• Tidak ada hasil yang ditemukan

No.

Kutipan

Kutipan

122 Memang hidup membujang selama tiga puluh tahun kadang terasa gersang. Sesungguhnya Kabul merasa sama dengan lelaki yang lain. Ingin segera kawin setelah cari uang. Namun, penghasilan Kabul habis untuk menghidupi ibu, dan terutama kedua adiknya yang masih kuliah. (hlm. 52)

123 “Nggak boleh apa?” Sedikit merengut. Ah, entahlah. Kabul ingat detik yang aneh itu. Yakni detik ketika Kabul menyadari Wati yang sudah berbulan-bulan bersamanya dalam satu ruangan memang cantik. Detik itu datang ketika Wati sedang merengut. (hlm. 74)

124 Kabul terdiam. Kalau naik motor, Kabul merasa kurang enak. Sebab orang akan menganggap dia sudah benar-benar dekat dengan Wati. Kabul sadar akan nilai- nilai masyarakat dusun. Apalagi konon Wati sudah punya pacar. (hlm. 76)

125 “Bul, kali ini aku datang sebagai teman. Artinya sama sekali tidak ada kaitannya dengan jabatanku sebagai kades.” ….

“Ya, kenapa?

“Suara di luar kian santer. Orang bilang, kamu pacaran sama Wati. Betul?”

126 Kabul hanya memandang Wati dari tempat duduk. Tak lama kemudian terdengar bunyi motor dihidupkan, dan hati Kabul terasa ikut tergulir. Dan guliran itu berhenti setelah bunyi motor Wati benar-benar hilang dari pendengaran. (hlm. 113)

127 Sepi. Terasa ada ruang kosong yang mengembang di hati Kabul. Padahal dulu, Kabul tak punya perasaan seperti itu. Wati ada atau tidak, sama saja. (hlm. 113)

Tidak terpenuhinya kebutuhan akan penghargaan No.

Kutipan

Kutipan

128 Sebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak semua permainan ini. Mutu bangunan menjadi taruhan. Padahal bila mutu bangunan dipermainkan, masyarakatlah yang pasti akan menanggung akibat buruknya. Dan bagi Kabul hal ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya. (hlm. 28)

129 “Tapi saya akan bekerja sebaik-baiknya sejauh yang saya bisa lakukan. Saya tidak ingin mengkhianati gelar keinsinyuran saya. Namun kalau keadaan di dunia proyekan masih seperti ini, rasa-rasanya inilah proyek saya yang terakhir.” (hlm. 78)

130 Karena kami ingin meyelesaikan pembangunan dengan hasil yang sebaik- baiknya, kami hanya bisa membantu Anda apabila proyek ini sudah selesai. Itu pun bila nanti ternyata ada material yang tersisa. Sekarang ini sisa material, yang biasanya berupa batu, batusplit, potongan besi, serta sedikit semen, belum bisa dihitung. (hlm 138-139)

131 “Untuk sebuah masjid sekalipun? Begitu?”

“Ya!” Jawab Kabul lugas. “Masjid adalah bangunan suci dan sebagai orang Islam saya merasa wajib menyumbangnya…”

“Nah!”

”Tapi nanti dulu. Karena kesuciannya, pembangunan sebuah masjid harus tertib dan pakai tata karma. Semua material di sini kan, dibeli untuk membangun jembatan, bukan lainnya. Jadi kalau ingin tertib, semua material di sini tidak boleh dipakai untuk tujuan lain.” (hlm. 140)

132 Wajah Kabul membeku. Perasaannya tersinggung oleh kata-kata Baldun yang meragukan dirinya bersih lingkungan; labelisasi politik yang telah membuat ribuan orang tak berdosa sengsara. ….

Saya tak bersih lingkungan? Entahlah. Yang jelas saya anak petani penjual

gembusdanklanting. (hlm. 143)

133 “Ya, kamu benar. Kekhawatiran itu ada. Namun lebih berat bila aku harus menyerahkan kepada masyarakat jembatan yang tidak bermutu. Aku akan

134 “Tapi, Wat, aku sungguh berharap hal itu tidak akan terjadi. Aku masih punya keinginan kuat menyelesaikan proyek ini dengan mutu yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena di sanalah reputasiku dpertaruhkan.” (hlm. 158)

Tidak terpenuhinya kebutuhan akan aktualisasi diri No.

