• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Lu ban g P er sar angan Bulan

Penyu Sisik

Tahun 2009

Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

(pencurian telur dan tubuh penyu, dll), dan antropogenik (luasan bangunan).

“Sekretariat Bersama” terbentuk Tahun 2010 sebagai upaya menjalin kerjasama di antara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat, Pemerintah Daerah Kaimana, Conservation International Indonesia-Koridor Kaimana, dan masyarakat adat suku Koiway (petuanan). Kerjasama tersebut dilakukan sebagai upaya membangun pengelolaan konservasi penyu dan habitatnya beserta pembangunan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Kaimana.

Penelitian yang dilakukan pada bulan April dan bulan Oktober tahun 2014 bagi penyu hijau (Gambar 10) ditemukan bahwa penyu hijau bersarang pada kelima stasiun pengamatan. Pada bulan April dan bulan Oktober tahun 2014, penyu lekang (Gambar 11) juga ditemukan bahwa penyu lekang bersarang pada kelima stasiun pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas peneluran bagi penyu hijau dan penyu lekang dilakukan pada keseluruhan pesisir di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

Karakteristik Habitat Penyu

di Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat Sepanjang pesisir pantai di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu tumbuhan yang dijumpai mendominasi adalah tumbuhan cemara laut (Casuarina

Gambar 10. Jumlah persarangan penyu hijau pada bulan April dan bulan Oktober di kelima stasiun pada kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat. (BBKSDAPB 2014; CII-KK 2014; & data primer 2014) 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Venu Utara Venu Timur Venu Selatan Venu Barat Waranggera

Barat L ub a ng P er sa ra ng a n Stasiun Pengamatan Penyu Hijau April 2014 Oktober 2014

Gambar 11. Jumlah persarangan penyu lekang pada bulan April dan bulan Oktober di kelima stasiun pada kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat. (BBKSDAPB 2014; CII-KK 2014; & data primer 2014) 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Venu Utara Venu Timur Venu Selatan Venu Barat Waranggera

Barat L u b a n g Per sa ra n g a n Stasiun Pengamatan Penyu Lekang April 2014 Oktober 2014

equisetifolia) pada tingkat pohon dan papaceda (Scaveola frutences) pada tingkat perdu, katang-katangan (Ipomoea pes-caprae) pada tingkat lantai pantai permukaan pasir. Selain itu pulau Venu bagian tengah terdapat laguna / atol berair asin. Sedangkan Waranggera bagian Barat (pulau Adi Jaya) tidak ditemukan adanya laguna, namun terdekat dengan salah satu sungai kecil yang bermuara ke laut.

Pesisir di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat berdasarkan hasil análisis sedimen ditemukan bertekstur berpasir sebesar ≥99,80%. Tekstur pasir terbesarnya adalah bertekstur berpasir sedang (0.50-0,25mm) sebesar ≥40,60%.

Penyu Hijau di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat

Hasil analisis step-wise bagi peneluran penyu hijau pada bulan April Tahun 2014 dihasilkan koefisien determinan sebesar 61.87% (Tabel 1), ditemukan bahwa tutupan vegetasi berkisar antara 5.43-86.07%, luasan bangunan berkisar antara 0.00-14.51m2, suhu pasir kedalaman 10cm berkisar antara 27.83-29.01o dengan P- value=0.01 (sangat berpengaruh). Di satu sisi kelembaban udara pukul 19.00-21.00 berkisar antara 67.68-81.96%, suhu udara pukul 03.00−05.00 berkisar antara 27.12-28.32o, dan tekstur berpasir sangat halus berkisar antara 0.00-5.77% juga sebagai faktor utama yang mempengaruhi peneluran bagi penyu hijau.

Hasil analisis step-wise bagi peneluran penyu hijau pada bulan Oktober Tahun 2014 dihasilkan koefisien determinan sebesar 51.49% (Tabel 2), ditemu- kan bahwa tutupan vegetasi, luasan bangunan, dan pencahayaan pukul 23.00-01.00 sebagai faktor utama yang mempengaruhi peneluran bagi penyu hijau.

Hasil Principal Component Analysis (PCA) dengan selang kepercayaan 95,9% (Gambar 12) menunjukkan karakteristik habitat utama yang sangat potensial

Tabel 1. Faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan peneluran bagi penyu hijau pada bulan April 2014 berdasarkan analisis Step-wise.

Step 1 2 3 4 5 6 Constant 0,7218 0,3238 0,4151 9,9123 20,8020 32,0341 LBGN T-Value P-Value TTPV T-Value P-Value PU10 T-Value P-Value SU03 T-Value P-Value KU19 T-Value P-Value SP10 T-Value P-Value 0,0538 6,1800 0,0000 0,0489 6,0800 0,0000 0,0089 3,6000 0,0010 0,0482 6,2700 0,0000 0,0097 4,0700 0,0000 -0,0630 -2,5100 0,0150 0,0490 6,5900 0,0000 0,0097 4.1900 0,0000 -0,0690 -2,8000 0,0070 -0,3400 -2,2600 0,0280 0,0462 6,2900 0,0000 0,0113 4,7700 0,0000 -0,0740 -3,1000 0,0030 -0,5900 -3,1300 0,0030 -0,0530 -2,1000 0,0400 0,0467 6,5800 0,0000 0,0123 5,2700 0,0000 -0,0850 -3,6000 0,0010 -0,5100 -2,7400 0,0080 -0,0780 -2,8900 0,0060 -0,4100 -2,2000 0,0320 S 0,83 0,76 0,72 0,70 0,68 0,66 R-Sq 39,69 50,87 55,83 59,58 62,63 65,75 R-Sq(adj) 38,65 49,15 53,46 56,64 59,17 61,87 PRESS 103,07 289,65 157,41 123,83 130,01 154,59 R-Sq(pred) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Stepwise Regression: SRPH Versus LITP, LSTP, ...

Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is SRPH on 42 predictors, with N=60

mempengaruhi keberadaan penyu hijau bersarang pada bulan April Tahun 2014 di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat, yaitu: kelembaban udara pada pukul 23.00-01.00 (81.02±11.32% (�̅±Stdev)), dan tekstur berpasir halus pada kedalaman 30cm (14.04±8.23cm). Kedua karakteristik tersebut lebih potensial dibandingkan kelima karakteristik potensial lainnya, yaitu: lebar intertidal pantai (9.22±1.59m), kemiringan pantai (18.41±2.68o), ketinggian pantai (4.69±0.69m), luasan

bangunan (2.56± 13.13m2), dan tekstur berpasir halus pada kedalaman 10cm (29.20 ±29.33cm).

Tabel 2. Faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan peneluran bagi penyu hijau pada bulan Oktober 2014 berdasarkan analisis Step-wise.

Step 1 2 3 Constant 0,1595 0,1223 -0,0141 PU20 T-Value P-Value CH23 T-Value P-Value TTPV T-Value P-Value 0,0910 6,2300 0,0000 0,0830 6,1000 0,0000 0,8900 3,3900 0,0010 0,0650 4,1300 0,0000 0,7800 2,9900 0,0040 0,0043 2,1500 0,0360 S 0,54 0,50 0,49 R-Sq 40,11 50,15 53,96 R-Sq(adj) 39,08 48,40 51,49 PRESS 19,08 16,05 15,31 R-Sq(pred) 33,24 43,84 46,43 Stepwise Regression: SRPH Versus LITP, LSTP, ...

Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is SRPH on 42 predictors, with N=60

Keterangan : TGGP = Tinggi daerah pantai; LBGN = Luasan bangunan; KU23 = Kelembaban udarapada pukul23.00-01.00; PH10 = Tekstur pasir halus pada kedalaman 10cm; PH30 = Tekstur pasir halus pada kedalaman 30cm; MRGP = Kemiringan pantai; LITP = Lebar intertidal pantai; VT = Venu bagian Timur; VB = Venu bagian Barat; VS = Venu bagian Barat;WB = Waranggera bagian Barat; AV = Ada vegetasi; FV = tanpa vegetasi; +01, +02&+03 = Lubang bertelur; (04) = bulan April 2014, dan *1, *2& *3 = kategori/kelompok

Gambar 12. Penyu hijau bersarang terhadap karakteristik habitat pada bulan April Tahun 2014 di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

Rata-rata suhu pasir yang optimal bagi peneluran penyu hijau di pesisir pantai kawasan SMPV, yaitu: suhu terendah pada kedalaman 30cm dari permukaan pasir sebesar 26.61o dan suhu tertinggi pada kedalaman 5cm dari permukaan pasir sebesar 29.71o. Penyu hijau dalam meletakkan telurnya ditemukan dibawah vegetasi seba-

nyak 50% dari batas vegetasi berjarak rata-rata 3,48m±3,48m, daerah supratidal termasuk batas splash sebanyak 35% dari batas pasang tertinggi berjarak rata-rata 3,31m±1,73m, dan daerah intertidal 15% dari batas pasang tertinggi berjarak rata- rata 0,82m±0,40m. Daerah splash dari batas pasang tertinggi berjarak rata-rata 1,68m±1,04m. Jadi rata-rata penyu hijau bersarang pada daerah vegetasi dari batas vegetasi ke daerah berhutan berjarak 6.96m, daerah supratidal dari batas pasang ter- tinggi ke batas vegetasi berjarak 5.04m, daerah intertidal dari batas pasang tertinggi berjarak 1.22m, dan daerah splash dari batas pasang tertinggi berjarak 2.72m.

Pemantauan penyu berdasarkan penandaan jejak dan adanya telur dalam sarang, dan temuan individu penyu. Hal ini dilakukan sebagai bukti penyu hijau bersarang pada bulan April tahun 2014 ditemukan sebanyak ≈ 2 sarang (0,23±1,98).

Pada jalur 2 di Waranggera bagian Barat tanpa vegetasi dan pada jalur 2 di Venu bagian Selatan tanpa vegetasi merupakan sub plot pengamatan yang lebih potensial bagi penyu hijau melakukan aktivitas peneluran. Keempat sub plot pengamatan yang potensial lainnya, yaitu: pada jalur 3 di Venu bagian Selatan tanpa vegetasi, pada jalur 2 dan 3 di Venu bagian Barat tanpa vegetasi, dan pada jalur 1

Keterangan: SU11 = Suhu udara pada pukul 11.00-13.00; Pencahayaan pada pukul 11.00- 13.00, dan pukul 23.00-01.00; PH20 = Tekstur pasir halus pada kedalaman 20cm; LBGN = Luasan bangunan; PR10 = Tekstur pasir sangat kasar pada kedalaman 10cm, dan 30cm; SP15 = Suhu pasir pada kedalaman 15cm; LITP = Lebar intertidal pantai; VT = Venu bagian Timur; VB = Venu bagian Barat; VS = Venu bagian Barat; WB = Waranggera bagian Barat; AV = Ada vegetasi; FV = tanpa vegetasi; 01, 02, 03, dan 04 = jalur pengamatan; 01, 02, 03, dan 04 = jalur pengamatan; +0, +1, & +2 = Jumlah penyu bersarang; (10) = bulan Oktober 2014, dan *1, *2 & *3 = kategori/kelompok

Gambar 13. Penyu hijau bersarang terhadap karakteristik habitat pada bulan Oktober Tahun 2014 di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

di Venu bagian Timur yang bervegetasi juga adalah sebagai tempat peneluran yang potensial bagi penyu hijau.

Hasil Principal Component Analysis (PCA) dengan selang kepercayaan 95% (Gambar 13) menunjukkan karakteristik habitat utama yang sangat potensial mempengaruhi keberadaan penyu hijau bersarang pada bulan Oktober Tahun 2014 di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat, yaitu: Pencahayaan pada pukul 11.00- 13.00 dan pada pukul 23.00-01.00, dan suhu udara pada pukul 11.00-13.00. Ketiga karakteristik tersebut lebih potensial dibandingkan keenam karakteristik potensial lainnya, yaitu: lebar intertidal pantai, suhu pasir sarang pada kedalaman 15cm, luasan bangunan, tekstur berpasir sangat kasar pada kedalaman 10cm dan 30cm, dan tekstur berpasir halus pada kedalaman 20cm.

Pada jalur 3 di Waranggera bagian Barat tanpa vegetasi, pada jalur 1 di Venu bagian Timur yang bervegetasi dan pada jalur 1 di Venu bagian Selatan yang bervegetasi merupakan sub plot pengamatan yang lebih potensial bagi penyu hijau pada bulan Oktober 2014 melakukan aktivitas peneluran. Namun keenam sub plot pengamatan yang potensial lainnya, yaitu: pada jalur 6 di Waranggera Barat tanpa vegetasi, pada jalur 2 dan jalur 4 di Venu bagian Barat tanpa vegetasi, pada jalur 1 di Venu bagian Timur yang bervegetasi, pada jalur 2 dan jalur 3 di Venu bagian Selatan tanpa vegetasi, dan pada jalur 3 di Venu bagian Timur yang bervegetasi juga adalah sebagai tempat yang potensial peneluran bagi penyu hijau.

Penyu Lekang/Abu-abu di Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat

Hasil analisis step-wise bagi peneluran penyu lekang pada bulan April Tahun 2014 dihasilkan koefisien determinan sebesar 61.49% (Tabel 3), ditemukan bahwa jarak splash dari pasang tertinggi, tutupan vegetasi, dan luasan bangunan sebagai faktor utama yang mempengaruhi peneluran bagi penyu lekang. Hasil analisis step-

wise bagi peneluran penyu lekang pada bulan Oktober Tahun 2014 dihasilkan koefisien determinan sebesar 50.59% (Tabel 4), ditemukan bahwa tutupan vegetasi, tekstur berpasir sangat kasar pada kedalaman 30cm, luasan bangunan, dan Tabel 3. Faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan peneluran bagi penyu

lekang pada bulan April 2014 berdasarkan analisis Step-wise.

Step 1 2 3 Constant -0,3843 -0,4159 -0,3378 JSPT T-Value P-Value TTPV T-Value P-Value LBGN T-Value P-Value 0,1760 7,9400 0,0000 0,1110 3,7300 0,0000 0,0099 3,0600 0,0030 0,0850 2,8700 0,0060 0,0110 3,5500 0,0010 0,0196 2,6600 0,0100 S 0,75 0,70 0,66 R-Sq 52,07 58,85 63,45 R-Sq(adj) 51,24 57,40 61,49 PRESS 35,36 31,77 30,10 R-Sq(pred) 47,42 52,75 55,24 Stepwise Regression: SRPH Versus LITP, LSTP, ...

Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is SRPH on 42 predictors, with N=60

pencahayaan pukul 23.00-01.00 sebagai faktor utama yang mempengaruhi peneluran bagi penyu lekang.

Hasil Principal Component Analysis (PCA) (Gambar 14) menunjukkan karakteristik habitat utama yang sangat potensial mempengaruhi keberadaan

Tabel 4. Faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan peneluran bagi penyu lekang pada bulan Oktober 2014 berdasarkan analisis Step-wise.

Step 1 2 3 4 Constant -0,0938 -0,2063 -0,2273 -0,2113 TTPV T-Value P-Value PR30 T-Value P-Value LBGN T-Value P-Value CH23 T-Value P-Value 0,0122 6,0600 0,0000 0,0092 4,0500 0,0000 0,0217 2,4600 0,0170 0,0077 3,4200 0,0010 0,0272 3,1400 0,0030 0,0157 2,5900 0,0120 0,0069 3,1200 0,0030 0,0253 2,9900 0,0040 0,0164 2,7700 0,0080 0,6200 2,1100 0,0300 S 0,61 0,58 0,56 0,54 R-Sq 38,78 44,67 50,58 54,29 R-Sq(adj) 37,72 42,73 47,93 50,96 PRESS 22,93 22,13 41,25 46.00 R-Sq(pred) 34,35 36,65 0,00 0,00 Stepwise Regression: SRPH Versus LITP, LSTP, ...

Alpha-to-Enter: 0.05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is SRPH on 42 predictors, with N=60

Keterangan: JSBS = Jarak splash dari pasang tertinggi; MRGP = Kemiringan pantai; KU03 = Kelembaban udara pada pukul 03.00-05.00; LBGN = Luasan bangunan; PU10 = Tekstur pasir sangat halus pada kedalaman 10cm; LITP = Lebar intertidal pantai; VT = Venu bagian Timur; VB = Venu bagian Barat; VS = Venu bagian Barat; WB = Waranggera bagian Barat; AV = Ada vegetasi; FV = tanpa vegetasi; 01, dan 02 = jalur pengamatan; +1, & +4 = Jumlah penyu bersarang; (04) = bulan April 2014, dan *1, & *2 = kategori/kelompok

Gambar 14. Penyu lekang bersarang terhadap karakteristik habitat pada bulan April Tahun 2014 di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

penyu lekang bersarang pada bulan April Tahun 2014 di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat, yaitu: lebar daerah pantai, dan jarak splash dari pasang tertinggi. Kedua karakteristik tersebut lebih potensial dibandingkan kelima karakteristik potensial lainnya, yaitu: lebar intertidal pantai, kemiringan pantai, luasan bangunan, kelembaban udara pada pukul 03.00-05.00, dan tekstur berpasir sangat halus pada kedalaman 10cm.

Hasil analisis step-wise bagi peneluran penyu lekang pada bulan Oktober Tahun 2014 dihasilkan koefisien determinan sebesar 50.59% (Tabel 4), ditemu- kan bahwa tutupan vegetasi, tekstur berpasir sangat kasar pada kedalaman 30cm, luasan bangunan, dan pencahayaan pukul 23.00-01.00 sebagai faktor utama yang mempengaruhi peneluran bagi penyu lekang.

Pada jalur 2 di Venu bagian Barat yang bervegetasi dan pada jalur 1 di Venu bagian Timur yang bervegetasi merupakan sub plot pengamatan yang lebih potensial bagi penyu lekang melakukan aktivitas peneluran. Namun kedua sub plot pengamatan yang potensial lainnya, yaitu: pada jalur 2 di Venu bagian Timur yang bervegetasi, dan pada jalur 2 di Venu bagian Utara yang bervegetasi juga adalah sebagai tempat yang potensial peneluran bagi penyu hijau.

Hasil Principal Component Analysis (PCA) (Gambar 15) menunjukkan karakteristik habitat utama yang sangat potensial mempengaruhi keberadaan penyu lekang bersarang pada bulan Oktober Tahun 2014 di kawasan SMPV,

Keterangan: TGGP = Tinggi daerah pantai; PH10 = Tekstur pasir halus pada kedalaman 30cm; PH30 = Tekstur pasir halus pada kedalaman 30cm; PU10 = Tekstur pasir sangat halus pada kedalaman 10cm; DU10 = Tekstur debu pada kedalaman 10cm; SU11 = suhu udara pada pukul 11.00-13.00; LSTP = Lebar supratidal pantai; SP20 = Suhu pasir pada kedalaman 20cm; VT = Venu bagian Timur; VB = Venu bagian Barat; VS = Venu bagian Barat; WB = Waranggera bagian Barat; AV = Ada vegetasi; FV = tanpa vegetasi; 01, 02, 04, dan 06 = jalur pengamatan; +0, +1, +2, & +3 = Jumlah penyu bersarang; (10) = bulan Oktober 2014, dan *1, *2, *3, & *4 = kategori/kelompok

Gambar 15. Penyu lekang bersarang terhadap karakteristik habitat pada bulan April Tahun 2014 di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

Kaimana, Papua Barat, yaitu: tekstur berpasir halus pada kedalaman 10cm dan 30cm, Ketinggian pantai, dan tekstur berdebu pada kedalaman 10cm. Keempat karakteristik tersebut lebih potensial dibandingkan keempat karakteristik potensial lainnya, yaitu: suhu pasir sarang pada kedalaman 20cm, suhu udara pada pukul 11.00-13.00, lebar supratidal pantai, dan tekstur berpasir sangat halus pada kedalaman 10cm.

Pada jalur 2 di Waranggera bagian Barat tanpa vegetasi, pada jalur 4 di Waranggera bagian Barat yang bervegetasi, dan pada jalur 3 di Venu bagian Timur tanpa vegetasi merupakan sub plot pengamatan yang lebih potensial bagi penyu lekang pada bulan Oktober 2014 melakukan aktivitas peneluran. Ketiga sub plot pengamatan yang potensial lainnya, yaitu: pada jalur 4 di Waranggera Barat tanpa vegetasi, pada jalur 4 di Venu bagian Barat yang bervegetasi, dan pada jalur 1 di Venu bagian Selatan yang bervegetasi juga adalah sebagai tempat yang potensial peneluran bagi penyu hijau.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik penyu lekang maupun penyu hijau ditemukan lebih banyak pada daerah bervegetasi. Penyu lekang dan penyu hijau tidak ditemukan melakukan aktivitas peneluran pada daerah intertidal pantai. Aktivitas peneluran di daerah splash hanya dilakukan oleh penyu hijau pada bulan April pada Tahun 2014. Jenis-jenis penyu bersarang pada daerah bervegetasi dan tak bervegetasi (daerah supratidal, yaitu: daerah splash, dan daerah bukan splash; dan daerah intertidal) di bulan April dan bulan Oktober 2014 (Tabel 5). Secara umum, penyu melakukan aktivitas bersarang di pantai menjelang malam dan pagi. Namun beberapa penyu ditemukan terjebak bersarang pada waktu siang hari.

Masyarakat lokal dan tradisional membutuhkan protein dari telur penyu dan tubuhnya, tidak hanya SASI / Nggama berupa: teripang, kerang susur bundar, dan kerang batu laga. Selama ini, penerapan SASI / Nggama telah membantu perkembangan penyu di Pulau Venu. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan Nggama mereka turut mencegah pencurian biota laut lain yang dilakukan nelayan pendatang (bugis, buton, dan madura) serta pelaut dari kapal tanker ikan yang berlabuh menunggu muatan ikan. Pengambilan telur yang dilakukan oleh masyarakat lokal / tradisional, biasanya dalam pengambilannya pada setiap lubang sarang akan ditinggalkan 25 telur dari lebih 100 telur dalam setiap sarang (perlu pengkajian). Penyu yang terbanyak baik jenis penyu maupun jumlah persarangan ditemukan di Pulau Venu dan Pulau Adi Jaya (Waranggera bagian Barat), dibandingkan tempat lain di wilayah pesisir dan perairan Kaimana.

Tabel 5. Jenis-jenis penyu bersarang pada daerah bervegetasi dan tak bervegetasi (daerah supratidal, yaitu: daerah Splash, dan daerah bukan Splash; dan daerah intertidal) di bulan April dan bulan Oktober 2014.

Pembahasan

Kondisi dan potensi perairan Kaimana dan kawasan SMPV menunjukkan bahwa pada pesisir dan perairannya memiliki keanekaragaman tinggi, terutama kawasan SMPV dan daerah Triton. Kawasan SMPV tidak hanya sebagai habitat bagi penyu lekang dan penyu hijau. Kawasan SMPV merupakan habitat bagi satwa liar lainnya, antara lain: habitat penting bagi ketersediaan ikan di perairan Kaimana, tempat bertelurnya burung Maleo, tempat persinggahan burung Pelican (Pelecanus corspicililatus), tempat singgahan kelelawar (Kalong), dan hidupan liar lainnya baik terestrial maupun akuatik. Biomassa ikan-ikan target komersil di perairan kawasan SMPV rata-rata sebesar 319 ton/km2, sedangkan rata-rata kekayaan wilayah perairan Kaimana sebesar 228 ton/km2 (Pada dan Andi 2010; Allen dan

Erdman 2009, 2012; Allen 2006). Jenis ikan yang paling dominan adalah ikan pinang-pinang (Pterocaesio tessellata). Di satu sisi kawasan SMPV memiliki ekosistem pantai, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang, dan juga keindahan panorama alamnya (baik darat maupun perairannya). Di sisi lain kawasan SMPV terdapat juga cagar budaya makam tua / keramat dari suku Koiway sebagai tujuan wisata, dan juga kegiatan ekstraksi yang berkembang sebelum penunjukan SMPV yaitu: local livelihood (sasi / gam / gamma suku Koiway) berkaitan dengan teri- pang, kerang lola / susur bundar (Trochus nilotichus), dan kerang batu laga (Turbo marmoratus) berdasarkan musim dan kebutuhan pemilik hak ulayat (“Petuanan”).

Penelitian ini juga membuktikan bahwa penyu sisik masih dapat dijumpai di kawasan SMPV. Anakan Penyu sisik (tukik) yang diambil dan dibesarkan oleh masyarakat kampung Adi Jaya pada Tahun 2008. Hal ini merupakan bukti kawasan SMPV sebagai tempat habitat penyu sisik. Kawasan SMPV merupakan habitat peneluran penyu sisik dan penyu hijau beserta perkembang-biakannya (Wahjono et al. 1992). Penyu sisik mengalami penurunan, masyarakat setempat menginformasi- kan diduga disebabkan hilangnya jenis tumbuhan waru laut (Hibiscus tiliaceus) dan maraknya perburuan jenis tersebut. Perburuan jenis ini dilakukan untuk mem- peroleh daging sebagai sumber protein dan juga bagian tubuhnya memiliki corak yang indah, frekuensi pengambilannya sangat marak pada saat sebelum

dibentuknya “sekretariat bersama”. Hal ini dibuktikan sering ditemukan adanya

bagian tubuh penyu yang agak rusak (motif kurang baik tertinggal di pasir atau bekas tutupan tersebut. Sekarang ada hal ini dapat ditemukan, namun frekuensinya sudah mulai berkurang. Dalam pelaksanan penelitian tidak ditemukan, setelah itu tahun 2015 ditemukan ada tubuh penyu sisik sedang dengan kerapas rusak. Biasanya untuk mendapatkan corak indah dari bagian penyu sisik tersebut, dagingnya dikeluarkan dan kerapasnya tersebut dikuburkan di dalam pasir dekat pantai sampai beberapa lamanya.

Kawasan SMPV berdasarkan analisis sedimen memiliki tekstur berpasir sebesar ≥99%. Pesisir pantai sebagai tempat peneluran bagi penyu memiliki tekstur berpasir sebesar ≥85% (Hanafiah 2012). Penyu bersarang di kawasan SMPV ditemukan lebih banyak pada daerah bertekstur berpasir sedang. Hal ini diduga memiliki peran mempengaruhi kestabilan baik suhu maupun kelembaban pasir dalam keberhasilan penetasan telur penyu. Tekstur berpasir sedang diduga mampu meningkatkan kemampuan menahan air dengan berkurangnya pori makro. Berkurangnya pori makro mampu meningkatkan kestabilan kadar air pada kapasitas

lapang (Harjadi et al. 2014). Hal ini menunjukkan kawasan SMPV menjadi salah satu habitat peneluran bagi penyu sisik, penyu hijau, dan penyu lekang.

Pengamatan di daerah supratidal dilakukan tanpa perlakuan sebagai tempat habitat peneluran bagi penyu (Putra et al, 2014), dan juga gundukan pasir sampai garis vegetasi dan pantai serta daerah intertidal (Hart et al. 2014, Valero-Acevedo 2009). Hasil penelitian tersebut di atas dilakukan tanpa membedakan daerah splash (daerah gundukan batas pasang air laut tertinggi sampai daerah pasir yang dibasahi percikan air laut). Sedangkan penelitian ini membedakan perlakuan di daerah tak bervegetasi (daerah supratidal menjadi dua bagian, yaitu di daerah splash dan di daerah supratidal lainnya), dan daerah bervegetasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa penyu meletakkan telurnya di daerah splash.

Suhu sarang berpasir memiliki peran penting terhadap kebugaran tukik, baik kecepatan penetasan telur maupun kecepatan bentuk morfologi untuk berenang, sebagai kemampuan tukik (anak penyu) tersebut menghadapi predator (26o-30oC).

Tukik-tukik yangditemukan pada kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat diduga memiliki peluang 50% berjenis kelamin baik jantan maupun betina. Batasan kisaran suhu sarang berpasir diduga berjenis kelamin baik jantan maupun betina adalah 29,0o-29,5oC (Hawkes et al. 2009). Selain itu, suhu sarang berpasir dapat

mempengaruhi kelamin penyu tersebut, yaitu semua tukik berjenis kelamin jantan bila suhu dalam pasir sarang sebesar ≤26oC, dan semua tukik berjenis betina bila

suhu dalam pasir sarang sebesar ≥30oC (Booth et al. 2004).

Penyu ditemukan melakukan aktivitas peneluran di daerah tanpa vegetasi, hanya terdapat pohon tumbang (kayu besar). Diduga pemilihan penyu dekat pohon tumbang disebabkan kestabilan suhu dan kekokohan dalam pembuatan sarang. Kestabilan suhu pasir bersarang dan tekstur pasir (sedang sampai halus) mempengaruhi keberhasilan peneluran dengan prosentase yang tinggi (Rofiah et al. 2012). Kestabilan suhu sarang berpasir diduga dipengaruhi perakaran cemara laut. Di sisi lain, perakaran tumbuhan cemara udang mampu memberikan kekokohan bagi sarang penyu. Selain itu bayangan dari tumbuhan cemara laut (tingkat pohon) dan papaceda (tingkat perdu), dan juga laguna / atol berair payau pada kawasan SMPV. Suhu pasir juga pada setiap kedalamannya dipengaruhi faktor rambatan dari sinar matahari, tekstur sedimen, angin, hujan, aktivitas biologi di dalam sarang dan perubahan lingkungan sekitarnya. Suhu pasir dipengaruhi perakaran tumbuhan dan ketinggian vegetasi sebagai bayangan serta rambatan dari sinar matahari, tekstur sedimen, angin, hujan, aktivitas biologi di dalam sarang dan perubahan lingkungan sekitarnya (Nugroho & Sumardi 2010, Harjadi et al. 2014).

Penyu melakukan aktivitas bersarang di pantai pada umumnya saat men- jelang malam dan pagi. Beberapa penyu ditemukan terjebak bersarang pada waktu siang hari. Hal ini disebabkan cuaca yang ekstrim (curah hujan tinggi dan men- dung), dan pengaruh pasang air laut yang tinggi dengan kencangnya kecepatan angin. Hal ini juga disebabkan pengaruh intensitas cahaya sinar matahari pada siang hari yang menembus dibawah pohon cemara laut, dan perdu papaceda diduga