• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Psikologi dan Sejarahnya

BAB III PSIKOLOGI KOMUNIKASI

A. Pengertian Psikologi dan Sejarahnya

Menurut asal katanya, psikologi berasal dari kata-kata Yunani:

psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Namun, arti "ilmu jiwa" masih kabur sekali. Apa yang dimaksud dengan "jiwa", tidak ada seorang pun yang tahu dengan sesungguhnya. Dampak dari kekaburan arti itu, sering menimbulkan berbagai pendapat mengenai definisi psikologi yang berbeda. Banyak sarjana memberi definisinya sendiri yang disesuaikan dengan arah minat dan aliran masing-masing.

Sebelum psikologi berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan pada tahun 1879, psikologi (atau tepatnya gejala-gejala kejiwaan) dipelajari oleh filsafat dan Ilmu Faal. Filsafat sudah mempelajari gejala-gejala kejiwaan sejak 500-600 tahun SM, yaitu melalui filsuf-filsuf Yunani Kuno. Di antara para filsuf itu adalah Thales (624-548 SM) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat. Beliau mengartikan jiwa sebagai sesuatu yang supernatural. Jadi, jiwa itu tidak ada, karena menurut beliau yang ada di alam ini hanyalah gejala alam (natural phenomena) dan semua gejala alam berasal dari air.

Lain halnya dengan Anaximander (611-546 SM) yang berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari apeiron artinya tak berbatas, tak berbentuk, tak bisa mati (the boundless, formless, immortal matter), yaitu seperti konsep tentang Tuhan di zaman kita sekarang. Berdasarkan hal itu beliau berpendapat bahwa jiwa itu ada. Filsuf lainnya yakni Anaximenes (490-430 SM) percaya bahwa jiwa itu ada, karena segala sesuatu berasal dari udara.

Tokoh-tokoh filsafat Yunani Kuno berikutnya sudah lebih konkret dalam memaknai jiwa. Empedokles (490-430 SM) menyatakan bahwa ada empat elemen dasar alam, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan

air, sedangkan manusia bisa dianalogikan sama, yakni tulang/otot/usus (dari bumi/tanah), fungsi hidup (dari udara), rasio (dari api), dan cairan tubuh (dari air). Tokoh lainnya, Hipokrates (460-375 SM) yang juga dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran beranggapan bahwa jiwa manusia dapat digolongkan ke dalam empat tipe kepribadian berdasarkan cairan tubuh yang dominan, yaitu:

1. Tipe sanguine (riang) yang didominasi oleh darah. 2. Tipe melankolis (murung) oleh sumsum hitam. 3. Kolerik (cepat bereaksi) oleh sumsum kuning. 4. Flegmatis (lamban) oleh lendir.

Dari sekian banyak tokoh yang kemudian berperan paling penting terhadap perkembangan psikologi ratusan tahun ke depan adalah tiga serangkai Sokrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM), yang sering disebut dengan Trio-SPA. Plato adalah murid Sokrates, dan Aristoteles murid Plato. Sokrates memperkenalkan teknik maeutics, yaitu wawancara untuk memancing keluar pikiran-pikiran dari seseorang. Ia percaya bahwa pikiran-pikiran itu mencerminkan keberadaan jiwa di balik tubuh manusia.

Plato kemudian berteori bahwa jiwa manusia mulai masuk ke tubuhnya sejak manusia ada dalam kandungan (mirip konsep agama Islam, Kristen, dan Yahudi), dan mempunyai tiga fungsi, yaitu logisticon

(akal) yang berpusat di kepala, thumeticon (rasa) yang berpusat di dada, dan abdomen (kehendak) yang berpusat di perut (mirip dengan konsep jiwa menurut Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa). Aristoteles menyumbangkan pikiran yang sangat penting dalam tulisannya yang berjudul "The Anima". Ia mengatakan bahwa makhluk hidup terbagi dalam tiga golongan, yaitu anima vegetativa (tumbuh- tumbuhan), anima sensitiva (hewan), dan anima intelektiva (manusia). Hewan berbeda dari tumbuh-tumbuhan karena hewan berindera (sensitiva), sedangkan tumbuh-tumbuhan tidak. Namun manusia yang juga berindera, berbeda dari hewan karena manusia punya kemampuan mengingat (mneme), yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai kecerdasan (intelek).