Kutipan

Kutipan

135 Namun karena dimulai ketika hujan masih turun, volume pekerjaan yang dicapai berada di bawah target. Menghadapi kenyataan ini, Kabul sering uring-uringan. Jengkel karena hambatan ini sebenarnya bisa dihindari bila pemerintah sebagai pemilik proyek dan para politikus tidak terlalu banyak campur tangan dalam tingkat pelaksanaan. (hlm. 25)

136 Namun Kabul merasa tak bisa berbuat apa-apa. Karena permainan itu terasa sudah menjadi kewajaran dan menggejala dimana-mana, sampai masyarakat sekitar proyek pun ikut melakukannya. Bahkan pelaksana seperti Dalkijo sudah terbiasa menerima semua bentuk permainan itu tanpa keluhan apa-apa, atau malah memanfaatkannya. (hlm. 28)

137 “Begini. Ibarat kita sebuah rumah kayu, rayap sudah makan dari tiang sampai bubungan. Semua kayu telah keropos. Kalau hal itu dibiarkan, hanya satu hal yang kita temui di depan; rumah kayu itu akan ambruk. Sayangnya saya yang awam ini tak bisa berbuat apa-apa. Atau, sebenarnya saya berbuat sesuatu yang kecil saja. Yakni andaikan proyek-proyek yang saya tangani dikerjakan tanpa penyelewengandan kecurangan apapun. Tapi ternyata saya tak bisa. Proyek ini dibangun dengan rayap-rayap yang doyan batu, semen, besi, apalagi duit. Jelas, yang berdiri nanti adalah jembatan-jembatan, tapi biaya yang dikeluarkan dan harus jadi beban rakyat bisa untuk membangun dua jembatan yang memenuhi standar mutu.” (hlm 71)

138 Karena, anggaran sudah jadibancakan, sehingga semua sektornya harus ditekan. Biro pengawas yang menjamin mutu proyekpun tidak kebal duit. Dan orang-

orang DPRD? Ah, mereka tak mau pusing apakah pasir atau besi beton memenuhi persyaratan teknik atau tidak. Bagi mereka yang penting bendaharawan proyek ‘tahu’ bila mereka datang. (hlm. 108)

139 “Begini. Semua insinyur sipil, tak terkecuali saya, tahu bagaimana jembatan, harus dibangun. Nah, ke-cablaka-an saya menuntut agar saya tidak menghianati pengetahuan itu, pengetahuan teknik sipil. Tapi, dati pengalaman melaksanakan pembangunan ketiga proyek itu saya mengalami sendiri bahwa ilmu teknik sipil banyak dikebiri.” (hlm. 68)

140 Sekali lagi Kabul mengangkat alis. :Oh, adikku, kamu belum tahu betapa sulitnya menaati ketentuan ilmu teknik di proyek ini. (hlm 108)

141 “Memang. Dan untuk meliburkan pekerja, aku harus berdebat dulu dengan Pak Dalkijo. Aku tak mau jadi ujung tangan kapitalis baru yang menindas bangsa sendiri. Libur hari minggu adalah hak mereka. Apalagi sudah dua bulan mereka bekerja tanpa libur.” (hlm. 102)

142 “Saya juga mohon pak Kades sebagai pelindung panitia memahami tanggung jawab saya. Dengan anggaran yang sudah compang-samping saya harus menjaga mutu bangunan jembatan. Ini persoalan berat dan sudah mencapai ambang batas. Atau malah sudah melewatinya. Artinya, pembebanan lebih lanjut bisa menyebabkan baku mutu jembatan tidak bisa tercapai. Dan bila hal ini benar- benar terjadi, kita semua tahu akibatnya. (hlm. 141)

143 Kalau terjadi demikian, toleransiku habis. Demi perasaanku sendiri, aku kan berhenti. Ya, aku akan meninggalkan proyek ini. (hlm. 158)

144 Bagi Kabul, ini sudah keterlaluan. Kabul protes. Maka meskipun sudah diturunkan dari kendaraan pengangkutnya, besi-besi bekas itu dibiarkan menumpuk di halaman kantor proyek. Melalui radio komunikasi Kabul menyatakan tidak akan mau menggunakan besi bekas itu. Tapi Dalkijo bersekiras. (hlm. 180)

145 Dibuang atau dijual kepada pedagang besi rongsok. Itulah jawaban Kabul yang tak bisa ditawar lagi. Atau, Kabul akan sebera menulis surat pernyataan pengunduran diri. (hlm. 183)

LAMPIRAN 6 – KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA