• Tidak ada hasil yang ditemukan

Management of the Turtle Conservation in Kaimana, West Papua )

7 PEMBAHASAN UMUM

Sejarah dan Dasar Hukum Pengelolaan Konservasi Penyu dan Kawasannya

Pada tahun 1973 Indonesia ikut meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) dan diakomodir melalui Keppres No. 43 Tahun 1978. Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Tahun 1984 meru- muskan kerangka kerja sistem kawasan pelestarian bahari nasional berdasarkan aktifitas perlindungan perairan, dasar-dasar pemilihan dan penetapannya, serta daerah-daerah prioritas pengembangan daerah konservasi perairan laut. Pengembangan program-program konservasi di dasarkan kepentingan nasional, regional, dan Internasional. Sehingga memerlukan upaya kerjasama multilateral dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan perairan secara terpadu dan berkelanjutan, misalnya Convention on Biological Diversity (CBD),Coral Triangle Initiative (CTI), dll. Pada tahun 1998, dokumen pembangunan nasional berkaitan dengan nilai penting keanekaragaman sumber daya perairan telah dimasukkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Adapun dokumen tersebut menjelaskan pengelolaan wilayah pesisir, laut, daerah aliran sungai, dan udara perlu mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan sumber daya alamnya.

UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mempertimbangkan strategi konservasi, antara lain: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Peraturan ini mengamanatkan bahwa pelestarian tidak hanya bertumpu pada pencadangan kawasan konservasi sebagai suatu kawasan konservasi ekosistem, spesies, dan genetik.

UU No. 5 Tahun 1990 dengan turunannya peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa menjelaskan bahwa semua jenis penyu yang terdapat di perairan Indonesia berstatus dilindungi. Hal ini didasarkan pengesahan konvensi perserikatan bangsa-bangsa mengenai keanekaragaman hayati telah diundangkan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1994. Enam jenis penyu yang terdapat di Indonesia dari tujuh jenis penyu di dunia merupakan satwa liar yang terancam punah berdasarkan klasifikasi oleh World

Conservation Union (IUCN 2006 dalam Webb 2008), yaitu: (penyu

tempayan/loggerhead turtle / Caretta caretta; penyu lekang / abu-abu / olive ridley turtle / Lepidochelys olivacea; penyu hijau / green turtle / Chelonia mydas; penyu sisik / hawksbill turtle / Eretmochelys imbricata; penyu pipih / flatback turtle / Natator depressus; penyu belimbing / leatherback turtle / Dermochelys coriacea. Sedangkan penyu lekang kempii / kemp’s ridley turtle / lepidochelys kempii tidak ditemukan di perairan Indonesia.

Organisasi UPT Seksi KSDA Wilayah IV Kaimana merupakan institusi baru yang membawahi Resort Fakfak dan Resort Kaimana sebagai peningkatan institusi sejak tahun 2008. Selama ini organisasi ini adalah resort Kaimana. Kantor seksi Kaimana baru diresmikan pada Tahun 2014. Keanggotaan PNS Seksi KSDA Wilayah IV Kaimana sebanyak 11 orang yang ditempatkan 4 orang (polisi kehu- tanan) di resort Fakfak, dan 3 orang (polhut) di resort Kaimana. Sedangkan 4 orang

lainnya (Kepala Seksi, pramu kantor, dan 2 orang Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) di Seksi Kaimana. Resort Fakfak memiliki 2 kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Pegunungan Fakfak dan Suaka Margasatwa pulau Sabuda tutu- ruga. Resort Kaimana memiliki 2 kawassan konservasi, yaitu Cagar Alam Pegunu- ngan Kumawa dan Suaka Margasatwa Pulau Venu. Pendanaan untuk kegiatan di Seksi KSDA Wilayah IV Kaimana dalam setahun kurang lebih Rp. 64.000.000,- untuk 4 kegiatan. Fasilitas kendaraan laut harus disewa, pada Tahun 2014 ada pengadaan speedboat (rusak) tidak bisa ke kawasan SMPV. Penunjukkan kawasan SMPV sebagai konservasi Penyu pada Tahun 2014. Belum memiliki blok pe- ngelolaan dalam suaka margasatwa dan pola pengaturannya. Penunjukan kawasan SMPV sebagai kawasan konservasi penyu berdasarkan kekhasan ekosistemnya, belum mengakomodir sistem pengelolaan pemanfaatan penyu selama ini oleh masyarakat lokal / tradisional setempat untuk memenuhi kebutuhan protein, pendapatan masyarakat, pembangunan rumah, dan menyekolahkan anak mereka baik keluar Kabupaten Kaimana maupun ke kota Kaimana. Pemanfaatan penyu dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan harapan dapat menghasilkan Rp. 1.000.000,- bagi setiap orang dari kedua orang tersebut. Setiap sarang harus disisakan minimal 25 telur. Ada pos monitoring bersama antara institusional

