• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendatang dari Jawa

Dalam dokumen PENERAPAN POLITIK ETIS DI SIMELOENGOEN (Halaman 65-90)

Sejak abad ke-18 hingga abad ke-20 adalah masa perpindahan penduduk Pulau Jawa ke daerah-daerah luar Pulau Jawa. Alasan mengapa mereka berpindah tentunya adalah sebagai cara untuk bertahan hidup.

Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa dilatarbelakangi oleh beberapa hal, diantaranya:

1. Melaksanakan salah satu program politik etis yang digagas oleh Van Deventer, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah kepadatan penduduk pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.

56 ANRI. H.E.K. Ezerman. Memorie., hlm. 14.

57 Juandaha Raya, Martin Lukito Sinaga. Op. Cit., hlm. 87.

47

2. Pertambahan penduduk yang cepat, membuat kepemilikan tanah yang semakin sempit dan menyebabkan taraf hidup masyarakat di Pulau Jawa semakin menurun.

3. Pemerintah Kolonial Belanda dan perusahaan swasta khususnya perkebunan membutuhkan banyak akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa.58

Kemajuan pesat perkebunan Sumatera Timur ternyata juga memunculkan masalah yaitu tentang tenaga kerja. Pada awalnya tenaga kerja yang dipekerjakan di perkebunan Sumatera Timur adalah orang-orang Cina dan Tamil yang didatangkan dari Penang dan Singapura. Tetapi, karena mahalnya biaya memperkerjakan tenaga kerja asing ini dan penduduk pribumi juga tidak mau bekerja di perkebunan maka dilaukan perekrutan tenaga kerja dari Pulau Jawa.

Sejak masuknya dan berkembangnya industri perkebunan karet di Sumatera Timur termasuk Simeloengoen (1911-1912) sehingga menjadi jalan masuk bagi para tenaga kerja dari Jawa. Mereka direkrut melalui agen-agen perusahaan perkebunan maupun agen-agen liar. Perkebunan karet adalah salah satu perkebunan yang harus dikelola dengan tenaga kerja yang banyak serta dana yang cukup besar.59 Selain karena upah mereka yang lebih murah dari tenaga kerja asing lainnya, mereka juga cukup

58 Nugaraha Setiawan. “Satu Abad Transmigrasi Di Indonesia: Perjalanan Sejarah Pelaksanaan, 1905-2005”. Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Fapet Unpad. Tanpa Penerbit. Tanpa Tahun., hlm. 2.

59 Indra dan Suprayitno. “Pengaruh Pertumbuhan Industri Karet Terhadap Kuli Kontrak Di Sumatera Timur 1904-1920”. Jurnal Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 2004., hlm.7.

48

pandai dalam bertani karena mayoritas orang Jawa bermata pencaharian sebagai petani.60

Diawal tahun 1921 jumlah para pendatang Jawa di Simeloengoen sudah mencapai 44.000 jiwa.61 Mereka di distribusikan ke beberapa wilayah dan Onderneming.

Bisa dikatakan bahwa beberapa faktor yang mendorong bermigrasinya orang Jawa ke Simeloengoen adalah karena faktor ekonomi, kepentingan Onderneming, padatnya penduduk Pulau Jawa dan semakin sedikitnya lahan yang tersedia sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk bekerja.

Pada tahun 1921, terjadi resesi di sejumlah perkebunan sehingga lebih dari 11.000 orang dipecat dan diambil alih oleh perkebunan tembakau atau dipulangkan kembali ke Jawa. Diantara para kuli kontrak yang tinggal di Simeloengoen terdapat 12.000 orang wanita.

Berikut adalah jumlah kuli kontrak yang bekerja di Simeloengoen pada 1 Januari 1926.

60 Bayu Wicaksono. “Migrasi Orang Jawa ke Asahan Masa Kolonial”. Tesis. Belum diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara. 2020., hlm. 20.

61 ANRI. J. Tideman. Memorie. Op.Cit., hlm. 193.

49 Tabel 3

Jumlah Kuli Kontrak di Simeloengoen 1 Januari 1926

Sumber: Memorie Van Overgave H.E.K Ezerman, 26 April 1926.

