• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan konsep daya saing yang disampaikan oleh Cho dan Moon (2000) dimulai dari pandangan Merkantilisme yang memandang perdagangan sebagai suatu zero-sum game, di mana surplus perdagangan sebuah negara diimbangi dengan defisit perdagangan negara lain. Namun Smith (2003) memandang perdagangan sebagai positive-sum game di mana semua mitra yang berdagang dapat memperoleh manfaat jika negara-negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang di mana mereka memiliki keunggulan absolut. Ricardo memperluas teori keunggulan absolut menjadi teori keunggulan komparatif.

Smith (2003), percaya operasi hukum alam, atau invisible hand, dan oleh karenanya mendukung individualisme dan perdagangan bebas. Smith berpendapat bahwa setiap orang lebih memahami kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika setiap orang diizinkan mencari kesejahteraannya sendiri, maka dalam jangka panjang ia akan memberikan kontribusi paling besar bagi kebaikan bersama. Hukum alam, dan bukannya peraturan pemerintah, akan berperan mencegah penyalahgunaan kebebasan ini. Secara khusus, keunggulan dari hukum alam ini di mata Smith berasal dari pembagian kerja (division of labor).

Selanjutnya Smith (2003) memperluas gagasan mengenai pembagian kerja menjadi gagasan mengenai pembagian kerja internasional. Spesialisasi, kerja sama, dan pertukaran kontribusi pada kemajuan perekonomian dunia, dan karenanya membuka jalan menuju kemajuan di masa depan.

Perdagangan internasional oleh karenanya merupakan positive game bagi Adam Smith. Mengkritik merkantilisme, Smith (2003) menunjukkan bagaimana segala bentuk campur tangan pemerintah, seperti memberikan monopoli, mensubsidi ekspor, melarang impor, dan mengatur upah, dapat menghambat pertumbuhan alamiah aktivitas ekonomi. Sebaliknya, Smith (2003) mengungkapkan keunggulan spesialisasi berdasarkan wilayah dan negara. Diawali dengan penalaran seperti ini, Adam Smith menunjukkan bagaimana setiap negara dapat jauh lebih baik secara ekonomis dengan berkonsentrasi pada apa yang dapat dilakukannya dengan paling baik daripada mengikuti doktrin merkantilis berupa kecukupan diri nasional (national self-sufficiency).

Persaingan sangat penting dalam masyarakat yang diusulkan Adam Smith. Persaingan memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang paling sesuai mereka lakukan, dan hal ini memastikan bahwa masing-masing mendapatkan penghargaan penuh atas jasa-jasa mereka dan kontribusi maksimal mereka bagi kebaikan bersama. Oleh karena itu, peran pemerintah, atau penguasa, seharusnya minimal.

Kebijakan perekonomian pemerintah yang paling penting adalah menghilangkan monopoli dan melindungi persaingan. Meskipun demikian, posisi Smith terhadap regulasi pemerintah tidaklah mutlak. Sebagaimana ditunjukkan dalam tugas ketiga pemerintah, Smith (2003) menyatakan bahwa proyek-proyek yang diperlukan yang terlalu besar untuk lembaga swasta akan dilaksanakan oleh kewenangan publik.

Perdebatan tentang konsep keunggulan komparatif diawali ketika Smith (2003) menerbitkan bukunya, yang dilanjutkan oleh banyak ekonom yang

memberikan kontribusi pada teori ini (Krugman dan Obstfeld, 2006). Di antaranya, kontribusi Ricardo pada teori perdagangan internasional sedemikian penting sehingga teori klasik ini kadang-kadang dikatakan sebagai teori Ricardian. Terdapat suatu persoalan dengan teori keunggulan absolut. Menurut Smith, sebuah negara yang superior seperti ini mungkin tidak memperoleh manfaat dari perdagangan internasional. Aturan ini dikenal sebagai teori keunggulan komparatif. Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun sebuah negara tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara ini dan juga negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional.

