• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis daya saing, keterkaitan dan sumber sumber pertumbuhan industry agro Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis daya saing, keterkaitan dan sumber sumber pertumbuhan industry agro Indonesia"

Copied!
258
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

HANDITO HADI JOEWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DISERTASI

HANDITO HADI JOEWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

disertasi saya yang berjudul :

ANALISIS DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI AGRO INDONESIA

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri, dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis

di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2008

(4)

HANDITO HADI JOEWONO. 2008. Analysis of Competitiveness, Linkages and Source of Growth of Agro-based Industry in Indonesia (ARIEF DARYANTO, as a Chairman, HARIANTO and KUNTJORO, as Members of the Advisory Committee).

World trade liberalization triggered the importance of increasing the competitiveness of Indonesian products in global market. The competitiveness of Indonesian products, especially the ones from agro-based industry, and its linkage to the upstream and downstream sectors need to be analyzed and understood. At the end, growth factors need to be formulated by doing comparison to other countries’ agro-based industry.

The objective of this study was held in order to analyze the competitiveness position of agro-based industry sector in Indonesia by analysing input-output in Asia’s countries, especially between Indonesia, Thailand, and China. Specifically, the purpose of this study were : (1) measuring the change of agro-based industry competitiveness in Indonesia, Thailand, and China, (2) analysing the linkage between agro-based industry sector in Indonesia with the economy of Thailand and China, and (3) calculating and analysing structural growth factors of agro-based industry sector in Indonesia, Thailand, and China.

The analysis in this study used multilateral I-O model and data from Asian I-O Table, 1995 and 2000 to get the competitiveness score through IIC (Index of International Competitiveness) and IDC (Index of Domestic Competitiveness), inter-country linkages, key sector and sources of growth through structural decomposition.

Findings from this study are : (1) competitiveness of Indonesia agro-based industry sector had declined from 1995 to 2000, especially for domestic competitiveness, (2) Indonesia agro-based industry sector has a linkage to Thailand and China, (3) Indonesia has no primary source of growth in agro-based industry that could be used in the future development. Structural growth factor in agro-based industry sector in Indonesia do not have a pattern, while Thailand was supported by technological change factor, and China was supported by export expansion factor.

Based on the above findings, this study come to some recommendations to increase Indonesia agro-based industry competitiveness as follows : (1) Developing agro-based industry as a key economic sector, (2) Increasing productivity, (3) Strengthening domestic competitiveness, (4) Increasing marketing-based competitiveness, and (5) Developing technology-based economy.

(5)

Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Agro Indonesia (ARIEF DARYANTO, sebagai Ketua, HARIANTO dan KUNTJORO, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Semakin liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global. Kemampuan bersaing produk Indonesia khususnya yang dihasilkan dari industri agro perlu dianalisis, dipahami keterkaitannya dengan sektor hulu dan hilir serta perlu dirumuskan sumber-sumber pertumbuhan dengan melakukan komparasi terhadap industri agro negara-negara lain.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis posisi daya saing industri agro Indonesia melalui analisis input-output antar negara di Asia, khususnya antara Indonesia, Thailand dan China. Secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengukur perubahan daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan China, (2) menganalisis keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan perekonomian negara Thailand dan China, dan (3) menghitung dan menganalisis faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor industri agro negara Indonesia, Thailand dan China. Pada penelitian ini digunakan pendekatan analisis I-O antar negara dengan menggunakan data Asian Input-Output Table 1995 dan 2000 untuk mendapatkan nilai daya saing melalui hitungan IIC (Index of International Competitiveness) dan IDC (Index of Domestic Competitiveness), keterkaitan antarsektor, sektor kunci, kinerja ekonomi, dan sumber-sumber pertumbuhan melalui dekomposisi struktural.

Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa: (1) sektor industri agro Indonesia mengalami penurunan daya saing pada periode 1995-2000 terutama daya saing domestik, (2) sektor industri agro Indonesia mempunyai keterkaitan dengan China dan Thailand, dan (3) Indonesia tidak mempunyai sumber pertumbuhan sektor industri agro yang dapat diandalkan di masa mendatang. Faktor pertumbuhan struktural industri agro Indonesia tidak menunjukkan pola yang teratur, sementara Thailand cenderung ditunjang oleh faktor perubahan teknologi (technological change) sedangkan China cenderung ditunjang oleh faktor promosi ekspor (export expansion).

Penelitian ini menyarankan bahwa untuk meningkatkan daya saing industri agro Indonesia di masa mendatang perlu dilakukan: (1) pengembangan industri agro sebagai sektor unggulan, (2) peningkatan produktivitas, (3) perkuatan daya saing di pasar domestik, (4) peningkatan daya saing berbasis pemasaran, dan (5) pengembangan perekonomian berbasis teknologi.

(6)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(7)

HANDITO HADI JOEWONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama Mahasiswa : Handito Hadi Joewono

Nomor Pokok : A5460142914

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec

Dr. Ir. Harianto, MS

Anggota Anggota Prof. Dr. Ir. Kuntjoro

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 22 April 2008 Tanggal Lulus

(9)

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1963 di Mojokerto, Jawa

Timur. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari Bapak Hadi

Joewono (alm.) dan Ibu Sri Suhartini.

Pada tahun 1975, penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Petra

Jombang, kemudian melanjutkan pada SMP Petra Jombang dan lulus pada tahun

1978. Selanjutnya pada tahun 1982 lulus dari SMA Negeri II. Melalui PP II pada

tahun 1983, penulis diterima untuk meneruskan studi ke jenjang S1 di Institut

Pertanian Bogor dan mendalami Jurusan Teknologi Industri Pertanian, dan

dinyatakan lulus Sarjana Pertanian pada tahun 1987. Pada tahun 1987, penulis

melanjutkan studi S2 di Sekolah Tinggi Manajemen PPM Jakarta, dan lulus

mendapat gelar Magister Manajemen. Pada tahun 2002, penulis mendapat

kesempatan untuk melanjutkan studi program S3 pada Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai dari PT Nassau Nusantara Indah

Jakarta pada tahun 1988. Tahun 2003 menjadi Direktur PT Arrbey Indonesia

hingga saat ini. Penulis juga menulis beberapa buku yaitu: Jangan Sekadar Servis

(2003), Jangan Sekadar Menang Bersaing (2003), ”7n1” Business Competition

Strategy (2005) dan ”7n1” Strategy : Toward Global Competitiveness (2006).

Tahun 1989, penulis menikah dengan Nini Tanjung dan dikarunia empat

orang anak yaitu Vania Stella Joewono (lahir tahun 1998), Roberto Evans

Joewono (lahir tahun 1999), Alberto Hans Joewono (lahir tahun 2002) dan Davin

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas

berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Analisis Daya Saing, Keterkaitan dan Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Agro Indonesia. Tema yang diangkat dalam disertasi ini merupakan isyu penting dalam

pembangunan perekonomian Indonesia dan khususnya peningkatan dayasaing

bisnis Indonesia.

Penyusunan disertasi ini bisa terlaksana baik karena adanya arahan dan

bimbingan dari komisi pembimbing, dan bantuan dari pihak-pihak lainnya.

Karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan bimbingan pada pengembangan rencana penelitian

serta penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

2. Dr. Ir. Harianto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan disertasi

ini.

3. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan bimbingan dan koreksi dalam penyusunan disertasi ini.

4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB yang telah berkenan

(11)

penyusunan dan perbaikan disertasi ini.

6. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku penguji luar komisi yang telah

banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan dan perbaikan disertasi

ini.

7. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSc. Agr selaku pimpinan sidang ujian

tertutup yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan dan

perbaikan disertasi ini.

8. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor yang telah memberi ijin kepada

penulis untuk menyelesaikan studinya pada program S3 Sekolah

Pascasarjana IPB Bogor.

Penulis juga berterima kasih atas pengorbanan, dorongan semangat dan

dukungan dari orangtua, istri dan anak-anak tercinta.

Semoga disertasi ini memberi manfaat bagi kemajuan negara, khususnya

industri agro Indonesia.

Bogor, September 2008

(12)

DAFTAR TABEL ………...……… vi

DAFTAR GAMBAR ……...………...……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN ………. ix

I. PENDAHULUAN …………...……… 1

1.1. Latar Belakang ……...………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……...……… 5

1.3. Tujuan Penelitian …...………... 10

1.4. Kegunaan Hasil Penelitian …...………... 11

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA …………...……… … 15 2.1. Konsep Daya Saing ... 15

2.1.1. Konsep Daya Saing Diamond Porter ... 28

2.1.2. Daya Saing Perusahaan, Industri, dan Negara ... 37

2.1.3. Ukuran-Ukuran Daya Saing ... 40

2.2. Keterkaitan Antar Sektor ... 44

2.3. Kinerja Daya Saing ……...………... 49

2.4. Konsep Sumber Pertumbuhan ……...………...………… 50

2.5. Persaingan Global ...………….. 53

2.6. Instrumen Daya Saing ... 56

2.6.1. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perdagangan ... 56

2.6.2. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perindustrian ... 59

2.7. Industri Agro ... 64

2.8. Perkembangan Industri Agro Indonesia ... 70

2.9. Kebijakan Daya Saing Industri ... 81

2.9.1. Kebijakan Industri China ... 85

(13)

III. KERANGKA PEMIKIRAN ………...……….. 92

3.1. Kerangka Analisa ………..……...………....………. 92

3.2. Perumusan Implikasi Kebijakan ... 97

IV. METODE PENELITIAN …...………... 99

4.1. Tabel Input-Output ………....………... 99

4.2. Struktur Tabel Input-Output Antar Negara ... 109

4.3. Ukuran-Ukuran Daya Saing …...………...……...…... 112

4.3.1. Index of International Competitiveness ... 112

4.3.2. Index of Domestic Competitiveness ... 113

4.4. Keterkaitan Antar Sektor ………... 114

4.5. Kinerja Daya Saing …...………... 116

4.6. Sumber Pertumbuhan ………... 116

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO ... 118

5.1. Struktur Industri Agro ………... 118

5.2. Daya Saing Sektor Industri Agro ……….... 122

5.3. Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia, China dan Thailand ... 131

5.4. Keterkaitan Antar Sektor Industri Agro dalam Satu Negara dan Antar Negara ... . 135 5.4.1. Dampak Keterkaitan Ke Belakang Sektor Industri Agro ... 135

5.4.2. Sektor-Sektor Kunci Industri Agro ... 142

5.5. Struktur Permintaan Sektor Industri Agro ... 145

5.6. Struktur Penggunaan Input Antara dan Input Primer ... 151

5.7. Dekomposisi Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro ... 156

VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA ... 163

6.1. Peningkatan Keterkaitan Antar Sektor ... 163

(14)

6.3. Memperjelas Pola Sumber Pertumbuhan ... 167

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 173

7.1. Kesimpulan ... 173

7.2. Implikasi Kebijakan ... 174

DAFTAR PUSTAKA ……...………...…….. 176

(15)

1. Perkembangan Ekspor Dunia Tahun 1970-2002 ... 54

2. Pertumbuhan Ekspor Tahun 1970-2002... 54

3. Pangsa Pasar Ekspor Dunia Tahun 1970–2002 ... 55

4. Pertumbuhan Ekspor Per Jenis Produk di Negara-Negara China, Indonesia dan Thailand Tahun 1995-2001 ... 55

5. Pangsa Sub Sektor Industri Nasional Tahun 2000-2004 ... 71

6. Pertumbuhan Industri Nasional Tahun 2004-2006 ... 73

7. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Tiga Sektor ... 99

8. Tabel Input-Output Nasional Produk Kompetitif Impor ... 101

9. Tabel Input-Output Nasional Produk Non-Kompetitif Impor ... 102

10. Kerangka Tabel Input-Output Antar Negara ... 103

11. Layout of The Asian International Input-Output Table ... 106

12. Agregasi Komoditi pada Tabel Input-Output Indonesia ... 110

13. Struktur Input Sektor Industri Indonesia Tahun 2000 ... 119

14. Komposisi Input Antara Asal Domestik dan Impor Sektor Industri Indonesia Tahun 2000 ... 121

15. Daya Saing Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of International Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 ... 123

16. Peringkat Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan IIC (Index of International Competitiveness) Tahun 1995 dan 2000 ... 125

17. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan Pangsa PasarTahun 1995 dan 2000 ... 126

18. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Pangsa Pasar Tahun 2000 ... 127

19. Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 ... 129

20. Peringkat Daya Saing Domestik Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China, Berdasarkan Perubahan Angka Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000 ... 129

(16)

22. Kinerja Sektor Industri Agro Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 132 23. Kinerja Sektor Industri Agro China Tahun 1995 dan 2000 ... 134 24. Koefisien Backward Linkage Effect Sektor Industri Agro di

Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 138 25. Disagregasi Koefisien Backward Linkage Effect Sektor Industri

Agro di Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 139 26. Hubungan Simetris dalam Efek Sebar Sektor Industri Agro di

Indonesia, Thailand dan China Tahun 2000 ... 141 27. Indeks Derajat Penyebaran dan Kepekaan Sektor Industri Agro di

Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 143 28. Permintaan Input Antara Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan

2000 ... 146 29. Struktur Permintaan Akhir Industri Agro Indonesia Tahun 1995

dan Tahun 2000 ... 149 30. Penggunaan Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan

Tahun 2000... 153 31. Komposisi Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan

2000 ... 154 32. Sumber-Sumber Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro

Berdasarkan Persentase Terhadap Total Pertumbuhan Sektor

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Beberapa Penentu Daya Saing Nasional ... 30 2. Model Gabungan Persaingan Internasional Perusahaan di Asia ... 38 3. Kerangka Pemikiran Daya Saing Industri Agro Berdasarkan

Pendekatan Input-Output Indonesia, Thailand dan China ……… 93 4. Alur Keterkaitan ke Belakang Antar Sektor ... 95 5. Model Sederhana Input-Output ... 108 6. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro

Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 158 7. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro

Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 159 8. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro

China Tahun 1995 dan 2000 ………... 160

(18)

1. Klasifikasi Sektor Input-Output Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 182

2. Kode Sistem Input-Output Multicountry Indonesia, Thailand dan

China Tahun 1995 dan 2000 ………...………. 184 3. Matriks Teknologi Multicountry Indonesia, Thailand, dan China

Tahun 1995 ……….……….. 185 4. Matriks Teknologi Multicountry Indonesia, Thailand, dan China

Tahun 2000 ………... 194 5. Efek Multiplier Keterkaitan Ke Belakang Sektor-Sektor Produksi

di Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 203 6. Efek Multiplier Keterkaitan Ke Belakang Sektor-Sektor Produksi

di Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 204 7. Efek Multiplier Keterkaitan Ke Belakang Sektor-Sektor Produksi

di China Tahun 1995 dan 2000 ... 205 8. Key Sector dalam Perekonomian Indonesia, Thailand dan China

Berdasarkan Backward dan Forward Linkage Effect Tahun 1995

dan 2000 ... 206 9. Dekomposisi Struktural Pertumbuhan Sektor-Sektor Produksi

di Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 207 10. Pengeluaran Pajak Impor Indonesia, Thailand dan China Tahun

1995 dan 2000 ... 212

11. Pengeluaran International Freight and Insurance Indonesia,

Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ... 213

12. Pengeluaran Intermediate Input Indonesia, Thailand dan China

Tahun 1995 dan 2000 ... 214

13. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Indonesia Tahun 1995

dan 2000 ... 215

14. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Thailand Tahun 1995

dan 2000 ... 216

15. Struktur Input Antara Domestik dan Impor China Tahun 1995 dan

(19)

16. Pengeluaran Input Primer Indonesia, Thailand dan China Tahun

1995 dan 2000 ……….. 218

17. Struktur Input Primer Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ... 219

18. Struktur Input Primer Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 220

19. Struktur Input Primer China Tahun 1995 dan 2000 ... 221

20. Key Sector Berdasarkan Backward dan Forward Linkage Effect …… 222

21. Struktur Intermediate Output Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 223

22. Penjualan Intermediate Output Domestik dan Ekspor Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ………... 224

23. Penjualan Intermediate Output Domestik dan Ekspor Thailand Tahun 1995 dan 2000 ………... 225

24. Penjualan Intermediate Output Domestik dan Ekspor China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 226

25. Struktur Permintaan Akhir Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 227

26. Pengeluaran Pajak Impor Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 228

27. Pengeluaran International Freight and Insurance Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……...………... 229

28. Pengeluaran Intermediate Input Indonesia, Thailand dan China, Tahun 1995 dan 2000 ………... 230

29. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ……….. 231

30. Struktur Input Antara Domestik dan Impor Thailand Tahun 1995 dan 2000 ………... 232

31. Struktur Input Antara Domestik dan Impor China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 233

32. Pengeluaran Input Primer Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 ……….. 234

(20)

34. Struktur Input Primer Thailand Tahun 1995 dan 2000 ... 236 35. Struktur Input Primer China Tahun 1995 dan 2000 …...…………..… 237

(21)

1.1. Latar Belakang

Semakin liberalnya perdagangan dunia akan menuntut peningkatan daya saing produk Indonesia di pasar global. Kemampuan bersaing produk Indonesia

khususnya yang dihasilkan dari industri agro perlu dianalisis, dipahami keterkaitannya dengan sektor hulu dan hilir serta perlu dirumuskan sumber-sumber pertumbuhan dengan melakukan komparasi terhadap industri agro

negara-negara lain.

