• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Penggunaan Input Antara dan Input Primer

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO

5.6. Struktur Penggunaan Input Antara dan Input Primer

5.6. Struktur Penggunaan Input Antara dan Input Primer

Dalam melakukan aktivitas produksi sangat dibutuhkan input yang akan diproses untuk menghasilkan output. Input produksi terdiri atas bahan baku, modal, tenaga kerja, lahan, dan kewiraswastaan atau enterpreneurship. Kelima input ini jika dituangkan ke dalam struktur I-O standar menjadi pengeluaran untuk pembiayaan input antara, upah, penyusutan (depresiasi), surplus usaha (keuntungan perusahaan), dan ditambah satu komponen pengeluaran input lainnya yakni pajak tidak langsung. Empat input yang disebutkan terakhir di kelompokkan menjadi input primer yang merupakan nilai tambah yang diterima oleh masyarakat, dan secara teoritis penjumlahan keempat input tersebut adalah merupakan salah satu metode penghitungan nilai tambah (pendapatan nasional) berdasarkan pendekatan pendapatan (income approach).

Pada I-O antar negara Indonesia, Thailand dan China pengeluaran input dari suatu sektor industri agro di Indonesia dapat didisagregasi menjadi empat komponen yang meliputi, input antara (intermediate input), biaya angkutan dan asuransi (international freight insurance), pajak impor (duties and import sale tax), dan input primer (primary input). Kemudian input antara itu sendiri dapat dibagi menurut asalnya, yakni input antara yang berasal dari domestik (negara Indonesia), Thailand, China dan negara lainnya. Sedangkan input primer atau nilai tambah dapat dipilah menjadi upah dan gaji (wages and salary), surplus operasi (operating surplus) atau keuntungan perusahaan, penyusutan modal

(depreciation of fixed capital), dan pajak tidak langsung (indirect taxes). Selengkapnya seluruh jenis input ini dapat dilihat pada Tabel 30 dan Tabel 31.

Apabila dilihat lajur baris, jenis input yang paling banyak digunakan oleh sektor industri agro di Indonesia adalah input antara atau bahan baku. Pada Tabel 30 terlihat bahwa ada dua sektor industri agro yang paling banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestik dibandingkan produk antara yang diimpor adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, serta industri kayu dan olahan kayu. Input antara yang digunakan oleh kedua industri ini sekitar 88.85 persen hingga 96.26 persen merupakan input yang berasal dari produksi domestik, dan sisanya antara 3.74 persen hingga 11.15 persen diimpor dari Thailand, China, dan negara-negara lainnya. Pada sektor industri agro lainnya, penggunaan persentase input antara domestik tampak lebih rendah, yaitu kurang lebih sekitar 61.90 hingga 95.11 persen, dimana yang paling rendah menggunakan input antara domestik adalah industri pulp, kertas dan percetakan yakni hanya 80.41 persen di tahun 1995, dan 61.90 persen di tahun 2000.

Melihat komposisi asal input antara yang digunakan selama ini, dapat disampaikan kesimpulan bahwa sektor industri agro yang paling tinggi kadar local content atau muatan lokalnya adalah industri makanan, minuman, dan tembakau, serta industri kayu dan kayu olahan. Sementara yang paling rendah adalah industri pulp, kertas dan percetakan. Selanjutnya, bila asal input antara yang digunakan hanya difokuskan pada negara Thailand dan China, ada indikasi kuat saat ini bahwa sektor industri agro Indonesia lebih mengutamakan impor input antara dari China ketimbang Thailand. Dalam tahun 1995 dan 2000, rata-rata input antara yang di impor dari China untuk memenuhi kebutuhan produksi industri agro

Tabel 30. Penggunaan Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000

(US$ 1,000)

Input

Makanan, minuman, dan tembakau

Teksti, kulit, dan turunannya

Kayu dan produk olahannya

Pulp, kertas,dan

percetakan Produk Karet Total Input Industri agro 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 A. Input Antara 37 423 120 25 319 267 12 574 798 9 970 648 6 832 919 4 372 295 3 888 406 4 243 811 4 112 865 1,=217,868 64,832,108 45,123,889 a. Domestik 35 882 785 23 353 731 9 866 066 7 291 280 6 577 477 3 884 976 3 126 706 2 627 024 3 911 948 851,720 59,364,982 38,008,731 % a terhadap A 95.88% 92.24% 78.46% 73.13% 96.26% 88.85% 80.41% 61.90% 95.11% 69.94% 91.57% 84.23% b. Thailand 31 483 76 593 33 960 63 100 3 699 8 809 7 796 24,758 5 586 19,805 82,524 193,065 c. China 32 006 124 411 62 892 189 848 5 985 19 667 8 128 23,499 8 928 12,224 117,939 369,649 d. Negara Lainnya 1 476 846 1 764 532 2 611 880 2 426 420 245 758 458 843 745 776 1 568 530 186 403 334,119 5,266,663 6,552,444 % (b+c+d) terhadap A 4.12% 7.76% 21.54% 26.87% 3.74% 11.15% 19.59% 38.10% 4.89% 30.06% 8.43% 15.77% B. Biaya Asuransi &

Pengapalan 55 589 63 927 129 897 112 405 11 267 15 448 20 318 48 935 10 551 17,598 227,622 258,313 C. Pajak Impor & Pabean 60 089 71 579 134 048 93 161 23 206 16 224 49 399 26,364 13 773 21,562 280,515 228,890 D.Input Primer 19 877 246 13 484 829 6 856 041 5 427 589 3 499 848 2 427 640 2 602 168 2 329 053 2 594 162 670,066 35,429,465 24,339,177 a. Gaji dan Upah 4 884 052 3 616 031 2 239 598 1 916 831 959 638 688 400 685 928 685 108 1 232 700 334,069 10,001,916 7,240,439 b. Profit 10 751 630 6 553 317 3 373 019 2 617 985 1 915 732 1 371 836 1 670 471 1 379 692 1 051 214 272,942 18,762,066 12,195,772 c. Penyusutan 1 493 623 974 586 894 237 642 961 535 403 316 374 150 892 165 120 203 280 41,639 3,277,435 2,140,680 d. Pajak Tak Langsung 2 747 941 2 340 895 349 187 249 812 89 075 51 030 94 877 99 133 106 968 21,416 3,388,048 2,762,286 Total Input per Sektor 57 416 044 38 939 602 19 694 784 15 603 803 10 367 240 6 831 607 6 560 291 6 648 163 6 731 351 1 927 094 100 769 710 69 950 269 Sumber : Asian International Input-Output Table 1995 dan 2000 (diolah)

Tabel 31. Komposisi Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ( %) Input Makanan, minuman, dan tembakau

Teksti, kulit, dan turunannya

Kayu dan produk olahannya

Pulp, kertas,dan

percetakan Produk Karet

Total Input Industri agro 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 A. Input Antara 65.18 65.02 63.85 63.9 65.91 64.00 59.27 63.83 61.1 63.2 64.34 65.18 a. Domestik 62.50 59.97 50.09 46.73 63.44 56.87 47.66 39.52 58.12 44.20 58.91 62.50 b. Thailand 0.05 0.20 0.17 0.40 0.04 0.13 0.12 0.37 0.08 1.03 0.08 0.05 c. China 0.06 0.32 0.32 1.22 0.06 0.29 0.12 0.35 0.13 0.63 0.12 0.06 d. Negara Lainnya 2.57 4.53 13.26 15.55 2.37 6.72 11.37 23.59 2.77 17.34 5.23 2.57 B.Asuransi & angkutan 0.10 0.16 0.66 0.72 0.11 0.23 0.31 0.74 0.16 0.91 0.23 0.10 C. Pajak Impor & Pabean 0.10 0.18 0.68 0.60 0.22 0.24 0.75 0.40 0.20 1.12 0.28 0.10 D.Input Primer 34.62 34.63 34.81 34.78 33.76 35.54 39.67 35.03 38.54 34.77 35.16 34.62 a. Gaji dan Upah 8.51 9.29 11.37 12.28 9.26 10.08 10.46 10.31 18.31 17.34 9.93 8.51 b. Profit 18.73 16.83 17.13 16.78 18.48 20.08 25.46 20.75 15.62 14.16 18.62 18.73 c. Penyusutan 2.60 2.50 4.54 4.12 5.16 4.63 2.30 2.48 3.02 2.16 3.25 2.60 d. Pajak Tak Langsung 4.79 6.01 1.77 1.60 0.86 0.75 1.45 1.49 1.59 1.11 3.36 4.79 Total Input per Sektor 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Indonesia sekitar 0.50 persen, sementara dari Thailand kurang lebih 0.28 persen. Dari Tabel 31 tampak bahwa pembiayaan impor yang berupa CIF (Cost Insurance and Freight) lebih banyak keluar dari industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, yakni rata-rata 0.69 persen pada tahun 1995 dan 2000 dari total biaya input pada industri tersebut. Akan tetapi untuk pengeluaran pajak impor, ternyata industri barang dari karet adalah yang terbesar dalam kelompok industri agro Indonesia, yaitu rata-rata 0.66 persen untuk tahun 1995 dan 2000.