pengelola, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Perwakilan “Petuanan” Masyarakat

lokal melalui PAMSWAKARSA bentukan Dinas Kelautan dan Perikanan (setiap 2 minggu pergantian jaga). Perijinan untuk memasuki kawasan belum dapat dilakukan karena belum adanya SK penunjukkan kawasan SMPV, sebelum Tahun 2015. Hal-hal ini memungkinkan dilakukan pendekatan kolaborasi.

Peran Penyu bagi Ekosistem Sekitarnya

Keberadaan penyu adalah sangat penting bagi ekosistem di sekitarnya baik di daerah terestrial maupun di daerah perairan laut. Di daerah terestrial, untuk telur- telur penyu yang tidak berhasil menetas di sarangnya menjadi suplai nutrisi di lingkungan pesisir pasir, dan juga telur penyu dan tubuhnya dapat memenuhi kebutuhan protein serta kebutuhan ekowisata. Di daerah perairan laut, a) penyu hijau (Chelonia mydas) berperan untuk menjaga ekosistem lamun di dasar laut; b) penyu sisik (Eretmochelys imbricata) berperan sebagai pemakan sponge dan batu karang lembut di terumbu karang sehingga memungkinkan karang berkoloni dan kesehatan terumbu karang terjamin; c) penyu lekang/abu-abu (Lepidopchelys olivacea) berperan memakan ketam dan rumput laut, yang mana rumput laut yang tua dimakan kemudian tumbuh rumput laut muda sebagai pakan ikan dan biota lainnya serta rumput laut berguna untuk membersihkan lautan dengan cara menangkap sedimen dan nutrisi yang masuk ke laut; dan d) penyu belimbing (Dermochelys coriacea) berperan untuk menjaga ketersediaan ikan laut disebabkan penyu ini memakan ubur-ubur, yang mana ikan kecil merupakan mangsa dari ubur- ubur, dan juga ubur-ubur dimakan untuk menambah kekuatan bagi penyu tersebut (Bouchard & Bjorndal 2000). Dengan demikian, penyu dapat dijadikan umbrella species bagi kawasan SMPV pada khususnya, dan perairan Kaimana dan sekitarnya pada umumnya. Sehingga hal ini sangat berguna dalam mewujudkan pengelolaan adaptif konservasi penyu yang berbasis penyu.

Berdasarkan hal tersebut di atas, eksistensi penyu adalah sangat penting,

Ancaman yang dihadapi penyu, antara lain: hancurnya habitat dan tempat bertelur, eksploitasi yang membahayakan lingkungan, dan perdagangan ilegal.

Pengelolaan Adaptif Konservasi Penyu di kawasan SMPV

Gambar 34. Distribusi tempat penyu bersarang dan makan di Indonesia (Kementerian kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2008).

Gambar 35. Legenda distribusi tempat penyu bersarang dan makan di Indonesia (Kementerian kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2008).