Krugman dan Obstfeld (2006), berpendapat bahwa impor dapat menguntungkan bagi sebuah negara walaupun negara itu mampu memproduksi produk yang diimpor dengan biaya yang lebih rendah. Oleh karena itu, tidak benar adanya, sebagaimana yang diyakini oleh Adam Smith bahwa di dalam perdagangan bebas masing-masing komoditas akan diproduksi oleh negara yang memproduksinya dengan biaya riil yang paling rendah. Hal ini merupakan prinsip keunggulan komparatif yang melandasi keunggulan pembagian tenaga kerja, baik antar-individu, antar-wilayah, maupun antar-negara. Model perdagangan internasional Ricardian dengan demikian merupakan suatu alat yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa perdagangan dapat terjadi dan bagaimana perdagangan meningkatkan kesejahteraan para mitra yang berdagang.

Krugman dan Obstfeld (2006), juga menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak

menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda antar-negara. Pada awal abad kedua puluh, sebuah teori penting yang baru mengenai perdagangan internasional, model Heckscher-Ohlin (HO), dikembangkan oleh dua orang ekonom Swedia yakni Hecksher dan Ohlin. Keduanya berpendapat bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam factor endowments. Menurut model HO tersebut, terdapat dua ciri-ciri dasar dari negara dan produk. Negara berbeda satu sama lain menurut faktor produksi yang dimilikinya. Barang berbeda satu sama lain menurut faktor yang diperlukan dalam produksinya.

Model HO mengatakan bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan komparatif dalam barang yang diproduksinya relatif intensif dalam hal faktor yang dimilikinya, dan oleh karena itu akan mengekspornya. Logikanya adalah bahwa semakin berlebihannya suatu faktor, semakin rendah biayanya. Oleh karena itu, perbedaan dalam factor endowments dari berbagai negara dapat menjelaskan perbedaan dalam biaya faktor, yang mengakibatkan keunggulan komparatif yang berbeda.

Studi empiris yang terkenal dari model HO dilakukan oleh Leontief (1953). Leontief yang semula berekspektasi bahwa Amerika Serikat, negara yang surplus modalnya paling besar di dunia, seharusnya mengekspor barang-barang padat modal dan mengimpor barang-barang padat karya, tetapi ternyata menemukan bahwa barang impor AS yang bersaing memerlukan modal yang 30 persen lebih besar.

Banyak barang manufaktur yang melalui suatu siklus produk yang terdiri dari introduksi, pertumbuhan, kedewasaan dan penurunan. Jadi, keunggulan

komparatif dari barang ini berubah dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke negara lain. Hipotesis siklus produk berawal dengan asumsi bahwa rangsangan pada inovasi biasanya dipicu oleh ancaman atau peluang di pasar. Dengan kata lain, perusahaan cenderung dirangsang oleh kebutuhan dan kesempatan yang ada di pasar yang terdekat, yaitu home market. Home market memainkan peran ganda dalam hipotesis ini. Home market tidak hanya berperan sebagai sumber rangsangan untuk perusahaan inovasi, tetapi juga lokasi yang lebih disukai untuk melaksanakan produksi (Cho and Moon, 2000).

Berbeda dengan model keunggulan komparatif yang cenderung outside-in approach yang menempatkan pasar, kompetisi, dan konsumen sebagai titik awal proses penyusunan strategi. Konsep yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994) lebih cenderung inside-out. The core competence model yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994) menyatakan bahwa daya saing dalam jangka panjang diturunkan dari kemampuan untuk membangun core competence, yaitu lower cost

dan more speedily dari pesaing. The core competence bisa menghasilkan produk baru yang tidak diantisipasi sebelumnya.

Sumber utama untuk membangun competence adalah kemampuan manajemen untuk mengkonsolidasikan corporate-wide technologies dan

production skills menjadi kompetensi. Hamel dan Prahalad (1994) menganjurkan perusahaan agar strategi bersaing dibangun di seputar core of shared competencies.

