirnya konsep partisipasi politik lebih lanjut diperoleh dari tulisan Maswadi Rauf, Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi Politik. Dalam tulisannya ini, Rauf menjelaskan perkembangan dan ciri- ciri teori partisipasi politik yang berorientasi Barat. Hal ini sulit dihindari, karena menurutnya, sifat-sifat yang biased dan western-oriented

dapat diadaptasi dari teori-teori tersebut dalam konteks penelitian ini adalah bahwa partisipasi politik, menurut para penulis Barat, merupakan kegiatan politik yang dilakukan oleh rakyat biasa dengan tujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Dengan demikian, yang menjadi sasaran utama partisipasi politik adalah penguasa politik sebagai pengambil/penentu keputusan. Sedangkan tipologi partisipasi politik secara terpisah diuraikan oleh Ramlan Surbakti dalam salah satu bahasannya mengenai perilaku dan partisipasi politik.

Selanjutnya, dengan melihat dinamika politik nasional seperti disebutkan di atas, fenomena komunikasi politik ormas keagamaan, salah satunya, dapat dideskripsikan secara sistemik dengan pendekatan fungsionalis mestruktural (structural functionalism). Penentuan pendekatan seperti ini didasarkan pada satu asumsi bahwa kegiatan komunikasi politik di kalangan masyarakat beragama, terutama dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi struktur yang melingkupinya, merupakan fenomena sosial yang berfungsi, antara lain:

1. Pencapaian tujuan (goal attainment) atau disebut juga penentuan tujuan.

2. Integrasi (integration).

3. Penyesuaian atau adaptasi (adaptation).

4. Pemeliharaan pola yang tidak selalu tampil (latency, pattern maintenance).

Dengan demikian, kekuatan-kekuatan politik Islam tidak mungkin melepaskan diri darimainstream perpolitikan nasional. Paling tidak, ia adalah sasaran kebijakan politik nasional, sehingga momen- momen tertentu akan memaksanya untuk berbicara politis.

Seperti halnya LSM dan Pers, ormas keagamaan adalah lembaga otonom di masyarakat yang mau tidak mau akan difungsikan dan memfungsikan diri sebagai juru bicara arus bawah. Perjalanan sejarah LSM, Pers dan Ormas di Indonesia memang dekat dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Pada sepuluh tahun terakhir ini, ia bahkan makin aktif dan relatif menyaingi partai politik. Sementara situasi sosial politik selama dekade itu telah mendorong aktivitas komunikasi politik untuk menyuarakan lebih nyaring upaya-upaya demokratisasi bukan hanya sebagai slogan politik. Karena itu, partisipasi politik menjadi hal yang inevitable dan legitimate. Wacana politik bagaimanapun bukan hanya milik partai politik. Ketika saluran resmi partai politik sebagai penyalur aspirasi massa mendapat kendala baik internal maupun eksternal

dalam menjalankan fungsinya, masyarakatpun bergerak menemukan saluran yang lain.

Dalam konteks politik inilah dinamika komunikasi politik di Indonesia, dengan kekuatan Islam sebagai salah satu agregatnya, akan dideskripsikan. Sejak dekade 1970-an, komunikasi politik di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan langgam perlalanan politik nasional. Masih banyak ketimpangan komunikasi politik yang diperankan sejumlah elit politik, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pesta demokrasi sepanjang Orde Baru(Muhtadi: 2008b:55-57).

Ketimpangan-ketimpangan komunikasi politik di Indonesia, salah satunya diakibatkan oleh ketimpangan peran-peran komunikator sebagai dampak dari ketidakseimbangan kemampuan sumber daya manusia. Peran komunikator politik di lembaga eksekutif terlampau dominan dibanding komunikator politik di lembaga legislatif. Ketimpangan ini berakibat pada tidak berfungsinya sistem kontrol infrastruktur politik terhadap suprastruktur politik, dan macetnya saluran opini publik, lantaran komunikator politik di struktur infra menjadi sangat bergantung pada komunikator politik di struktur supra(Ali:1999:135).

