• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DAN STRATEGI ADAPTASI PESANTREN DI DAERAH MINORITAS MUSLIM

B. Paradigma Pendidikan Multikultural dalam Islam

3. Peran Guru dalam Pengembangan Materi PAI Multikultural

Peran guru sangat urgen dalam pengembangan materi ajar yang berwawasan multikultural, termasuk dalam perspektif materi ajar pendidikan agama Islam. Dalam hal pengelolaan kelas, guru juga berperan strategis dalam mengondisikan kelas yang berperspektif multikultural. Di antara beberapa peran guru yang strategis dilakukan dalam mengondisikan kelas multikultural adalah sebagai berikut. Pertama, seorang guru harus bersikap demokratis, dalam sikap dan perkataannya tidak boleh diskriminatif. Kedua, guru harus memiliki kepedulian yang tinggi pada peristiwa-peristiwa tertentu yang berhubungan dengan agama. Misalnya, ketika terjadi peristiwa bom Bali (I dan II) atau bom bunuh diri dan banyak tempat, seorang guru yang berwawasan multikultural harus menjelaskan keprihatinannya terhadap kejadian tersebut. Ketiga, guru harus menjelaskan bahwa inti ajaran Islam adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh Islam. Keempat, guru harus memberikan pemahaman akan pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan

75 Melani Budianta, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum, dalam Burhanudin (ed). Mencari akar kultural Civiel Society di Indonesia (Jakarta: Indonesia For Institute For Civil Society, 2003), 103.

berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, golongan, agama dan aliran.76

Di samping guru, sekolah juga memiliki peran strategis dalam membangun lingkungan pendidikan yang multikultural dan toleran. Langkah strategis yang dapat dilakukan -antara lain- sebagai berikut. Pertama, dalam rangka membangun rasa penghargaan antar siswa yang mempunyai keyakinan berbeda, sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog antar-iman dengan bimbingan guru-guru di sekolah tersebut. Dialog antar-antar-iman semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif agar siswa terbiasa melakukan dialog dengan penganut agama yang berbeda. Kedua, hal yang tidak kalah penting dalam penerapan pendidikan multikultural adalah kurikulum dan buku-buku pelajaran yang bernuansa multikultural. Buku-buku seperti ini harus menjadi pegangan guru dan siswa sebagai materi ajar di sekolah.77

Lebih dari itu, dalam menumbuh-kembangkan khazanah berfikir yang bernuansa multikultural di sekolah, model materi pendidikan agama Islam (PAI) yang dapat dikembangkan dengan substansi multikultural, antara lain, sebagai berikut. Pertama, materi al-Qur’an, dalam memilih ayat, selain ayat tentang keimanan, perlu ditambah dengan ayat-ayat yang bisa memberikan pemahaman dan penanaman sikap pada saat berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda agama, sehingga akan tertanam sikap inklusif dan toleran pada

76 Husniyatus Salamah Zainiyati, “Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah”, Islamica, Vol. 1, No. 2 (Surabaya: PPs IAIN Sunan Ampel, Maret 2007), 141-142.

peserta didik. Ayat-ayat yang dipilih antara lain ayat yang berkaitan dengan pengakuan (recognition) al-Quran terhadap adanya pluralitas dan berkompetisi dalam kebaikan (QS: al-Baqarah [2]: 148). Perlu juga dipilih ayat yang berkaitan dengan pengakuan ko-eksistensi damai dalam berhubungan dengan umat beragama (QS: al-Mumtahanah [60]: 8-9). Penting juga memilih ayat yang berkaitan dengan keadilan dan persamaan (QS: al-Nisa> [4]: 135).78

Al-Quran menjadi informasi terbaru di tengah masyarakat Arab yang saat itu mencapai prestasi tinggi di bidang bahasa dan sastra, tapi rusak dalam pranata sosial. Al-Quran -yang kehadirannya bertahap dalam durasi waktu yang relatif singkat (dua pulu dua tahun dua bulan lebih dua puluh dua hari) dapat mengentaskan manusia dari beragam peradaban dan kerusakan multidimensional menuju pranata kehidupan yang damai, aman, dan makmur-sejahtera. Kajian al-Quran relevan dan penting untuk dijadikan landasan, diungkap rahasia, dipedomani dan digali hikmahnya dalam menyelesaikan beragam persoalan yang ada dewasa ini,79 termasuk permasalahan yang terkait dengan pendidikan multikultural.

