• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kutipan

Kutipan

146 Pak Tarya ingin mengatakan orang-orang proyek adalah manusia-manusia yang main curang. Korup dengan berbagai cara dan gaya. Tapi, apakah Pak Tarya salah? Jujur, Kabul merasa sindiran halus Pak Tarya lebih banyak benarnya. “Atau benar semua bila aku, Kabul ikut-ikutan suka makan uang proyek. Tapi bagaimana meyakinkan Pak Tarya bahwa aku tidak ingin seperti mereka?” (hlm. 11)

147 Watak primitif, yakni lebih mementingkan diri sendiri alias serakah.” …. Primitif, mementingkan diri sendiri, serakah. Itulah akar persoalannya? Rasanya memang beditu. Dan bila si primitive adalah orang kampong di sekitar proyek yang miskin dan kurang terdidik, harap maklum. Namun kalau si primitive tadi adalah menteri, dirjen, kakanwil, dan seterusnya? Apa mereka tidak mencak- mencak bila dikatakan primitif? (hlm. 19-20)

148 Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakay miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara yang biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama? Mungkin. Atau entah. Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil yang terjadi di proyek ini pasti akan mengurangi tingkat kesungguhan, bahkan mengkhianati tujun dasarnya. Dan hatiku tak bisa menerimanya. (hlm. 34)

149 Lalu, apakah kejujuran yang sering minta dibuktikan dengan kesahajaan sama dengan mempertahankan kemelaratan? Ah, tidak. Pasti tidak. Banyak orang yang memilih hidup bersahaja dan mereka sangat kaya akan rasa kaya. Atau hati dan jiwa mereka memang benar-benar kaya. (hlm. 34)

150 Menurut para kritikus, dan Kabul sependapat, apabila secara kelambagaan DPRD sudah menyimpang dari khitahnya, dengan sendirinya para anggota demikian pula. Mereka, para kritikus sering mengatakan para anggota DPRD menikmati uang rakyat tanpa melaksanakan dengan semestinya amanat yang dipercayakan kepada mereka. Dan Kabul merasa pahit ketika membayangkan, jangan-jangan sebagian uang rakyat itu kini ada di dompet Wati dan siap untuk membayar makan siang Kabul kali ini. (hlm. 56)

151 Selama saya masih bisa menahan perasaan terhadap hal-hal yang menyebabkan itu, saya akan menyelesaikan proyek ini. Saya juga masih terikat kewajiban menghidupi dan membiayai ibu serta dua adik saya. Ini berarti saya harus punya penghasilan. Maka saya tidak akan membuat keputusan yang tergesa-gesa. Namun bila kesebalan saya sudah melebihi ambang batas, ya tak tahulah!” (hlm 78)

152 Tapi entahlah, dalam hati Kabul mulai terasa ada percik keraguan. Dia mulai diganggu kekhawatiran jembatan tidak akan terwujud seperti yang dicita-citakan, Mungkin bentuknya bisa mewakili perwujudan gambar secara sempurna, tapi mutunya? Padahal mutu adalah penentu daya tahan. Daya tahan adalah usia.

(hlm. 147)

153 Sebagai sarjana teknik Kabul sering bertanya-tanya mengapa terlalu sedikit insinyur yang bisa jadi panutan seperto Rooseno, Sudiarto, atau Sutami. Selain berdedikasi tinggi, mereka meninggalkan karya yang monumental. Kehidupan pribadinya sangat bermartabat, ora kagetan, ora gumunan, apalagi kemaruk. Sutami malah hidup dengan sangat bersahaja dalam status sebagai menteripun. Apakah karena mereka masih mengalami pendidikan zaman Belanda yang sangat menekankan idealism serta kedisiplinan ilmu? Apa karena kepribadian mereka memang kuat? Atau lagi, apa karena mereka hidup pada masa yang relative belum korup? (hlm. 148)

154 Pembicaraan habis. Kabul bersungut-sungut. Bagaimana kalu mesin derek datang sebelum tujuh belas hari? Apakah balok-belok jembatan harus dipasang juga? Apakah dua balok yang cacat itu tidak diganti? Kabul mencoba mengusir pertanyaan-pertanyaan itu dengan menggaru-garuk kepala yang tidak gatal. Bangkit, membayar hidangan, dan keluar. Mak Sumeh memandangnya sambil menggeleng. Dan mengisap rokoknya dalam-dalam. (hlm. 156-157)

155 Apakah pembangunan jembatan atau bangunan sipil lain di seantero negeri diselimuti dengan ke-sontoloyo-an yang sama? Apakah semuanya digerogoti tikus-tikus primitive yang hidup makmur di atas beban yang ditanggung oleh masyarakat miskin? (hlm. 216)

156 Setiap hari mereka membawakan hidangan makan siang ke kantor proyek untuk Kabul dan Wati. Sebenarnya Kabul menyesal. Memang dialah yang kali pertama mengusulkan makan siang di ruang kantor. Sebab, yang dikatakan Wati ternyata benar-privasi. Situasi dan nuansa pribadi pun hadir. Seperti ada jarak yang semakin hari semakin pendek. Atau ruang yang semakin padat. (98)

157 Kabul tercenung. Apa selama ini aku member harapan? Jangan-jangan, ya. Kalau begitu aku tidak akan membocengkan Wati lagi. Tidak akan nonton bareng lagi. Dan juga tidak akan makan siang bersama. Apa makan siang bersama bukan hal yang biasa saja? (hlm. 106)

158 Hari-hari yang terasa kaku. Meski hanya berdua berada di kantor proyek itu, Kabul dan Wati jarang berbicara, kecuali urusan resmi. Suasana terasa kering seperti kemarau di luar yang belum juga berkhir. Kabul jadi tidak betah. Dan dia merasa bahwa dirinya menjadi sebab kegaguan itu di ruang itu, yang sudah berlangsung hamper dua minggu. Wati makin sering minta izin pulang awal. Bahkan, pagi ini di meja Kabul ada surat keterangan dokter; Wati sakit dan mendapat istirahat tiga hari. (hlm. 114)

159 Wati menderita? Jangan-jangan, ya. Dan bila ya, akulah penyebabnya? Pertanyaan ini lama-lama berputar di depan mata Kabul. Lalu masuk menembus dan mengejar dirinya dari dalam. Kabul tergagap. Aku telah menyebakan Wati menderita?(hlm. 115)

160 Sesaat memandang Wati, muncul rasa iba di hati Kabul. Atau mungkin rasa bersalah? Timbul juga keinginan, kalau bisa, membantu mengakhiri penderitaan Wati. Tapia pa, dan bagaimana? (hlm. 117)

LAMPIRAN 7 – RELEVANSI NOVEL SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN