• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN STRATEGI ADAPTASI PESANTREN DI DAERAH MINORITAS MUSLIM

F. Kondisi Minoritas Muslim Tabanan Bali

Di Tabanan Bali, mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, dan dikenal dengan istilah Hindu Dharma. Oleh karenanya, Muslim menjadi minoritas. Ajaran Hindu Bali merupakan hasil sinkretisme aliran-aliran Hindu Waisnawa, Brahma, dan Siwa, dengan ajaran kepercayaan lokal di Bali. Pada waktu prakolonial, Hindu Bali disebut dengan istilah agama “Air Suci” (Tirta) atau Siwa-Buddha. Ajarannya meliputi berbagai aspek kehidupan di masyarakat, antara lain: mata pencaharian, kekeluargaan, tempat tinggal, kesenian, dan masih

banyak lagi. Pelaksanaan ibadah melibatkan unsur struktur pemerintahan desa adat (banjar), kerajaan, group pengairan, unsur kekerabatan, dan sebagainya.197 Pusat pancaran yang suci dan kunci upacara utama diwujudkan berupa bangunan Puri. Selain itu, agamanya bersifat lokal dan antara satu desa dengan desa yang lain sangat berbeda. Memuja leluhur adalah bagian dari tradisi yang menjadi adat pada masyarakat Hindu di Bali. Pemujaan leluhur termasuk bagian dari ritual utama. Dalam keyakinannya, memuja leluhur merupakan bukti bahwa mereka aktif dalam ajaran ritual agamanya.198

Prinsip ajaran Hindu yang dipegang masyarakat Bali adalah ajaran Hindu Tri Hita Karana. Ajaran ini menekankan tiga (3) hal pokok demi menciptakan hubungan yang baik dalam kehidupan umat manusia. Pertama, hubungan baik manusia dan Tuhan (parahyangan). Kedua, hubungan baik manusia dan manusia (pawongan). Ketiga, hubungan baik antara manusia dan alam lingkungannya (palemahan). Konsep parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan) sulit diukur karena hubungan ini sifatnya pribadi dan vertikal (dari bawah ke atas) antara manusia dan Tuhan. Kondisi parahyangan (pertama) sulit diukur jika dibandingkan dengan konsep kedua (pawongan) dan ketiga (palemahan).

Ajaran kedua (pawongan) sering memunculkan masalah di dalam komunitas Hindu Bali. Hal ini terkait dengan tradisi yang sangat berperan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, bahkan dapat dikatakan bahwa komunitas Hindu Bali dihegemoni (dibelenggu) sistem adat atau tradisi. Dalam kaitan ini

197 M. Hamdan Basyar, Identitas Minoritas di Indonesia: Kasus Muslim Bali di Gianyar dan

Tabanan (Jakarta: LIPI, 2010), 4.

198 Jean Couteau, "Transformasi Struktural Masyarakat Bali”, dalam Jean Couteau (ed.), Bali di

adat memiliki peran dalam mengayomi masyarakat. Tanpa menjadi warga adat, masyarakat seakan kehilangan pengayoman meski mereka menjadi warga sah di sebuah desa dinas. Oleh karena itu, di Bali dikenal dengan istilah desa adat dan desa dinas. Dalam implementasinya, konsep Tri Hita Karana ini menyimpan potensi kerja sama dan konflik antara umat Hindu dengan umat non-Hindu lainnya.

Dalam perkembangannya, masyarakat Hindu Bali mulai menyadari bahwa sistem adat belum mampu mengantisipasi kemajuan zaman. Aturan adat yang ketat membuat masyarakat Hindu Bali kurang mampu meningkatkan prestasi kerja, apabila bekerja di sektor non-agraris, mengingat adat Bali pada dasarnya dilahirkan dari komunitas agraris.199

Mengenai konsep ketiga (palemahan), banyak terjadi pelanggaran. Seiring dengan dijadikannya Pulau Bali sebagai pusat pariwisata nasional, tempat-tempat suci di Bali dikelilingi oleh sarana wisata dan bisnis. Hal ini mengakibatkan berkurangnya nilai religius dari tempat-tempat suci tersebut. Perayaan hari raya keagamaan bagi masyarakat penganut Hindu Dharma dihitung berdasarkan wewaran dan pawukon, yaitu kombinasi antara Panca, Wara, Sapta dan Wuku.