Pemikiran para filsuf Yunani Kuno berkembang terus sampai pada zaman Renaisan, yaitu zaman revolusi ilmu pengetahuan di Eropa. Pada era ini Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf Prancis, mencetuskan definisi bahwa ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu tentang kesadaran. Ia mengemukakan mottonya yang terkenal "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada), karena menurut beliau segala sesuatu di

dunia ini tidak ada yang dapat dipastikannya, kecuali pikirannya sendiri. Di era yang sama, walau pada generasi berikutnya, George Berkeley (1685-1753) seorang filsuf Inggris, mengemukakan pendapat bahwa yang terpenting adalah penginderaan, bukan kesadaran atau rasio. Menurutnya segala sesuatu berawal dari penginderaan, rasio hanya mengikuti apa yang diserap oleh penginderaan. Oleh karena itu, dalam pandangan Berkeley psikologi adalah ilmu tentang penginderaan (persepsi).

Era Ilmu Faal dimulai pasca Renaisan. Para ahli Ilmu Faal (fisiologi) ketika itu, khususnya para dokter mulai tertarik pada masalah- masalah kejiwaan. Pada saat itu, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan di negara-negara Eropa, khususnya di bidang Fisika (ilmu alam) dan Biologi, para ahli Ilmu Faal berpendapat bahwa jiwa erat sekali hubungannya dengan susunan syaraf dan refleks-refleks.

Dimulai dengan Sir Charles Bell (1774-1842, Inggris) dan Francois Magendie (1783-1855, Prancis) yang menemukan syaraf-syaraf sensorik (penginderaan) dan syaraf-syaraf motorik (yang mempengaruhi gerak dan kelenjar-kelenjar), para ahli kemudian menemukan berbagai hal, antara lain pusat bicara di otak (Paul Brocca, 1824-1880, Jerman) dan mekanisme refleks (Marshall Hall, 1790-1857, Inggris). Setelah penemuan-penemuan itu timbullah definisi-definisi tentang psikologi yang mengaitkan psikologi dengan tingkah laku dan selanjutnya mengaitkan tingkah laku dengan refleks. Ivan Pavlov (1849-1936, Rusia), misalnya mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang refleks dan karena itu psikologi tidak berbeda dari Ilmu Faal (Sarwono:2010:1-5).

Perkembangan definisi-definisi itu masih berlanjut hingga sekarang. Di antara para sarjana psikologi modern yang mengemukakan definisi psikologi, dapat dikemukakan beberapa di antaranya:

1. Gardner Murphy (1929): Psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.

2. Boring, Edwin G., Herbert S. Langfeld, dan Harry P. Weld (1948): Psikologi adalah studi tentang hakikat manusia.

3. Clifford T. Morgan (1966): Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan (Sarwono:2010:6). 4. Aliran Freudianisme: Psikologi adalah ilmu yang mempelajari

baik gejala-gejala kesadaran maupun gejala-gejala ketidaksadaran serta gejala-gejala di bawah sadar.

5. R. S. Woodworth dan D. G. Marquis: Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan

perbuatan individu yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya (Psychology is the scientific studies of the individual activities relation to environment). Penerapannya secara ilmiah dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mencatat dengan teliti mengenai segala tingkah laku manusia selengkap mungkin dan dijauhkan dari segala prasangka, sehingga diperoleh jawaban yang terpercaya mengenai pelbagai pertanyaan teoritis dan praktis.

6. Verbeek: Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki penghayatan dan perbuatan manusia ditinjau fungsinya bagi subjek.

7. Mac Dougall: Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia (human behaviour). Oleh sebab itu, psikologi digolongkan dalam aliran behaviourism. 8. Jalaluddin: Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala

kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emosi), dan kehendak (conasi). Gejala dimaksud mempunyai ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal, dan beradab. Gejala pokoknya dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia namun terkadang ada di antara pernyataan dalam aktivitas itu merupakan gejala campuran sehingga para ahli psikologi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari dalam psikologi, yaitu pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Tergolong gejala campuran, yaitu inteligensi kelelahan maupun sugesti. 9. F. Patty: Ahli ini berpendapat bahwa dalam mempelajari

psikologi ditemui kendala, yaitu objek penyelidikannya bersifat abstrak dan tidak dapat diselidiki keaktifan-keaktifannya yang terlihat melalui manifestasi tingkah laku atau perbuatan. Jika dituntut lebih jauh sampai saat ini para tokoh atau ahli psikologi belum berhasil menemukan bentuk dan rupanya jiwa karena pada kenyataannya jiwa tidak dapat dilihat secara langsung. Sebagai pembanding dalam mencari gambaran konkretnya dimisalkan dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bentuk objeknya dapat dilihat secara langsung, kemudian dapat diperiksa di laboratorium IPA, dan sebagainya. Objek yang tidak dapat dilihat menggunakan mata secara langsung misalnya angin tetapi keberadaannya dibuktikan oleh gerakan atau keaktifan angin itu sendiri yang mampu menggerakkan daun-daun tanaman, kain gorden sewaktu daun jendela dibuka, daun-daun kering atau

benda-benda ringan yang lain terlihat terbang sewaktu angin sedang bertiup kencang di sekitar kita.

10.Menurut lainnya, Bimo Walgito mencatat bahwa psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas, di mana tingkah laku serta aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan (Prawira:2012:25-27).

Jika kita mengkritisi definisi psikologi yang telah dikemukakan oleh berbagai ahli termasuk di dalamnya ahli psikologi tersebut, diperoleh gambaran bahwa tujuan pokok dalam psikologi adalah memahami seluk-beluk kehidupan rohaniah manusia yang merupakan kekuatan penggerak bagi segala kegiatan hidup lahiriah dalam lingkungan alam sekitar. Demikian juga psikologi selalu menekankan kepada tingkah laku (Prawira:2012:27).

Perdebatan tentang definisi psikologi ini berlanjut terus. Saat ini sudah demikian banyak definisi psikologi sehingga sulit dikatakan bahwa ada satu definisi yang berlaku umum. Sebagian pakar ingin definisi yang lebih konkret daripada jiwa, atau mental, sehingga mereka mendefinisikan psikologi sebagai "aktivitas mental" (John Dewey, Carr). Namun ada yang beranggapan bahwa "aktivitas mental" pun masih terlalu luas. Maka muncullah definisi psikologi sebagai "elemen introspeksi/mawas diri" (Titchener, Daellenbach), "waktu reaksi" (Scripture), "refleks" (Pavlov), atau "perilaku" (Watson). Definisi-definisi berkembang dalam semangat untuk menuju psikologi yang objektif dan terukur, sebagai suatu persyaratan yang penting untuk sebuah ilmu pengetahuan (pasca renaisans).

Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Namun, perkembangan ini tidak memuaskan beberapa pakar psikologi yang lain, karena definisi- definisi tersebut dianggap melanggar "janji" awal psikologi, yang secara etimologis berarti "ilmu jiwa". Dalam definisi-definisi yang "terukur" ini, orang justru melupakan inti dari psikologi, yaitu jiwa, mental, mind, soul, atau spirit. Padahal tidak mungkin "jiwa" bisa dimengerti tanpa kita pernah mempelajari "jiwa" itu sendiri. Gene Zimmer pernah menyatakan bahwa psikologi harus mampu menjelaskan hal-hal seperti imajinasi, perhatian, intelek, kewaspadaan, niat, akal, kemauan, tanggungjawab, memori dan lain-lain yang sehari-hari melekat pada diri kita. Tanpa itu, psikologi tidak akan banyak bermanfaat.

Perdebatan tentang definisi psikologi belum terselesaikan. Apalagi kalau ditambahkan pandangan filsuf-filsuf Islam seperti Ibnu Sina atau yang dalam bahasa Eropa sering disebut dengan Avicenna (980-1037) dan Iman Ghazali atau yang dikenal juga dengan nama Abu Hamid al-Ghazali (1058-1128), dua pemikir Islam Persia/Iran, namun menganut pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonian yang kemudian diadopsi oleh Pendeta Santo Aquinas (1224-1274) untuk mengukuhkan ortodoksi gereja di Barat.

