• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI SIMELOENGOEN SEBELUM TAHUN 1901

Dalam dokumen PENERAPAN POLITIK ETIS DI SIMELOENGOEN (Halaman 34-45)

2.1 Geografis

Sebelum masuknya kolonial Belanda, Simeloengoen lebih dikenal sebagai wilayah “Batak Timur” karena letaknya berada di sebelah timur dari Danau Toba.

Penduduknya juga disebut sebagai “Suku Timur Raya”16. Pada tahun 1865 kolonialisme Belanda mulai memasuki tanah Simeloengoen dengan bermula di Tanjung Kasau yang pada waktu itu tunduk kepada kerajaan Siantar, lalu semakin meluas hingga ke pedalaman Simeloengoen dengan tujuan untuk membuka dan memperluas wilayah perkebunan milik kolonial Belanda.17

Dalam bukunya yang berjudul Batak Spiegel, M. Joustra menuliskan letak Simeloengoen berdasarkan peta negara-negara Batak oleh Van Droze pada tahun 1888, secara geografis daerah Batak Timur terletak di sekitar Danau Toba, berada di Pantai Timur Sumatera, kira-kira 21 2⁄ dan 31 2⁄ º LU, dan 1º. 40’ dan 0.50’ BB dari Padang (98º. 40’- 99º - 30’ BT Greenwich)18. Di sebelah utara berbatasan dengan daerah Karo, di sebelah timur berbatasan dengan Afdeeling Deli en Serdang, di sebelah selatan

16 M.D. Purba., Letkol. Inf. Pens. Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun Cetakan ke-II. Medan: M.D Purba. 1977., hlm. 21.

17 Budi Agustono, dkk. Op.Cit., hlm. 45.

18 Joustra M. Batak Spiegel. Leiden: Doesburgh. 1926., hlm. 54.

16

berbatasan dengan Afdeeling Asahan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Danau Toba.

Peta 1

Peta Simeloengoen tahun ±1900

Sumber: Diakses dari oldmapsonline.org. Diakses pada 18 Agustus 2021 pukul 08.50 WIB. Lihat juga Erond L. Damanik (2019).

.

Sebagian besar daerah-daerah Simeloengoen berbatasan dengan kesultanan-kesultanan Melayu. Secara geografis daerah Simeloengoen bisa dibedakan dengan daerah pegunungan yang terdiri dari dataran tinggi didekat pesisir Danau Toba dengan kisaran tinggi dari permukaan laut antara 1200-1400 meter. Daerah pegunungan ini sebagian besar berada di sebelah Barat. Di sebelah timur secara umum terdiri atas dataran rendah yang luas yang rata-rata ketinggiannya 100 meter dari permukaan laut.

17

Untuk daerah pegunungan, iklimnya berada di rata-rata suhu antara 18,3 – 19,6º C, sedangkan untuk daerah dataran rendah rata-rata suhunya diantara 23 – 24,6 ºC 19.

Sebelum masuknya kolonial Belanda, daerah Simeleongoen hampir seluruhnya masih hutan belantara. Daerah ini masih ditumbuhi oleh pohon-pohon besar, dataran alang-alang dan masih banyak hewan-hewan buas yang berkeliaran bebas. Kondisi tanah di daerah Simeloengoen sangatlah subur dan bagus untuk mendukung kegiatan pertanian. Selain memiliki daerah pegunungan, Simeloengoen juga memiliki sungai-sungai atau yang disebut dengan bah yang dapat membantu pengairan pertanian di daerah ini dan sungai juga menjadi sarana untuk berinteraksi dengan daerah-daerah di luar Simeloengoen.

2.2 Penduduk

Sebelum masuknya kolonial Belanda ke Simeloengoen, daerah ini merupakan daerah yang sepi penghuninya. Sebelum industri perkebunan Eropa menjangkau daerah ini, rata-rata kepadatan penduduk Simeloengoen adalah 13-14 jiwa per km² 20.

Penduduknya mendirikan rumah bertiang tinggi dan berkelompok di suatu perkampungan (huta) yang dikelilingi pagar alami seperti bambu berduri atau pertahanan buatan yang disusun dari batu-batu besar dengan parit pertahanan alam seperti jurang atau perbukitan yang hanya memiliki dua pintu masuk dan keluar yang

19 Budi Agustono, dkk. Op.Cit., hlm. 132.

20 J. Tideman. Op. Cit., hlm. 85.

18

disebut horbangan. Horbangan ini dijaga oleh penduduk siang malam secara bergiliran yang di sebut dengan parari. Setiap orang yang hendak masuk kampung harus minta izin dari penguasa setempat dan akan ditanyai identitas serta tujuan untuk datang ke kampung mereka oleh parari21.