Kedua, materi fiqih, dapat diperluas dengan kajian fiqih siyasah (politik-pemerintahan). Dalam fiqih siyasah terkandung konsep kebangsaan yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW, para sahabat dan para khalifah setelahnuya. Rasulullah SAW telah berhasil mengelola dan

78 Husniyatus Salamah Zainiyati, “Pendidikan Multikultural…, 142.

79 Aswadi, “Replika Bimbingan dan Konseling dalam Perspektif al-Quran”, Jurnal Bimbingan dan

memimpin masyarakat Madinah yang multikultur, multietnis, dan multireligius. Kondisi masyarakat Madinah saat itu tidak berbeda jauh dengan masyarakat Indonesia yang multikultur, multietnis, dan multireligius.80

Ketiga, materi akhlak yang fokus kajiannya pada perilaku baik atau buruk kepada Allah SWT, Rasulullah SAW, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan, penting untuk meletakkan dasar-dasar kebangsaan. Mengingat, kegagahan suatu bangsa terletak pada akhlaknya. Jika suatu bangsa merendahkan akhlak, maka bangsa itu akan punah. Di dalam al-Quran diceritakan tentang kepunahan kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral seksualitas (adanya budaya homosex). Agar supaya pendidikan agama Islam bernuansa multikultural, maka peran guru agama Islam sangat menentukan. Di samping itu, guru harus memberikan keteladanan, ia harus selalu mengembangkan pendekatan dan metode mengajar yang variatif dan tidak monoton.81 Guru harus menanamkan materi dan memberikan contoh yang baik tentang bagaimana menghormati dan menghargai perbedaan dalam segala bentuk.

Keempat, materi SKI atau Sejarah Kebudayaan Islam yang bersumber dari realitas dan fakta sejarah dalam Islam dapat ditampilkan perilaku-perilaku interaksi sosial yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW pada saat membangun masyarakat Madinah. Dari aspek historis, proses

80 Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama

Islam dari Praproklamasi ke Reformasi (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), 35.

pembangunan masyarakat Madinah yang dilakukan Rasulullah, ditemukan kenyataan tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme, dan toleransi.82

Agar supaya pemahaman pluralisme, multikulturalisme dan toleransi tertanam pada diri peserta didik secara baik, maka perlu disampaikan paparan tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam sub bab “Kondisi Masyarakat Madinah Pasca Hijrah”. Materi ini dapat ditelusuri dari materi Piagam Madinah. Dalam sejarah umat Islam, Piagam Madinah adalah salah satu point bukti bahwa Rasulullah Muhammad SAW berhasil memberlakukan prinsip kesetaraan, penegakan hukum, nilai-nilai keadilan, jaminan kesejahteraan dan perlindungan pada kelompok minoritas. Piagam Madinah merupakan lompatan sejarah Islam yang luar biasa.

Di antara prinsip yang disepakati dalam Piagam Madinah adalah “Prinsip penggantian ikatan kesukuan dengan ikatan Islam”. Detail prinsip ini berisi: a). Mukmin dan muslim merupakan umat yang satu dan antara mereka dan non muslim adalah umat yang satu juga, 2). Prinsip persaudaraan dan persatuan. 3). Prinsip kebebasan. 4). Prinsip persamaan. 5). Prinsip hidup bertetangga. 6). Prinsip tolong menolong dan membela yang teraniaya. 7). Prinsip musyawarah. 8). Prinsip keadilan. 9). Prinsip kebebasan beragama dan hubungan antar pemeluk agama. 10). Prinsip pelaksanaan hukum dan sanksi hukum. 11). Prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar. 12). Prinsip pertahanan dan perdamaian. 13). Prinsip kepemimpinan. 14). Prinsip

ketaqwaan dan ketaatan (disiplin). 15). Prinsip tanggung-jawab pribadi dan kelompok.83