Adapula Hari Raya yang menggunakan penanggalan Saka, seperti Hari Raya Nyepi. Nyepi kemudian dikenal sebagai hari raya memperingati tahun baru Saka. Hakikat Nyepi pada intinya adalah hening sejenak setelah melakukan pembersihan terhadap alam semesta (buwhana agung), melakukan tapa brata

Samadhi untuk menyucikan diri (bhuwana alit). Terdapat beberapa pantangan yang harus dilakukan, meliputi catur brata penyepian, yakni, orang dilarang memasak atau pekerjaan apapun yang berhubungan dengan aktivitas menyalakan api (amati geni), dilarang bepergian (amati lelungan), tidak boleh bersenang-senang (amati lelanguan), dan menghentikan segala jenis pekerjaan (amati karya). Pantangan-pantangan ini dilakukan pada saat Nyepi oleh seluruh masyarakat Hindu di Bali, namun dalam praktiknya, banyak masyarakat yang tidak sanggup melewati pantangan-pantangan tersebut karena tidak mampu meninggalkan aktivitas-aktivitas kehidupan vital tersebut.200

Sehari sebelum Hari Raya Nyepi, yakni pada saat ritual tawur kesanga, ada sebuah ritual yang terkenal di Bali, yakni pawai ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah lambang bhuta kala dan nafsu-nafsu buruk yang harus dimusnahkan. Ogoh-ogoh sering digambarkan dalam wujud raksasa serta dalam wujud makhluk-makhuk yang hidup di Mayapada, Surga, dan Neraka, seperti naga, gajah, garuda, dan Widyadari, bahkan dewa. Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti pemimpin dunia, artis, tokoh agama bahkan penjahat. Ada pula ogoh-ogoh Hanoman naik sepeda motor sesuai pesan sponsor.

Dalam pada itu, ada yang berbau politik atau SARA, yang tentunya menyimpang dari prinsip dasar ogoh-ogoh. Misalnya, ogoh-ogoh yang menggambarkan seorang teroris. Ketika menyadari ritual ogoh-ogoh ada yang menyimpang dari hakikat sesungguhnya, pemerintah kota Denpasar mengimbau

masyarakat untuk tidak melakukan pawai ogoh-ogoh. Di samping alasan pemborosan, mengingat pembuatan ogoh-ogoh bisa mencapai Rp 20 juta, padahal setelah diarak, ogoh tersebut dibakar atau dirusak, pawai ogoh-ogoh juga dapat memicu ketegangan antar umat.201

Pada masyarakat Bali berlaku sistem Catur Wama atau kasta yakni empat tingkatan status sosial yang berlaku di masyarakat, antara lain Brahmana (para pendeta/ sulinggih), Ksatria (raja/pemimpin masyarakat, prajurit negara), Waisya (karyawan/ wirausaha) dan Sudra (para petani dan buruh kasar). Pada praktiknya, gelar-gelar tersebut diwariskan secara turun-temurun dari orang tua kepada anak-anaknya tanpa mempedulikan apakah anak itu melaksanakan fungsi sosial sesuai dengan ajaran catur wama. Misalnya, apabila seseorang dari kasta Ksatria yang bergelar Cokorde atau Anak Agung Gabatan raja di daerah tertentu, anaknya otomatis bergelar Cokorde atau Anak Agung. Demikian pula dengan orang tua dari kasta Brahmana yang bergelar Ida Bagus, anaknya pun bergelar Ida Bagus. Sehingga dalam tradisi masyarakat Hindu Bali berkembang anggapan bahwa mereka yang berhak menjadi raja/ pemimpin hanyalah mereka yang keturunan langsung Ksatria, begitu pula dengan pendetal sulinggih hanyalah mereka yang keturunan Brahmana.202

Pemberlakukan sistem kasta dan eksistensi puri merupakan bangunan dasar feodalisme di Bali. Orang di luar puri disebut jaba, dan dalam sistem kasta terdapat dua golongan besar, yakni sudra dan triwangsa (brahmana, ksatria, dan