Krugman dan Obstfeld (2006), menyampaikan bahwa kemakmuran

nasional dapat diperoleh melalui perdagangan internasional yang memberi manfaat saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang menjual dan membeli. Melalui perdagangan akan dihasilkan surplus produsen dan konsumen. Produsen

akan mendapat kesempatan menjual produk yang dihasilkannya ke lebih banyak konsumen. Demikian juga konsumen bisa menikmati berbagai produk yang tidak

dihasilkannya.

Berbeda dengan Krugman dan Obstfeld (2006), Adams et al. (2004) menegaskan bahwa keunggulan komparatif mungkin saja merupakan inti dari

teori perdagangan dan spesialisasi, tetapi tidak selalu berhubungan erat dengan diskusi mengenai daya saing yang terjadi di dunia nyata. Contoh nyata adalah

(22)

Menurut Porter (1990) kemakmuran suatu negara haruslah diusahakan. Porter (1990) juga menegaskan bahwa kemakmuran negara bukanlah merupakan sebuah warisan. Kemakmuran tidak tergantung dari melimpahnya sumberdaya

alam, tenaga kerja, tingkat suku bunga, ataupun nilai tukar mata uang asing, seperti halnya yang diutarakan kaum ekonom klasik yang mengagungkan

pentingnya perdagangan. Daya saing negara tergantung dari kapasitas industri negara tersebut untuk terus berinovasi dan berkembang. Oleh karena itu meskipun diyakini memberi banyak manfaat, sebagian orang berpandangan

skeptis tentang manfaat yang bisa didapatkan melalui perdagangan, khususnya perdagangan internasional. Perdagangan internasional juga membuat khawatir

produsen dalam negeri atas keberadaan pasar dari barang yang diproduksinya, oleh karena itu sejak jaman klasik sampai sekarang masih saja ada kesangsian, tidakkah lebih baik kalau penduduk dari negara tertentu membeli produk yang

dihasilkan negaranya sendiri karena akan menciptakan lapangan kerja.

Perdagangan internasional yang mendorong terjadinya globalisasi ditandai

dengan semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan dan investasi. Indonesia mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World

Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation

(23)

telah sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade

Area (AFTA) yang sudah mulai diberlakukan pada tahun 2002.

Melalui berbagai kesepakatan internasional tersebut, sudah tentu mau tidak

mau akan tercipta persaingan yang semakin ketat, baik dalam perdagangan internasional maupun dalam upaya menarik investasi multinasional. Pertanyaan

besar yang muncul kemudian adalah mampukah Indonesia memanfaatkan keterbukaan pasar internasional dan bersaing di pasar global?. Kalau tidak mampu, maka Indonesia hanya akan dimanfaatkan sebagai pasar produk dunia.

Ekspor produk Indonesia ke pasar internasional, khususnya produk pertanian masih banyak bersifat produk tradisional dalam bentuk bahan baku (raw

material). Pelaku usaha agribisnis Indonesia dalam pasar internasional pasti akan menghadapi pembeli besar berupa importir atau industri pengolahan lanjutan. Posisi semacam ini cenderung menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah,

karena besarnya volume pembelian yang dilakukan oleh pasar industri dan sedikitnya jumlah pembeli. Kelemahan ini semakin menumpuk karena adanya

kecenderungan atas homogenitas produk yang kita hasilkan dengan produk yang dihasilkan oleh negara lain.

Posisi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas dunia untuk

produk pertanian relatif kurang menguntungkan. Liberalisasi perdagangan produk pertanian relatif berjalan lebih lambat karena negara-negara maju cenderung

bersikap konservatif untuk melindungi kepentingan petani di negaranya. Era perdagangan bebas membuat perlindungan pada produk pertanian semakin sulit dilakukan. Seiring dengan semakin liberalnya perdagangan produk pertanian,

(24)

global bisa bermakna pasar internasional di negara lain dan pasar dalam negeri yang sudah semakin dipenuhi dengan produk impor.

Melihat kondisi perekonomian Indonesia khususnya pada sektor pertanian,

dikhwatirkan dampak globalisasi akan memberi dampak negatif bagi Indonesia, terutama kalau Indonesia tidak mampu menjadi pemasok bagi kebutuhan

produk-produk vital seperti pangan. Indonesia harus mampu meningkatkan produk-produksi pertaniannya dengan lebih efisien dan mutu yang lebih baik.

Dalam publikasi The Global Competitiveness Report yang diterbitkan oleh

World Economic Forum pada tahun 2007, menunjukkan bagaimana daya saing Indonesia dalam persaingan global. Pada tahun 2007 peringkat daya saing

Indonesia berdasarkan Growth Competitiveness Index berada di urutan ke 54 dari 131 negara. Prestasi Indonesia di 2007 tersebut relatif tidak mengalami kemajuan dibandingkan prestasi tahun 2006 yang berada di urutan 50 dari 125 negara.

Peringkat Indonesia pada 2006 merupakan lompatan besar karena pada 2005 berada di peringkat 69 dari 117 negara.

Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, peringkat Competitiveness

Indonesia relatif masih rendah. Singapura ada di urutan ke-7, Malaysia di urutan ke-21 dan Thailand di urutan ke-28. Rendahnya peringkat daya saing

perekonomian Indonesia merupakan sinyal atas perlunya dilakukan upaya-upaya peningkatan daya saing, terutama pada sektor yang potensial dan memiliki

kontribusi penting terhadap perekonomian nasional.

Berdasarkan laporan World Bank (2007) mengenai Agriculture for

(25)

pertanian, beberapa instumen kebijakan pemerintah perlu diimplementasikan seperti: meningkatkan aset rakyat miskin, meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan, dan menciptakan kesempatan di bisnis non-farm pertanian secara

umum. Pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan perekonomian nasional dan menjadi pendorong utama dari industri berbasis pertanian atau industri agro.

Peningkatan daya saing, khususnya pada sektor industri agro perlu mendapat perhatian karena punya potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Ketersediaan pasokan bahan baku, tenaga kerja dan teknologi yang relatif

melimpah semestinya bisa dikembangkan lebih jauh. Dalam kaitan tersebut perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi

daya saing, mengukur daya saing dan merumuskan langkah-langkah dalam rangka meningkatkan daya saing industri agro Indonesia. Selain itu perlu juga dilakukan studi komparasi dengan negara-negara yang memiliki pembangunan industri agro

relatif lebih maju dari Indonesia, sehingga nantinya dapat ditemukan langkah-langkah untuk memajukan industri agro sebagai bagian dari upaya peningkatan

perekonomian Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Indonesia sebagai negara berkembang telah merumuskan strategi pengembangan industri sejak akhir 1960-an. Pada tahap awal era industrialisasi,

Indonesia menggalakan industri yang mampu mengganti produk impor untuk menstimulasi industri manufaktur. Selanjutnya pada pertengahan tahun 80-an, pemerintah melakukan upaya untuk meningkatkan daya saing produk manufaktur

(26)

belum memadai. Terperosoknya perekonomian dalam krisis 1998 menjadi salah satu indikator kegagalan peningkatan daya saing industri Indonesia.

Menurut penelitian yang dilakukan Asia Development Bank (ADB)

Institute (2003), daya saing berarti kemampuan perusahaan untuk bersaing. Perusahaan memiliki strategi tersendiri untuk menurunkan biaya, meningkatkan

kualitas produk dan mendapatkan jaringan pemasaran. Pentingnya strategi berkompetisi adalah untuk pembelajaran dalam perusahaan, pembangunan keterampilan, dan peningkatan teknologi. Perubahan teknologi yang cepat, jarak

ekonomi yang semakin mengecil, bentuk organisasi baru, hubungan yang ketat antara rantai domestik dan kebijakan liberal merupakan tantangan bagi perusahaan

di negara berkembang.