Derasnya arus pendatang kuli kontrak dari Pulau Jawa mengakibatkan tidak diperhatikannya lingkungan tempat mereka tinggal dan juga kondisi fisik mereka yang tidak dapat beradaptasi dengan daerah Simeloengoen yang menyebabkan banyak kuli kontrak yang mati di perkebunan. Kematian ini disebabkan oleh penyakit cacing dan disentri. Di beberapa tempat kematian ini disebabkan oleh penyakit tifus dan malaria.

Kemudian dibangun rumah sakit di Siantar dan mulai digunakan pada tahun 1915 (rumah sakit pusat Simeloengoen). Dua dokter ditugaskan pada tahun 1918 dan tiga

Wilayah /

50

dokter pada tahun 1919, satu diantaranya ditempatkan di sebuah poliklinik Dolok Merangir. Untuk tahun selanjutnya angka kematian menurun di Simeloengoen.

Gambar 4.2

Angka kematian pada kuli kontrak di Simeloengoen 1915-1919

Sumber: Memorie Van Overgave van J. Tideman. 1922.

Dibandingkan dengan orang Batak Toba yang bermigrasi ke Simeloengoen, Orang Jawa lebih pendiam dan tidak menimbulkan konflik dengan penduduk asli Simeloengoen maupun dengan raja-raja. Mereka lebih tenang dan tidak terlalu mencampuri urusan politik pemerintahan dan kerajaan Simeloengoen. Orang-orang Jawa di datangkan hanya untuk bekerja di perkebunan dan mereka juga tidak mengusik kediaman masyarakat asli Simeloengoen. Mereka di datangkan oleh Pemerintah Kolonial sebagai kuli kontrak tetapi Pemerintah Kolonial juga sudah menyiapkan daerah khusus untuk pemukiman mereka di sekitar perkebunan. Pada tahun 1915, sebuah tempat disediakan oleh Pemerintah Kolonial sebagai pemukiman bagi

1828 1145 1403 3778 2649

1 9 1 5 1 9 1 6 1 9 1 7 1 9 1 8 1 9 1 9

51

Pendatang dari Jawa yang letaknya tidak jauh dari pusat perdagangan di daerah Bandar Meratur.62

Gambar 4.3

Pemukiman Orang Jawa di Pematang Bandar

Sumber: J.Tideman. Simeloengoen: Het Land der Timoer Bataks in Zijn Vroegere Isolatie en Zijn Ontwikkeling tot Een Deel van het Cultuurgebied van de Oostkust van Sumatera. 1922.

4.2 Pendidikan

Sebelum masuknya kolonial Belanda ke Simeloengoen, pada dasarnya masyarakat Simeloengoen sudah mengenal pendidikan melalui pengetahuan tradisional. Pendidikan yang didapat berasal dari keluarga dan lingkungan masyarakat itu sendiri. Pendidikan pada masyarakat Simeloengoen sebelum masuknya kolonial adalah seperti bela diri untuk laki-laki (dihar), bertenun untuk perempuan, pengobatan tradisional, kemampuan untuk menulis dan membaca aksara Simeloengoen,

62 J. Tideman. Simeloengoen. Op.Cit., hlm. 196.

52

menghitung almanak merupakan pengetahuan wajib yang harus dimiliki seseorang khususnya bagi mereka yang berkaitan dengan tugas dalam kerajaan Simeloengoen.63 Selain itu masyarakat Simeloengoen juga memiliki pengetahuan akan hal-hal mistis (Datu). Tetapi, tidak semua masyarakat yang boleh mendapatkan pengetahuan ini.

Hanya orang-orang dari golongan kerajaan dan yang bekerja di kerajaan boleh memperolehnya.

Dimulainya pelaksanaan pendidikan di Simeloengoen didorong oleh masuknya Zending Rheinische Mission Genootscap (RMG). Tujuan utama mereka adalah untuk menyebarkan agama Kristen bagi masyarakat Simeloengoen. Pada tahun 1903, Raja Raya memberikan persetujuan untuk mendirikan post bagi zending di Raya. Seorang zendeling64 bernama August Theis bersama dengan orang-orang Batak Toba yang sudah menjadi guru memulai pengajaran di tempat yang disediakan oleh Raja Raya yaitu di rumah bosar Raya pada awal tahun 1904 dengan jumlah murid sekitar 7 orang.65 Ketujuh orang ini adalah masyarakat biasa, yaitu: Ratailam Saragih, Djabi Saragih, Kori Saragih, Djamailam Saragih, Sarialam Saragih, Gomok Saragih, dan Djariaham Saragih, sementara guru yang mengajar adalah Ambrocius Simatupang.66 Awalnya sekolah ini diperuntukkan hanya bagi anak-anak di Pematang Raya saja, kemudian berkembang di kalangan masyarakat Simeloengoen.