Pengelolaan konservasi penyu berdasarkan kewenangannya berada pada tiga kementerian, yaitu: 1) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen- LHK); 2) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP); dan 3) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kebijakan yang mengatur pada ketiga kementerian tersebut, yaitu: 1) KemenLHK menggunakan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa Konser- vasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah dan implisit eksekutornya adalah KemenLHK beserta masyarakat; 2) KemenKP menggunakan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Ikan, bahwa konservasi sumber daya ikan menjadi tanggung jawab pemerintah dan eksekutornya adalah KemenKP, pemerintah daerah (Pemda) beserta masyarakat; dan 3) Pemda menggunakan Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Pemda kabupaten berkoordinasi dengan pemda propinsi yang diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya di laut yang ada di wilayahya (Pasal 27 UU. No. 23 Tahun 2014). Jadi pengelolaan konservasi penyu merupakan kewe- nangan ketiga kementerian itu. Penyu ditemukan pada perairan Kaimana, Papua Barat. Penyu yang ditemukan terdapat di beberapa tempat di perairan Kaimana, dan juga salah satu tempat bagi penyu bersarang adalah di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papu Barat. Distribusi tempat penyu bersarang dan makan di Indonesia Tahun 2008 (Gambar 34, dan 35) dan teknik identifikasi penyu (Gambar 36). KKP merupakan perairan pasang surut, dan wilayah sekitar- nya, termasuk flora dan fauna di dalamnya, dan penampakan sejarah serta budaya,

Gambar 36. Teknik Identifikasi Penyu (Kementerian kehutanan dan Kemente- rian Kelautan dan Perikanan, 2008).

yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya Sistem zonasi KKPD Kaimana - wilayah pengelolaan Buruway di Kaimana (Gambar 37).

Pengelolaan konservasi penyu di perairan Kaimana, Papua Barat telah men- jadi perdebatan, untuk dikelola beragam stakeholder terutama pada kawasan Sua- ka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat. Kawasan ini secara hukum

adat merupakan “kepemilikan / Petuanan” dari marga Aituarauw dari suku Koi- way. Selain itu oleh Pemda Kaimana menjadikan sebagai aset pariwisata dan daerah tabungan ikan (zona inti) dari Kawasan Konservasi Perikanan (KKP).

KKP adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/MEN/2010. Keberadaan kawasan konservasi perairan (Indrajaya et al. 2011) memiliki beberapa manfaat dalam sistem alam dan sosial (socio-ecology), yaitu: a) perlindungan biota laut pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya; b) perlindungan habitat yang kritis dan tetap (misal terumbu karang, estuary); perlindungan budaya dan lokasi arkeologi; d) perlindungan terhadap budaya lokal dan nilai tradisional pengelolaan laut berkelanjutan; e) menjamin tersedianya tempat yang memungkinkan bagi perubahan distribusi spesies sebagai respon perubahan iklim atau lingkungan lainnya; f) menjamin suatu tempat perlindungan (refugia) bagi pengkayaan stok ikan-ikan ekonomis penting; g) menyediakan suatu kerangka kerja untuk penyelesaian konflik multi stakeholder; h) menyediakan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu; i) menyediakan sumber pendapat dan lapangan kerja; j) menjamin area untuk penelitian ilmiah, pendidikan, dan rekreasi. Hal ini memerlukan strategi yang tepat berkaitan dengan tahapan pemilihan lokasi sampai dengan implementasi pengelolaannya. Pengembangan sistem KKP secara nasional memudahkan stakeholder mampu mengakses status Gambar 37. Sistem zonasi KKPD Kaimana pada wilayah pengelolaan Buruway di

dan perkembangan tentang perencanaan dan pengelolaan KKP di Indonesia. Penyusunan sistem KKP didasarkan atas pertimbangan ekologi, dan juga berdasarkan pertimbangan aspek pengelolaannya.

Hal ini dimaksudkan segala sumber daya yang terkandung dalam KKP tersebut dapat bertahan dalam menghadapi dampak perubahan iklim global (misalnya kenaikan suhu permukaan laut, polusi, dll). Pembagian ekoregion prioritas konservasi Indonesia (Gambar 38). Distribusi penyebaran budaya di Papua (Gambar 39).

