• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSERVASI PENYU ( The Consistency and Coherency for the Policy of Turtle

Conservation)

Abstrak

Kebijakan pengelolaan konservasi penyu di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat sangat diperlukan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menelaah kebijakan konservasi penyu dan penerapannya baik konsistensi maupun koherensinya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis isi dan statistik matematika sederhana. Konsistensi kebijakan pengelolaan konservasi penyu dalam penerapannya ditemukan tidak konsisten. Demikian halnya, koherensi diantara kebijakan pengelolaan konservasi penyu dengan kebijakan pemerintah daerah ditemukan tidak koherensi, yang hal ini lebih berorientasi kepada

“pertumbuhan ekonomi” dibandingkan pengelolaan konservasi penyu. Strategi dan rencana aksi konservasi penyu belum ditetapkan adalah lemahnya institusi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penguatan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat dibutuhkan dalam kebijakan sebagai institusional pengelola konservasi penyu. Hal ini disebabkan lemahnya pengelolaan, antara lain: komunikasi, sumberdaya, sikap dan perilaku, dan struktur birokrasi. “Badan Pengelola Multi-stakeholder” ditemukan sebagai bentuk pendekatan kolaborasi dalam pengelolaan konservasi penyu di antara institusional pengelola dengan stakeholder utama lainnya. Konsolidasi institusi tersebut perlu dilakukan dengan lembaga non pemerintah, yaitu: Conservation International (Indonesia) Koridor Kaimana dan pemerintah daerah Kaimana, yaitu: Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan beserta Masyarakat Adat. Jadi integrasi kebijakan antar sektor baik konsistensi maupun koherensi ditemukan sebagai pendekatan kolaborasi dalam sinergitas kebijakan untuk membangun pengelolaan konservasi penyu yang keberlanjutan di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

Kata kunci: Suaka Margasatwa Pulau Venu, kebijakan, konservasi penyu.

Abstract

The policy for turtle conservation management in Venu Island Wildlife Sanctuary area, Kaimana, West Papua is indispensable. Therefore, this study conducted to examine the turtle conservation policy and their implementation both consistency and coherence. The analytical method used is content analysis and simple mathematica statistic. The consistency for turtle conservation management policy in its application found to be inconsistent. Similarly, coherence between turtle conservation management policy with Kaimana goverment policy found Incoherence, which its more oriented to "economic growth". The strategy and action plan for the turtle conservation has not been established as weakness to institution of the Ministry of Environment and Forestry. Strengthening manager institution of turtle conservation, i.e: Center for Conservation of Natural Resources of West Papua is needed in this management policy. This is due to weakness of management, among others: communication, resources, attitudes and behavior, and a

bureaucratic structure. " Badan Pengelola Multi-stakeholders " is found as a form of

collaboration approach in turtle conservation management among manager institution with other key stakeholder. The consolidation of these institutions needed to be carried out

with non-governmental organizations, i.e: Conservation International Indonesia Corridor Kaimana, and local government of Kaimana, i.e: Department of Marine and Fisheries, Department of Tourism and Culture, as well as Tradisional Peoples. Therefore, the policy integration between sectors both consistency and coherence in the turtle conservation management found as collaboration approach in synergy with policies to build of turtle conservation management that sustainable in the Venu Island Wildlife Sanctuary area, Kaimana, West Papua

