• Tidak ada hasil yang ditemukan

Management of the Turtle Conservation in Kaimana, West Papua )

11 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian ini telah menjawab hipotesis bahwa pembangunan model pengelolaan adaptif konservasi penyu dengan metode kaji tindak yang diindikasikan mampu meminimalisir ketidakpastian dan kompleksitas kebijakan pengelolaan di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, antara lain:

1. Keberadaan “Sekretariat Bersama” di kawasan SMPV dalam kegiatan monitoring populasi penyu telah memberikan gambaran adanya keakuratan data populasi penyu yang menjadi lebih baik (kecenderungan meningkat). Potensi dan karakteristik habitat penyu di kawasan SMPV, yaitu:

a) Potensi pendaratan dan peneluran penyu pada tahun 2009 sampai dengan 2014 ditemukan tiga jenis penyu, yaitu: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang / abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Selain itu, berdasarkan literatur pada perairan Kaimana dijumpai penyu belimbing (dermochelys coriacea). Sedangkan potensi lainnya, antara lain a) kegiatan SASI Nggama suku Koiway, yaitu: jenis- jenis teripang, Trochus niloticus, dan Turbo marmoratus; b) kebutuhan protein dari telur penyu dan tubuhnya; c) jenis kalong; d) jenis burung elang Irian; e) jenis burung maleo; f) laguna berair asin; g) sunrise dan sunset; jenis-jenis ikan dan biota laut lainnya. Selain itu, kelestarian penyu ini diduga disebabkan kualitas perairan di sekitar kawasan dapat dikelola dari pencemaran air laut berupa pembuangan bangkai ikan hiu dan pari di pesisir perairan pantai, pengelolaan dan pembersihan sampah plastik yang berserakan, dan kehadiran manusia (nelayan illegal) yang dapat diawasi dalam pemantauannya. Selanjutnya, penanaman jenis tumbuhan waru (Hibiscus tiliensis) dalam kegiatan pembinaan habitat dibutuhkan sebagai upaya meningkatkan kehadiran penyu sisik tersebut dan juga daerah potensial bagi penyu bertelur. Jadi, “Sekretariat Bersama” sebagai upaya membantu pelestarian penyu dan pemberdayaan masyarakat lokal, kecukupan livelihood masyarakat dan pengelolaan SASI / Nggama memerlukan tataran kebijakan dalam kesepakatan bersama, Rencana pengelolaan berupa blok pengelolaan (tempat / lokasi) dan pola pengaturan (waktu berkunjung dan pemanfaatan sumber daya alamnya, dan jumlah pengambilan SASI / Nggama berdasarkan kuota pemanenannya). Di sisi lain, substitusi barang pengganti dibutuhkan berupa kambing, ayam, itik atau bebek, dan keramba ikan.

b) Karaktristik habitat yang mempengaruhi keberadaan jenis-jenis penyu di kawasan SMPV, antara lain: a) substrat didominasi tekstur pasir sebesar 99%, dan didominasi bertekstur pasir sedang (0,50-0,25mm) sebesar

≥40,60% serta bertekstur pasir halus pada kedalaman 10cm (0-58,53%); b) batas daerah splash dari batas pasang air tertinggi berjarak antara 0,64- 2,72m. Di sisi lain jarak sarang dipengaruhi daerah pantai (daerah supratidal dan daerah intertidal) rerata sejauh12,37-14,81m; c) tutupan vegetasi berkisar antara 5,43-86,07%; d) suhu pasir pada kedalaman 10cm berkisar antara 27,83-29,01o; e) suhu pasir terendah pada kedalaman pada

30cm dari permukaan pasir sebesar 26,61o dan suhu pasir terendah pada

kedalaman pada 5cm dari permukaan pasir sebesar 29,71o; f) kelembaban udara pukul 19.00-21.00 berkisar antara 67,68-81,96%, dan kelembaban udara pukul 19.00-21.00 berkisar antara 69,70-82,34%; g) suhu udara pukul 03.00-05.00 berkisar antara 27,12-28,32o; h) pencahayaan pukul

11.00-13.00 berkisar antara 0,00-716,57o, dan pencahayaan pukul 23.00- 01.00 berkisar antara 0,00-0,32o; i) tutupan vegetasi berkisar antara 05,43- 86,07%; j) intertidal pantai berkisar antara 7,63-10,81m; k) kemiringan pantai berkisar antara 15,73-21,09o; l) ketinggian pantai berkisar antara 4,00-5,38m; m) luasan bangunan yang diperkenankan pada daerah stasiun pengamatan berkisar antara 0,00-15,69m2.