Beberapa tantangan makroekonomi yang sedang terjadi bermuara pada pemahaman mengenai bagaimana suatu perekonomian negara dikelola. Ada

delapan aspek mendasar yang perlu mendapatkan prioritas, yaitu: (1) perumusan kebijakan dengan penekanan pada prioritas stabilitas versus pertumbuhan, (2)

penerapan kebijakan yang pro-pasar, (3) penguatan sistem keuangan, (4) pematangan infrastruktur, (5) penajaman orientasi perdagangan luar negeri, (6) penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance), (7) penegakan

hukum, dan (8) penanganan terpadu masalah tenaga kerja dan otonomi daerah. Pembangunan perekonomian khususnya sektor pertanian bisa dilakukan

melalui peningkatan nilai tambah dan kegiatan ekonomi pasca panen seperti industri agro. Pengembangan industri agro sendiri membutuhkan keterpaduan langkah pemerintah dan dunia usaha. Secara empiris pengembangan industri agro

(27)

yang diterima petani sebagai produsen, (2) meningkatkan kualitas dan produktivitas komoditas unggulan, (3) meningkatkan investasi swasta, (4) meningkatkan peranan lembaga keuangan dalam pembiayaan, dan (5)

meningkatkan jumlah pelaku usaha yang bermitra dengan lembaga pertanian. Pengembangan industri agro lebih lanjut membutuhkan peningkatan daya

saing di pasar domestik maupun internasional. Daya saing produk Indonesia memang perlu mendapat perhatian, dan secara sistematis harus ditingkatkan sebagai salah satu cara membangun perekonomian Indonesia. Oleh karena itu

dalam kaitan ini perlu diketahui ukuran daya saing industri agro Indonesia di pasar internasional sebagai landasan untuk melakukan analisis daya saing dan

merumuskan upaya-upaya peningkatan daya saing dalam rangka pembangunan daya saing dan perekonomian nasional.

Dalam rangka peningkatan daya saing, Indonesia bisa belajar dari China

yang merupakan raksasa ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonomi luar biasa. Saat ini kinerja perekonomian China yang berkembang pesat merupakan

fenomena yang spektakular dalam perekonomian dunia. Setelah pintu gerbang ekonominya dibuka, China berhasil menjadi salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi paling besar dalam tatanan perekonomian dunia.

Perkembangan perekonomian China yang sangat pesat saat ini mendapat perhatian seluruh negara di dunia, baik itu sebagai ancaman maupun peluang yang

baru. China dianggap sebagai ancaman karena terkenal dengan komoditas-komoditas ekspor yang berkualitas tinggi namun harganya relatif murah. Murahnya produk China tidak hanya karena biaya input (terutama upah tenaga

(28)

rendah (undervaluation of Yuan) terhadap mata uang dolar AS sebagaimana yang dituding oleh negara Amerika Serikat. Selain itu, pemberlakuan tax duty juga merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produk-produk ekspor China.

Sebagai negara yang berpenduduk paling besar di dunia, sekitar 1.3 milyar dengan pendapatan per kapita antara 800-1 000 US$ (ADB, 2003), maka sudah

pasti pasar China memberi daya tarik tersendiri bagi investor dari negara-negara lain. Ditambah lagi dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat, yaitu rata-rata per tahun antara 8 persen hingga 9 persen, data ini merupakan suatu indikasi

tentang adanya potensi pasar di China yang akan terus berkembang di masa mendatang.

China juga menyadari bahwa kerjasama dengan negara-negara ASEAN merupakan suatu terobosan penting yang dapat mendorong pertumbuhan ekonominya lebih tinggi lagi di masa mendatang, yang diwujudkan dalam bentuk

kesepakatan untuk membentuk Free Trade Area (FTA) ASEAN–China. Seandainya kerjasama ekonomi ini direalisasikan, pasti akan menjadikan blok

perdagangan bebas terbesar di dunia karena melibatkan hampir dua miliar penduduk dengan kombinasi GDP lebih dari US $ 2 triliun.

Menurut hasil studi ASEAN–China Working Group on Economic

Cooperation (2001), FTA ASEAN–China diperkirakan dapat memberi

keuntungan bagi kedua belah pihak. Ekspor ASEAN ke China akan meningkat

(29)

anggota ASEAN terbesar akan dinikmati oleh Vietnam (2.15 persen), sedangkan Indonesia (1.12 persen) sedikit lebih rendah dari Malaysia (1.17 persen).

Selain menggunakan China sebagai benchmarking (pembanding dan

referensi) dalam peningkatan daya saing, Indonesia bisa juga berkaca pada Thailand. Pada saat krisis ekonomi melanda negara-negara ASEAN, maka

Thailand dan Indonesia merupakan dua negara yang sama-sama paling parah mengalami krisis. Pada periode tersebut, perekonomian Thailand menurun tajam hingga -11 persen, sedangkan Indonesia mencapai -13 persen.

Pemulihan ekonomi terasa lebih cepat di negara Thailand dibandingkan Indonesia. Sampai pada tahun 2003 misalkan, pertumbuhan ekonomi Thailand

telah kembali normal mencapai 7 persen, sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat lambat, yaitu hanya 3 persen untuk tahun yang sama (ADB, 2003). Bahkan diperkirakan sampai dengan tahun 2009 pertumbuhan ekonomi

Indonesia hanya akan sebesar 6-7 persen per tahun, ini berarti Indonesia harus menunggu 10 hingga 11 tahun lagi semenjak masa krisis agar laju pertumbuhan

ekonominya dapat menyamai Thailand di tahun 2003.

Dari kemampuan Thailand yang dapat memulihkan kondisi perekonomiannya dengan lebih cepat, maka tidaklah berkelebihan jika Indonesia

mempelajari pengalaman Thailand sehingga proses pemulihan ekonominya berlangsung cepat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pada saat

(30)

Melihat berbagai kondisi aktual yang telah diuraikan di atas, maka sudah sepantasnya dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi, khususnya untuk komoditas industri agro, Indonesia perlu merujuk kepada China yang begitu cepat

dapat menempatkan dirinya sebagai salah satu super power perekonomian dunia saat ini dan Thailand yang mampu memulihkan perekonomian dengan cepat.

Selain latar belakang pemikiran tersebut di atas, pada penelitian ini komparasi daya saing industri agro Indonesia dengan negara Thailand dan China juga karena pertimbangan Thailand bisa merepresentasikan kekuatan industri agro

di antara negara-negara ASEAN, sementara China merupakan benchmark daya saing industri agro di Asia dan bahkan dunia.

Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi daya saing industri agro Indonesia dibandingkan dengan

beberapa negara lain yang menjadi referensi utama bagi Indonesia, khususnya Thailand dan China?

2. Seberapa jauh keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan perekonomian negara Thailand dan China?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan struktural sektor

industri agro di negara-negara Indonesia, Thailand dan China?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis posisi daya saing industri agro Indonesia melalui analisis input-output antar negara di Asia,

(31)

1. Mengukur perubahan daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan China.

2. Menganalisis keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan

perekonomian negara Thailand dan China.

3. Menghitung dan menganalisis faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor

industri agro negara-negara Indonesia, Thailand dan China.

1.4. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan potret daya saing yang dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai kekuatan saing sektor bisnis di

Indonesia, dengan aplikasi pada produk industri agro. Selain itu studi ini juga dapat memberikan gambaran mengenai besarnya pengaruh eksternal terhadap perkembangan komoditi industri agro domestik. Ditambah lagi, hasil studi ini

mampu menjelaskan faktor-faktor pertumbuhan struktural sektor industri agro. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kegiatan penelitian ini akan memberi

implikasi kebijakan utama berupa rekomendasi peningkatan daya saing sektor industri agro, yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai masukan dalam perumusan kebijakan di bidang perindustrian, pertanian dan perdagangan.

Hasil penelitian yang dikemukakan diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi pihak-pihak sebagai berkut:

1. Para pelaku industri agro akan memperoleh gambaran mengenai peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahannya dalam bersaing dengan industri sejenis di China dan Thailand. Dari gambaran tersebut diharapkan muncul

(32)

2. Pemerintah akan mendapat masukan dalam merumuskan kebijakan pengembangan industri agro yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomis.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini mencakup kinerja daya saing industri agro dan faktor-faktor pembentuknya dengan membandingkan antara Indonesia, Thailand dan China. Adapun industri agro yang digunakan dalam

kajian ini adalah agroindustri atau industri berbasis pertanian, yaitu industri yang menggunakan bahan baku produk-produk pertanian. Selain itu metode penelitian

yang digunakan dalam kajian ini adalah model Input-Output antarnegara.