Dekade 1970-an hingga 1980-an, komunikasi politik lebih diwarnai oleh usaha-usaha pemerintah dalam memperkokoh kekuasaannya. Untuk kepentingan stabilitas politik nasional, komunikasi politik lebih bersifat satu arah dengan pesan-pesan politik dari atas ke bawah. Dalam kerangka teori pers dari Siebert, komunikasi yang berlangsung cenderung memerankan pola autoritarian, sehingga rakyat hanya berperan sebagai konsumen informasi dan tidak berdaya untuk melakukan kontrol pada kekuasaan. Komunikasi politik juga digunakan untuk kepentingan pengelolaan kesan (impression management) agar terbangun kepercayaan masyarakat untuk menjamin stabilitas nasional. Penyederhanaan partai tahun 1973 dan sekitar sepuluh tahun berikutnya disusul dengan lahirnya peraturan asas tunggal Pancasila yang mengikat seluruh organisasi sosial politik, misalnya, telah berakibat pada semakin rapuhnya sendi-sendi komunikasi politik baik dalam lingkup internal maupun eksternal.

Komunikasi politik yang melibatkan lebih banyak partisipasi rakyat memang masih terbatas pada momentum-momentum pesta demokrasi, sejak sebelum hingga saat pelaksanaan Pemilu usai. Di luar itu, komunikasi politik seolah-olah hanya menjadi warna kehidupan para penyelenggara pemerintahan, khususnya lembaga eksekutif dan legislatif. Meskipun demikian, Rudini (1993) menilai bahwa dalam bidang politik,

komunikasi politik telah melahirkan serangkaian sukses. Ia menyebut beberapa contoh hasil dari proses itu, seperti penyederhanaan sistem kepartaian, terselenggaranya Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR secara reguler, P4, dan disepakatinya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, lanjutnya, wujud sistem politik demokrasi Pancasila semakin jelas sosoknya.

Untuk melihat simbol-simbol komunikasi politik pada era Orde Baru, menarik juga untuk menelaah tulisan Anderson (1978), Cartoons and Monuments: The Evolution of Political Communication under the New Order. Ia menyebutkan sekurang-kurangnya empat simbol komunikasi politik yang banyak digunakan pemerintahan Orde Baru:

1. Direct speech, yang dalam realitasnya merupakan bentuk komunikasi politik paling banyak digunakan di masyarakat, seperti gosip, rumor, diskusi, argumentasi, interogasi, dan intrik. Meskipun demikian, bentuk-bentuk komunikasi ini hampir lepas dari perhatian para pakar dan peneliti tentang komunikasi politik di Indonesia.

2. Symbolic speech, yaitu simbol-simbol yang dimaknai secara khusus sesuai dengan kepentingan sejarahnya. Pemilihan warna bendera merah-putih, misalnya, merupakan simbol yang mengandung pesan-pesan tertentu sesuai dengan makna sejarahnya.

3. Cartoons, yaitu bentuk komunikasi politik yang paling terbuka untuk diinterpretasikan. Kartun biasanya dibuat dengan latar belakang peristiwa tersendiri. Ia merupakan respon terhadap kenyataan-kenyataan yang sedang hangat terjadi.

4. Monuments, yaitu simbol komunikasi politik yang dibuat untuk menginformasikan suatu peristiwa yang pernah dilalui bangsa Indonesia. Monumen banyak dibangun selama pemerintahan Orde Baru yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.

Demikianlah, komunikasi politik di Indonesia, seperti dikatakan Irianta (2001), secara umum masih diwarnai oleh watak eufemisme yang dalam beberapa hal dapat menghambat keterbukaan. Eufemisme memang tidak selalu berarti menutup-nutupi atau menghaluskan, karena eufemisme merupakan bagian dari etika berkomunikasi yang ada pada setiap masyarakat. Praktik eufemistik dalam berkomunikasi ini masih banyak dilakukan para politisi produk Pemilu era reformasi. Mereka bisa berbicara lantang ketika mengontrol pemerintahan, namun masih malu-

malu untuk berbicara langsung mengenai keinginannya untuk berkuasa. Ketika Gus Dur menerima pencalonan presiden, ia hanya mengatakan bahwa kesediaannya untuk dipilih menjadi presiden hanya karena untuk menghindari bentrok massa pendukung Mega dan Habibie. Demikian pula Mega. Ia tidak menunjukkan keinginannya kecuali hanya mengatakan bahwa kongres mengamanatkan untuk memperjuangkan Ketua Umum PDI-P menjadi presiden. Inilah warna komunikasi politik di Indonesia yang dalam banyak hal masih kuat terpengaruh kultur politik Jawa yang berhasil ditanamkan kekuasaan Orde Baru(Muhtadi: 2008b:57-59).