Core competence yang dimaksud Hamel dan Prahalad harus memenuhi tiga persyaratan dassar yaitu: (1) menyediakan potensial akses ke pasar yang bervariasi luas, (2) membuat kontribusi nyata untuk membuat product benefit

seperti yang diharapkan konsumen, (3) core competence semestinya sulit ditiru oleh pesaing.

Untuk membangun core competence diperlukan perbaikan proses yang berkelanjutan, yang menjadi komitmen seluruh level manajemen termasuk manajemen puncak.

Daya saing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini dan bisa diproyeksikan ke masa depan. Daya saing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu tergantung pada tingkat kompetisi, perubahan perilaku permintaan dan kemampuan dasar industri di negara bersangkutan.

Penjelasan para ahli ekonomi mengenai daya saing global berkaitan dengan teori keunggulan komparatif dan faktor harga banyak terinspirirasi oleh pandangan Ricardo dan Heckscher-Ohlin. Ricardo berfokus pada satu faktor produksi dan tingkat teknologi yang berbeda-beda, sementara Hecksher dan Ohlin berfokus pada input tenaga kerja dan kapital serta menilai keunggulan komparatif berdasarkan perbedaan factor-faktor endowment dan faktor harga relatif. (Dornbusch et al.,1998).

Dalam teori perdagangan modern dikatakan bahwa di dalam perdagangan dengan tingkat kompetisi yang tidak sempurna, maka keunggulan komparatif tetap memegang peranan penting untuk menjelaskan pola perdagangan yang terjadi, namun skala ekonomi dan motivasi strategis juga berperan penting (Helpman dan Krugman,1985 dalam

Menurut Adams et al. (2004), keunggulan komparatif tidak selalu berhubungan erat dengan diskusi mengenai daya saing dikarenakan beberapa hal:

Pertama, karena keunggulan komparatif merupakan konsep mikroekonomi yang berfokus pada perdagangan industri spesifik, yang mampu menjelaskan mengapa sebuah negara melakukan ekspor atas produk-produk padat karya, sementara negara lain melakukan spesialisasi hanya untuk produk yang padat modal. Setiap negara mempunyai keunggulan komparatif dalam hal memperoduksi produk-produk tertentu, yaitu bila negara tersebut mempunyai tingkat biaya produk-produksi yang lebih rendah dibandingkan negara pesaingnya. Oleh karena itu keunggulan komparatif tidak terlalu berperan nyata dalam perspektif makroekonomi.

Kedua, keunggulan komparatif adalah konsep ekuilibrium, yang memprediksi pola perdagangan di saat harga, aliran perdagangan dan nilai tukar berada pada posisi ekuilibrium. Sementara itu, keputusan bisnis secara eksplisit seringkali harus mempertimbangkan juga tingkat pertumbuhan jangka pendek selain hasil ekuilibrium jangka panjang. Seperti misalnya, kondisi perekonomian yang terjadi saat ini, fluktuasi nilai tukar mata uang asing, dan beberapa faktor lain yang mewakili deviasi dari kondisi ekuilibrum jangka panjang.

Akhirnya, keunggulan komparatif tidak menempatkan secara khusus semua alternatif teknologi yang mungkin dilakukan oleh produsen. Pada tingkat mikroekonomi, jika berbicara mengenai produk spesifik, maka teori tidak akan selalu dapat menjelaskan negara mana yang mempunyai campuran sumberdaya dan faktor harga yang paling baik untuk berbagai tipe produk yang diproduksi. Tergantung dari infrastruktur dan teknologi serta rendahnya angka relatif jumlah tenaga kerja terhadap kapital, yang akan berimplikasi terhadap tingginya produktivitas dan nilai upah buruh. Bagi produk-produk padat karya, upah yang tinggi tidak selalu berkorelasi positif terhadap keunggulan komparatif, jika

tersedia teknologi alternatif yang menggunakan sedikit tenaga kerja dan lebih banyak kapital. Sebagai contoh, beberapa produk yang diproduksi secara manual di China dapat diproduksi dengan mesin di Amerika.

