• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data

2. Mak Sumeh

Tokoh Mak Sumeh dalam novel ini digambarkan sebagai wanita tambun berumur sekitar enam puluhan. Meskipun sudah berumur, perempuan paruh baya ini nampak ceria dan segar di kesehariannya. Gaya khas yang dimiliki Mak Sumeh adalah selalu memakai gelang ditangannya dan terkadang menghisap rokok sambil melayani tamu yang datang di warungnya. Melalui kutipan di bawah ini akan terlihat gaya Mak Sumeh yang selalu ceria dan bersemangat.

(58) Mak Sumeh mendekat. Gelangnya bergemerincing. Dan rokoknya mulai mengepul. Usia Mak Sumeh mungkin sekitar enam puluhan. Atau malaah lebih. Namun wajahnya tetap segar. Hidupnya kelihatan penuh semangat, padahal tubuhnya tambun. (hlm. 52)

(59) Tapi sesaat kemudian terdengar kerincing gelang emas yang memberati kedua tangannya. Tak salah lagi, perempuan Tegal itu muncul dari balik tabir kain. Pakai kaus oblong dan kainnya kendor tanpa stagen. Sambil berjalan keluar biliknya Mak Sumeh menyambar rokok dan menyalakannya. (hlm. 95)

Meskipun banyak warung berjejeran, warung milik perempuan Tegal ini selalu menjadi pilhan pertama bagi para pekerja proyek. Pelayanan yang ramah serta warung yang besar dan buka selama 24 jam sehari menjadi pilihan tersendiri bagi warung milik Mak Sumeh. Namun, warung yang didirikan perempuan tegal itu tidak selalu berdampak positif bagi para pekerja. Perjudian, miras, serta prostitusi seringkali hadir di warung itu. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan hal tersebut.

(60) Mak Sumeh, perempuan Tegal, juga datang dengan warung nasinya. Mak Sumeh yang wartegnya ada dimana-mana, tak pernah absen dalam setiap

proyek. Di proyek jembatan Sungai Cibawor, bangunan warung Mak Sumeh yang terbesar. Pada malam hari warung Mak Sumeh terang benderang oleh chaya lampu pompa. Pada malam Minggu warung itu lebih ramai karena para pekerja mingguan baru menerima gaji. (hlm. 15-16)

(61) Pertaruhan uang tetap ada dan diam-diam Mak Sumeh menjual ‘Topi Miring”. Diam-diam pula Mak Sumeh menerima pesanan bila ada mandor, tukang, atau kuli yang perlu perempuan. (hlm. 62)

Dalam kesehariannya, Mak Sumeh peduli terhadap orang-orag disekitarnya. Selain peduli, ia juga ramah terhadap para tamu yang datang di warungnya. Berdasarkan sifatnya yang ramah ini, para pekerja proyek senang mampir untuk makan di warungnya. Bahkan, mereka tidak sayang menghabiskan gaji mingguannya di warung Mak Sumeh.

Sifat peduli yang juga dimiliki Mak Sumeh terkadang justru menyebabkan konflik batin dalam diri tokoh utama. Kepedulian Mak Sumeh terhadap kehidupan pribadi Kabul dan Wati terlalu berlebihan. Mak Sumeh justru terlalu mencampuri kehidupan pribadi mereka. Dalam cerita, kepedulian Mak Sumeh terhadap Kabul dan Wati tampak ketika dia berusaha menjadi mak comblang di antara mereka berdua. Sifat Mak Sumeh yang satu ini dapat dilihat dari dialog yang diucapkan Mak Sumeh berikut ini.

(62) “Tapi sebagai sesama perempuan, Pak Insinyur, aku bias memahami sikap Wati. Soal pacar, yah, kan bias dipertimbangkan ulang karena belum menjadi ikatan resmi.”