201 Setia, Bali yang Meradang, 151.

202 Putu Setia, "Kasta di Bali: Kesalahpahaman yang Sudah Sirna", dalam

http:l/jerosetia.blogspot.com/2009/04/kasta-di-bali-kesalahpahaman-yangsudah.html (Diakses pada 1 September 2018).

waisya). Di beberapa tempat di Bali, sisa-sisa sistem kasta masih membekas.203 Seiring dengan perkembangan zaman, struktur masyarakat sudah mulai melepaskan ciri-ciri agrarisnya. Saat ini, orang puri sudah mulai menanggalkan atribut feodalnya dan sudah merakyat, tinggal di luar Bali maupun mereka yang berkecimpung di dunia luar, orang jaba masuk puri, harus merunduk dan berbicara dengan bahasa sangat halus. Sementara orang jaba dianggap sebagai orang rendahan yang harus siap dimaki, dihina, dan dijatuhkan harga dirinya.

Pada masyarakat Bali dikenal budaya tajen atau sabung ayam. Perjudian lokal khas Bali ini seringkali dikaitkan dengan ajaran Hindu tabuh rah, yaitu upacara yang mempersembahkan darah binatang, umumnya ayam. Dalam perkembangannya, upacara ini mulai berkurang seiring dengan meningkatnya kesadaran umat Hindu akan ajaran ahimsa untuk tidak menyakiti makhluk ciptaan Tuhan. Namun, dalam kenyataannya, hingga kini di beberapa tempat budaya tajen masih tumbuh subur. Ironisnya, tajen dilakukan dalam kegiatan pengumpulan dana untuk perbaikan pura.204

Pada masyarakat Bali, terdapat organisasi kemasyarakatan yang mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi, yakni subak. Subak biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan, yakni Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga seorang petani. Keanggotaan subak

203 Basyar, Identitas Minoritas di Indonesia, 5.

bersifat terbuka dan lintas agama. Misalnya, warga Muslim di Bali dapat menjadi anggota subak dan bersama-sama warga Hindu mengelola sistem subak. Situasi yang membedakan adalah dalam upacara hasil panen dilakukan sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Pada masa sebelum kemerdekaan RI, telah terjalin relasi yang baik antara umat Hindu dan Islam di Bali. Misalnya, di masa berdirinya kerajaan-kerajaan nusantara, kerajaan Badung yang kala itu berkonflik dengan kerajaan Mengwi, memperoleh bantuan dari bala tentara muslim dari Bugis dan berhasil memukul mundur pasukan Mengwi. Kehadiran umat Islam di Bali diperkirakan sejak ratusan tahun silam. Jumlah mereka terus berkembang, dan saat ini berkisar 550.000 orang di tengah mayoritas penduduk setempat (92 persen) yang beragama Hindu. Mereka menjalin hubungan yang relatif baik dengan penduduk setempat dan berjalan baik.205

Perkembangan umat Islam di Bali sebelum proklamasi terjadi secara alami, dimana saat itu umat Islam yang datang ke Bali tidak berniat untuk menyebarkan agama Islam. Menurut catatan sejarah, sejak tahun 1460 sudah ada masyarkat muslim di Bali.206 Mereka merupakan cikal bakal umat Islam pertama yang datang ke pulau Bali sebagai pengiring Raja Gelgel, Raja Ketut Ngelesir, sebagai kerajaan terbesar di Bali. Mereka disambut dengan sangat baik oleh warga setempat. Bahkan, mereka menganggap orang Islam sebagai saudara sesama yang disebut Nyamo Slam. Masyarakat setempat juga banyak belajar dari

205 Basyar, Identitas Minoritas di Indonesia, 5.

warga pendatang Islam yang dianggap memiliki pengalaman di beberapa tempat lain.