Jika dicermati, prinsip-prinsip dalam naskah konstitusi Madinah di atas sangat menarik. Ia mengandung inti-inti pikiran yang dalam tinjauan kontemporer mengagumkan. Dalam konstitusi tersebut dirumuskan gagasan-gagasan yang saat ini menjadi gagasan-gagasan hidup milenial, seperti: hak individu dan kelompok untuk mengatur hidup sesuai keyakinannya, kebebasan beragama, kebebasan relasi ekonomi antar kelompok, dan masih banyak lagi. Inti dari konstitusi Madinah adalah toleransi di tengah masyarakat yang multikultur. Toleransi merupakan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran dan keyakinannya. Apabila toleransi menghasilkan tata cara pergaulan yang nyaman antar berbagai kelompok yang berbeda, maka hasil tersebut merupakan “hikmah” dari pelaksanaan ajaran yang benar. Hikmah (manfaat) itu nilainya bersifat sekunder, sementara yang primer adalah ajaran kebenaran itu sendiri. Sebagai hal yang primer, toleransi perlu diwujudkan di dalam masyarakat, baik kelompok maupun diri sendiri, meskipun konsekwensi dari pelaksanaan toleransi itu tidak menghasilkan sesuatu yang nyaman.84

Beragam materi yang bersumber dari ajaran agama dan realitas yang terjadi di lapangan –menurut Husniyatus Salamah Zainiyati- merupakan kisi-kisi materi minimal dalam memberikan pemahaman tentang keragaman manusia dan demi menumbuhkan sikap apresiatif dalam berinteraksi dengan

83 Darwis Sadir, “Piagam Madinah”, Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, Vol. 5, No. 1, Juni 2003, 252.

84 Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”, Republika, 10 Agustus 1999, 5.

sesama manusia yang berbeda.85 Dalam prosesnya, materi itu perlu diselaraskan dengan jenjang pendidikan. Bahasa dan sumber bacaan yang dipakai diselaraskan dengan tingkat kognitif-intelektual peserta didik pada masing-masing jenjang pendidikan. Materi perlu dipilih dengan menyajikan fakta sosial dan historis serta pesan-pesan al-Quran yang konkret dan memberikan pandangan atas peristiwa yang terjadi di masyarakat.

Pemilihan materi yang disesuaikan dengan tingkat intelektual anak perlu dilakukan. Sejak dilahirkan anak sudah mempunyai potensi yang beragam dan memperlihatkan kekhasan atau keunikan yang berbeda satu dan lainnya.86 Hal ini menunjukkan bahwa sejak lahir peserta didik memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang.

Pandangan di atas sebagaimana pendapat Ali Mudlofir, dalam pengembangan kurikulum pendidikan harus menimbang asas psikologis dan perkembangan peserta didik. Dengan kata lain, secara psikologis setiap peserta didik mempunyai perbedaan dalam hal bakat, minat atau potensi lain yang dimilikinya, meskipun secara fisik, mungkin ada dua atau lebih anak-anak yang kembar, tapi secara psikis antar mereka tidak mesti sama. Peserta didik merupakan organisme yang dalam proses berkembang, yang dalam tahapan perkembangannya mempunyai karakteristik tertentu yang ritmenya tidak selalu sama atara satu dengan yang lain.87

85 Husniyatus Salamah Zainiyati, “Pendidikan Multikultural…, 143.

86 Achmad Yusuf, “Pengembangan Kurikulum PAI Berbasis Multikultural (Perspektif Psikologi Pembelajaran)”, Jurnal Al-Murobbi, Vol. 4, No. 2, Juni (Pasuruan: PAI Yudharta, 2019), 289.

87 Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan KTSP dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011).

Berpijak pada karakteristik yang berbeda itulah setiap peserta didik harus menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas pertumbuhan dan perkembangannya. Sebab ketika suatu tugas pada tahap tertentu tidak terselesaikan secara baik, maka proses perkembangan pada tahap selanjutnya akan terganggu. Dengan demikian tujuan, isi, strategi, pendekatan dan metode pembelajaran peserta didik perlu dirancang sesuai dengan tingkat perkembangannya.