“Eh, Pak Insinyur, kok kuno amat. Yang namanya jodoh, dari zaman nenekku pun harus diusahakan, akrena tidak bakalan jatuh dari langit. Apalagi sekarang. Nah, Pak Insinyur tahu aku sering jadi makcomblang?” “Iya. Mak Sumeh sudah berpengalamahn jadi makcomblang. Gratis kok. Asal, saya jangan dilarang berjualan di proyek ….” (hlm. 47–48)

Melihat dari berbagai kutipan dan pemaparan di atas, Mak Sumeh memiliki sifat yang ramah, jenaka, periang, serta peduli. Bagi seorang pedagang di lokasi proyek hal itu perlu ada serta dilakukan untuk menarik pembeli. Penggambaran fisik Mak Sumeh yangnyentrikjuga mendukung profesi yang dilakukannya.

3. Wati

Sosok Wati digambarkan melalui gadis muda berparas menarik berusia sekitar 23 tahun. Dia seorang sarjana muda jurusan kesektetariatan yang bekerja di proyek pembangunan jembatan bagian administrasi. Bukan tanpa alasan, dia lebih memilih bekerja di pembangunan proyek karena peluang kerja yang dimiliki Wati hanya pekerja pabrik. Penggambaran diri serta sikpa Wati memilih bekerja di proyek pembangunan jembatan dapat dilihat melalui kutipan berikut.

(63) Namun, selama setahun mencari pekerjaan, yang didapat hanya peluang kerja di pabrik. Padahal, dia berpendidikan sarjana muda kesekretariatan dan bisa mengoperasikan komputer. Jadilah wati pulang kampung, mengurus administrasi proyek sambil, katanya, menunggu peluang kerja yang lebih baik. (hlm. 24)

(64) Gayanya seperti anak usia enam belas, padahal usia Wati sudah 23. Hampir semua orang proyek meyakini Wati sudah punya pacar. Alasan mereka sederhana. Gadis semenarik Wati pasti memikat banyak pemuda. (hlm. 24)

Dalam penceritaannya, status sosial Wati bukan seperti wanita biasa di lingkungannya. Dia adalah anak dari anggota DPRD setempat. Menururt orang- orang, kakaknya adalah seorang anggota polisi. Kutipan berikut akan menunjukkan bahwa Wati adalah wanita yang tidak biasa di lingkungannya.

(65) Juga tingkat sosialnya. Untuk ukuran desanya, orang tua Wati cukup berada. Ayahnya anggota DPRD. Seorang kakaknya konon jadi mayor polisi. (hlm.55)

Kehadiran Wati dalam pembangunan proyek juga menjadi penyejuk bagi para pekerja, tidak terkecuali Kabul. Proyek yang identik dengan hawa panas dan kehidupan yang keras, seakan-akan hilang dengan kehadiran Wati. Peran Wati bisa dilihat pada kutipan (66) di bawah ini.

(66) Maka kehadiran Wati di proyek itu seakan menjadi penyeimbang bagi neraca yang miring. Atau pengisi ruang kosong dalam dunia lelaki yang senyatanya membutuhkan mitra jenisnya. (hlm. 24)

Untuk masalah pribadi, dalam hal ini cinta atau jodoh, Wati dihadapkan pada beberapa masalah. Dia terlibat cinta lokasi dengan Kabul. Di dalam proyek ini, Wati menyimpan rasa cinta terhadap atasannya itu. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan perasaan Wati terhadap Kabul.

(67) “Anu. Tapi sebelumnya aku minta maaf. Apa pak insinyur belum tahu Wati…anu…suka sama Pak Insinyur?” Mak Sumeh menatap lurus kea rah mata Kabul. Yang ditatap menatap alis. (hlm. 46)

Karena perasaan itulah, sikap Wati terhadap Kabul menjadi istimewa. Dia selalu berusaha untuk menarik perhatian Kabul. Sikap dan perhatian Wati terilihat pada kutipan (68) berikut.

(68) Ada kopiah, baju koko, dan kain sarung tertata rapi di atas mejanya. Wangi sekali. Secarik kertas di dekatnya bertuliskan “Silakan pakai”. Kabul cepat tersadar ini hari Jumat, maka pekerjaan diistirahatkan sejak jam sebelas. Dan ia pun langsung ke kamar mandi. Selama membersihkan diri Kabul teringat peralatan salat yang wangi itu; siapa yang menaruh disana? Kabul tahu jawabannya yang pasti benar. Wati. Tulisan di sana cukup menjelaskan semua. (hlm. 35)

Di sisi lain, Wati sudah punya pacar meskipun dengan berpacaran jarak jauh. Hal itu membuatnya bingung akan kepastian akhir hubungannya. Kutipan (69) berikut ini akan memperlihatkan bagaimana sikap Wati terhadap pacarnya.

(69) Wati. Pikiran Yos sedang tersita oleh perubahan sikap Wati yang telah melaksanakan kata-katanya. Wati mengirim surat yang dia ingin menikah dalam tahun 1991 ini juga. (hlm. 167)

Manja dan ceria adalah sebagian watak yang dimiliki Wati. Mencari pekerjaan kesana kemari adalah usaha yang telah dilakukan Wati, namun akhirnya dia memilih bekerja di lokasi proyek pembangunan jembatan di sekitar lingkungannya. Permasalahan demi permasalahan juga kerap dialaminya, baik masalah pribadi maupun pekerjaan. Melihat semua itu, Wati adalah sosok wanita muda yang dihadapkan dengan berbagai persolan namun dia tetap tegar mengahadinya sekaligus menyelesaikannya.

4. Ir. Dalkijo

Dalkijo berperan menjadi atasan Kabul. Di lihat dari fisiknya, Dalkijo bukanlah tipe atasan yan berpakaian rapi dan elegan. Penampilannya santai dan ganyanya tidak seperti orang kebanyakan. Dalkijo juga selalu berpenampilam layaknya seorang koboi. Melalui kutipan berikut akan menunjukkan penggambaran seorang Dalkijo.

(70) Entahlah, kata “koboi” membuat Kabul sungguh-sungguh tersenyum. Memang, bila datang ke proyek, Dalkijo selalu memakai topi wol merek Sketson. Dan memakainya dengan meniru gaya koboi yang sering muncul di bioskop tahun enam puluhan. Di atas sadel sepeda motor besar yang selalu dikendarainya ke proyek, Dalkijo pun mengusahakan gayanya mirip para penunggang kuda dari Texas. (hlm. 27)

(71) Dalkijo berhenti menghirup jus apelnya, menjilat -jilat bibir dengan gaya koboi, lalu ceramah lagi. (hlm. 30)

(72) Ah, itu jalan yang dipilih koboi Dalkijo. (hlm. 31)

Dalkijo mempunyai peran sebagai tokoh antagonis. Kemunculan tokoh Dalkijo lumayan sering dijumpai dalam penceritaan, terutama pada saat beradu argumen dengan Kabul. Dalam penceritaannya, Dalkijo dan Kabul selalalu berseberangan dalam memandang setiap permasalahan. Selain itu, dia adalah atasan yang ‘kotor’. Sifat dan watak Dalkijo tersebut ditunjukkan melalui kutipan di bawah ini.

(73) Namun menghadapi tingkat kebocoran itu, Insinyur Dalkijo – atasan Kabul, seperti tak menanggung beban apapun. (hlm. 26)

(74) “Yah, berapa kali harus saya katakan, seperti proyek yang kita kerjakan sebelum ini, semuanya selalu bermula dari permainan. Di tingkat lelang pekerjaan, kita harus bermain. Kalau tidak, kita tidak bakalan dapat proyek. Dan anggaran yang turun diatur per termin, baru kita peroleh bila kita tahu cara bermain. Kalau tidak, kita pun tak akan dapat uang meski sudah menang lelang. Ah, kamu sudah tahu semua. Saya bosan mengulangnya.