Walaupun demikian, dibutuhkan satu definisi yang paling sesuai untuk digunakan. Tanpa adanya satu definisi yang dapat dijadikan pegangan, maka akan sukarlah berbicara mengenai psikologi.

Dari definisi-definisi psikologi di atas, terlihat tiga unsur, yaitu:

1. Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan yaitu suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan mempunyai metode-metode tertentu. Sebenarnya, psikologi di samping merupakan ilmu juga merupakan "seni", karena dalam pengamalannya dalam berbagai segi kehidupan manusia, diperlukan keterampilan dan kreativitas tersendiri. Namun, dalam buku ini pembicaraan akan lebih ditekankan pada psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan saja. Aspek "seni" dalam psikologi dapat dipelajari dalam buku-buku tentang konseling, psikoterapi, maupun teknik-teknik wawancara atau observasi dalam penelitian psikologi.

Perilaku atau perbuatan mempunyai arti yang lebih konkret daripada "jiwa". Karena lebih konkret itu, maka perilaku lebih mudah dipelajari daripada jiwa dan melalui perilaku kita tetap akan dapat mempelajari jiwa. Termasuk dalam perilaku di sini adalah perbuatan-perbuatan yang terbuka (overt) maupun yang tertutup (covert). Perilaku yang terbuka adalah perilaku yang kasat mata dan dapat diamati secara langsung melalui pancaindra, seperti berlari, melempar atau mengangkat alis. Perilaku yang tertutup hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui alat-alat atau metode-metode khusus, misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dan sebagainya. Istilah perilaku ini bisa mewakili istilah behavior seperti yang dimaksud oleh J.B. Watson, maupun activity dan introspeksi seperti dikemukakan dalam definisi-definisi lainnya.

2. Manusia

Makin lama objek materil psikologi makin mengarah kepada manusia karena manusia yang paling berkepentingan dengan ilmu ini. Manusia paling membutuhkan ilmu ini dalam berbagai segi kehidupannya, di sekolah, di kantor, di rumah tangga dan sebagainya. Hewan masih menjadi objek studi psikologi, tetapi hanya sebagai perbandingan saja atau untuk mencari fungsi-fungsi psikologis yang paling sederhana yang sudah sukar dipelajari pada manusia karena struktur psikologis manusia sudah terlalu berbelit.

3. Lingkungan

Lingkungan yaitu tempat di mana manusia itu hidup, menyesuaikan dirinya (beradaptasi) dan mengembangkan dirinya. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya di dunia ini, manusia tidak diciptakan berbulu tebal untuk melawan udara dingin, ia tidak bertaring kuat untuk membunuh mangsanya, ia pun tidak pandai berlari cepat untuk menghindar dari musuh-musuhnya. Sebagai gantinya, manusia mempunyai alat yang sangat tangguh yang menyebabkan ia dapat bertahan hidup di dunia ini. Alat itu adalah akal budi. Menurut Ernst Cassirer (1944), dengan akal budi itu, manusia menyusun simbol-simbol berupa mitos, bahasa, kesenian, agama, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dengan simbol- simbol itulah manusia "menguasai" dunianya, baik alam fisiknya (sungai, gunung, udara, dan lain-lain) maupun alam sosialnya (orang-orang lain di sekitarnya). Dengan menggunakan ilmu pengetahuan manusia bisa membangun gedung-gedung pencakar langit atau roket ke bulan dan dengan menggunakan bahasa, manusia dapat saling berhubungan dan saling mengerti satu sama lain. Dengan bantuan teknologi, manusia menggunakan telepon genggam dan internet untuk saling berkomunikasi ke seluruh dunia dalam hitungan detik. Jadi, manusia adalah makhluk simbolis (man is an animal symbolicum), demikian menurut Ernst Cassirer, dan dengan simbol-simbolnya itu manusia mampu terbang lebih cepat dan lebih tinggi daripada burung walau tidak bersayap, mampu mengarungi samudera walaupun tidak bisa berenang seperti ikan dan mampu menembus ruang dan waktu walaupun ia bukan dewa (Sarwono:2010:6-10).