63 Hisarma Saragih. Op.Cit., hlm. 128.

64 Zendeling adalah seorang penginjil atau missionaris.

65 Juandaha Raya, Martin Lukito Sinaga. Op. Cit., hlm. 167

66 ANRI. Memorie Van Overgave van J.C.C Haar. 1933., hlm 6-7.

53

Untuk daerah Simeloengoen atas, pendidikan diberikan oleh zendeling bernama Guillame dengan membuka sekolah zending mula-mula di Purbasaribu pada Juni 1905.

Di daerah Sipiak, pendidikan diberikan oleh zendeling Weissenbruch dan untuk daerah Tigaras diberikan oleh zendeling G.K. Simon.

Para zendeling pada umumnya membuka sekolah sejak awal kegiatan mereka karena memang cara ini dipandang efektif untuk mengabarkan injil, sehingga jika masyarakat dalam sekolah diajarkan untuk membaca dan menulis tujuan utamanya adalah sebagai usaha agar mereka dapat membaca dan menghapalkan kitab suci.67 Tetapi dalam penerapannya, pembukaan sekolah berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Dalam pelaksanaannya, para zendeling mengajarkan masyarakat Simeloengoen menggunakan bahasa Batak Toba yang dianggap sama dengan bahasa Simeloengoen sehingga para murid tidak tertarik dalam mengikuti pendidikan di sekolah. Oleh karena hal ini, sebuah keputusan dibuat oleh para raja Silimakuta, Dolok Silou, dan Raya pada tahun 1908 yang menyatakan bahwa hanya bahasa Melayu atau Bahasa Simeloengoen yang boleh dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran. Kesepakatan ini disampaikan kepada zendeling L. Bregenstroth sebagai penanggungjawab Zending Rheinische Mission Genootschap (RMG) di Simeloengoen. Dengan adanya peraturan baru ini, maka ada peningkatan dalam minat masyarakat untuk bersekolah. Kegiatan

67 Pdt. Jan S. Aritonang. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 1988., hlm. 27.

54

belajar diadakan pada sore hingga malam hari karena dari pagi hingga siang hari adalah waktu masyarakat untuk bekerja di ladang.

Hingga tahun 1929, Zending Rheinische Mission Genootschap (RMG) mengelola 48 sekolah, 46 diantaranya mengagunakan sistem tiga kelas, sedangkan 2 diantarnya yaitu di Pematang Raya dan di Pematang Tanah Djawa adalah menggunakan sistem empat kelas.68

Gambar 4.4

Murid dan guru sekolah Zending di Pematang Raya Simeloengoen

Sumber: Juandaha Raya P. Dasuha dan Martin Lukito Sinaga. “Tole! Den Timorland Das Evangelium! Sejarah Seratus Tahun Pekabaran Injil Di Simalungun, 2 September 1903-2003”. 2003

Walaupun pendidikan di Simeloengoen dikelolah oleh badan zending tetapi Pemerintah Kolonial Belanda memiliki andil yang cukup besar dalam penerapannya.

Sekolah-sekolah yang didirikan zending harus disetujui oleh kepala pemerintah kolonial. Sekolah-sekolah tersebut diberikan subsidi oleh pemerintah kolonial dalam

68 ANRI. Memorie Van Overgave van H. Beeuwkes. 14 September 1929., hlm. 29.

55

pendirian dan pemeliharaanya serta gaji guru pengajar. Hal ini tertulis dalam Staatsblad Nederlandsch van Indie No.68 tahun 1924.69

Menurut Asisten Resident H.E.C Quast, pendidikan adalah prinsip yang diakui secara umum dan bagian dari perawatan negara. Pendidikan sangat penting dan perlu untuk perbaikan kehidupan masyarakat sehingga perbaikan akan pendidikan akan terus dibenahi agar masyarakat tertarik untuk bersekolah.

Pada tahun 1913, upah yang diberikan untuk guru adalah f 17.50 per bulan.

Jumlah upah ini bahkan tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari terlebih lagi untuk di daerah industri perkebunan oleh karena itu ada anggapan bahwa hanya orang bodoh yang mau menjadi guru. Untuk mendapatkan tambahan uang, para guru bekerja di pemerintahan atau perusahaan perkebunan. Karena kecilnya gaji guru ini, maka pada masa pimpinan H.E.C Quast dibuat peraturan baru sebagai berikut:

1. Untuk Kepala Sekolah, upah yang awalnya f 25 sampai f 30 menjadi dua kali lipat dan setiap tiga tahun sekali mendapat kenaikan f 2.50.

2. Untuk para guru, upah yang awalnya f 17.50 sampai f 22.50 menjadi dua kali lipat dan dan setiap tiga tahun sekali mendapat kenaikan f 2.50.

3. Guru tidak boleh diangkat, dipindahkan, ataupun diberhentikan secara sepihak dan harus mendapat persetujuan dari divisi pemerintah di bidang pendidikan.

69 Ibid.

56

4. Semua sekolah harus mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan tidak boleh melakukan penyimpangan dari ketetapan yang diberikan.

5. Jumlah jam belajar sama untuk semua sekolah dan mata pelajaran agama adalah opsional dan tidak boleh lebih dari empat jam per minggu. Sekolah harus memberikan pendidikan secara netral.

6. Selain sekolah-sekolah biasa, yaitu seperti sekolah rakyat (Volkschool), akan didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang lebih maju, dan program pengajaran sekolah negeri untuk pribumi yang dasar dari kelas dua juga akan segera diberikan.70

Biaya subsidi diperoleh dari dana kas pemerintah daerah. Pada akhir tahun 1937, pemerintah daerah mengeluarkan dana sejumlah f 37.219 untuk pendidikan dan f 9.803 untuk sekolah rakyat di Simeloengoen. Selain itu, dana sejumlah f 2.289 dikeluarkan untuk perawatan empat sekolah. Sehingga total yang dikeluarkan adala f 49.311 untuk penyelenggaran pendidikan atau sekitar 6% dari anggaran tahunan pemerintah.71

Sekolah-sekolah terus berkembang di Simeloengoen dan semakin banyak jumlahnya. Karena semakin banyaknya sekolah-sekolah baru, pemerintah daerah

70 ANRI. Memorie Van Overgave van H.E.C Quast. Desember 1913., hlm. 59-60.

71ANRI. Memorie Van Overgave van G. Meindersma. 7 Oktober 1938., hlm. 20.

57

menyadari bahwa tidak akan bisa memberikan subsidi terus menerus untuk pendirian sekolah-sekolah baru. Oleh karena itu pada tahun 1938, pemerintah kolonial hanya menyanggupi memberikan subsidi untuk 95 sekolah saja. Untuk sekolah yang jumlah muridnya sedikit akan digabungkan menjadi 1 bagian.

Selain sekolah rakyat yang buka oleh Zending, di Simeloengoen juga dibuka sekolah untuk orang Eropa, Cina, dan kalangan atas. Pada tahun 1909, seorang keturunan Tionghoa yang bernama Tan Soon Tan memiliki kesadaran dalam bidang pengetahuan dan pendikan kepada kaum mereka kemudian membuka sekolah di Pematang Siantar yang bernama Chung Hua School dengan jumlah awal muridnya 15 orang. Kini sekolah tersebut yang menjadi Universitas Sultan Agung Pematang Siantar.72

Untuk anak-anak Eropa, sebuah yayasan pendidikan yang bersifat modern didirikan pada akhir tahun 1915 yang terletak di ibu kota Onderafdeeling Simeloengoen yaitu di Pematang Siantar. Sampai dengan tahun 1922, yayasan ini memiliki murid lebih dari 60 orang dan memiliki tujuh kelas73.

Biaya operasional yayasan ini berasal dari subsidi pemerintah, iuran para siswa, dan sumbangan dari perusahaan perkebunan. Yayasan ini menjadi sekolah yang sangat bergengsi di Simeloengoen dan kualitas yang tidak diragukan.

72 Oktora Feronika. “Sejarah Perguruan Sultan Agung Pematang Siantar Sebagai Sekolah Pembaruan (1909-2013)”. Skripsi. Belum diterbitkan. Medan: Universitas Negeri Medan. 2015., hlm.

4.

73 J. Tideman. Simeloengoen. Op.Cit.,hlm. 273.

58

Setahun setelah dibuka sebuah yayasan untuk anak-anak Eropa, pada tahun 1916 dibuka Hollandsch Inlandsche School (HIS). Berbeda dengan yayasan yang sebelumnya dibuka khusus untuk anak-anak Eropa, sekolah ini dibuka bebas untuk siapa saja dengan sistem yang lebih modern dari sekolah rakyat dengan bahas pengantar adalah bahasa Belanda.Tentunya murid yang bersekolah disini adalah orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Pada tahun 1921, jumlah murid yang mendaftar di sekolah ini adalah 240 orang dengan 32 diantaranya adalah anak para penguasa dan kaum terkemuka di Simeloengoen.74

Bagi rakyat yang tidak dapat melanjutkan pendidikan hingga ke HIS maka dibuka sekolah untuk Bumiputera yaitu Inlandsch School. Sekolah ini juga disebut

dengan sekolah klas dua. Dalam setahun sekolah ini menerima subsidi sebesar f 3.600.

74 Ibid., hlm. 274

59 Gambar 4.5

Murid sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Pematang Siantar

Sumber: Bisuk Siahaan. Batak: Satu Abad Perjalanan Anak Bangsa. 2011 Tidak hanya sekolah formal saja yang dibuka di Simeloengoen, sekolah kursus dalam bidang tertentu juga dibuka khususnya dalam bidang pertukangan. Sekolah ini dikenal dengan Ambachtschool. Sekolah ini diperuntukkan kaum pribumi.

Pemerintah kolonial membuka sekolah ini dengan tujuan untuk menyediakan tenaga-tenaga tukang yang handal yang dapat bekerja dalam pembangunan gedung terutama milik pemerintah kolonial di Pematang Siantar.

Pada tahun 1920, di Pematang Siantar dibuka sekolah keguruan yang disebut dengan Normaal School. Sekolah ini dibuka dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan guru dari kalangan pribumi. Lamanya waktu untuk tamat dari sekolah ini adalah empat tahun dan dilengkapi sebuah asrama serta tempat praktek para guru.

60

Pada tahun 1935, sekolah ini memiliki 26 siswa75. Hingga tahun 1937, sekolah ini tidak beroperasi lagi, tidak ada penerimaan murid dan secara berangsur berpindah ke Padang Panjang (Sumatera Barat).

Semakin berkembangnya daerah Simeloengoen oleh karena industri perkebunan, daerah ini semakin membutuhkan tenaga-tenaga kerja terutama dalam pemerintahan. Berbeda dengan sekolah Zending yang dibuka hingga ke pedalaman Simeloengoen, sekolah-sekolah yang dibuka pemerintah kolonial umumnya berada di Pematang Siantar yang menjadi ibukota Onderafdeeling Simeloengoen waktu itu.

75 Sinalsal. No. 51, Tahun V. Juni 1935., hlm. 8-11.

61 Gambar 4.6

Ambacht School di Siantar tahun 1934

Sumber: Arsip Colonial Architecture. Diakses dari http://colonialarchitecture.eu. Diakses pada 5 Agustus 2021 pukul 19.55 WIB.

Gambar 4.7

Inlandsch School / Native School di Siantar tahun 1927

Sumber: : Erond. L. Damanik. Potret Simalungun Tempo Doeloe Menafsir Kebudayaan Lewat Foto. 2019.

62 Tabel 4

Sekolah di Simeloengoen tahun 1935

Sumber: Surat kabar Sinalsal No.51. Tahun V. Juni 1935

Sekolah Lanskap Jumlah Siswa

63 4.3 Irigasi

Sejak kedatangan Kolonial Belanda ke Simeloengoen, daerah ini dilihat berpotensi dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Kondisi tanah yang bagus untuk dikelola ini disayangkan oleh pemerintah Kolonial karena tidak dimanfaatkan oleh penduduknya. Hal inilah yang membuat pemerintah Kolonial kemudian membuka pertanian padi basah di Simeloengoen karena pada awalnya, masyarakat Simeloengoen hanya menanam padi di lahan yang kering. Penanaman padi di lahan yang basah lebih bagus daripada di lahan yang kering. Untuk hasilnya, padi yang ditanam di lahan basah lebih padat dan berisi daripada padi yang ditanam di lahan kering.76 Hampir semua masyarakat Simeloengoen tidak tahu cara untuk menanam padi dengan sistem sawah.

Orang – orang Batak Toba yang ahli dalam hal menanam padi dengan sistem sawah.

Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial mendatangkan orang-orang Batak Toba untuk bekerja di Simeloengoen.

Melihat usaha pertanian ini cukup berhasil, Pemerintah Kolonial kemudian menerapkan salah satu program Politik Etisnya yaitu irigasi di Simeloengoen untuk membantu mengairi sawah-sawah yang dibuka. Pada tahun 1909 dan 1910, berdasarkan keputusan Pemerintah Kolonial mengenai irigasi Nomor 4 tanggal 17 Februari 1908 diangkat dan dipekerjakan seorang mantri dari Tanah Karo untuk bekerja di Simeloengoen dalam bidang irigasi.

76 H. Rijkens. Saotik Hatorangan Dohot Voorstel Taringot toe Irrigatie di Simeloengoen.

Pematang Siantar: Typ. Philemon Siregar. 1932., hlm. 4.

64

Pembukaan sawah di Simeloengoen oleh Pemerintah Kolonial ini juga menjadi salah satu alasan karena pada saat itu persediaan beras untuk Sumatera Timur sedang menipis sementara penduduk di Sumatera Timur semakin meningkat. Pada awal abad ke – 19, beras merupakan bahan pokok yang paling penting dan terbesar bagi penduduk Sumatera Timur. Karena semakin berkembang pesatnya perkebunan Sumatera Timur, banyak penduduk lokal yang meninggalkan lahan pertanian mereka untuk dijadikan areal perkebunan sehingga pertanian padi semakin sedikit dan produksi beras semakin menipis. Kemudian sejak tahun 1870, dilakukan impor beras untuk Sumatera Timur yang berasal dari Indocina, Siam, Burma, Aceh, dan Pulau Jawa. Pada tahun 1885 tercatat jumlah beras yang diimpor ke Sumatera Timur adalah 240.000 pikul atau sekitar 8.6 ton77 dan meningkat terus setiap tahunnya. Oleh karena itu, dilakukan pengolahan lahan baru untuk mengatasi masalah ini.

Pada tahun 1913, dilakukan penelitian untuk masalah pembangunan lebih lanjut mengenai irigasi. Kemudian, pada tahun 1914, pemerintah Kolonial mengeluarkan dana hingga f 3000 untuk pengolahan tanah yang cocok dijadikan irigasi dan di tahun selanjutnya, mulai dikeluarkan anggaran dana untuk pembukaan dan pembangunan irigasi. Dana sebesar f 187.000 disediakan untuk ini.78

77 Nur Hayati. “Perkembangan Perkebunan Dan Masalah Pangan Di Sumatera Timur, 1870 – 1942”. Jurnal Lembaran Sejarah Volume II No. 2. 2000. Tanpa halaman.

78 J. Tideman. Memorie. Op. Cit., hlm. 268.

65

Selama tahun 1916 sampai dengan 1920 dilakukan percobaan dan memberikan hasil yang cukup memuaskan. Di Bah Korah hasil rata-rata adalah 58, 76, 66, 63, dan 80 pikul padi per-hektar. Di Tiga Balata dan Dolok Merlawan hasil rata-rata adalah 62 pikul padi hektar. Di Bandar Meratur hasil rata-rata adalah 41 pikul padi per-hektar. Sehingga pada tahun 1921, lebih dari 4000 Hektar lahan di Simeloengoen dijadikan daerah irigasi. Tetapi, tidak selalu hasil panen padi mendapatkan hasil yang memuskan, adanya hama dan tikus menjadi suatu permasalahan yang harus ditangani.

Hal ini membuat hasil padi menurun hingga setengah dari panen biasanya.

Tabel 5

Daerah Irigasi di Simeloengoen tahun 1921 Daerah Pengairan Luas (H.A) Luas Sawah

yang ada (H.A)

Bah Tungguran 5000 700 Bah Tungguran dan Aek

Lumbut

Bah Pamudian 1200 - Bah Pamudian

Belum diketahui 2000 - -

Total 12570 H.A 4120 H.A

Sumber: Memorie Van Overgave van Jan Tideman. 1922.

66 Tabel 6

Pengeluaran untuk Pembangunan Irigasi tahun 1914 – 1920 Tahun Jumlah

Sumber: Memorie Van Overgave van Jan Tideman. 1922.

Keterangan:

 Anggaran untuk pembukaan = f 739.679,30

 Anggaran Administrasi, perawatan, dll = f 144.598,41

_______________

f 884.277.71

Pada tahun 1922, pemerintah Kolonial bersama dengan para raja Simeloengoen mengeluarkan aturan baru mengenai Waterrecht atau Undang-Undang Hasil Air.

Menurut Sawah Reglement dalam Besluit tanggal 27 Juli 1922 No. 56 Pasal 5, setiap orang yang memiliki sawah wajib membayar sebanyak f 30 untuk satu hektar lahan per tahun kepada pemerintah sebagai biaya irigisi yang digunakan.79

79 ANRI . Algemenee Secretarie Grote Bundel 1890-1942. Nomor 56. 27 Juli 1922.

67

Peraturan baru ini tidak diterima oleh masyarakat Simeloengoen terutama orang-orang Batak Toba yang pekerjaan utama mereka adalah bersawah. Pernyataan keberatan mengenai peraturan ini disampaikan mereka dengan tulisan di surat kabar Soara Batak secara berkala. Pemberian surat kepada pemerintah juga dikirimkan.

Peraturan baru ini sangat memberatkan rakyat.

Adanya pernyataan keberatan terhadap peraturan ini, maka pemerintah merubah peraturan mengenai Undang-Undang Hasil Air. Menurut Besluit tanggal 25 Januari 1925 No. 2, bahwa pembayaran wajib untuk irigasi adalah 10% dari hasil sawah yang diperoleh dan setinggi-tingginya adalah f 30 untuk 1 hektar lahan per tahun.80

Pembangunan irigasi terus bertambah dan dilakukan secara bertahap, hingga pada tahun 1926 luas irigasi yang di bangun adalah sekitar 6266.377 ha dengan tiga daerah terbesarnya adalah Siantar, Panei, dan Tanah Jawa. Untuk tiga daerah ini, irigasi dibangun dan ditujukan untuk dikelola oleh orang-orang Batak Toba yang bekerja.

Irigasi ini tidak hanya ditujukkan untuk orang-orang Batak Toba saja, kepada masyarakat Simalungun juga diajarkan untuk mulai menanam padi dengan cara bersawah. Untuk masyarakat asli Simeloengoen, irigasi dibangun di daerah Dolok Silau, sekitar Negeri Dolok pada tahun 1926 dengan mengeluarkan anggaran dana sejumlah f 275.000 dengan mengelola sekitar ± 1500 H.A lahan sawah81 kemudian berlanjut ke daerah – daerah yang lain. Pembangunan irigasi di Dolok Silau

80 Ibid. Nomor 2. 25 Januari 1925

81 ANRI. H.E.K Ezerman. Memorie. Op.Cit., hlm. 13. Lihat juga Beeuwkes., hlm. 4.

68

memberikan arti yang begitu penting bagi masyarakat asli Simeloengoen dan diharapkan masyarakat asli Simeloengoen dapat mempertahankannya.

Gambar 4.8

Pembangunan Pipa Irigasi di Bah Bolon Simeloengoen

Sumber : Arsip KITLV Leiden University Libraries. Diakses dari

Sumber : Arsip KITLV Leiden University Libraries. Diakses dari

Dalam dokumen PENERAPAN POLITIK ETIS DI SIMELOENGOEN (Halaman 65-90)