“Makanya, Dik Kabul, lebih baik bersikap seperti saya sajalah. Ikuti langgam serta permainan yang ada dan sabetlah keuntungan. Bila perlu kita jadi koboi. He-he.” (hlm. 27)

Bukan sejak lahir, Dalkijo dilahirkan sebagai anak yang kotor. Kemiskinan di masa kecilnya yang membuatnya mendukung korupsi. Dia sudah tobat melarat. Dia tidak mau merasakan kemiskinan lagi. Oleh karena itu, ia bersedia melakukan korupsi asalkan ia tidak jatuh miskin lagi. Kemiskinan masa kecil Dalkijo dapat dilihat dalam dialog yang diucapkan Dalkijo berikut.

(75) “Entahlah sampeyan, tapi kemiskinan yang disandang kedua orangtua saya ke atas sudah berlangsung sekian generasi. Untung emak saya, penjual jamu gendong, begitu tabah dan tekun mengumpulkan uang dari sen ke sen untuk membiayai sekolah saya sampai saya lulus insinyur. Ini apa namanya

kalau bukan keajaiban. Atau entahlah, yang jelas sekarang saya ada pada posisi bias memutus rantai panjang kemiskinan yang melilit kami. Saya sudah melakukan apa yang dibilang orang sebagai tobat melarat. Selamat tinggal, nasi tiwul, tikar pandan, atau rumah berlantai tanah dan beratap rendah.” (hlm. 29)

(76) “Dik kabul, karena sudah tobat melarat, lihatlah. Saya tak mau pakai sepatu kalau bukan yang asli merk terkenal. Juga baju dan celana dalam. Soal makan, apalagi. Saya tak sudi seperti sampeyan, makan di warung Mak Sumeh di proyek itu. Anak-anak saya? Semua belajar di sekolah favorit bersama anak- anak Cina dan pejabat. Kamar mereka mirip kamar anak remaja Amerika. Soal kemampuan anak tidak penting, karena bias diganti dengan duit. Istri saya? Dik Kabul tahu sendirilah. Pokoknya saya tidak sudi lagi berdeka t-dekatan dengan apa saja yang berbau kemelaratan.” (hlm. 29-30)

Perbuatan korupsi yang dilakukan Dalkijo tidak hanya karena kemiskinan yang dia alami sejak masih kecil. Ditambah lagi karena dia menjadi bagian dari salah satu partai besar dimasa itu. GLM singkatan dari Golongan Lestari Menang, partai adikuasa yang mengatur pembangunan jembatan di sungai Cibawor. Kutipan di bawah ini akan memperlihatkan perilaku Dalkijo yang terlalu mementingkan kepentingan diri sendiri.

(77) Dan aku bendaharawan GLM. Bupati, Dandim, Kapolres, Kepala Kejaksaaan, Ketua Pengadilan, semua kader dan pendukung GLM. Di DPR, golongan kita dominan. Bahkan wakil dua parpol itu juga orang-orang yang berjiwa GLM tapi diberi hijau dan merah. Semuanya pendukung setia Bapak Pembangunan. Jadi siapa yang berani mengusili kita? Paling-paling LSm! Dan untuk meladeni anak-anak LSM kita punya aparat keamanan. Jadi, Dik Kabul tenang sajalaah. Semua bias kita reka-reka. Semua bias kita atur. (hlm. 181)

(78) Atau Baldun tidak main-main dengan ancamannya; lapor kepada Ir. Dalkijo bahwa Kabul tidak kooperatif terhadap kepentingan GLM. Atau lagi, Ir. Dalkijo yang nyatanya adalah tokoh GLM akan memecat Kabul karena tidak loyal. (hlm. 146)

(79) Coba dengar , Dik Kabul. Harap jangan lupakan keputusan Dik Kabul bias membahayakan Dik Kabul Sendiri. Ah, bila Dik Kabul mau aku eman,

bertahanlah dan selesaikan proyek ini. Sebab, pemilik proyek adalah dua nama tapi satu entetitas; ya pemerintah, ya GLM. (hlm. 199)

Berdasarkan pemaparan maupun kutipan-kutipan di atas, dalam penceritaannya Dalkijo merupakan tokoh antagonis. Dalkijo selalu berseberangan dengan Kabul dalam pengambilan keputusan. Dalkijo juga selalau menjadi penyebabab munculnya konflik-konflik, bagi diri Kabul. Dalam pikirannya Dalkijo selalu ingin mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari apa yang dilakukannya.