Memperhatikan latar belakang dan permasalahan seperti yang telah diuraikan, maka penelitian akan menghadapi beberapa keterbatasan sebagai

berikut: (1) karena bersifat lintas sektor dan antar negara, penyajian data kinerja daya saing industri agro Indonesia, Thailand dan China dihitung secara khusus

dengan menghadapi sejumlah keterbatasan data, (2) luasnya keterkaitan dengan sektor dan negara lain akan meningkatkan kesulitan merumuskan kebijakan koordinatif yang efektif.

Penggunaan model Input-Output sebagai instrumen pengkajian dan analisis juga diduga mengandung banyak asumsi dan keterbatasan yang perlu

selalu mendapat perhatian. Agar model Input-Output dapat diterapkan dalam mengukur dampak ekonomi, maka harus diketahui beberapa asumsi yang menyertainya, antara lain: (1) keseluruhan kegiatan ekonomi di suatu

(33)

sektor permintaan akhir maupun input di sektor sendiri, (3) masing-masing sektor hanya memproduksi satu produk yang homogen, agar struktur teknis tiap sektor menjadi lebih mudah untuk dimengerti, (4) harga, permintaan konsumen dan

penyediaan faktor adalah ditentukan (given), (5) perbandingan antara output input dan skala (return to scale) bersifat konstan, (6) di dalam sistem produksi, tidak

terdapat ekonomi dan dis-ekonomi eksternal, dan (7) kombinasi input diterapkan dalam proporsi yang ditentukan secara ketat, artinya proporsi input senantiasa bersifat linear terhadap outputnya.

Asumsi-asumsi yang dikemukakan di atas telah memunculkan beberapa kelemahan (weaknesses) dari model Input-Output (Cooper, 1993): (1) model

menganggap tidak ada pembatasan pada supply, (2) fungsi produksi dan konsumsi bersifat linear, pola pengeluaran antar industri tetap, (3) harga relatif antara harga input dan harga output juga berlaku konstan, dan (4) parameter-parameter model

yang bersifat konstan mengakibatkan pengukuran dampak ekonomi berlaku linier. Selain itu, oleh karena input-output yang diaplikasikan dalam studi ini

bersifat statis menyebabkan berbagai fenomena mengenai perubahan-perubahan perilaku ekonomi yang dinamis tidak dapat direkam dengan baik. Namun demikian, di balik semua keterbatasan tersebut, untuk saat ini hanya model

input-output antarnegara saja yang mampu mendeskripsikan secara komprehensif mengenai keterkaitan ekonomi antara suatu negara dengan negara lain, baik itu

backward linkage maupun forward linkage, sehingga nantinya dapat ditelusuri bagaimana dampak perekonomian domestik di suatu negara terhadap perekonomian negara lain. Semuanya ini dapat dikaji melalui satu kesatuan

(34)
(35)

2.1. Konsep Daya Saing

Perkembangan konsep daya saing yang disampaikan oleh Cho dan Moon (2000) dimulai dari pandangan Merkantilisme yang memandang perdagangan

sebagai suatu zero-sum game, di mana surplus perdagangan sebuah negara diimbangi dengan defisit perdagangan negara lain. Namun Smith (2003) memandang perdagangan sebagai positive-sum game di mana semua mitra yang

berdagang dapat memperoleh manfaat jika negara-negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang-barang di mana mereka memiliki keunggulan absolut.

Ricardo memperluas teori keunggulan absolut menjadi teori keunggulan komparatif.

Smith (2003), percaya operasi hukum alam, atau invisible hand, dan oleh

karenanya mendukung individualisme dan perdagangan bebas. Smith berpendapat bahwa setiap orang lebih memahami kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika

setiap orang diizinkan mencari kesejahteraannya sendiri, maka dalam jangka panjang ia akan memberikan kontribusi paling besar bagi kebaikan bersama. Hukum alam, dan bukannya peraturan pemerintah, akan berperan mencegah

penyalahgunaan kebebasan ini. Secara khusus, keunggulan dari hukum alam ini di mata Smith berasal dari pembagian kerja (division of labor).

Selanjutnya Smith (2003) memperluas gagasan mengenai pembagian kerja menjadi gagasan mengenai pembagian kerja internasional. Spesialisasi, kerja sama, dan pertukaran kontribusi pada kemajuan perekonomian dunia, dan

(36)

Perdagangan internasional oleh karenanya merupakan positive game bagi Adam Smith. Mengkritik merkantilisme, Smith (2003) menunjukkan bagaimana segala bentuk campur tangan pemerintah, seperti memberikan monopoli,

mensubsidi ekspor, melarang impor, dan mengatur upah, dapat menghambat pertumbuhan alamiah aktivitas ekonomi. Sebaliknya, Smith (2003)

mengungkapkan keunggulan spesialisasi berdasarkan wilayah dan negara. Diawali dengan penalaran seperti ini, Adam Smith menunjukkan bagaimana setiap negara dapat jauh lebih baik secara ekonomis dengan berkonsentrasi pada apa yang dapat

dilakukannya dengan paling baik daripada mengikuti doktrin merkantilis berupa kecukupan diri nasional (national self-sufficiency).

Persaingan sangat penting dalam masyarakat yang diusulkan Adam Smith. Persaingan memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang paling sesuai mereka lakukan, dan hal ini memastikan bahwa masing-masing

mendapatkan penghargaan penuh atas jasa-jasa mereka dan kontribusi maksimal mereka bagi kebaikan bersama. Oleh karena itu, peran pemerintah, atau penguasa,

seharusnya minimal.

Kebijakan perekonomian pemerintah yang paling penting adalah menghilangkan monopoli dan melindungi persaingan. Meskipun demikian, posisi

Smith terhadap regulasi pemerintah tidaklah mutlak. Sebagaimana ditunjukkan dalam tugas ketiga pemerintah, Smith (2003) menyatakan bahwa proyek-proyek

yang diperlukan yang terlalu besar untuk lembaga swasta akan dilaksanakan oleh kewenangan publik.

Perdebatan tentang konsep keunggulan komparatif diawali ketika Smith

(37)

memberikan kontribusi pada teori ini (Krugman dan Obstfeld, 2006). Di antaranya, kontribusi Ricardo pada teori perdagangan internasional sedemikian penting sehingga teori klasik ini kadang-kadang dikatakan sebagai teori Ricardian.

Terdapat suatu persoalan dengan teori keunggulan absolut. Menurut Smith, sebuah negara yang superior seperti ini mungkin tidak memperoleh manfaat dari

perdagangan internasional. Aturan ini dikenal sebagai teori keunggulan komparatif. Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun sebuah negara tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara ini dan

juga negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional.

Krugman dan Obstfeld (2006), berpendapat bahwa impor dapat menguntungkan bagi sebuah negara walaupun negara itu mampu memproduksi produk yang diimpor dengan biaya yang lebih rendah. Oleh karena itu, tidak benar

adanya, sebagaimana yang diyakini oleh Adam Smith bahwa di dalam perdagangan bebas masing-masing komoditas akan diproduksi oleh negara yang

memproduksinya dengan biaya riil yang paling rendah. Hal ini merupakan prinsip keunggulan komparatif yang melandasi keunggulan pembagian tenaga kerja, baik antar-individu, antar-wilayah, maupun antar-negara. Model perdagangan

internasional Ricardian dengan demikian merupakan suatu alat yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa perdagangan dapat terjadi

dan bagaimana perdagangan meningkatkan kesejahteraan para mitra yang berdagang.

Krugman dan Obstfeld (2006), juga menjelaskan bahwa keunggulan

(38)

menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda antar-negara. Pada awal abad kedua puluh, sebuah teori penting yang baru mengenai perdagangan internasional, model Heckscher-Ohlin (HO),

dikembangkan oleh dua orang ekonom Swedia yakni Hecksher dan Ohlin. Keduanya berpendapat bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan

dalam factor endowments. Menurut model HO tersebut, terdapat dua ciri-ciri dasar dari negara dan produk. Negara berbeda satu sama lain menurut faktor produksi yang dimilikinya. Barang berbeda satu sama lain menurut faktor yang

diperlukan dalam produksinya.

Model HO mengatakan bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan

komparatif dalam barang yang diproduksinya relatif intensif dalam hal faktor yang dimilikinya, dan oleh karena itu akan mengekspornya. Logikanya adalah bahwa semakin berlebihannya suatu faktor, semakin rendah biayanya. Oleh

karena itu, perbedaan dalam factor endowments dari berbagai negara dapat menjelaskan perbedaan dalam biaya faktor, yang mengakibatkan keunggulan

komparatif yang berbeda.

Studi empiris yang terkenal dari model HO dilakukan oleh Leontief (1953). Leontief yang semula berekspektasi bahwa Amerika Serikat, negara yang

surplus modalnya paling besar di dunia, seharusnya mengekspor barang-barang padat modal dan mengimpor barang-barang padat karya, tetapi ternyata

menemukan bahwa barang impor AS yang bersaing memerlukan modal yang 30 persen lebih besar.

Banyak barang manufaktur yang melalui suatu siklus produk yang terdiri

(39)

komparatif dari barang ini berubah dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke negara lain. Hipotesis siklus produk berawal dengan asumsi bahwa rangsangan pada inovasi biasanya dipicu oleh ancaman atau peluang di pasar. Dengan kata

lain, perusahaan cenderung dirangsang oleh kebutuhan dan kesempatan yang ada di pasar yang terdekat, yaitu home market. Home market memainkan peran ganda

dalam hipotesis ini. Home market tidak hanya berperan sebagai sumber rangsangan untuk perusahaan inovasi, tetapi juga lokasi yang lebih disukai untuk melaksanakan produksi (Cho and Moon, 2000).

Berbeda dengan model keunggulan komparatif yang cenderung outside-in

approach yang menempatkan pasar, kompetisi, dan konsumen sebagai titik awal proses penyusunan strategi. Konsep yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994) lebih cenderung inside-out. The core competence model yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994) menyatakan bahwa daya saing dalam jangka panjang

diturunkan dari kemampuan untuk membangun core competence, yaitu lower cost

dan more speedily dari pesaing. The core competence bisa menghasilkan produk

baru yang tidak diantisipasi sebelumnya.

Sumber utama untuk membangun competence adalah kemampuan manajemen untuk mengkonsolidasikan corporate-wide technologies dan

production skills menjadi kompetensi. Hamel dan Prahalad (1994) menganjurkan perusahaan agar strategi bersaing dibangun di seputar core of shared

competencies.

Core competence yang dimaksud Hamel dan Prahalad harus memenuhi tiga persyaratan dassar yaitu: (1) menyediakan potensial akses ke pasar yang

(40)

seperti yang diharapkan konsumen, (3) core competence semestinya sulit ditiru oleh pesaing.

Untuk membangun core competence diperlukan perbaikan proses yang

berkelanjutan, yang menjadi komitmen seluruh level manajemen termasuk manajemen puncak.

Daya saing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini dan bisa diproyeksikan ke masa depan. Daya saing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu tergantung pada tingkat kompetisi,

perubahan perilaku permintaan dan kemampuan dasar industri di negara bersangkutan.

Penjelasan para ahli ekonomi mengenai daya saing global berkaitan dengan teori keunggulan komparatif dan faktor harga banyak terinspirirasi oleh pandangan Ricardo dan Heckscher-Ohlin. Ricardo berfokus pada satu faktor

produksi dan tingkat teknologi yang berbeda-beda, sementara Hecksher dan Ohlin berfokus pada input tenaga kerja dan kapital serta menilai keunggulan komparatif

berdasarkan perbedaan factor-faktor endowment dan faktor harga relatif. (Dornbusch et al.,1998).

Dalam teori perdagangan modern dikatakan bahwa di dalam perdagangan

dengan tingkat kompetisi yang tidak sempurna, maka keunggulan komparatif tetap memegang peranan penting untuk menjelaskan pola perdagangan yang

terjadi, namun skala ekonomi dan motivasi strategis juga berperan penting (Helpman dan Krugman,1985 dalam

Menurut Adams et al. (2004), keunggulan komparatif tidak selalu

(41)

Pertama, karena keunggulan komparatif merupakan konsep mikroekonomi yang berfokus pada perdagangan industri spesifik, yang mampu menjelaskan mengapa sebuah negara melakukan ekspor atas produk-produk padat karya, sementara

negara lain melakukan spesialisasi hanya untuk produk yang padat modal. Setiap negara mempunyai keunggulan komparatif dalam hal memperoduksi

produk-produk tertentu, yaitu bila negara tersebut mempunyai tingkat biaya produk-produksi yang lebih rendah dibandingkan negara pesaingnya. Oleh karena itu keunggulan komparatif tidak terlalu berperan nyata dalam perspektif makroekonomi.

Kedua, keunggulan komparatif adalah konsep ekuilibrium, yang memprediksi pola perdagangan di saat harga, aliran perdagangan dan nilai tukar

berada pada posisi ekuilibrium. Sementara itu, keputusan bisnis secara eksplisit seringkali harus mempertimbangkan juga tingkat pertumbuhan jangka pendek selain hasil ekuilibrium jangka panjang. Seperti misalnya, kondisi perekonomian

yang terjadi saat ini, fluktuasi nilai tukar mata uang asing, dan beberapa faktor lain yang mewakili deviasi dari kondisi ekuilibrum jangka panjang.

Akhirnya, keunggulan komparatif tidak menempatkan secara khusus semua alternatif teknologi yang mungkin dilakukan oleh produsen. Pada tingkat mikroekonomi, jika berbicara mengenai produk spesifik, maka teori tidak akan

selalu dapat menjelaskan negara mana yang mempunyai campuran sumberdaya dan faktor harga yang paling baik untuk berbagai tipe produk yang diproduksi.

Tergantung dari infrastruktur dan teknologi serta rendahnya angka relatif jumlah tenaga kerja terhadap kapital, yang akan berimplikasi terhadap tingginya produktivitas dan nilai upah buruh. Bagi produk-produk padat karya, upah yang

(42)

tersedia teknologi alternatif yang menggunakan sedikit tenaga kerja dan lebih banyak kapital. Sebagai contoh, beberapa produk yang diproduksi secara manual di China dapat diproduksi dengan mesin di Amerika.

Daya saing global pada dasarnya berhubungan dengan biaya, sehingga yang memenangkan kompetisi adalah negara yang mampu memasarkan produk

dengan harga paling rendah atau kualitas terbaik. Biaya berhubungan dengan harga faktor-faktor input (seperti nilai tukar, upah domestik, biaya material), produktivitas, kemampuan untuk memproduksi barang berkualitas, biaya

transportasi, biaya komunikasi, kendala perdagangan, strategi perdagangan dan kemampuan untuk memenuhi spesifikasi pasar (Adams et al., 2004).

Pada kenyataannya penggunaan terminologi daya saing sangatlah luas. Seringkali para pendukung daya saing menekankan pada tingkat pertumbuhan produktifitas yang berkelanjutan, terutama dalam hal memproduksi

produk-produk yang memenuhi kebutuhan pasar global dan mampu menggiring ke tingkat hidup yang lebih baik (Porter, 1990 dalam

Menurut Reinhardt (2005), pembuat kebijakan industri di seluruh dunia semakin sering menggunakan teknologi dan klasifikasi pasar untuk menilai daya

saing manufaktur. Sektor industri manufaktur yang intensif teknologi mempunyai pertumbuhan dan prospek dagang lebih baik, menawarkan kesempatan belajar,

dan seringkali menghasilkan eksternalitas bagi perekonomian. Selain itu sektor manufaktur yang intensif teknologi juga menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dan memberikan hambatan masuk lebih tinggi bagi pendatang baru.

Competitiveness Policy Council,

(43)

Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), hal paling mendasar dari perekonomian global adalah banyaknya manfaat dari perdagangan antar negara. Jika ada dua atau lebih negara yang saling menjual dan membeli barang dan jasa,

maka pertukaran ini akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat. Manfaat perdagangan internasional sesungguhnya lebih luas dari apa yang

disadari masyarakat umum. Hanya saja, selama ini telah berkembang pendapat yang salah bahwa perdagangan internasional akan sulit dilakukan diantara negara-negara yang mempunyai perbedaan jauh, baik dalam hal tingkat produktivitas

maupun tingkat kesejahteraan masyarakat.

Negara dengan tingkat perkembangan teknologi yang rendah bisa jadi

merasa bahwa melakukan hubungan dagang dengan negara yang lebih maju akan mendatangkan kehancuran karena ketidakmampuan bersaing. Negara dengan teknologi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi akan merasa bahwa

melakukan hubungan dagang dengan negara yang kurang maju dapat menurunkan standar kehidupan mereka. Ada juga kekuatiran bahwa negara maju akan dibanjiri

oleh produk dari negara berkembang dengan kualitas produk rendah.