Sebagian besar sektor industri agro negara Indonesia memberi nilai tambah (input primer) yang sama besar proporsinya dalam struktur input yang digunakan, rata-rata mencapai 34.89 persen pada tahun 1995 dan 2000. Paling besar proporsinya adalah industri pulp, kertas dan percetakan di tahun 1995, yaitu sebesar 39.67 persen, serta industri kayu dan produk olahannya di tahun 2000 yaitu sebesar 35.54 persen.

Pemberian nilai tambah dari sektor industri agro ini ternyata lebih banyak tercurah pada surplus operasi yang menjadi keuntungan dari para pemilik modal, sedangkan tenaga kerja menerima nilai tambah lebih sedikit. Sebagai misal pada tahun 2000, andil industri pulp, kertas dan percetakan dalam menciptakan nilai tambah tenaga kerja hanya sekitar 10.31 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan seluruh input, sedangkan pemilik modal yang mendapat surplus operasi kebagian 20.75 persen. Kondisi yang berbeda jika diperhatikan pada industri barang dari karet, yang mampu memberi nilai tambah tenaga kerja paling besar diantara semua sektor industri agro yaitu sebesar 17.34 persen dari total biaya input di tahun 2000.

Masih dari Tabel 31 terlihat bahwa dari seluruh komponen pembiayaan input sektor industri agro di Indonesia lebih banyak disumbangkan oleh industri makanan, minuman dan tembakau, baik itu berupa pengeluaran untuk input antara, pembiayaan impor, maupun input primer. Misalkan untuk input antara, kontribusi industri ini pada total biaya input antara sektor industri agro adalah sebesar 65.18 persen untuk tahun 1995, dan sebesar 65.02 persen untuk tahun 2000. Kemudian pada pengeluaran input primer, industri pulp, kertas, dan percetakan menjadi yang terbesar di sektor industri agro dengan kontribusinya sebesar 39.67 persen di tahun 1995, dan 35.03 persen di tahun 2000.

5.7. Dekomposisi Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro

Dalam pembahasan ini, hanya sektor-sektor industri yang berbasis pertanian saja yang ditelusuri perubahan strukturnya menggunakan analisis dekomposisi. Meskipun dalam perhitungan sebenarnya telah didekomposisi semua pertumbuhan sektor ekonomi yang tercantum dalam I-O antar negara.

Trend waktu yang digunakan untuk mengamati perubahan struktur adalah tahun 1995 dan tahun 2000. Tahun 1995 merupakan initial year, sedangkan tahun 2000 merupakan current year. Selisih nilai output diantara kedua waktu tersebut didekomposisi ke dalam empat faktor penyebab perubahan, yakni: (1) expansion of domestic final demands, (2) expansion of international exports, (3) changes in international import proportions, and (4) changes in input-output coefficients. Dengan mengadopsi teknik perhitungan dekomposisi untuk model I-O bilateral yang telah diterangkan di atas, pada Tabel 32 disajikan dekomposisi struktural sektor industri agro untuk Indonesia, Thailand dan China.

Tabel 32. Sumber-Sumber Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro Berdasarkan Persentase Terhadap Total Pertumbuhan Sektor Industri Agro Tahun 1995-2000 ( %) Sektor DD EE IS IO Total Indone si a

Makanan, minuman, dan tembakau 83.14 -13.25 8.17 -10.64 67.42 Tekstil, kulit, dan produk ikutannya 8.89 -19.89 9.91 5.94 4.85 Kayu dan kayu olahan 2.96 -1.35 2.67 8.72 13.00 Pulp, kertas, dan percetakan 3.44 -13.32 5.86 0.41 -3.61 Barang dari karet -0.67 3.58 33.73 -18.30 18.34 Total Indonesia 97.77 -44.22 60.33 -13.88 100.00

T

ha

il

and

Makanan, minuman, dan tembakau 21.44 -75.71 17.04 47.51 10.29 Tekstil, kulit, dan produk ikutannya 34.25 3.82 -13.47 42.34 66.94 Kayu dan kayu olahan 11.07 -9.86 4.75 7.91 13.86 Pulp, kertas, dan percetakan 0.73 -20.46 -1.46 2.84 -18.35 Barang dari karet 3.14 -0.34 20.47 3.99 27.25 Total Thailand 70.64 -102.56 27.33 104.59 100.00

Chi

na

Makanan, minuman, dan tembakau 23.69 25.32 3.13 -11.68 40.46 Tekstil, kulit, dan produk ikutannya -3.57 61.15 2.64 -17.43 42.79 Kayu dan kayu olahan 3.50 3.06 0.06 -9.06 -2.43 Pulp, kertas, dan percetakan 5.69 12.95 -3.43 -1.40 13.81 Barang dari karet 2.41 5.37 -0.99 -1.41 5.38 Total China 31.72 107.84 1.42 -40.98 100.00

keterangan :

DD : Expansion of domestic final demands

EE : Expansion of international exports

IS : Changes in international import proportions

IO : Changes in input-output coefficients

Terlihat dengan jelas pada Tabel 32 dan Gambar 6 bahwa sumber pertumbuhan sektor industri agro Indonesia dalam kurun waktu 1995 dan 2000 tidak mempunyai pola yang jelas kecuali industri makanan, minuman dan tembakau yang pertumbuhannya terutama karena adanya dorongan domestic demand akibat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tinggi.

Gambar 6. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000

Andil domestic demand terhadap perubahan struktur industri agro Indonesia diperkirakan sebesar 97.77 persen, yang paling banyak disumbangkan oleh industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 83.14 persen. Industri makanan, minuman dan tembakau menjadi andalan bagi perubahan domestic demand di sektor industri agro Indonesia. Setelah domestic demand, faktor pendorong pertumbuhan sektor industri agro lainnya di Indonesia adalah perubahan dalam subtitusi impor atau changes in international import proportions

yang memberi kontribusi terhadap penciptaan perubahan nilai output industri agro sebesar 60.33 persen, terutama diperoleh dari sektor industri barang dari karet sebesar 33.37 persen.

Sumber pertumbuhan industri agro Indonesia khususnya industri makanan, minuman dan tembakau yang berasal dari domestic demand yang disertai perubahan proporsi substitusi impor menjadi bukti pengaruh produk impor dalam konsumsi masyarakat Indonesia yang terus meningkat.

Dua faktor perubahan lainnya, yaitu promosi ekspor (expansion of international exports) dan kemajuan teknologi (changes in input-output

DD EE IS IO AG008 AG'009 AG010 AG011 AG014

DD EE IS IO AG008 AG'009 AG010 AG011 AG014

coefficients) bukan menjadi sumber-sumber pertumbuhan yang dapat diandalkan bagi perkembangan sektor industri agro Indonesia selama dua periode tersebut. Bahkan hasil perhitungan menunjukkan hal sebaliknya. Keduanya menjadi penyebab berkurangnya pertumbuhan sektor industri agro Indonesia, yang

diindikasikan dengan nilai proporsinya masing-masing bertanda negatif, yakni -44.22 persen untuk promosi ekspor, dan -13.88 persen untuk perubahan

teknologi.

Tidak seperti Indonesia, perkembangan sektor industri agro di Thailand lebih besar didorong oleh perubahan teknologi, perhatikan Tabel 32 dan Gambar 7. Ini tercermin dari angka proporsi perubahan teknologi yang sangat tinggi mencapai 104.59 persen. Dimana sektor industri agro yang paling besar memberi kontribusi terhadap perubahan teknologi adalah industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 47.51 persen, serta industri tekstil, kulit dan produk ikutannya sebesar 42.34 persen.

Gambar 7. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro Thailand Tahun 1995 dan 2000

DD EE IS IO AG008 AG'009 AG010 AG011 AG014

Setelah faktor perubahan teknologi, faktor lainnya yang menyumbang perubahan nilai output industri agro Thailand yang cukup dominan adalah demand domestic yang mampu memberi andil terhadap pertumbuhan sektor industri agro sebanyak 70.64 persen. Pertumbuhan ini paling besar datang dari sektor industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, yakni sebesar 34.25 persen.

Pertumbuhan faktor demand domestic di Thailand tidak bertumpu hanya pada satu industri agro saja layaknya di Indonesia. Selain industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, masih ada sektor industri agro lain yang dapat menjadi sumber-sumber perubahan demand domestic, yakni industri makanan, minuman dan tembakau, serta industri kayu dan kayu olahan. Satu-satunya faktor pertumbuhan yang terlihat tidak mampu mengangkat perubahan output sektor industri agro di Thailand saat ini adalah faktor promosi ekspor. Proporsinya terhadap perubahan nilai output industri agro negatif sebesar -102.56 persen. Jadi, penyebab pertumbuhan sektor industri agro di Thailand bukan datang dari promosi ekspor.

Gambar 8. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro China Tahun 1995 dan 2000

Kondisi yang cukup kontras jika kita perhatikan pada China. Di negara ini ternyata pertumbuhan sektor industri agro itu lebih banyak didorong oleh perubahan faktor promosi ekspor, yakni sekitar 107.84 persen andilnya terhadap perubahan nilai output sektor industri agro pada tahun 2000, seperti yang disajikan pada Gambar 8 dan Tabel 32.

Terdapat tiga sektor industri agro andalan yang mampu menciptakan dorongan promosi ekspor tersebut yakni industri makanan, minuman dan tembakau yang memberi sumbangan terhadap faktor perubahan promosi ekspor sebesar 25.32 persen, kemudian industri tekstil, kulit dan produk ikutannya sebesar 61.15 persen, dan terakhir industri pulp, kertas dan percetakan sebesar 12.95 persen.

Situasi di China terlihat sangat berbeda di Indonesia dan Thailand, dimana kedua negara tersebut hanya mengandalkan satu atau dua sektor industri agro saja sebagai sektor industri yang dapat menciptakan faktor pertumbuhan yang dominan. Hanya saja meskipun promosi ekspor menjadi faktor pendorong perubahan nilai output industri agro di China, ternyata hal tersebut tidak ditunjang oleh perubahan teknologi yang positif. Bahkan terlihat pada Tabel 32 tersebut bahwa seluruh sektor industri agro di China mengalami penurunan proporsi perubahan teknologi terhadap perkembangan nilai output sektor industri agro di China yang mencapai -40.98 persen. Patut dijadikan bahan pelajaran bagi Indonesia untuk memahami mengapa meski teknologi kurang berkembang tetapi China mampu mendorong promosi ekspor yang lebih baik. Tentu saja lemahnya teknologi tersebut mendapat perhatian dari pemerintah China sebagai masukan untuk melakukan koreksi kebijakan di periode berikutnya.

Untuk mendukung faktor permintaan domestik, perlu dilakukan berbagai upaya yang memberi akses lebih besar termasuk memberikan perlindungan bagi produk Indonesia dalam menjual produknya di pasar domestik. Seperti tergambar dari merosotnya Index of Domestic Competitiveness, sektor industri agro Indonesia perlu memberi perhatian pada penguasaan pasar domestik sejalan dengan upaya peningkatan daya saing di pasar internasional. Penguasaan pasar domestik bisa dimanfaatkan sebagai batu lompatan dan tempat berlatih menempa kemampuan bersaing di dunia.

Untuk maksud tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih sistematis guna meningkatkan penetrasi pasar produk industri agro Indonesia di pasar global. Peningkatan penetrasi pasar bisa dilakukan melalui peningkatan penyebaran distribusi dan promosi. Selain itu pengembangan teknologi dan bisnis industri agro secara terpadu perlu ditempatkan sebagai kebijakan strategis dalam pembangunan sektor industri agro di masa mendatang.

Penurunan daya saing sektor industri agro Indonesia pada tahun 1995-2000, khususnya dibandingkan dengan Thailand dan China, perlu diantisipasi dan dicarikan jalan keluar. Demikian pula rendahnya backward linkages dan forward linkages pada sektor industri agro Indonesia serta terdapatnya keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand perlu dioptimalkan agar memberi manfaat lebih jauh bagi perekonomian nasional. Tidak adanya pola sumber pertumbuhan industri agro Indonesia memberi gambaran belum tepatnya kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan daya saing pada sektor industri agro Indonesia.