5. Basar

Peran Kades dalam novel ini digambarkan melalui tokoh Basar. Basar mempunyai peran penting dalam pembangunan jembatan, selain sebagai kades dia adalah teman Kabul sewaktu kuliah. Melalui kutipan di bawah ini akan terlihat peran Basar sebagai kepala desa.

(80) “Di tempat ini saya juga bertemu teman lama. Kepala desa ini dulu teman saya sekampus.”

“Begitu? Jadi Pak Basar yang kades itu dulu teman kuliah sampeyan?” (hlm. 9)

Terhadap proses pembangunan jembatan, kades juga mempunyai peran yang cukup penting. Pemimpin GLM yang memegang kekuasaan terhadap pembangunan jembatan memanfaatkan posisi Basar sebagai kades untuk mengambil hati masyarakat dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Jadi, selain memimpin warga dan mengutamakan kesejahteraan warga, Basar juga harus mampu memenuhi segala keinginan partai. Hal inilah yang membuat Basar menjadi sangsi terhadap segala hal yang menjadi keputusannya.

Sebagai kepala desa, Basar harus mengutamakan kepentingan warganya. Namun, tuntutan yang diminta partai GLM membuat Basar harus melawan ideologinya sendiri. Basar adalah seorang yang berideologi kuat, sama seperti Kabul teman kampusnya dulu. Namun semenjak menjadi kades, kebimbangan terhadap mengikuti ideologinya atau tuntutan partai mulai muncul dan dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut.

(81) “Coba, Pak Tarya. Dua bulan lagi HUT partai golongan akan dipusatkan di desa kita ini. Dananya besar sekali. Dan saya tidak mau dikuras untuk hal yang tidak semestinya. Jadi, kepada orang Kabupaten saya bilang tak punya uang. Tapi apa kata mereka? ‘Saudara masih ingin menjadi kades, kan? Di desa saudara sedang ada proyek besar, kan?’ Begitulah, bagaimana saya tidak susah.” (hlm. 44)

(82) “Terpaksa, Pak Tarya. Kalau tidak, apakah saya harus berhenti menjadi kades hanya karena masalah ketempatan HUT? Saya merasa kepedulian saya terhadap desa kelahiran ini sangat kuat. Itulah, maka saya memilih menerima menjadi tuan rumah acara HUT meski dengan kepusingan yang tak kepalang.” (hlm. 45)

(83) “Memang salahku, bekas aktivis jadi kades di zaman Orde Baru yang gila ini,“ keluh Basar. “Ternyata tugas utama kades zaman Orde Baru bukan melayani masyarakat, melainkan GLM. Ini konyol, malah menjijikkan. Kalau sejak dulu aku sadar akan hal ini, aku tak mau jadi kades. Sialnya, semua ini sudar terlanjur. Apa aku harus berhenti?” (hlm. 93)

Seorang yang dulunya sangat kuat dalam mempertahankan ideologinya apabila dihadapkan dengan penguasa dan kepentingan orang banyak maka dia akan berpikir dua kali. Kebimbangan Basar sebagai kepala desa dapat dilihat dalam kutipan (84) di bawah ini.

(84) “Kamu yakin dirimu masih dibutuhkan warga?”

“Tepat. Pertanyaan itu memang masih sering mengusik diriku. Dan di sana pula sesungguhnya keputusan kugantung. Menurutmu bagaimana?” (hlm. 93- 94)

Melihat penjelasan mengenai Basar di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Basar memiliki ideologi yang kuat. Terlihat dalam perilakunya yang selalu berpikir panjang dalam mengambil sebuah keputusan serta rasa setia kawan. Sebagai seorang Kades, Basar juga selalu memihak terhadap warganya bukan memihak pada kepentingan golongan atau partai.