Sekalipun sebuah negara akan mendapatkan manfaat positif dari perdagangan internasional, namun bisa jadi hal ini akan memberi dampak tidak

menguntungkan bagi beberapa kelompok masyarakat dalam satu negara, karena perdagangan internasional akan memberikan pengaruh yang besar dalam hal

distribusi pendapatan.

Ohmae (1995) dalam Hanani (2000), mengatakan dampak liberalisasi perdagangan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi, namun juga bisa terjadi

(44)

perdagangan telah mempengaruhi pola konsumsi masyarakat termasuk dalam menyikapi produk impor.

Berbagai perdebatan yang kontradiktif tentang perdagangan menghasilkan

beberapa teori perdagangan internasional seperti diungkapkan oleh Krugman dan Obstfeld (2006), yang menyatakan bahwa :

1. Perdagangan internasional akan berpengaruh negatif bagi pemilik sumberdaya yang bersifat spesifik dalam industri tertentu yang harus bersaing dengan barang atau jasa impor, karena tidak dapat menemukan

tenaga kerja alternatif dari industri lain.

2. Perdagangan internasional juga akan mengubah distribusi pendapatan pada

beberapa kelompok besar, seperti kelompok pekerja dan pemilik modal. Keikutsertaan pada perdagangan internasional bisa dipandang dari dua alasan, yaitu: (1) masing-masing negara yang berdagang mempunyai perbedaan,

dan (2) perdagangan merupakan sarana untuk mencapai skala ekonomi produksi. Jika suatu negara hanya memproduksi beberapa jenis produk tertentu, maka

keterlibatannya dalam perdagangan internasional membuat negara ini mempunyai kesempatan untuk memproduksi jenis produk yang terbatas tadi dalam skala yang lebih besar, sehingga akan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut

harus memproduksi sendiri semua produk kebutuhan dalam negerinya. Melalui perdagangan internasional juga bisa tergambar bagaimana hubungan dan rivalitas

antar negara khususnya dalam perekonomian dunia, yang antara lain digambarkan dalam peta persaingan.

Menurut Cho dan Moon (2000), retorika daya saing – pandangan bahwa,

(45)

perusahaan besar yang bersaing dalam pasar global – telah sedemikian privatif. Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), daya saing menghadirkan tiga bahaya. Pertama, hal ini dapat mengakibatkan penyia-nyiaan uang untuk meningkatkan

daya saing AS. Kedua, hal ini dapat mengarah pada proteksionisme dan perang dagang. Akhirnya, hal ini dapat mengakibatkan kebijakan publik yang buruk.

Krugman memberikan peringatan bahwa suatu obsesi dengan daya saing merupakan hal yang berbahaya dan menyarankan membuang produktivitas dalam hal ini.

Pada kenyataannya, meskipun demikian, mencoba untuk mendefinisikan daya saing sebuah negara ternyata jauh lebih problematik dibandingkan

mendefinisikan daya saing sebuah perusahaan. Ukuran kinerja untuk sebuah perusahaan secara harfiah adalah labanya: jika sebuah perusahaan tidak mampu membayar para pekerja, para pemasok, dan para pemegang obligasinya, maka

perusahaan akan keluar dari bisnis. Jadi, pada saat kita mengatakan bahwa sebuah perusahaan tidak kompetitif, yang kita maksud adalah bahwa posisi pasarnya tidak

dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama, kecuali perusahaan tersebut memperbaiki kinerjanya, perusahaan tersebut akan berhenti. Negara, di sisi lain, tidak mungkin keluar dari bisnis.

Seseorang mungkin mengumpamakan secara naif bahwa ukuran kinerja dari sebuah perekonomian nasional sekadar neraca perdagangan saja, bahwa daya

(46)

merupakan suatu tanda kelemahan nasional, suatu defisit mungkin merupakan suatu tanda kekuatan.

Negara-negara tidak saling bersaing seperti halnya perusahaan saling

bersaing. Pada persaingan antar perusahaan, keberhasilan perusahaan yang menang bersaing akan berakibat kekalahan pada perusahaan satunya. Tetapi

dalam persaingan antar negara, keberhasilan negara yang satu menjual produk ke negara lain juga memberi manfaat bagi negara yang mengimpor khususnya dalam menghasilkan consumer surplus. Negara pengimpor bisa mendapatkan produk

berkualitas dengan harga lebih murah.

Menurut Cho dan Moon (2000), para pendukung daya saing tidak pernah

menyangkal pentingnya kinerja perekonomian domestik. Terlebih-lebih, secara nyata semua resep daya saing menekankan tingkat tabungan dan investasi domestik, pendidikan, biaya modal, penelitian dan pengembangan. Perdagangan

pada umumnya diperlakukan sebagai isu sekunder – lebih sebagai gejala daripada penyebab daya saing.

Krugman (2006), tidak menjelaskan perlambatan dalam pertumbuhan produktivitas AS, tetapi ia menunjukkan bahwa faktor-faktor domestik merupakan penyebab intinya. Meskipun demikian, perlambatan tersebut datang tepat pada

saat impor AS sedang membubung tinggi dan seluruh industri seperti produk elektronik konsumsi disapu habis oleh para pesaing luar negeri yang mengejar

taktik merkantilis.

Menurut Cho dan Moon (2000), negara mencoba untuk meningkatkan standar kehidupan setiap warganya. Standar hidup yang lebih tinggi tergantung

(47)

pertumbuhan produktivitas pada prinsipnya ditentukan oleh ukuran investasi domestik dalam pabrik dan perlengkapan, penelitian dan pengembangan, keterampilan dan infrastruktur publik, kualitas manajemen swasta dan

administrasi publik.

Cho and Moon (2000), menyebutkan bahwa kesalahan konsep dari daya

saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam yang banyak dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan

daya saing internasional sebuah negara dengan penganugerahan faktornya. Ada negara-negara yang memiliki banyak sumberdaya tetapi tingkat perekonomiannya

lemah. Dalam suatu dunia di mana bahan baku, modal, dan bahkan tenaga kerja bergerak di seluruh batas wilayah nasional, kepemilikan sumberdaya yang dianugerahkan saja tidak menentukan daya saing internasional.

Menurut Rooyen et al. (2002), daya saing ekonomi komparatif sebuah negara sangat dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan sumberdaya khususnya

tanah, tenaga kerja dan modal. Sementara pendekatan daya saing kompetitif kesempatan bisnis, kebijakan yang berlaku dan distorsi harga perbedaan kualitas produk dan kemampuan memasarkan. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan

skala ekonomi, economy of scope dan posisi di pasar

Selanjutnya Uchida dan Cook (2004), menyatakan bahwa daya saing

(48)

2.1.1. Konsep Daya Saing Diamond Porter

Untuk menyelidiki mengapa negara memperoleh keunggulan kompetitif dalam industri tertentu dan implikasinya bagi strategi perusahaan dan

perekonomian nasional, Porter (1990) melaksanakan suatu studi selama empat tahun terhadap sepuluh negara utama dalam perdagangan. Porter mendefinisikan

industri sebuah negara sebagai sukses secara internasional jika memiliki keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing terbaik di seluruh dunia. Sebagai indikator, ia memilih keberadaan ekspor yang besar dan bertahan lama

dan/atau investasi asing di luar wilayah yang signifikan berdasarkan pada keterampilan dan aktiva yang diciptakan di negara asal. Porter menyimpulkan

bahwa beberapa negara berhasil dalam industri tertentu karena lingkungan asalnya bersifat forward-looking, dinamis, dan menantang. Secara spesifik, beberapa penentunya adalah kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri

pendukung, strategi perusahaan dan struktur persaingan.

Dalam persaingan global yang semakin meningkat, negara menjadi

semakin penting. Bersamaan dengan beralihnya basis persaingan menuju penciptaan dan asimilasi pengetahuan, peran negara telah berkembang. Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat

terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian, lembaga, dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap

keberhasilan kompetitif.

Terdapat perbedaan yang bertarung dalam pola daya saing dalam setiap negara; tidak ada negara yang dapat atau akan bersifat kompetitif dalam setiap

(49)

industri tertentu karena lingkungan asalnya bersifat paling berpandangan ke depan, dinamis dan menantang. Satu-satunya cara untuk mempertahankan keunggulan kompetitif adalah dengan memperbaharuinya, untuk terus bergerak

atau beralih ke tipe-tipe yang lebih canggih.

Terdapat empat atribut seperti terdapat pada Gambar 1, yang secara

individual dan sebagai suatu sistem menyatakan diamond dari keunggulan nasional, antara lain: kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung, serta strategi perusahaan (Porter, 1990).