Umat Islam tidak segan-segan membagi ilmu kepada masyarakat setempat, baik di bidang perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya. Dengan pergaulan tersebut mereka merasa sama-sama diuntungkan.207 Setelah proklamasi kemerdekaan, umat Islam yang berdatangan ke Bali juga terjadi secara alamiah. Kebanyakan dari mereka terdiri dari para aparat negara, pegawai pemerintah, tentara dan polisi. Umat Islam yang datang ke Bali bermaksud melaksanakan tugas negara, dan sekaligus menambah dan membawa citra Islam yang baik.

Pada perjalanan selanjutnya, umat Islam berasimilasi dengan penduduk asli. Hubungan yang relatif baik tersebut terus berlanjut hingga tahun 1980-an. Kerukunan antar umat beragama di Bali sebelum itu terlihat berjalan relatif baik, hidup berdampingan satu sama lainnya yang diwarisi secara turun-temurun sejak 500 tahun silam. Hubungan antara umat Islam dan Hindu Bali sudah mengalami proses akulturasi.

Percampuran budaya antara Islam-Hindu di Bali sebenarnya telah menghasilkan pola yang cukup unik. Salah satu bukti adalah apa yang disaksikan di Desa Loloan (Jembrana), Kepaon (Denpasar), Pegayaman (Buleleng), Candi Kuning (Tabanan), dan Keramas (Gianyar). Di daerah-daerah tersebut, sebagian besar penduduknya memeluk Islam, tapi nama depan mayoritas penduduknya

207 Penjelasan Ketua Majelis Ulama (MUI) Propinsi Bali, Hasan Ali, Lihat di http://www.ranesi.nl (Diakses pada 1 September 2018).

seperti nama orang Bali asli pada umumnya, sehingga ada nama semisal Made Jalaluddin, Ketut Imaduddin Jamal, Wayan Muhammad Saleh, dan masih banyak lagi.208

Budaya Muslim Bali telah berbaur dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang ada di masyarakat Muslim Bali seperti lembaga adat masyarakat Hindu Bali. Dalam hal pengairan bidang pertanian tradisional (Subak), misalnya, umat Muslim menerapkan pola dan cara pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda. Umat Muslim yang mengolah lahan pertanian di Medewi, Subak Yeh Sumbul, Jembrana, Pekutatan dan Subak Yeh Santang, misalnya, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Bali.209

Filosofi hidup bagi umat Islam Bali benar-benar dipraktikkan: “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Falsafah hidup ini yang membuat mereka dapat berbaur dengan masyarakat dan budaya setempat. Oleh karena itu, lembaga-lembaga adat yang tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat Hindu Bali juga tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat Islam di Bali, semisal tradisi Subak atau penggunaan nama sesuai dengan urutan kelahiran seperti Wayan, Made, Ketut, dan seterusnya.210 Perpaduan kesenian dapat pula disaksikan di beberapa tempat di Bali, seperti di Desa Loloan, Denpasar Selatan, Kepaon, Muncan, Jembrana, Karangasem dan Pegayaman, Buleleng, dimana tetap

208 Basyar, Identitas Minoritas di Indonesia, 1.

209 Ibid., 2.

mempertahankan adat dan tradisi budaya yang merupakan perpaduan kedua unsur Hindu dan Islam.211

Meski hubungan antara umat Islam dengan penduduk setempat (Hindu Bali) selama ratusan tahun berjalan dengan relatif harmonis, namun bukan berarti tidak terdapat permasalahan. Permasalahan di antara hubungan kedua komunitas itu mulai muncul semenjak tahun 1980-an, yakni setelah datang gelombang pendatang Muslim yang lain, kali ini dalam jumlah besar. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor wisata yang saat itu semakin pesat. Ada yang membawa modal dan membuka usaha yang berhasil, tapi ada pula yang tidak membawa apa-apa dan hanya ingin mencari pekerjaan. Di antara mereka ada yang berhasil, dan ada pula yang gagal. Mereka yang berhasil sering menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat setempat. Berangkat dari sinilah bermula munculnya semacam ketidak-serasian antara warga asli Bali dan pendatang Muslim.212

211 Bali Post, 2 Desember 2001.

212 Hanik Yuni Alfiyah & Asnal Mala, Survival Strategy Pesantren-pesantren di Pulau Hindu Bali

BAB III

METODE PENELITIAN