BAB 3 RANCANGAN KERANGKA EKONOMI
3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi merupakan tujuan utama dari setiap bangsa. Pembangunan ekonomi dilakukan melalui peningkatan pendapatan, kesejahteraan dan kemampuan ekonomi dari masyarakatnya (Debraj Ray,1998). Dilihat dari hal itu peningkatan pendapatan tidak menjadi satu-satunya faktor krusial dalam pembangunan ekonomi. Hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana peningkatan pendapatan tersebut dapat membawa peningkatan kesejahteraan.
Banjarnegara termasuk dalam daerah agraris dimana sektor pertanian dominan dalam perekonomian. Hal menarik tergambar dalam perekonomian Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2015, tepat disaat Badan Pusat Statistik melakukan perubahan klasifikasi pengelompokan kegiatan ekonomi. Dari perubahan klasifikasi tersebut terjadi pergeseran sektor dominan pada Kabupaten Banjarnegara, menjadi pertanian-perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor-industri dari sebelumnya pertanian-jasa-perdagangan. Ketiga sektor dominan terbaru, secara berurutan, mewakili tiap kelompok sektor yang ada dalam perekonomian yaitu sektor primer (output tingkat dasar), tersier (output dominan jasa), dan sekunder (input berasal dari sektor primer atau telah telah diproses) dibanding sebelumnya yang hanya sektor primer dan tersier.
Pada tahun 2016, perekonomian Kabupaten Banjarnegara tumbuh sebesar 5,41% apabila dibandingkan dengan tahun 2015
yang sebesar 5,47%, laju pertumbuhan tahun 2015 mengalami perlambatan sebesar 0,06%. Apabila dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah yang sebesar 5,28% kondisi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banjarnegara Tahun 2016 terbilang menggembirakan karena berada di atas Provinsi Jawa Tengah. Kontribusi tiga sektor teratas (pertanian-perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor-industri pengolahan) mencapai 60,88%. Hal ini menunjukan sektor-sektor tersebut merupakan sektor unggulan yang memegang peranan penting dalam perekonomian. Berkembangnya sektor sekunder dalam hal ini industri pengolahan membawa harapan baru akan kekuatan fundamental ekonomi di Kabupaten Banjarnegara.
Tabel 3.1.
Nilai dan Kontribusi Sektor Dalam PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku (HB) dan Harga Konstan (HK) Tahun 2010 Kabupaten Banjarnegara Tahun 2016
Lapangan Usaha Kategori Sektor HB HK
Rp % Rp % Pertanian, Kehutanan, dan
Perikanan Primer 5.437.913,00 31,54 3.874.029,02 29,96 Pertambangan dan
Penggalian Primer 1.074.928,07 6,23 721.864,98 5,58
Industri Pengolahan Sekunder 2.479.960,05 14,38 1.715.528,55 13,27 Pengadaan Listrik dan Gas Sekunder 5.693,00 0,03 4.747,55 0,04 Pengadaan Air, Pengelolaan
Sampah, Limbah dan Daur
Ulang Sekunder
6.960,63 0,04 6.204,31 0,05
Konstruksi Sekunder 1.135.212,82 6,58 881.432,42 6,82
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Tersier 2.579.842,83 14,96 2.151.112,69 16,64 Transportasi dan
Pergudangan Tersier 630.022,10 3,65 549.888,98 4,25
Penyediaan Akomodasi dan
Makan Minum Tersier 331.425,89 1,92 264.443,48 2,05
Informasi dan Komunikasi Tersier 417.274,56 2,42 447.552,67 3,46 Jasa Keuangan dan
Asuransi Tersier 501.883,80 2,91 373.051,40 2,89
Real Estate Tersier 264.302,59 1,53 230.256,57 1,78
Jasa Perusahaan Tersier 63.437,61 0,37 49.714,92 0,38
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan
Sosial Wajib Tersier
654.470,21 3,80 477.620,58 3,69 Jasa Pendidikan Tersier 1.069.440,60 6,20 723.234,15 5,59 Jasa Kesehatan dan
Kegiatan Sosial Tersier 216.787,90 1,26 160.602,21 1,24
Jasa Lainnya Tersier 371.910,68 2,16 298.372,87 2,31
Produk Domestik Regional Bruto 17.241.466,35 100 12.929.657,38 100
Dilihat dari sisi pertumbuhan, kelompok sektor primer mengalami tekanan, pertumbuhan pada sektor pertanian dan pertambangan di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Kabupaten. Sektor pertanian tumbuh sebesar 2,85% sedang sektor pertambangan hanya tumbuh sebesar 2,55%. Pertumbuhan sektor paling besar pada tahun 2016 adalah sektor pengadaan listrik dan gas (9,46%). Sejalan dengan kontribusi yang mengalami kenaikan, sektor industri pengolahan juga tumbuh dengan baik di angka 6,18%. Dengan tumbuhnya sektor ini diharapkan output dari sektor primer akan semakin banyak diserap oleh industri pengolahan sehingga meningkatkan nilai tambah produk sektor primer. Selain itu industri pengolahan yang bersifat tradable (bersifat padat karya) diharapkan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Tabel 3.2.
Pertumbuhan Sektor Dalam PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku (HB) dan Harga Konstan (HK) Tahun 2010 Kabupaten Banjarnegara Tahun 2016
LAPANGAN USAHA
Pertumbuhan
HB HK
% %
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5,96 2,85
Pertambangan dan Penggalian 6,95 2,55
Industri Pengolahan 10,43 6,18
Pengadaan Listrik dan Gas 20,34 9,46
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 6,77 3,71
Konstruksi 8,56 6,94
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda
Motor 12,36 8,01
Transportasi dan Pergudangan 5,53 5,46
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 14,38 8,04
Informasi dan Komunikasi 7,99 7,86
Jasa Keuangan dan Asuransi 12,19 7,97
Real Estate 8,27 6,39
Jasa Perusahaan 8,38 5,18
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial
Wajib 10,36 4,71
Jasa Pendidikan 10,63 7,07
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 9,22 6,78
Jasa Lainnya 12,52 6,00
Produk Domestik Regional Bruto 8,79 5,41 Sumber: BPS Kabupaten Banjarnegara Tahun 2017
Laju inflasi Kabupaten Banjarnegara selama tahun 2016 sebesar 2,87%. Inflasi tertinggi terjadi pada bulan Juli sebesar 0,97% kontributor utama penyebab inflasi adalah kelompok bahan makanan. Hal ini disebabkan oleh stok bahan makanan yang terbatas sedangkan disaat yang sama terjadi peningkatan pola konsumsi masyarakat yang dipacu oleh perayaan Hari Raya Idul Fitri 1437 H dan tahun ajaran baru. Sedang untuk deflasi terendah terjadi pada bulan April sebesar 0,27% hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan BBM yang memacu turunnya tarif angkutan.
Laju inflasi tahun 2016 dan 2015 memiliki pola yang hampir sama, terutama pada kenaikan bulan Maret, Juni, Juli dan November. Pola tersebut menunjukan bahwa kenaikan dan penurunan harga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu musim, kebijakan pemerintah, dan tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran suatu barang. Perkembangan inflasi di Kabupaten Banjarnegara selama tahun 2015 dan 2016 dapat dilihat pada grafik berikut:
Sumber: BPS Kabupaten Banjarnegara Tahun 2016 Grafik 3.1
Perkembangan Laju Inflasi Bulanan
Kabupaten Banjarnegara Tahun 2015 dan 2016
Dalam konteks kewilayahan Banjarnegara termasuk salah satu kabupaten yang berada dalam eks-karisidenan Banyumas bersama Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang. Untuk mengetahui posisi Kabupaten Banjarnegara dianalisis menggunakan Tipologi Klassen. Tipologi
tersebut menghasilkan empat kuadran dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high
income) yakni Kabupaten dengan rata-rata PDRB per kapita di
atas rata-rata PDRB per kapita Provinsi, serta rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabupaten di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi.
2. Daerah berkembang cepat (high growth but low income) yakni Kabupaten dengan rata-rata PDRB per kapita di bawah rata-rata PDRB per kapita Provinsi, tapi rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi.
3. Daerah maju tapi tertekan (low growth but high income) yakni Kabupaten dengan rata-rata PDRB per kapita di atas rata-rata PDRB per kapita Provinsi, tapi rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabupaten berada di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi.