2. Efektifitas pengelolaan konservasi penyu di kawasan SMPV yang dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat sebagai institusional tunggal (single institution) belum optimal dan efektif, berdasarkan metode kaji tindak. Hal ini memiliki permasalahan dan tantangannya, antara lain: ketidakjelasan status hukum Kawasan SMPV, tumpang tindih

kewenangan pengelolaan, pengelolaan adaptif dibutuhkan dalam

pengelolaannya, tujuan dan situasi pengelolaan adaptif mampu menjamin penguatan capacity building institusional pengelolanya dan kepastian hukum terhadap pengelolaan konservasi penyu di kawasan SMPV dengan jaringan kawasan konservasi lainnya serta Institusional pengelola konservasi penyu di masa depan membutuhkan “Badan Pengelolamulti-stakeholder” yang mampu mengakomodir beragam kepentingan diantara stakeholder dan “Blok Multi- Fungsi” (blok rehabilitasi, blok religi / budaya dan sejarah, dan blok khusus). 3. Konsistensi dan koherensi kebijakan pengelolaan konservasi penyu di kawasan

SMPV tidak konsisten dan tidak koheren. Hal ini disebabkan umpan balik tidak pernah dijadikan dasar pembuatan kebijakan dan keputusan konservasi penyu di kawasan SMPV.

4. Integrasi sektoral (berbagi keuntungan, berbagi peran, berbagi manfaat, dll) diantara stakeholder utama dibutuhkan dalam pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV. Pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV harus melibatkan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat melalui Seksi Konservasi Wilayah IV Kaimana, Dinas Kelautan dan Perikanan Kaimana, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lingkungan Hidup Kaimana, Conservation International Indonesia Koridor Kaimana serta masyarakat tradisional dan masyarakat lokal lainnya. Peran dan kapasitas bagi masyarakat tradisional perlu ditingkatkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat termasuk masyarakat lokal lainnya. Selain itu peran media sosial dibutuhkan bagi beragam stakeholder dalam mengintegrasikan sektoral sebagai upaya pembangunan pengelolaan adaptif konservasi penyu. 5. Pembangunan model pengelolaan di kawasan SMPV adalah pengelolaan

adaptif konservasi penyu berupa pengelolaan konservasi berbasis penyu. Konservasi penyu di kawasan SMPV dilakukan untuk kelestarian kawasannya dan juga spesies target. Spesies target ini merupakan spesies payung (Umbrella species) yang memiliki peran penting baik di daerah terestrial maupun daerah perairan laut dalam kelestariannya. Pengelolaan adaptif konservasi penyu tersebut membutuhkan persyaratan berkaitan dengan waktu pengelolaan, jumlah pengambilan, dan lokasi pemanfaatannya. Selain itu,

diagram causal loops berkaitan dengan kepastian hukum, kualitas dan kuantitas habitat peneluran penyu, pendapatan masyarakat, partisipasi sebagai wujud pendapatan dari sektor non kehutanan, pendapatan konsensi pariwisata dan local livelihood, dan pendapatan pajak. Sinkronisasi dan harmonisasi komunikasi dibutuhkan di antara kepastian hukum, jaringan kerja (network- ing), dan insentif. institusi setingkat Unit Teknis Daerah (UTD) atau Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) di Kabupaten atau di Propinsi dibutuhkan sebagai institusi Konservasi dan Lingkungan Hidup. Jadi, Kawasan SMPV untuk keefektifan segala kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat tradisional serta masyarakat lokal dibutuhkan perubahan

menjadi “Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut” berbasis penyu sebagai

pendekatan kebijakan dan rentang kendali pengelolaannya.

Saran

Pembangunan model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV harus memperhatikan, antara lain: 1) pengembangan sosio-ekologi, dan sosio-ekonomi dan budaya; 2) “Badan Pengelola multi-stakeholders atau UPTD atau setingkat SKPD” yang fleksibel diwujudkan berdasarkan kemampuan lokal dari setiap Stakeholder; 3) menjalin kerjasama dalam berbagai tingkatan baik lokal, nasional, dan internasional yang terintegrasi antar satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya; 4) menjalin kerjasama pengelolaan berbasis masya- rakat dalam kemitraan guna mewujudkan pengelolaan adaptif konservasi berbasis penyu dalam kegiatan pembelajaran bersama yang dapat dilaksanakan secara desentralisasi (sebagai upaya berbagi tugas, berbagi peran, berbagi manfaat, dll).