Dengan menggunakan Konsep Daya Saing Diamond Porter dan Kerangka Pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini, dilakukan analisis untuk mendapatkan strategi peningkatan daya saing sektor industri agro Indonesia sebagai berikut:

6.1. Peningkatan Keterkaitan Antar Sektor

Faktor produksi seperti tenaga kerja terlatih atau infrastruktur, merupakan faktor penting untuk bersaing dalam suatu sektor industri. Faktor-faktor standar, seperti tenaga kerja dan sumberdaya alam bukan merupakan suatu keunggulan yang perlu dibanggakan, karena perusahaan dapat dengan mudah mendapatkannya melalui strategi global atau melalui kemajuan teknologi. Diperlukan langkah terpadu untuk mensinergikan berbagai potensi yang menguasai faktor produksi terkait. Demikian pula diperlukan upaya peningkatan

keterkaitan industri yang diwujudkan melalui tersedianya industri pemasok dan industri pendukung yang kuat untuk meningkatkan daya saing sektor industri agro. Dalam hal industri agro Indonesia, lemahnya kondisi faktor dan dukungan industri pemasok dan industri pendukung tergambar dari rendahnya backward linkages dan forward linkages.

Dalam rangka meningkatkan kondisi faktor dan keterkaitan antar sektor industri agro dibutuhkan kesatuan prioritas, sikap dan program pembangunan perekonomian nasional. Sektor industri agro layak ditempatkan sebagai sebagai sektor ekonomi andalan yang diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan nasional.

Penempatan industri agro sebagai sektor andalan didasarkan pada pertimbangan pertumbuhan industri agro dalam perekonomian nasional maupun dunia yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan membuktikan potensinya untuk dikembangkan lebih lanjut. Industri agro punya peran penting pada Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan kesempatan kerja dan pembangunan perekonomian Indonesia pada umumnya.

Peningkatan keterkaitan melalui Prioritasisasi Pembangunan Sektor

Unggulan khususnya industri agro diharapkan akan mengeliminasi

terkotak-kotaknya kebijakan yang berkaitan dalam pengembangan daya saing industri agro. Sejauh ini masing-masing sektor pemerintah yang mengelola kebijakan industri, pertanian dan perdagangan cenderung membuat kebijakan berdasarkan arah pengembangan sektornya masing-masing.

Diperlukan langkah besar untuk mendorong terjadinya sinergi dalam pembangunan pertanian seperti diamanatkan dalam rencana pembangunan

nasional, termasuk diantaranya meningkatkan daya saing industri agro Indonesia dalam rangka mendorong kemajuan sektor pertanian pada umumnya. Peningkatan keterkaitan antar sektor bisa dilakukan dengan menempatkan industri agro sebagai sektor yang mendapat prioritas pembangunan nasional sehingga mendapat perhatian dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan legislatif, pelaku usaha dan masyarakat.

Industri berbasis pertanian perlu mendapat dukungan makroekonomi, politik, peraturan dan konteks budaya untuk menjadikannya sebagai sektor unggulan. Peningkatan keterkaitan antar sektor melalui program Prioritasisasi

Pembangunan Sektor Unggulan khususnya sektor industri agro diharapkan

lebih mengoptimalkan keterkaitan antar sektor di dalam negeri mengingat keterkaitan sektor industri agro Indonesia dengan negara lain khususnya dengan China cenderung lebih menguntungkan China.

Dalam rangka peningkatan keterkaitan antar sektor bisa dilakukan dengan pendekatan cluster-based economie development, yang dipadukan dengan pengembangan infrastrukture keterampilan dan pengembangan manajemen. Peningkatan keterkaitan dengan menempatkan industri agro sebagai sektor andalan melalui program Prioritasisasi Pembangunan Sektor Unggulan

khususnya industri agro bisa dilakukan dengan pencantuman di Kebijakan Pembangunan Industri Nasional, Rencana Jangka Menengah dan Rencana Jangka Panjang Pemerintah. Untuk mengefektifkan Prioritasisasi Pembangunan

Sektor Unggulan, diperlukan peningkatan sinergi kebijakan antar sektor dengan

memperhatikan masukan pelaku usaha dan pembentukan wadah koordinasi perumus kebijakan industri agro.