4. Daerah relatif tertinggal (low growth and low income) yakni kabupaten dengan rata-rata PDRB per kapita di bawah rata-rata PDRB per kapita Provinsi dan memiliki rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Provinsi.
Dilihat dari hasil analisa Kabupaten Banjarnegara termasuk daerah berkembang cepat. Yang perlu menjadi perhatian adalah PDRB per Kapita Kabupaten Banjarnegara yang ada di posisi kedua terbawah di wilayah ini tepat di atas Kabupaten Kebumen.
Berikut informasi mengenai PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi per Kabupaten pada tahun 2016:
Tabel 3.3.
PDRB per Kapita dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten se-Eks Karisidenan Banyumas
Kabupaten PDRB Per Kapita Pertumbuhan Laju Ekonomi Klasifikasi Kuadran Kabupaten Cilacap 58.759.228 + 6,46 + I Kabupaten Banyumas 23.716.961 - 6,12 + II Kabupaten Purbalingga 20.665.194 - 5,39 - IV Kabupaten Banjarnegara 17.737.229 - 5,48 + II Kabupaten Wonosobo 18.425.831 - 5,12 - IV Kabupaten Kebumen 17.711.535 - 6,29 + II Kabupaten Pekalongan 19.140.305 - 4,78 - IV Kabupaten Batang 21.583.846 - 5,60 + II Provinsi Jawa Tengah 30.025.166 5,44 3.1.2. Tantangan Dan Prospek Perekonomian Daerah
Perekonomian Indonesia pada tahun 2016 terbilang fluktuatif, hal ini ditandai dengan tidak stabilnya nilai kurs dollar sama halnya dengan inflasi yang masih bergerak meski nilai y-o-y bulan Desember tahun 2016 dapat ditekan pada nilai 3,02%. Tahun 2017 Pemerintah Pusat memberlakukan pengurangan subsidi listrik yang tidak tepat sasaran pada rumah tangga mampu dengan daya 900 VA, hal ini akan sedikit memberikan shock pada kondisi makro. Meski secara perlahan diyakini kondisi akan membaik seiring dengan penyesuaian konsumsi masyarakat yang terkena dampak kebijakan.
Sejalan dengan adanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Pemerintah Daerah harus jeli didalam menentukan strategi kebijakan, seperti: (1) Penguatan ketahanan sektor primer dan penempatan prioritas pengembangan pada sektor sekunder agar dapat mendorong penyerapan output dari sektor primer sehingga dapat menambah value added, serta (2) Treatment terhadap sektor-sektor ekonomi dominan dan atau tumbuh cepat selama beberapa tahun terakhir, diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong peningkatan investasi yang mendorong terciptanya lapangan kerja yang lebih luas dengan fokus utama untuk menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Tantangan bagi perekonomian daerah ke depan di antaranya adalah:
1. Tantangan yang bersumber dari dinamika global yang dapat menyebabkan rentannya pemulihan ekonomi global;
2. Kemungkinan penerapan kebijakan administered price terutama harga-harga energi (BBM bersubsidi, tarif tenaga listrik, dan LPG) dan kebijakan tarif yang ditetapkan oleh daerah. Secara historis, laju inflasi di daerah memiliki sensitivitas yang cukup tinggi terhadap adanya perubahan administered prices. Kondisi ini memerlukan respons koordinasi yang lebih baik di daerah untuk meminimalkan dampak lanjutan dari kemungkinan diterapkannya kebijakan ini, terutama terkait dengan pengendalian tarif angkutan dan jasa kemasyarakatan lainnya; 3. Masih kurangnya kuatnya daya saing daerah. Mengatasi hal ini,
upaya untuk mendorong kenaikan daya saing daerah perlu ditempuh bersama-sama oleh para penentu kebijakan di daerah, terutama dalam hal peningkatan kapasitas infrastruktur dan penciptaan iklim investasi;
4. Menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif di daerah dengan melakukan beberapa langkah-langkah perbaikan antara lain perbaikan dibidang regulasi, pelayanan dan penyederhanaan birokrasi;
5. Menyediakan infrastruktur yang cukup dan berkualitas. Hal ini merupakan prasyarat agar dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai akan menjadi kendala bagi masuknya investasi;
6. Masih kurang optimalnya koordinasi pembangunan antarsektor, sehingga pelaksanaan pembangunan masih kurang selaras dan serasi.