1. Kondisi Faktor

Menurut teori ekonomi yang standar, faktor-faktor produksi -seperti tenaga

kerja, tanah, sumberdaya alam, modal, dan infrastruktur- akan menentukan alur perdagangan. Suatu negara akan mengekspor barang yang memanfaatkan faktor-faktor yang berlimpah. Doktrin ini, yang berawal dari teori Adam Smith dan

David Ricardo menyatu dengan mazhab ekonomi klasik, ternyata dalam prakteknya tidak lengkap dan tidak benar.

Pada industri canggih yang menjadi tulang punggung ekonomi maju, suatu negara menciptakan faktor produksi yang paling penting, seperti sumberdaya manusia yang terlatih atau yang terdidik. Lebih jauh lagi, ketersediaan

faktor-faktor yang dinikmati suatu negara pada kurun waktu tertentu tidaklah sepenting tingkat efsiensi yang diciptakanya untuk industri tertentu.

(50)
[image:50.595.141.495.146.314.2]

Perusahaan dapat dengan mudah mendapatkannya melalui strategi global atau melalui kemajuan teknologi.

Gambar 1. Beberapa Penentu Daya Saing Nasional

Sumber: Diadaptasi dari Porter (1990)

Kondisi sebaliknya bahwa ketidakberuntungan pada faktor-faktor standar

tersebut dapat medorong perusahaan untuk terus berinovasi dan berkembang, sesuatu yang tidak menguntungkan pada model kompetisi statis dan dapat menjadi

sesuatu yang menguntungkan pada model dinamis. Disaat ada kelebihan pasokan bahan mentah yang murah atau kelebihan tenaga kerja, perusahaan dapat dengan mudah mengandalkan faktor-faktor ini atau bahkan menggunakannya secara tidak

efisien. Tetapi ketika perusahaan menghadapi adanya faktor selektif yang tidak menguntungkan, seperti biaya tanah yang tinggi, kekurangan tenaga kerja, atau

kekurangan bahan mentah; maka mereka harus berinovasi dan terus berkembang untuk dapat memenangkan persaingan.

Kondisi lain yang mampu mengubah ketidakunggulan menjadi keunggulan

adalah kondsi lingkungan di sekitar berlian tadi. Untuk berinovasi perusahaan harus mempunyai akses ke sumberdaya manusia yang berketerampilan dan

Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

Industri terkait dan industri pendukung

(51)

mempunyai kondisi permintaan lokal yang mengirim sinyal secara benar. Mereka juga harus mempunyai ‘musuh’ domestik yang aktif, yang mampu menciptakan tekanan untuk berinovasi. Prakondisi lain adalah tujuan perusahaan yang

mengarah kepada komitmen berkelanjutan pada sektor industri tertentu. Tanpa adanya komitmen dan pesaing aktif, maka perusahaan cenderung mengabaikan

faktor yang tidak menguntungkan itu daripada memanfaatkannya untk melakukan inovasi.

2. Kondisi Permintaan

Kelihatannya globalisasi akan menghilangkan fungsi penting dari permintaan lokal. Pada prakteknya hal seperti ini bukanlah inti permasalahan.

Kenyataannya, komposisi dan karakter pasar lokal seringkali menimbulkan pengaruh yang tidak tepat pada cara pandang dan respon perusahaan terhadap kebutuhan pembeli. Negara bisa memperoleh keunggulan kompetitif pada satu

industri jika permintaan lokal mampu memberikan gambaran yang jelas bagi perusahaan mengenai kebutuhan konsumen. Tuntutan konsumen domestik akan

memerikan tekanan bagi perusahaan untuk segera melakukan inovasi dan mendapatkan keunggulan kompetitif yang lebih canggih daripada pesaing asing.

Kondisi permintaan lokal membantu tercapainya keunggulan kompetitif

bila segmen industri tertentu lebih besar atau lebih layak di pasar lokal daripada di pasar asing. Para pembeli lokal dapat membantu perusahaan dari sebuah negara

(52)

pasar global. Kebutuhan yang sudah diantisipasi mengemuka karena nilai-nilai politik sebuah negara menutup kebutuhan yang akan tumbuh di tempat lain.

Yang lebih penting dari gabungan beberapa segmen adalah sifat alamiah

konsumen lokal. Perusahaan nasional akan memperoleh keunggulan kompetitif jika konsumen lokal adalah juga konsumen dunia yang paling canggih dan paling

banyak tuntutannya terhadap barang dan jasa yang ditawarkan. Konsumen yang menuntut dan canggih merupakan jendela menuju kebutuhan konsumen yang maju karena akan menekan perusahaan untuk menghasilkan produk dengan

standar tinggi dan mendorong perusahaan untuk terus melakukan perbaikan dan inovasi. Seperti juga halnya dengan kondisi faktor, maka kondisi permintaan

menghasilkan keunggulan dengan memaksa perusahaan untuk merespon tantangan-tantangan yang berat.

3. Industri Terkait dan Industri Pendukung

Hal ketiga yang menentukan keunggulan nasional adalah adanya industri terkait dan industri pendukung yang bersaing secara internasional. Pemasok lokal

yang bersaing secara internasional akan menciptakan keunggulan pada industri hilir dengan banyak cara. Mereka menyediakan input yang efektif dan hemat biaya secara efisien, cepat, dan sedini mungkin, atau bahkan dengan cara yang

lebih disukai, dan selanjutnya mereka akan akan menyediakan keunggulan bersaing melalui inovasi dan perbaikan secara terus menerus yang dihasilkan dari

hasil hubungan kerja yang erat antara industri hulu dan hilir.

Daya saing lokal pada industri terkait juga memberikan manfaat berupa derasnya arus informasi dan pertukaran teknologi yang mempercepat tingkat

(53)

suatu perusahaan mengutamakan keterampilan baru, yang merupakan pintu masuk untuk membawa perusahaan mampu berkompetisi di pasar internasional.

4. Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan

Daya saing di industri tertentu dihasilkan dari konvergensi parktek manajemen dan organisasi yang ada di negara tertentu dipadu dengan sumber

keunggulan bersaing di industri bersangkutan. Motivasi individu untuk berkerja dan mengembangkan keterampilan juga penting dalam penciptaan keunggulan bersaing. Bakat yang luar biasa merupakan sumberdaya yang sulit ditemui.

Kesuksesan bersaing suatu negara akan sangat tergantung pada jenis pendidikan yang dipilih oleh para tenaga kerja berbakat, termasuk pekerjaan yang

mereka pilih, serta komitmen dan usaha mereka. Tujuan dan nilai-nilai individu serta perusahaan yang ditentukan oleh lembaga negara, serta kebanggaan yang melekat pada industri tertentu akan menggiring aliran modal dan tenaga kerja

yang akan berpengaruh langsung kepada kinerja daya saing suatu negara. Negara cenderung menjadi kompetitif dalam kegiatan-kegiatan yang dikagumi dan

menjadi tumpuan masyarakatnya, yaitu kegiatan yang mampu menciptakan pahlawan negara.

5. Ke

Gambar

Gambar 1. Beberapa Penentu Daya Saing Nasional
Gambar 2. Model Gabungan Persaingan Internasional Perusahaan di Asia
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Daya Saing Industri Agro Berdasarkan Pendekatan Input-Output Indonesia, Thailand, dan China
Gambar 4. Alur Keterkaitan ke Belakang Antar Sektor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis Shift Share Esteban Marquillas erdapat 7 sektor yang memiliki daya saing terhadap daerah pembanding (Povinsi Jawa Timur) di Kabupaten Situbondo, yakni

Dengan kata lain indeks RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia.. Adapun cara mengjitung

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis daya saing ekspor pada sektor dan komoditas Indonesia apabila dibandingkan dengan negara ASEAN-5 di pasar

Model LAIDS untuk permintaan wisatawan ke tiga negara destinasi, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand dari tujuh negara pasar wisatawan (Singapura, Malaysia,

Model EC-LAIDS untuk permintaan wisatawan ke tiga negara destinasi, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand dari tujuh negara pasar wisatawan (Singapura, Malaysia,

Secara spesifik bertujuan : (1) menganalisis pola perubahan struktural ekonomi berdasarkan perubahan struktur output, tenaga kerja dan distribusi pendapatan antara

Identifikasi dari sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi terhadap sektor pertanian tersebut mengindikasikan bahwa output dari sektor industri

Identifikasi dari sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi terhadap sektor pertanian tersebut mengindikasikan bahwa output dari sektor industri