Daya saing global pada dasarnya berhubungan dengan biaya, sehingga yang memenangkan kompetisi adalah negara yang mampu memasarkan produk dengan harga paling rendah atau kualitas terbaik. Biaya berhubungan dengan harga faktor-faktor input (seperti nilai tukar, upah domestik, biaya material), produktivitas, kemampuan untuk memproduksi barang berkualitas, biaya transportasi, biaya komunikasi, kendala perdagangan, strategi perdagangan dan kemampuan untuk memenuhi spesifikasi pasar (Adams et al., 2004).

Pada kenyataannya penggunaan terminologi daya saing sangatlah luas. Seringkali para pendukung daya saing menekankan pada tingkat pertumbuhan produktifitas yang berkelanjutan, terutama dalam hal memproduksi produk-produk yang memenuhi kebutuhan pasar global dan mampu menggiring ke tingkat hidup yang lebih baik (Porter, 1990 dalam

Menurut Reinhardt (2005), pembuat kebijakan industri di seluruh dunia semakin sering menggunakan teknologi dan klasifikasi pasar untuk menilai daya saing manufaktur. Sektor industri manufaktur yang intensif teknologi mempunyai pertumbuhan dan prospek dagang lebih baik, menawarkan kesempatan belajar, dan seringkali menghasilkan eksternalitas bagi perekonomian. Selain itu sektor manufaktur yang intensif teknologi juga menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dan memberikan hambatan masuk lebih tinggi bagi pendatang baru.

Competitiveness Policy Council, 1992).

Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), hal paling mendasar dari perekonomian global adalah banyaknya manfaat dari perdagangan antar negara. Jika ada dua atau lebih negara yang saling menjual dan membeli barang dan jasa, maka pertukaran ini akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat.

Manfaat perdagangan internasional sesungguhnya lebih luas dari apa yang disadari masyarakat umum. Hanya saja, selama ini telah berkembang pendapat yang salah bahwa perdagangan internasional akan sulit dilakukan diantara negara-negara yang mempunyai perbedaan jauh, baik dalam hal tingkat produktivitas maupun tingkat kesejahteraan masyarakat.

Negara dengan tingkat perkembangan teknologi yang rendah bisa jadi merasa bahwa melakukan hubungan dagang dengan negara yang lebih maju akan mendatangkan kehancuran karena ketidakmampuan bersaing. Negara dengan teknologi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi akan merasa bahwa melakukan hubungan dagang dengan negara yang kurang maju dapat menurunkan standar kehidupan mereka. Ada juga kekuatiran bahwa negara maju akan dibanjiri oleh produk dari negara berkembang dengan kualitas produk rendah.

Sekalipun sebuah negara akan mendapatkan manfaat positif dari perdagangan internasional, namun bisa jadi hal ini akan memberi dampak tidak menguntungkan bagi beberapa kelompok masyarakat dalam satu negara, karena perdagangan internasional akan memberikan pengaruh yang besar dalam hal distribusi pendapatan.

Ohmae (1995) dalam Hanani (2000), mengatakan dampak liberalisasi perdagangan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi, namun juga bisa terjadi pada perubahan konsumsi. Pada banyak negara, termasuk Indonesia, liberalisasi

perdagangan telah mempengaruhi pola konsumsi masyarakat termasuk dalam menyikapi produk impor.

Berbagai perdebatan yang kontradiktif tentang perdagangan menghasilkan beberapa teori perdagangan internasional seperti diungkapkan oleh Krugman dan Obstfeld (2006), yang menyatakan bahwa :

1. Perdagangan internasional akan berpengaruh negatif bagi pemilik sumberdaya yang bersifat spesifik dalam industri tertentu yang harus bersaing dengan barang atau jasa impor, karena tidak dapat menemukan tenaga kerja alternatif dari industri lain.