Walaupun orang-orang Simeloengoen sudah membuka perkampungan (huta) dan mendirikan rumah tetapi mereka lebih suka tinggal di ladang untuk menjaga perladangannya dari serangan hama dan hewan liar yang merusak tanaman mereka, Dengan situasi seperti ini, para penduduk lebih banyak menghabiskan hidupnya diluar perkampungan (huta) mereka. Dalam sistem berladang, orang Simeloengoen melakukannya dengan cara berpindah-pindah dengan menebas dan membakar hutan 22. Oleh karena sistem ladang berpindah orang Simeloengoen sangat sulit mendapatkan informasi dari pemerintah dan kurang bisa menerima keberadaan orang asing.

Menurut J. Tideman yang merupakan mantan Asisten Residen Afdeeling Simeloengoen en Karolanden, sebelum kolonial Belanda menguasai wilayah ini, praktik kanibalisme masih berlangsung di Simeloengoen23. Penduduk Simeloengoen

21 Budi Agustono, dkk. Op.Cit., hlm. 129.

22 Ibid., hlm. 138.

23 J. Tideman. Op.Cit., hlm. 113.

19

dibagi dalam bentuk marga. Ada empat marga yang dianggap sebagai penduduk asli Simeleongoen, diantaranya Damanik, Sinaga, Saragih, dan Purba24.

Damanik merupakan marga utama penduduk di Siantar, pada mulanya berasal dari Uluan dan sejak delapan generasi sudah mendiami daerah itu. Sinaga merupakan marga utama penduduk di Tanah Jawa, Saragih merupakan marga utama penduduk di Raya dan Silampuyang, dan Purba merupakan marga utama penduduk di Panei dan kerajaan Timur dengan pengecualian di sebagian besar daerah Silimakuta, yang dihuni oleh orang-orang Karo25.

Sikap orang Simeloengoen lahir dari kondisi masyarakat yang feodal terutama oleh karena prakitik perbudakan yang menekan rakyat kebanyakan oleh para tuan-tuan mereka. Oleh karena bentuk masyarakat yang feodal ini, masyarakat Simeloengoen dibagi atas kelas-kelas tertentu (stratifikasi). Adapun kelas sosial tersebut adalah bangsawan (partuanon) di tingkat paling atas, orang merdeka (paruma) ditingkat kedua, dan tingkat terakhir adalah budak (jabolon)26.

Golongan bangsawan (Partuanon) merupakan golongan teratas dalam kelas sosial masyarakat Simeloengoen. Seseorang digolongkan pada kelompok ini jika memiliki garis keturunan atau hubungan kerabat dengan seorang raja atau tuan.

24 Ibid., hlm. 90.

25 Ibid.

26 Budi Agustono, dkk. Op.Cit., hlm. 178.

20

Golongan yang merupakan penguasa di Simeloengoen sudah ada sejak lama sebelum kolonial Belanda berkuasa hingga sampai dengan kemerdekaan Indonesia. Posisi seorang raja di Simeloengoen sangatlah penting. Selain sebagai pemangku adat, Ia juga merupakan penguasa dan pemimpin dari pemerintahan. Seorang raja memiliki hak istimewa yaitu dapat memiliki istri lebih dari satu. Istri utama atau permaisuri disebut dengan Puang Bolon dan istri lainnya disebut dengan Puang Bona. Keturunan dari raja disebut sebagai Tuan jika ia laki-laki dan Panak Boru jika ia perempuan27.

Sebagai penguasa, raja disebut sebagai “Naibata na taridah” (Tuhan yang terlihat) karena posisinya adalah pemegang kekuasaan. Posisi raja seperti ini membuatnya memiliki keuntungan dalam politik, ekonomi, dan sosial. Kelompok bangsawan ini merupakan kelompok yang termasuk golongan elit dan kaya, selain harta dan kekuasaan, kelompok ini juga memiliki budak yang dapat melayani dan memenuhi keperluan mereka.

Kelompok golongan setelah Partuanon adalah golongan Paruma. Kata Paruma berasal dari kata “par” dan “uma”, par berarti orang dan uma berarti juma atau ladang, jadi Paruma dapat diartikan sebagai orang yang bekerja di ladang atau petani.

Seseorang yang dianggap sebagai Paruma adalah mereka yang memiliki hubungan marga atau leluhur yang sudah jauh dengan raja. Status Paruma ini dapat berubah menjadi Partuanon jika raja mengangkat bagian dari mereka menjadi wakil pemerintah

27 Ibid., hlm. 179.

21

di daerah lain atau raja mengambil anak perempuan dari golongan Paruma menjadi selirnya maka keluarga dari perempuan akan naik statusnya menjadi golongan Partuanon.

Kelompok golongan pada posisi terakhir adalah Jabolon atau yang dikenal sebagai budak. Sejak dulu, praktik perbudakan di Simeloengoen adalah hal yang biasa dan dianggap wajar. Jabolon berasal dari kata “ja” dan “bolon” , ja merupakan singkatan dari raja dan bolon yang berarti besar. Jabolon berarti milik raja atau orang besar. Sesuai dengan posisinya di tingkatan paling bawah, Jabolon memiliki kehidupan yang paling menderita dan menyedihkan dan kadang-kadang disamakan dengan hewan peliharaan. Nasib para budak berada pada tuan-tuan mereka, mereka tidak memiliki jaminan hidup, diperlakukan seenaknya, diperjual-belikan, dan bisa dibunuh kapan saja jika dianggap memiliki kesalahan sekecil apapun.

Golongan budak atau Jabolon ini dibedakan menurut asal-usulnya yaitu:

1. Jabolon Marutang adalah orang-orang dari golongan Paruma yang melakukan peminjaman dan tidak dapat melunasi utang mereka sehingga mereka dihukum menjadi budak. Mereka bisa bebas dari perbudakan bila dapat melunasi utangnya.

2. Jabolon Tangga adalah orang-orang yang menjadi budak karena keluarga mereka adalah kelompok budak, sebagian dari mereka dapat memperoleh kebebasan hanya dalam kasus tertentu. Kelompok Jabolon Tangga terbagi atas beberapa jenis, diantaranya:

22

a) Jabolon Tabanan adalah budak yang berasal dari tawanan perang. Mereka bisa dibebaskan atas persetujuan penguasa setempat dan raja daerahnya.

b) Jabolan Ayoban adalah perempuan dan anak-anak terlantar yang tidak memiliki keluarga dan dijadikan budak oleh raja; misalnya anggota keluarga raja yang berkhianat dan orang yang melakukan kesalahan sehingga terdakwa mati. Mereka dapat dibebaskan dengan membayar $12.

c) Satongah Jabolon adalah mereka yang berstatus setengah budak, maksudnya salah satu dari orang tuanya berstatus sebagai budak atau keturunan budak.

Mereka dapat dibebaskan dengan membayar $24.

d) Jabolon dapot i parlittunan adalah budak yang semula bagian dari kerajaan tetapi melarikan diri dan tertangkap kembali.

e) Anak babi adalah budak yang masih kecil, mereka lahir dari orangtua tanpa adanya pernikahan yang sah.

f) Anak-anak dari pasangan budak.28

Penduduk Simeloengoen terus hidup dalam ancaman perbudakan sehingga mereka banyak yang lebih memilih untuk mengasingkan diri ke daerah pedalaman atau hidup di ladang milik mereka. Oleh karena hidup dalam kondisi masyarakat yang feodal terutama karena praktik perbudakan yang menekan rakyat, karakter masyarakat Simeloengoen menjadi cenderung mengalah dan lebih tertutup dengan orang asing.

28. Dr. Ph. S. Van Ronkel dan D. Van Hinloopen Labberton. “Daal Land En Volkenkunde”.

Tijdschrift Bataviaasch Genotschap. 1909., hlm. 537.

23

Sebelum masuknya kolonial Belanda ke Simeloengoen, masih dijumpai praktik kanibalisme di tempat ini bahkan menjadi hal yang biasa di tengah-tengah kehidupan kehidupan sehari-hari orang Simeloengoen. Kebiasaan kanibalisme ini menjadi hal yang ditakutkan oleh orang asing yang ingin masuk ke Simeloengoen29. Orang-orang yang dimakan ini biasanya adalah laki-laki yang dijatuhi hukuman mati oleh raja, orang yang tidak dikenal yang masuk ke wilayah kerajaan tanpa persetujuan ataupun para tahanan perang. Praktik kanibalisme di Simeloengoen tidak berkaitan dengan pemuas rasa lapar tetapi lebih menekankan aspek magis, dimana roh yang dimakan itu diharapkan tidak mengganggu orang yang memakannya atau kuasa gaib yang ada pada tubuh korban berpindah ke orang yang memakannya 30.