Hasil penelitian di kawasan Suakan Margasatwa Pulau Venu melalui bebe- rapa kegiatan secara bertahap telah menemukan, antara lain:

1) karakteristik habitat sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan penyu bersarang, yaitu: daerah pantai (supratidal, splash, intertidal), kemiringan pantai, ketinggian pantai, luasan bangunan, tutupan habitat, suhu pasir setiap kedalaman sarang (5, 10, 15, 20, 25, 30cm), kelembaban dan suku udara, tekstur pasir setiap kedalaman (10, 20, 30cm), pencahayaan (12.00 & 24.00);

2) ketiga jenis penyu yang ditemukan di kawasan SMPV, yaitu: Penyu hijau (Chelonia mydas) / Jelepi adalah nama lokal, penyu lekang / Bambawar (Lepidochelys olivacea), dan penyu sisik / Kerang (Eretmochelys imbicata). Satu spesies penyu lainnya adalah penyu belimbing / Klep (dermochelys coriacea); 3) keefektifan pengelolaan (Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya

Alam dan Ekosistem Nomor: P.15/KSDAE-SET/2015 tentang Pedoman penilai- an efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia) konservasi penyu menunjukkan peningkatan dari Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2014 dipengaruhi ada surat penunjukkan kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu,

Gambar 38. Pembagian ekoregion prioritas konservasi Indonesia (Kementerian kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010)

Kaimana, Papua Barat, dan pengaturan penggunaan lahan dan air dalam bentuk zona inti bagi Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kaimana berdasarkan Perda No. 4 Tahun 2014 pada sebagian besar kawasan perairan kawasan SMPV; 4) membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV,

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat sebagai institusional pengelola memerlukan stakeholder utama, yaitu: a) Dinas Kelautan dan Perikanan; dan b) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & Lingkungan Hidup. Selain itu stakeholder broker adalah Conservation International Indonesia Koridor Kaimana. Stakeholder broker dibutuhkan apabila lemahnya capacity building baik institusional pengelola maupun stakeholder utama lainnya. Selain itu potensi media sosial diperlukan di masa mendatang.

5) membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat memerlukan kebijakan sebagai integrasi sektoral dalam kerjasama dengan stakeholder utama, yaitu: a) integrasi koherensi kebijakan antar stakeholder dalam pengelolaan konservasi penyu, dan b) penguatan institusi pengelola berdasarkan konsistensi kebijakan dan penerapan pengelola- an konservasi penyu. Selain itu “Badan Pengelola Multi-stakeholder” diperlukan

sebagai institusi fleksibel di masa mendatang. “Blok Multi-stakeholder” diperlukan sebagai blok yang mengakomodir blok pemanfaatan dan termasuk blok lainnya (blok tradisional, blok rehabilitasi, blok religi, budaya dan sejarah, blok khusus) pada kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu berbasis Penyu. 6) membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV,

Kaimana, Papua Barat memerlukan kaji tindak dengan indikator, yaitu: kepastian hukum, kualitas dan kuantitas habitat peneluran penyu, pendapatan Gambar 39. Distribusi penyebaran budaya di Papua.

masyarakat, partisipasi sebagai wujud pendapatan dari sektor non kehutanan, pendapatan pajak, dan pendapatan konsesi pariwisata dan local livelihood.

Tindakan aksi yang mendesak secara bertahap, yaitu: a) meningkatkan proses pembuatan aturan pengelolaan pemanfaatan konservasi penyu yang berkelanjutan melalui konsultasi publik, b) memperkuat institusi diantara institusional pengelola konservasi penyu dengan institusional adat / desa / kampung dalam memadukan pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, dan, c) mengawasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan adaptif konservasi penyu oleh masyarakat, DPRD Kaimana, dan LSM. Selanjutnya klaim atas tanah dan perairan di kawasan Tabel 23. Penentuan blok pada kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu di

Kaimana, Papua Barat.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.76/MenLHK-Setjen/2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam Tanggal 16 Desember 2015

1 2

Penentuan blok lainnya

Penataan kawasan dalam Kawasan Suaka Alam dilakukan dengan perenca- naan dengan membagi kawasan ke dalam blok pengelolaan sesuai dengan hasil inventarisasi potensi kawasan serta mempertimbangkan prioritas pengelolaan kawasan, yang mencakup blok pengelolaan pada SM. Blok pengelolaan pada SM, yaitu: blok lainnya sebagaimana dimaksud (blok rehabilitasi; blok religi, budaya dan sejarah: dan / atau blok khusus) ditetapkan apabila telah terdapat kerusakan kawasan, situs budaya / religi / sejarah atau terdapat kegiatan di luar bidang kehutanan sebelum ditetapkannya SM

Blok perlin- dungan; perlindunga n bahari

a) merupakan daerah sebaran tumbuhan dan daerah jelajah satwa serta perkembangbiakan jenis target; b) berbatasan dengan zona inti dan atau zona pemanfaatan / batas fungsi; c) merupakan lokasi tempat kawin / berpijah dan pembesaran satwa / biota target; d) memiliki ekosistem yang masih asli dan alami; dan/atau e) masih ditemukan tumbuhan dan satwa/biota utama dalam jumlah yang cukup.

Blok Peman- faatan

a) merupakan wilayah yang memiliki keindahan alam/daya tarik alam atau ni- lai sejarah dan / atau wilayah dengan aksesibilitas yang mampu mendukung aktivitas pemanfaatan; b) merupakan wilayah yang memungkinkan diba- ngunnya sarana prasarana antara lain untuk menunjang pemanfaatan dan pe ngelolaan; c) bukan merupakan konsentrasi komunitas tumbuhan / biota utama; d) bukan merupakan areal dengan keragaman jenis yang tinggi; dan / atau e) terdapat potensi jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan

Blok Reha- bilitasi

Merupakan wilayah yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem.

Blok Religi, Budaya dan Sejarah

merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi, adat budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

Blok Khusus a) terdapat bangunan yang bersifat strategis yang tidak dapat dielakkan; b) merupakan pemukiman masyarakat yang bersifat sementara yang keberadaannya telah ada sebelum penetapan kawasan tersebut sebagai TN; dan / atau c) memenuhi kriteria sebagai wilayah pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan yang keberadaannya tidak mengganggu fungsi utama kawasan

SMPV dikenali sebagai kepemilikan (”petuanan”) marga Aituarauw, marga Seninggrauw, dan marga Samaigrauw dari suku Koiway. Hal lain perlu dilakukan untuk pengembangan pariwisata (wisata pantai / bahari, cagar budaya makam leluhur suku Koiway), dan sasi local livelihood suku Koiway. Pola pengambilan biota laut, telur dan bagian-bagian penyu perlu diatur pemanfaatannya. Hak pengusahaan pariwisata sepenuhnya dan Local Livelihood sasi suku Koiway perlu dipertimbangkan diakui dalam pengelolaannya secara mandiri.

Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). Pasal 18 (3) dan 19 (3) pada PP 28 Tahun 2011 telah dijabarkan menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan- an No. P.76/MenLHK-Setjen/2015 tentang pembagian jenis kawasan, zona / blok pengelolaan dan kriterianya. KSA terdiri atas Cagar Alam dan Suaka Margasat- wa, dan KPA terdiri atas Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan TamanWisata Alam. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai kekhasan / keunikan jenis satwa liar dan / atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelang- sungan hidupnya memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap popu- lasi dan habitatnya. Sedangkan Kriteria untuk menunjuk atau menetapkan kawasan suaka margasatwa, yaitu: a) merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan satwa laut yang perlu dilakukan upaya konservasinya; b) merupakan habitat satwa langka yang dikhawatirkan akan punah; c) memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi; d) merupakan tempat hidup bagi satwa migran tertentu; dan e) mempunyai luas yang cukup bagi habitat satwa yang dimaksud.

Penentuan blok pengelolaan pada kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu di Kaimana, Papua Barat (Tabel 23). Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dimungkinkan dapat dilakukan pada kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat (Tabel 24). Penentuan blok pengelolaan di Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat berdasarkan ekologi, sosial ekonomi dan budaya, dapat dibagi menjadi tiga alternatif: 1) Blok perlindungan dan / atau perlindungan bahari; blok pemanfaatan; blok religi, budaya, dan sejarah; 2) Blok perlindungan dan / atau perlindungan bahari; blok pemanfaatan; “blok multi- fungsi” (blok religi, budaya, dan sejarah; blok rehabilitasi; dan blok khusus); 3) Blok perlindungan dan / atau per-lindungan bahari; dan ; “blok multi-fungsi” (blok pemanfaatan; blok religi, budaya, dan sejarah; blok rehabilitasi; dan blok khusus).