2. Perdagangan internasional juga akan mengubah distribusi pendapatan pada beberapa kelompok besar, seperti kelompok pekerja dan pemilik modal. Keikutsertaan pada perdagangan internasional bisa dipandang dari dua alasan, yaitu: (1) masing-masing negara yang berdagang mempunyai perbedaan, dan (2) perdagangan merupakan sarana untuk mencapai skala ekonomi produksi. Jika suatu negara hanya memproduksi beberapa jenis produk tertentu, maka keterlibatannya dalam perdagangan internasional membuat negara ini mempunyai kesempatan untuk memproduksi jenis produk yang terbatas tadi dalam skala yang lebih besar, sehingga akan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut harus memproduksi sendiri semua produk kebutuhan dalam negerinya. Melalui perdagangan internasional juga bisa tergambar bagaimana hubungan dan rivalitas antar negara khususnya dalam perekonomian dunia, yang antara lain digambarkan dalam peta persaingan.

Menurut Cho dan Moon (2000), retorika daya saing – pandangan bahwa, berdasarkan istilah Presiden Clinton, masing-masing negara seperti sebuah

perusahaan besar yang bersaing dalam pasar global – telah sedemikian privatif. Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), daya saing menghadirkan tiga bahaya. Pertama, hal ini dapat mengakibatkan penyia-nyiaan uang untuk meningkatkan daya saing AS. Kedua, hal ini dapat mengarah pada proteksionisme dan perang dagang. Akhirnya, hal ini dapat mengakibatkan kebijakan publik yang buruk. Krugman memberikan peringatan bahwa suatu obsesi dengan daya saing merupakan hal yang berbahaya dan menyarankan membuang produktivitas dalam hal ini.

Pada kenyataannya, meskipun demikian, mencoba untuk mendefinisikan daya saing sebuah negara ternyata jauh lebih problematik dibandingkan mendefinisikan daya saing sebuah perusahaan. Ukuran kinerja untuk sebuah perusahaan secara harfiah adalah labanya: jika sebuah perusahaan tidak mampu membayar para pekerja, para pemasok, dan para pemegang obligasinya, maka perusahaan akan keluar dari bisnis. Jadi, pada saat kita mengatakan bahwa sebuah perusahaan tidak kompetitif, yang kita maksud adalah bahwa posisi pasarnya tidak dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama, kecuali perusahaan tersebut memperbaiki kinerjanya, perusahaan tersebut akan berhenti. Negara, di sisi lain, tidak mungkin keluar dari bisnis.

Seseorang mungkin mengumpamakan secara naif bahwa ukuran kinerja dari sebuah perekonomian nasional sekadar neraca perdagangan saja, bahwa daya saing dapat diukur dengan kemampuan sebuah negara untuk menjual produk ke luar negeri yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah produk yang dibelinya. Tetapi dalam teori maupun praktik suatu surplus perdagangan mungkin

merupakan suatu tanda kelemahan nasional, suatu defisit mungkin merupakan suatu tanda kekuatan.

Negara-negara tidak saling bersaing seperti halnya perusahaan saling bersaing. Pada persaingan antar perusahaan, keberhasilan perusahaan yang menang bersaing akan berakibat kekalahan pada perusahaan satunya. Tetapi dalam persaingan antar negara, keberhasilan negara yang satu menjual produk ke negara lain juga memberi manfaat bagi negara yang mengimpor khususnya dalam menghasilkan consumer surplus. Negara pengimpor bisa mendapatkan produk berkualitas dengan harga lebih murah.

Menurut Cho dan Moon (2000), para pendukung daya saing tidak pernah menyangkal pentingnya kinerja perekonomian domestik. Terlebih-lebih, secara nyata semua resep daya saing menekankan tingkat tabungan dan investasi domestik, pendidikan, biaya modal, penelitian dan pengembangan. Perdagangan pada umumnya diperlakukan sebagai isu sekunder – lebih sebagai gejala daripada penyebab daya saing.

Krugman (2006), tidak menjelaskan perlambatan dalam pertumbuhan produktivitas AS, tetapi ia menunjukkan bahwa faktor-faktor domestik merupakan penyebab intinya. Meskipun demikian, perlambatan tersebut datang tepat pada saat impor AS sedang membubung tinggi dan seluruh industri seperti produk elektronik konsumsi disapu habis oleh para pesaing luar negeri yang mengejar taktik merkantilis.

Menurut Cho dan Moon (2000), negara mencoba untuk meningkatkan standar kehidupan setiap warganya. Standar hidup yang lebih tinggi tergantung pada peningkatan produktivitas, dan dalam banyak perekonomian tingkat

pertumbuhan produktivitas pada prinsipnya ditentukan oleh ukuran investasi domestik dalam pabrik dan perlengkapan, penelitian dan pengembangan, keterampilan dan infrastruktur publik, kualitas manajemen swasta dan administrasi publik.

Cho and Moon (2000), menyebutkan bahwa kesalahan konsep dari daya saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam yang banyak dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan daya saing internasional sebuah negara dengan penganugerahan faktornya. Ada negara-negara yang memiliki banyak sumberdaya tetapi tingkat perekonomiannya lemah. Dalam suatu dunia di mana bahan baku, modal, dan bahkan tenaga kerja bergerak di seluruh batas wilayah nasional, kepemilikan sumberdaya yang dianugerahkan saja tidak menentukan daya saing internasional.

Menurut Rooyen et al. (2002), daya saing ekonomi komparatif sebuah negara sangat dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan sumberdaya khususnya tanah, tenaga kerja dan modal. Sementara pendekatan daya saing kompetitif kesempatan bisnis, kebijakan yang berlaku dan distorsi harga perbedaan kualitas produk dan kemampuan memasarkan. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan skala ekonomi, economy of scope dan posisi di pasar

Selanjutnya Uchida dan Cook (2004), menyatakan bahwa daya saing berkaitan erat dengan teknologi yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas produk. Peningkatan spesialisasi teknologi juga memungkinkankan dilakukannya pengembangan kapasitas.

2.1.1. Konsep Daya Saing Diamond Porter

Untuk menyelidiki mengapa negara memperoleh keunggulan kompetitif dalam industri tertentu dan implikasinya bagi strategi perusahaan dan perekonomian nasional, Porter (1990) melaksanakan suatu studi selama empat tahun terhadap sepuluh negara utama dalam perdagangan. Porter mendefinisikan industri sebuah negara sebagai sukses secara internasional jika memiliki keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing terbaik di seluruh dunia. Sebagai indikator, ia memilih keberadaan ekspor yang besar dan bertahan lama dan/atau investasi asing di luar wilayah yang signifikan berdasarkan pada keterampilan dan aktiva yang diciptakan di negara asal. Porter menyimpulkan bahwa beberapa negara berhasil dalam industri tertentu karena lingkungan asalnya bersifat forward-looking, dinamis, dan menantang. Secara spesifik, beberapa penentunya adalah kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung, strategi perusahaan dan struktur persaingan.

Dalam persaingan global yang semakin meningkat, negara menjadi semakin penting. Bersamaan dengan beralihnya basis persaingan menuju penciptaan dan asimilasi pengetahuan, peran negara telah berkembang. Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian, lembaga, dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kompetitif.

Terdapat perbedaan yang bertarung dalam pola daya saing dalam setiap negara; tidak ada negara yang dapat atau akan bersifat kompetitif dalam setiap atau bahkan dalam sebagian besar industri. Beberapa negara berhasil dalam

industri tertentu karena lingkungan asalnya bersifat paling berpandangan ke depan, dinamis dan menantang. Satu-satunya cara untuk mempertahankan keunggulan kompetitif adalah dengan memperbaharuinya, untuk terus bergerak atau beralih ke tipe-tipe yang lebih canggih.

Terdapat empat atribut seperti terdapat pada Gambar 1, yang secara individual dan sebagai suatu sistem menyatakan diamond dari keunggulan nasional, antara lain: kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung, serta strategi perusahaan (Porter, 1990).