Keywords: Venu Island Wildlife Sanctuary, policy, turtle conservation

Pendahuluan

Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu (SMPV) adalah kawasan konservasi penyu yang berada di Kaimana, Papua Barat berdasarkan Surat Keputusan Bupati Fakfak No. 503/1204 Tahun 1991 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 783/Menhut-II/2014. Kawasan ini belum ditata batas sepanjang 62.256km. Kabupaten Kaimana merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Fakfak pada Tahun 2002. Kabupaten ini memiliki kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu. Kawasan ini memiliki luasan 16.320 ha (Wahjono et al. 1992), merupakan salah satu kawasan yang telah diidentifikasikan sebagai core area (habitat inti) bagi populasi beberapa jenis penyu, yaitu: penyu hijau, penyu sisik, dan penyu lekang (Parinding 2010). Kawasan perairan ini merupakan zona inti bagi jenis-jenis biota laut (Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2014). Pada tahun 2011, penyu belimbing ditemukan terdampar dan mati di pantai Kaimana (Parinding 2011). Kawasan konservasi penyu ini perlu didukung dengan kebijakantentang pengelolaan konservasi penyu, antara lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 57/Menhut- II/2008, dan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Penyu (draf). Potensi capacity building dari pengelola konservasi penyu (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat), antara lain: 1) kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan berada pada daerah segitiga terumbu karang dunia (UNPPKK 2005, 2007; Erdmann 2008; Huffard et al. 2012, 2010), 2) tersedia SDM, ilmu pengetahuan dan teknologi, kolaborasi dan pembelajaran bersama. Sedangkan kebijakan konservasinya, yaitu: peraturan perundang-undangan berkaitan dengan keanekaragaman hayati (ekosistem, spesies, genetik). Kebijakan institusional pengelola harus mampu melakukan integrasi, koordinasi, dan kolaborasi dalam pembelajaran bersama. Kebijakan tersebut diharapkan mampu mengelola SDM, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghadapi percepatan perubahan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungannya beserta pertumbuhan populasi penduduk. Kebijakan diperlukan untuk mendukung pembelajaran bersama terhadap innovasi, ekonomi lingkungan, dan analisis kebijakan, sebagai integrasi suatu instrumen kebijakan (Green et al. 2012; Reichardt & Rogge 2014; Rogge & Reichardt 2015; 2013).

Kebijakan berkaitan dengan konservasi jenis sedang disusun termasuk Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Penyu (draf). SRAK Penyu tersebut belum mengakomodir pengelolaan konservasi penyu di Kaimana. Rencana Pem- bangunan Jangka Menengah (RPJM) Kaimana juga belum mengakomodir penge- lolaan konservasi penyu di Kaimana. Hal ini merupakan salah satu ancaman kelestarian populasi dan habitat penyu di kabupaten Kaimana (UNPPKK 2007, 2005; Erdmann 2008). Tidak konsisten dan tidak koheren kebijakan dan pelak-

sanaannya pada konservasi penyu perlu dikaji dalam penelitian ini. Kebijakan yang perlu dikaji, yaitu: Peraturan Menteri Kehutanan No. 57/Menhut-II/2008, SRAK Penyu, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah kabupaten Kaimana.

Permasalahan strategi kebijakan dalam membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat tersebut adalah kepastian hukum dan integrasinya. Kepastian hukum tersebut terdiri atas: hukum dan atau aturan adat / tradisional. Kebijakan dianggap baik dalam pembuatannya maupun pelaksanaannya diukur berdasarkan konsistensi dan koherensi. Konsistensi dalam konteks kebijakan adalah sejauh mana kesesuaian di antara pembuatan dengan pelaksana dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Sedangkan koherensi dalam konteks kebijakan (Noor 2013) adalah sinergitas antara kebijakan-kebijakan (Van Bommel & Kuindersma 2008; Norton 2005), dan kesesuaian di antara kebijakannya (Portella & Raube 2012; 2011); Antikarov 2011). Konsistensi dan koherensi suatu kebijakan dikaji untuk meminimalisir konflik (Lu & Sun. 2011) sebagai upaya meningkatkan efektifitas suatu pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itu parameter ini digunakan untuk mengevaluasi baik kebijakan dengan penerapannya maupun kebijakan antar kebijakan. Di sisi lain, pluralisme hukum perlu didorong dalam pengelolaan konservasi jenis penyu dan kawasan konservasinya. Hal ini untuk mengakomodir aturan masyarakat adat / tradisional dalam pemanfaatan dan pengelolaan adaptif sumber daya alamnya selama mereka hidup dan berkembang biak.

Penelitian ini bertujuan mengkaji konsistensi kebijakan konservasi penyu diantara Peraturan Menteri Kehutanan No. 57/Menhut-II/2008 dengan penerapan- nya Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Penyu maupun koherensi kebijakan konservasi penyu diantara (SRAK) Penyu dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah kabupaten Kaimana berkaitan dengan konservasi penyu di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Sorong dan Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Pelaksanaan penelitian berlangsung pada bulan April 2014.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: kamera, recorder tape / voice recorder, dan perangkat komputer. Sedangkan bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: peta lokasi penelitian. Data dan informasi tentang kebijakan konservasi penyu tersebut diperoleh dari berbagai dokumen. Isi dari setiap dokumen tersebut merupakan bahan yang akan diolah dan dianalisis. Dokumen yang dikaji tersebut, yaitu: Peraturan Menteri Kehutanan No. 57/Menhut-II/2008, SRAK Penyu, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah kabupaten Kaimana.

Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh menggunakan wawancara mendalam dengan teknik snow ball, observasi lapangan dan investigasi (triangulasi). Sedangkan informan yang dipilih berdasarkan purposive sampling (Sugiyono 2012). Data sekunder berupa data dan informasi diperoleh dari stakeholder Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat dengan Pemerintah Kaimana dan DPRD Kaimana. Teknik trianggulasi berdasarkan pada data dan informasi terhadap metode, antar peneliti (dalam kelompok), sumber data, dan teori. Informan yang dipilih adalah pejabat struktural, pejabat fungsional polisi kehutanan, pejabat fungsional pengendali ekosistem hutan (PEH), pejabat fungsional penyuluh. Informan yang berpartisipasi sebanyak 31 peserta dari ke-2 stakeholder.

Analisa Data

Data dan informasi tersebut dianalisis menggunakan analisis isi (content analysis) guna mengukur konsistensi dan koherensi dari suatu kebijakan (Busch et al. 2005; Duraiappah & Bhardwaj 2007). Analisis isi tersebut dilakukan untuk menelaah konsistensi kebijakan konservasi penyu dan pelaksanaannya, dan menelaah koherensi antara kebijakan konservasi penyu dengan kebijakan lainnya.

Konsistensi kebijakan dianalisis untuk menelaah “gap” atau kesenjangan

(Antikarov 2011; Nathan 2005) di antara kesesuaian kebijakan / aturan (berkaitan dengan teori, legislasi dan legitimasi) dengan pelaksanaan kebijakannya. Konsistensi kebijakan yang dianalisis adalah bersifat deskriptif. Sedangkan analisis koherensi dilakukan berdasarkan telaah kebijakan di antara SRAK Penyu dengan RPJM kabupaten Kaimana. Penelitian ini menggunakan dokumen SRAK penyu yang belum ditetapkan (draf), disebabkan hal ini masih dalam pembahasan oleh Kementerian Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan stakeholder terkait. Analisis isi dalam menelaah koherensi kebijakan dibedakan menjadi 2 kategori, berupa: konseptual, dan relasional. Penelitian ini menelaah berdasarkan konseptualnya. Penelaahan konseptual ini adalah menghitung frekuensi kemunculan suatu konsep (frasa) pada kedua dokumen kebijakan tersebut. Tahapan-tahapan berikutnya menggunakan analisis ini dan statistik matematika sederhana (Busch et al. 2005; Duraiappah & Bhardwaj 2007). Konsep (frasa) yang dianalisis merupakan hal-hal yang berkaitan dengan tujuan, instrumen atau keputusan untuk mencapai tujuan (program dan kegiatan), beserta stakeholder (aktor) konservasi penyu terkait.

Jika frekuensi konsep sudah diperoleh, maka nilai-nilai itu dimasukkan ke dalam matriks koherensi kebijakan. Selanjutnya hal tersebut dilakukan normalisasi dengan menggunakan persamaan berikut:

� = � � ∗⁄ (Persamaan 1)

dimana:

Skor Nij = Nilai frekuensi setelah normalisasi

nij = Frekuensi munculnya konsep tertentu dalam kebijakan A pada kebijakan B

Setelah normalisasi, derajat koherensi (Dk) dari masing-masing pasangan kebijakan dihitung secara sederhana dengan persamaan matematis sebagai berikut:

Dk = ∑ ∑ − Skor Nij , dan ≤ Skor Nij ≤ (Persamaan 2)

Derajat koherensi (Dk) total dihitung berdasarkan penjumlahan nilai-nilai dari setiap lajur dan kolom ke dalam sel. Selanjutnya sebuah lajur dan kolom tambahan pada Policy Coherence Matrix (PCM) tersebut.

Penjumlahan nilai dalam lajur atau kolom baru tersebut menunjukkan derajat koherensi total frase dari setiap kebijakan yang dipertentangkan.

Hasil

Kesesuaian antara Kebijakan dengan Penerapannya

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategi dan Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 (Tabel 10) sebagai kebijakan konservasi penyu dalam pelaksanaan pengelolaan konservasi penyu di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu (SMPV), Kaimana, Papua Barat ditemukan tidak konsisten. Hal ini disebabkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Penyu yang telah disusun sejak Tahun 2010 sebagai peraturan turunannya belum ditetapkan. Di sisi lain aturan ini juga belum memadukan sistem yang berlaku berdasarkan kesepakatan / aturan lokal. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab keterancaman bagi kelestarian populasi penyu dan habitatnya yang masih terus terjadi, termasuk di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat. Peraturan ini perlu di- tetapkan sebagai tindakan strategi konservasi spesies nasional terhadap spesies ter- ancam punah dan mereka tersebut diberikan prioritas sangat tinggi untuk dilesta- rikan. Salah satu konservasi spesies nasional tersebut adalah konservasi penyu.

Pendanaan konservasi penyu di kawasan SMPV, Kaimana, Papua dinilai belum memadai dalam menunjang kegiatan-kegiatan monitoring populasi penyu yang telah dilakukan selama ini. Pengalokasian dana berasal baik dari pemerintah daerah kaimana maupun dari LSM Conservation International Indonesia Koridor Kaimana (CII-KK) yang dituangkan dalam bentuk Moratorium of Understanding (MOU). MOU tersebut dilakukan berkaitan dengan pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Kaimana (KKPD) dan didukung dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kaimana No. 4 Tahun 2014. Sedangkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat (BBKSDAPB), Bidang KSDA Wilayah II Manokwari, Seksi Konservasi Wilayah IV Kaimana merupakan pemerintah pusat sebagai perpanjangan kewenangan dari kementerian kehutanan c.q. Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Sekarang Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) sebagai instansi pengelola konservasi penyu, pendanaan yang dialokasi hanya untuk membiayai kegiatan patroli di kawasan Cagar Alam Pegunungan Kumawa (Kabupaten Kaimana) dan di kawasan Cagar Alam Pegunungan Fakfak (Kabupaten Fakfak). Kegiatan tersebut dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun dengan pendanaan setiap patroli sebesar Rp. 16.000.000.

Wawancara mendalam dengan instansi pengelola konservasi penyu tersebut, yaitu: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat (BBKSDAPB) ditemukan belum ada alokasi dana untuk konservasi penyu di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu. Hal ini disebabkan kawasan tersebut bukan merupakan kawasan konservasi prioritas (kawasan yang sudah ada penetapannya) bagi pengelolaan kawasan konservasi di Papua Barat, termasuk konservasi penyunya. Oleh karena itu “Sekretariat Bersama di antara BBKSDAPB, Dinas Kelautan dan Perikanan Kaimana, LSM CII-KK, dan Perwakilan pemilik hak ulayat dari suku Tabel 10. Kebijakan konservasi penyu dan penerapannya di kawasan Suaka

Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

Kebijakan Penerapan / Tindak Lanjut

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.57/ Menhut-II/2008) tentang Arahan Startegi dan Konservasi Species Nasional 2008-2018

1. Koordinasi antara stakeholder masih lemah

2. Instansi pengelola konservasi penyu kurang menanggapi laporan permasalahan yang terjadi

3. Pemerintah daerah belum menjadikan konservasi penyu sebagai acuan dalam merumuskan pembangunan daerah 4. Strategi dan rencana Aksi Konservasi penyu secara nasional

belum ditetapkan

5. Belum adanya fasilitas bagi pemerintah daerah untuk menyusun strategi konservasi penyu di daerah

6. Belum ada insentif bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan konservasi penyu di daerah

7. Kegiatan patroli bersifat tentatif dan berkelanjutan berkaitan dengan kawasan konservasi terdekat, yaitu: Cagar Alam Pegunungan Kumawa.

Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat II Fakfak No. 503/1204 Tahun 1991 dan Surat Keputusan Menteri

Kehutanan No. SK

783/Menhut-II/2014)

1. Kawasan konservasi penyu tersebut belum memiliki status penetapannya secara spasial

2. Rencana pengelolaan dan blok pengelolaan konservasi penyu berkaitan dengan status kawasan konservasi penyu belum dikaji dan ditetapkan.

3. Koordinasi antara stakeholder belum dilakukan untuk merespon dan mengantisipasi masalah-masalah yang muncul di kawasan konservasi dan sekitarnya

4. Pemerintah pusat memiliki keterbatasan pendanaan untuk pengelolaan kawasan konservasi penyu tersebut.

5. Penyu sebagai satwa migran ditemukan tidak hanya menempati kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu. Peraturan Daerah Kaimana

No. 4 Tahun 2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Kaimana

1. Perlindungan dalam zona inti, namun pemanfaatan di luar zona inti dapat dimanfaatkan. Perlindungan pada zona inti dilakukan terhadap biota laut termasuk kelompok ikan (penyu) di seluruh Kawasan Konservasi Perairan Kaimana 2. Kawasan perairan di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu

merupakan zona inti, khususnya sekitar pulau Venu

3. Pelaksanaan sasi / Ngamma diakomodir sebagai pemanfaatan tradisional, antara lain: teripang, kerang lola / susur bundar, dan kerang batu laga.

4. Pemetaan hak ulayat “petuanan” diusulkan untuk mengakomodir kepemilikan berdasarkan suku dan marga 5. Makam Tua atau keramat suku Koiway di Pulau Venu perlu

dipertimbangkan dalam pengelolaannya

6. Penggunaan jaring insang “Gillnets” dan kompresor tidak diperbolehkan dalam pemanfaatan ikan dan biota laut

Koiway” telah membantu pelaksanaan monitoring populasi penyu sejak Tahun

2009 sampai dengan Tahun 2014.

Surat keputusan Kepala Daerah Tingkat II (Bupati) Fakfak Tahun 1991 adalah sebagai kebijakan untuk peninjauan kawasan Cagar Alam Venu dan sekitarnya, dan Surat keputusan Menteri Kehutanan Tahun 2014 adalah sebagai kebijakan untuk penunjukan perlindungan atas kawasan hutan propinsi di Papua dan Papua Barat, kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu menjadi bagian dari perlindungan kawasan hutan tersebut. Proses penetapan kawasan SMPV sebagai kawasan konservasi penyu memiliki kelemahan. Kelemahan proses penetapannya, antara lain lemahnya koordinasi antara stakeholder dalam mengantisipasi pengelolaan konservasi penyu, belum memiliki Rencana Pengelolaan Konservasi Penyu, pemerintah pusat memiliki keterbatasan pendanaan.

Peraturan Daerah Kaimana No. 4 Tahun 2014 tersebut adalah sebagai kebi- jakan yang mengatur pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kaimana. Kawasan SMPV memiliki perairan yang lebih luas dari daratannya, sebagian besar berada pada KKPD tersebut. Daerah perairan tersebut dijadikan zona inti pada KKPD. Di sisi lain Pengelolaan sasi / Ngamma dalam pemanfaatan tradisional oleh masyarakat adat, berupa yaitu: teripang, lola / susur bundar, dan

kerang batu laga. Oleh karena itu pemetaan hak ulayat “petuanan” di kawasan SMPV perlu diatur berkaitan dengan penguasaan negara atas “kepemilikan” suku

dan marga setempat. Penyebaran suku-suku yang berada di kabupaten Kaimana merupakan satu kekerabatan budaya Kepala Burung Papua (Gambar 17). Kawasan

SMPV juga berada pada hak ulayat (petuanan) suku Koiway di daerah Buruway dengan masing-masing marganya (Gambar 18). “Kepemilikan” atas kawasan Gambar 17. Pembaruan persebaran suku di Kaimana oleh Kantor Pariwisata

dan Kebudayaan (2014) dalam “Atlas Sumber Daya Alam Pesisir Kaimana Tahun 2006

SMPV tersebut adalah suku Koiway dipimpin oleh marga Aituaraw sebagai perwakilan Raja Komisi, dan marga (Seninggrauw, Samairauw, dan Latuarauw).

Di sisi lain kawasan SMPV ditemukan adanya “Makam Tua” atau keramat bagi suku Koiway, sering penyu terperangkap pada ”Gillnets” dan penggunaan kompresor dalam pemanfaatan biota laut, dan juga lalu lintas kapal pelayaran.

Permasalahan-permasalahan dalam melaksanakan pengelolaan konservasi penyu ini adalah lemahnya koordinasi di antara organisasi / instansional yang ber-

kaitan dengan konservasi penyu. Kelemahan koordinasi sebelum Tahun 2009 telah menyebabkan terjadi penurunan populasi penyu. Pada Tahun 2011 keempat stakeholder menginisiasi membentuk “sekretariat bersama”, untuk kegiatan monitoring populasi penyu. Hasil kegiatan bersama menunjukan bahwa kecenderungan populasi penyu hijau bersarang meningkat (Gambar 8). Permasalahan lainnya dalam melaksanakan konservasi penyu di kawasan SMPV adalah konservasi penyu belum dijadikan sebagai prioritas baik pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tidak konsisten dalam pelaksanaan kebijakannya. Sebagian besar stakeholder belum menjadikan upaya konservasi penyu tersebut, sebagai prioritas mendukung pembangunan ekonomi.

Di sisi lain perairan sekitar kawasan SMPV ditemukan juga memiliki kandungan minyak dan gas yang potensial. Di satu sisi kawasan SMPV ini merupakan lalu lintas ikan paus bryde’s, dan juga ikan lumba-lumba. Selanjutnya lemahnya penegakan hukum berkaitan dengan pengambilan biota laut terutama teripang. Hal ini dilakukan baru sebatas menggunakan aturan adat (the role of use). Adapun sanksi hukumnya, yaitu: ganti rugi berupa uang atau mendirikan bangunan rumah berdasarkan nilai jual hasil tangkapan tersebut. Wawancara mendalam terhadap informan berkaitan dengan penjualan lola dan batu laga dilakukan secara tanpa perijinan (illegal). Pengangkutannya menggunakan kapal nelayan dengan tujuan akhir Surabaya. Di sisi lain adanya kegiatan perburuan secara illegal bagi Gambar 18. Pemetaan wilayah “Petuanan” dari suku Koiway berdasarkan

telur ikan terbang di sekitar perairan kawasan SMPV tersebut. Kolaborasi tersebut membutuhkan komitmen berdasarkan pembelajaran bersama menurut wewenang, peran dan fungsi, serta tanggung jawab setiap stakeholder (Tabel 11).

Penelitian ini mengungkap adanya ketidak-koherensi antra SRAK Penyu dengan RPJM kabupaten Kaimana sebagai penguasa wilayah setempat. Ketidak- koherensi terjadi disebabkan adanya dua pendekatan atau orientasi yang berbeda antara rencana konservasi penyu dengan rencana pembangunan daerah. Adapun

pembangunan daerah lebih menitikberatkan kepada “pertumbuhan ekonomi”,

dibandingkan pengelolaan konservasi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat berdasarkan berbagai pernyataan tentang rencana program dan kegiatan seperti peningkatan produksi kehutanan dan perkebunan, kelautan dan

Tabel 11. Analisis terhadap rights, responsibility, dan returns stakeholder

Stakeholder Rights Responsibility Returns

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat

Pemberian SIMAKSI

Menyampaikan tembusan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) kepada instansi terkait

Setiap orang yang beraktivitas di dalam kawasan dapat dimonitor dengan baik Dinas Kelautan Perikanan Kaimana Pemberian Ijin Usaha Perikanan Memberikan izin berdasarkan kuota yang dikeluarkan oleh instansi berwenang dan lokasinya di luar zona inti kawasan SMPV yang dilampiri dengan peta zonasi Menyampaikan tembusan SIUP kepada instansi terkait

Pemanfaatan potensi laut tidak memasuki zona inti dan tidak melampaui daya dukung kawasan

Perizinan yang dikeluarkan dapat diawasi bersama dengan pihak lain Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kaimana Pemberian Ijin Usaha Pariwisata

Memberikan ijin Usaha Pariwisata hanya pada zona wisata, dan religi terhadap makam keramat / tua suku

Koiway (“blok multi- fungsi”)

Kegiatan pariwisata tidak memasuki zona inti kawasan SMPV Memberikan PAD dari sektor pariwisata Dinas Perhubungan dan Pelayaran Nusantara Indonesia (PELNI) Pemberian ijin melewati kawasan SMPV

Pemberian ijin lalu lintas kapal pelayaran

Lalu lintas kapal pelayaran tidak membuang sampah di perairan laut sekitar kawasan SMPV Pemilik hak ulayat

“petuanan” suku Koiway (marga Samai, Laturaw, Seningraw, Aituaraw) Pemanfaatan livelihood, berupa: teripang, dan lola / susu bundar (Trochus niloticus) Memberikan ijin pengambilan biota laut, berupa: teripang, lola / susu bundar pada zona tradisional

(“blok multi-fungsi”) Melaporkan jumlah pengambilan biota tersebut dan lokasi penjualannya

Mengakomodir kegiatan sasi / nggama suku Koiway Pemenuhan

kebutuhan masyarakat adat / tradisional