Jadi “blok multi-fungsi” dibutuhkan untuk mengakomodir blok lainnya yang belum terakomodir berdasarkan kebutuhannya. Hal ini dapat berakibat melanggar peraturan atau ketentuan yang berlaku.

Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dalam periode 2015-2019 dibuat sebagai acuan dan pedoman bagi stakeholder menyusun rencana dan pelaksanaan kegiatan untuk tahun berjalan. Rencana strategi tersebut memuat tugas pokok, yaitu: menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Tugas pokok ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.18/MenLHK-II/2015 tanggal 14 April 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan sebagai upaya mendukung prioritas program nasional pada bidang lingkungan hidup dan penge-

lolaan bencana diakomodir di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Program prioritas nasional tersebut mengatur pengelolaan pulau-pulau perbatasan, peningkatan kemitraan multi pihak dalam pengelolaan sumber daya alam, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu (SMPV) merupakan kawasan perlindungan bagi konservasi penyu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Fakfak No. 503/1204 Tahun 1991. Kawasan ini berada di kecamatan Kaimana, sebelum pemekaran kabupaten Kaimana Tahun 2002 dari kabupaten induk Fakfak. Kawasan SMPV berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 891/Kpts- II/1999 tanggal 14 Oktober 1999 termasuk dalam penunjukan kawasan hutan di wilayah propinsi daerah tingkat I Irian Jaya. Dalam pengelolaannya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Papua Barat, kawasan SMPV masih ditafsirkan sebagai pengusulan kawasan konservasi.

Kawasan SMPV merupakan habitat peneluran penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea),penyu hijau (Chelonia mydas)beserta perkembangbiakannya (Wahjono et al. 1992). Dalam legalitasnya, kawasan SMPV berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.783/Kpts/Menhut- II/2014 tanggal 22 September 2014 ditunjuk sebagai kawasan konservasi penyu.

Tabel 24. Kegiatan yang dapat dilakukan pada blok pengelolaan di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu, Kaimana, Papua Barat.

B lok Per li ndu ngan / Per li ndungan bahar i B lok Pem anf aat an B lok R el igi , B ud aya dan Sej ar ah B lok k husus

Perlindungan dan Pengamanan V V V V

Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam, hayati

dengan ekosistemnya (daya dukung) V V V

Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang

budidaya V V

Pengembangan potensi dan wisata alam terbatas V V Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka

meningkatkan keberadaan populasi hidupan liar V V V

Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi /

jasa lingkungan V V V

Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam dan pemanfaatan kondisi / jasa lingkungan

V V

Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai

dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku V

Penyelenggaraan upacara adat V

Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlanjutan

Kawasan hutan dan perairan Desa Adi Jaya merupakan kepemilikan hak ulayat

”Petuanan” dari suku Koiway dari marga Aituarauw, Samairauw, dan Seningrauw. Hal ini menjadikan kawasan ini belum mendapatkan legitimasi dari masyarakat lokal / tradisional. Pengelolaan konservasi penyu tetap dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu (SMPV), walaupun masih ditafsirkan sebagai pengusulan kawasan SMPV tetap dikelola institusional pengelolanya. Institusional pengelolanya kawasan SMPV tersebut adalah UPT resort Konservasi Wilayah Kaimana, Seksi Konservasi Wilayah IV Kaimana dibawah Bidang Konservasi wilayah II Manokwari, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Papua Barat.

Kawasan SMPV secara administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah desa / kampung Adi Jaya, kecamatan / distrik Buruway, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Kawasan SMPV ini berada di bagian Selatan kabupaten Kaimana, Papua Barat. Secara geografis, terletak diantara 1330 26’ 32” BT-1330 34’ 19” BT dan 40 13’ 57” LS-40 22’ 51” LS. Kawasan SMPV ini merupakan