2.3 Pemerintahan

Sebelum masuknya kolonial Belanda ke Simeloengoen, daerah ini sudah memiliki pemerintahannya sendiri yang sudah tertata. Bentuk pemerintahannya adalah bersifat kerajaan dimana pemimpinnya adalah seorang raja. Bentuk kekuasaan dari kerajaan di Simeloengoen bersifat piramidal dimana kekuasaan yang lebih rendah merupakan duplikat dalam skala yang lebih kecil dari sistem kerajaan31. Struktur kekuasaan itu meliputi Raja, Parbapaan atau Partuanon, Pangulu Huta. Pemerintahan terkecil dan terendah pada kerajaan di Simeloengoen adalah huta atau desa yang

29 J. Tideman. Op.Cit., hlm. 39.

30 Budi Agustono, dkk. Op.Cit., hlm. 191.

31 R. William Liddle. Etnicity, Party and National Intergation: An Indonesian Case Study.

New Haven and London: Yale University Press. 1970., hlm. 20

24

dipimpin oleh seorang kepala yang disebut sebagai Pangulu Huta. Pangulu Huta tunduk kepada orang yang menguasai beberapa kampung yang disebut sebagai Partuanon. Pemimpin yang berada di tingkat paling atas adalah seorang Raja yang berkuasa atas seluruh kampung dan rakyatnya.

Seseorang yang bisa menjadi raja adalah keturunan langsung dari raja yang sedang berkuasa yang dilahirkan oleh Puang Bolon (Permaisuri). Jika Puang Bolon tidak dapat melahirkan seorang putera mahkota, maka yang menggantikannya adalah putera dari Puang Bona (Selir utama yang langsung dipilih oleh raja), namun jika Puang Bona juga tidak dapat memberikan keturunan, maka takhta kerajaan dapat diserahkan kepada saudara raja, dan jika raja tidak memiliki saudara maka takhta akan diserahkan kepada Partuanon untuk berunding memilih diantara mereka untuk dinobatkan. Raja tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin pemerintahan dan adat saja, raja juga berfungsi sebagai pempimpin dalam peradilan. Dalam bidang peradilan, raja berfungsi sebagai hakim tertinggi dengan peradilan harapatan urung untuk daerah Partuanon dan harapatan bolon untuk tingkat kerajaan.

Dalam hal kepercayaan, masyarakat Simeloengoen sebelum masuknya kolonialisme Belanda menganut kepercayaan tradisional. Mereka mempercayai bahwa setiap makhluk, tumbuh-tumbuhan atau benda tertentu mempunyai kekuatan yang bersifat magis dan melakukan pemujaan kepada roh-roh nenek moyang (Sinumbah dan Sibagod) Penganut kepercayaan ini disebut dengan Parbegu atau Sipajuh

begu-25

begu.32 Selain kepercayaan tradisional, sebagian masyarakat Simeloengoen sudah mengenal agama Islam hal ini dikarenakan sebagian daerah Simeloengoen berbatasan dengan wilayah yang menganut agama Islam. Menurut Van Dijk, seorang Contreleur Toba melakukan penelitian terhadap daerah Tanjung Kasau, Tanah Jawa dan Siantar menuliskan bahwa daerah Tanjung Kasau berbatasan dengan daerah Melayu dan mayoritas penduduknya beragama Islam33. Pada tahun 1901, Raja Siantar yaitu Sang Na Ualuh menyatakan diri bahwa Ia dan keluarganya memeluk agama Islam begitupun dengan rakyatnya yang banyak mengikutinya untuk memeluk agama Islam.

32 Juandaha Raya, Martin Lukito Sinaga. “Tole Den Timoelanden Das Evangelium”. Sejarah Seratus Tahun Perkabaran Injil di Simalungun, 2 September 1903-2003”. Pematang Siantar: Kalportase GKPS. 2003., hlm. 36.

33 P.A.L.E van Dijk. “Rapport Betrefende de Sibaloengoensche Landscappen Tandjoeng Kasau, Tanah Djawa en Si Antar”. Tijdschrift Bataviaasch Genotschap. 1894., hlm. 4

26 BAB III

LATAR BELAKANG POLITIK ETIS DI SIMELOENGOEN

Dalam dokumen PENERAPAN POLITIK ETIS DI SIMELOENGOEN (Halaman 34-45)