• Tidak ada hasil yang ditemukan

Livelihood lokal, SASI Nggama Suku Koiway 4 Cagar Budaya Makam Tua

Management of the Turtle Conservation in Kaimana, West Papua )

3. Livelihood lokal, SASI Nggama Suku Koiway 4 Cagar Budaya Makam Tua

PENGELOLAAN ADAPTIF KONSERVASI PENYU

Keterangan: = Garis komando

= Garis koordinasi

Gambar 32. Skema pendekatan kolaborasi dalam membangun model penge- lolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, Kaimana, Papua

yang dinilai memenuhi kriteria pembentukannya, tanpa mempertimbangkan kepemilikan wilayah tradisional / adat / lokal.

Keberhasilan implementasi kebijakan konservasi penyu, tidak hanya dipe- ngaruhi oleh komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokrasi. Implementasi kebijakan mampu memberikan kepastian hukum dalam komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokrasi terhadap wilayah dan penegakan hukumnya. Dengan demikian, perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi yang saling terintegrasi diantara kepastian hukum, jaringan komunikasi, dan insentif (Gambar 33).

Berdasarkan pada pengamatan dampak ketahanan dalam membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu melalui FGD beberapa kali, yang dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2014, sebagai kesuksesan hasil akhir dari pelaksanaan pemodelan partisipatif ini memerlukan, antara lain:

1. Konsultasi umum / publik. Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Kaimana tentang ijin pemanfaatan konsesi pariwisata pantai/bahari, cagar budaya makam keramat leluhur suku Koiway, dan local livelihood-nya disosialisasi untuk mendapatkan komentar publik.

2. Membangun pengelolaan adaptif konservasi penyu. Sebagai upaya mengako- modir kelestarian penyu, konsensi pariwisata dan local livelihood untuk masyarakat lokal / tradisional, memerlukan adanya perubahan kawasan Suaka Margasatwa (SM) menjadi kawasan Taman Wisata Alam. Dalam pengelolaan berbasis masyarakat tersebut, perwakilan masyarakat harus dipilih dan berasal dari masyarakat lokal / tradisional. Dalam hal ini, Kantor Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat bersama Pemda Kaimana bertindak sebagai fasilitator. Sedangkan bertindak sebagai pelaksana pengelolaan adalah pihak pemilik hak ulayat (petuanan) dan pengusahaan pariwisata yang akan beroperasi di kawasan Suaka Magasatwa Pulau Venu

Pembuatan Peraturan Penerapan Peraturan Peraturan Hukum Positif Peraturan Hukum Adat Kepastian Hukum Sistem Pembiayaan Sistem Penghargaan Nasional Internasional Sinkronisasi & Harmonisasi (Komunikasi) Jaringan Komunikasi (Networking) Insentif Secara Berkala (Periodik) Secara kontinyu (berkelanjutan) Horizontal Vertikal

Keterangan: = Garis komando = Garis koordinasi Pengelolaan Adaptif Konservasi Penyu Partisipasi Stakeholder 1. Memadukan kebijakan Formal dan bukan Formal 2. Mengakomodir Sosial, Ekonomi, dan budaya 3. Implementasi Institusi Konservasi Penyu 1. Penyu Lestari 2. Wisata/ Rekreasi pantai/bahari 3. Livelihood lokal, SASI Nggama Suku Koiway 4. Cagar Budaya Makam Tua Kesuksesan Kegagalan

Gambar 33. Implementasi kebijakan dalam pengelolaan adaptif konservasi penyu memerlukan adanya sinkronisasi dan harmonisasi

(SMPV). Petuanan menjamin kepastian hukum adat dan pemberdayaan masyarakat tradisionalnya, sedangkan pemegang hak konsesi pengusahaan pariwisata menyediakan barang-barang modal berupa; pendanaan, pengadaan infrastruktur yang ramah lingkungan bagi dalam mengakses kawasan SMPV. Masyarakat tradisional dan pengusahaan pariwisata perlu mengatur insentif dan kewajiban membayar pajak sebagai akibat manfaat yang diperoleh dari hasil pengambilan / pemanfaatan di kawasan SMPV. Berdasarkan pengaturan tersebut memerlukan pembagian pendapatan yang berimbang dan berkeadilan diantara pemilik hak ulayat /petuanan, pengusahaan pariwisata, pemda Kaimana, dan pemerintah pusat (kementerian kehutanan cq. kantor Balai Besar konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat).

3. Audiensi Publik. Anggota DPRD Kaimana memprakarsai serangkaian dengar pendapat umum mengenai masa depan membangun pengelolaan adaptif kon- servasi penyu di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat, Indonesia.

Pembahasan

Konservasi penyu di Suaka Margasatwa Pulau Venu

Kehilangan keanekaragaman hayati dunia dan ketahanan jasa ekosistem disebabkan kerusakan hutan dan pencemaran perairan baik yang dapat dikontrol maupun tidak dapat dikontrol. Faktor yang dapat dikontrol, antara lain: perilaku, sikap, dan kemauan politis dalam memahami manusia dan lingkungannya. Sedangkan faktor yang tidak dapat dikontrol (adaptasi dan mitigasi) adalah perubahan iklim. Hal ini memerlukan pengelolaan konservasi yang adaptif. Pengelolaan konservasi yang adaptif bagi konservasi penyu memerlukan upaya menetapkan beberapa habitat peneluran penyu sebagai kawasan konservasi (Harteti et al. 2014). Hal ini diperlukan sebagai akibat tingginya ancaman terhadap konservasi penyu dan keterpaduan peran stakeholder utama. Berdasarkan hal tersebut peran stakeholder utama perlu diidentifikasi untuk mengetahui kepentingan dan pengaruh berkaitan dengan nilai penting,dan hubungan berbagai pihak yang berkepentingan dalam mengkombinasikan pengetahuan ekologi tradisional dan teknologi baru untuk mengembangkan strategi pengelolaan sumber daya alam (Fischman et al. 2014; Stacey et al. 2012a, 2012b; Smith 2011; Smith & Sarah 2009). Kombinasi pengetahuan dan teknologi sebagai strategi diperlukan sebagai upaya pengelolaan terhadap habitat unik dalam memprioritaskan multifungsi kawasan konservasi (Ramesh et al. 2016; Catlin et al. 2016; Haleet al 2015; McGowan et al. 2014; Suedel et al. 2012). Hal ini mengindikasi telah mengalami penurunan populasi dan kerusakan habitat sumber daya alam. Kerusakan habitat peneluran penyu dapat disebabkan terganggunya habitat hutan dan perairan, rantai pemanenan yang tak terkendali, dan adanya perubahan iklim. Hal ini merupakan faktor pengganda ancaman bagi penyebab dasar lainnya terhadap ketahanan makluk hidup dan lingkungannya.

Konservasi penyu di kawasan SMPV belum optimal dalam pengelolaannya. Hal ini disebabkan dalam pengelolaannya menunjukkan bahwa konservasi penyu sebatas aspek perlindungan, belum memperhatikan satu kesatuan konservasi penyu dan habitatnya (pengelolaan kawasan) yang terintegrasi dengan kawasan konservasi lainnya. Di satu sisi konservasi penyu di kawasan SMPV merupakan

sumber daya milik bersama, belummengatur kejelasan kepastian hukum pengelolaannya dalam mempertimbangkan kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan konservasi penyu dan habitatnya. Pengelolaan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan akan mengalami kegagalan (Ostrom 1999; Sithole 1997) disebabkan oleh fokus pengelolaan yang tanpa mempertimbangkan kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam pengelolaan adaptif konservasi penyu memerlukan kolaboratif dalam pengelolaan bersama mitra (stakeholder). Pengelolaan sumber daya alam yang dihasilkan bersama (Ostrom et al. 1993) memerlukan adanya sinkronisasi di antara pengetahuan tradisional dan pengetahuan ilmiah termasuk pembaharuan temuan ilmiah baru.

Model pengelolaan adaptif konservasi penyu

Pengelolaan adaptif adalah suatu model yang berupaya menata permasa- lahan dalam situasi yang tidak terstruktur, kompleks, dan membutuhkan adanya keterlibatan pihak lain secara bersama meninimalisir atau mengatasi ketidak- pastian situasi masalah di dunia nyata (Checkland 2000; 1989). Berdasarkan proses

pemodelan dengan pendekatan Soft-System Methodology (SSM) dalam

menentukan “definisi akar” dari sistem aktivitas manusia, sebagai proses kesepakatan yang dibangun di antara Stakeholder kemudian digabungkan dalam simulasi (Grant et al. 1997).

Pembangunan model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV memerlukan monitoring secara proaktif dan yang cepat tanggap (reaktif). Dalam pembelajaran monitoring secara proaktif dan reaktif memerlukan adanya sikap pengelola (manager) yang mampu mengelola ketidakpastian terhadap informasi biologis dasar dan strategi pengelolaan sumber daya alam (Fontaine 2011). Pengelolaan konservasi penyu memerlukan upaya pendekatan adaptif dan pembelajaran sosio-ekologi secara kolaborasi dari beberapa kelompok. Hal ini merupakan upaya memampukan pendekatan secara berulang yang berhubungan dengan ketidakpastian pengelolaan sumberdaya alam dan meminimalisir resiko sebagai pendekatan penelitian aksi / kaji tindak.

Metode kaji tindak dalam pengelolaan adaptif konservasi penyu

Pendekatan kaji tindak dalam pengelolaan sumber daya alam (Purnomo et al. 2014a; 2014b) membutuhkan keterlibatan mitra (atau reference group). Hal inimerupakan upaya perbaikan melalui pembelajaran bersama dalam member- dayakan mitra berdasarkan sudut pandang yang terintegrasi dan mengeksplorasi skenario yang diinginkan untuk membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu yang berkelanjutan. Metode kaji tindak perlu dibangun sebagai akibat mengantisipasi adanya kebutuhan untuk mengembangkan rencana strategis konservasi penyu. Hal ini diupayakan untuk menghadapiketidakpastian pengelo- laan konservasi penyu (sebagai spesies kunci) dan lingkungan yang kompleks. Kaji tindak (Whitelaw 2003) adalah bentuk penyelidikan yang memungkinkan praktisi di mana tempat untuk melakukan kegiatan menyelidiki dan mengevaluasi pekerjaan mereka. Kaji tindak diperlukan dalam organisasi utama dan keterlibatan mitra (Whiterman et al. 2001). Keterlibatan mitra membutuhkan pembelajaran bersama

melalui pemahaman dan pengalaman sebagai tindakan dari kesepakatan yang telah ditetapkan secara bersama.

Dalam perkembangannya, kemitraan pengelolaan sumberdaya alam secara bersama sering mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan pengelolaan tersebut hanya memperhatikan pihak yang memiliki kepentingan dan pengaruh tinggi dalam pengelolaannya, tanpa memperdulikan keterlibatan masyarakat lokal / tradisional

atau pihak yang dianggap ”kurang kuat” (hal ini memiliki kepentingan tinggi dan

pengaruh rendah atau hanya salah satu diantaranya bernilai tinggi). Hal ini diduga menghindari koordinasi dengan biaya tinggi (high-cost) dan juga tingginya biaya berbagi (sharing-cost). Pola pikir (mind set) ini disebabkan tidak adanya kepercayaan (trust) dengan menganggap pihak lain kurang memberikan kontribusi. Hal ini dapat mengakibatkan ketidak-pedulian dan konflik (baik kepentingan (interest) maupun pengaruh / kekuasaan (power)). Partisipasi stakeholder membutuhkan pengetahuan dan kejelian mengidentifikasi secara adaptif kondisi dan situasi stakeholder yang mencerminkan keragaman kepentingan, yang memi- liki pengalaman dan atau pengetahuan khusus tersebut. Di sisi lain, proses berbagi ide diantara stakeholder dilakukan secara transparan dan demokrasi (Lund & Banta 2014; Lund et al. 2013; dan Orr 2013), disadari bahwa pengetahuan dasar tentang suatu fenomena belum lengkap (Skulmolski et al. 2007). Penelitian partisipatif (Selener 1997) merupakan proses yang mana setiap pemangku kepentingan dapat mengidentifikasikan masalah, mengumpulkan dan menganalisa informasi, dan juga bertindak berdasarkan masalahnya untuk menemukan solusi dan mempromosikan transformasi sosial dan politik yang sedang berkembang.

Pembelajaran penelitian aksi secara partisipatif dalam proses pengelolaan adaptif konservasi penyu memerlukan perencana, manajer, peran setiap stake- holder dalam memeriksa tindakan pengelolaan yang diusulkan dan mempertim- bangkan berbagai potensi permasalahannya.Pengetahuan ilmiah / konservasi dan tradisional harus dimiliki setiap stakeholder (Pei 2013; Kosmaryandi 2012; dan Pei et al. 2009; Purnomo 2000), sebagai upaya mengembangkan kesamaan pola pikir, perilaku, dan kolaborasi. Di sisi lain peran setiap stakeholder (Fuentes et al.2013) dituntut tidak hanya mengevaluasi tantangan restorasi ekosistem dan filosofi terhadap perubahan kondisi, ketidakpastian, dan stabilitas ekosistem (sebagai jangka pendek), hal ini memerlukan serangkaian keputusan pengelolaan (sebagai jangka panjang) yang berkelanjutan (Davis & Ogden 1994). Kedua strategi tersebut membutuhkan perhatian terhadap hasil pada tingkat yang tidak diperlukan di tempat lain dalam studi yang lebih tradisional (Fischenich et al. 2012).

Implikasi kebijakan membangun model pengelolaan adaptif konservasi di kawasan Suaka Margasatwa Pulau Venu

Semua jenis penyu yang terdapat di Indonesia telah ditetapkan sebagai spesies yang menjadi prioritas untuk dikonservasi. Kawasan SMPV diperuntukkan tidak hanya untuk pelestarian kawasan, namun juga pengelolaan spesies target sebagai spesies payung (umbrella species). Pengelolaan penyu sebagai spesies payung mampu memperbaiki setiap ekosistem di sekitarnya. Sehingga pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV harus berbasis penyu. Dalam pelaksanaan kebijakannya mengalami kendala berkaitan dengan upaya membangun model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, yaitu: 1) strategi

dan rencana aksi konservasi penyu secara nasional belum disahkan, dankawasan SMPV belum menjadi agenda prioritas konservasi penyu; 2) lemahnya koordinasi antar stakeholder; 3) konservasi penyu belum dijadikan sebagai acuan pemerintah daerah dalam merumuskan pembangunan daerah disebabkan ketidakjelasan kepastian hukum, jaringan komunikasi, dan insentif untuk melaksanakan konservasi penyu di daerahnya.

Ukuran kinerja dalam pembangunan model pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, dengan variabel yang dapat diukur sebagai tindakan pengelolaan adaptif di masa depan adalah tutupan vegetasi, blok perlindungan / perlindungan bahari dan ‘blok multi-fungsi’ (blok pemanfaatan, blok religi, budaya dan sejarah, blok rehabilitasi, dan blok khusus), Rencana Pengelolaan Konservasi Penyu, Integrasi kebijakan pengelolaan konservasi penyu yang memadukan antara sistem kearifan sosial dan budaya masyarakat lokal dengan sistem ilmu pengetahuan terbaru, pelibatan stakeholder utama berdasarkan keragaman kepentingan, penguatan kapasitas institusional pengelola, dan pembentukan

“Badan Pengelola Multi-stakeholder” sebagai integrasi sektoral.

Dalam perkembangannya kebijakan dan peraturan perundangan pengelolaan konservasi penyu berdasarkan kewenangannya berada pada tiga kementerian, yaitu: 1) Pemerintah Pusat berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Kementerian Kehutanan); 2) Pemerintah Pusat berdasarkan UU No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Kementerian Kelautan dan Perikanan); dan 3) Pemerintah Daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah berkaitan dengan daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (termasuk pantai peneluran penyu) dapat dikelola pemda (Kementerian Dalam Negeri)sebagai rekomendasi, dan mendapatkan ijin dari Pemerintah Pusat.

Berkaitan dengan program konservasi penyu belum ditemukan adanya integrasi diantara stakeholder. Selain itu jaringan komunikasi perlu dibangun untuk mendapatkan dan mengelola informasi tersebut. Hal ini disebabkan semakin besarnya ketidakpastian berkaitan dengan peran dan fungsi, dan kebutuhan yang akan dikorbankandalam melakukan koordinasi. Oleh karena itu koordinasi pengelolaan konservasi penyu membutuhkan rencana bersama yang meng- integrasikan kepentingan di antara stakeholder dalam suatu jaringan komunikasi.

Kelemahan dalam koordinasi diantara stakeholder yang berkaitan dengan konservasi penyu, menyebabkan setiap stakeholderharus bertanggung jawab atas penurunan populasi dan kerusakan habitat penyu, gagal merespon dan mengantisipasi perubahan tersebut. Sebagian besar Stakeholder, menganggap bahwa konservasi penyu belum mendesak sebagai prioritas pembangunan daerah, sehingga diperlukan kebijakan yang mampu memadukan pembangunan ekonomi yang berwawasan konservasi penyu bagi kepentingan daerah dan masyarakat lokal / tradisional. Di sisi lain, hal ini dapat diketahui berdasarkan terbatasnya alokasi dana sebagai akibat lemahnya kebijakan konservasi penyu, strategi dan rencana aksi nasional konservasi penyu belum ditetapkan, dan lemahnya koordinasi di antara stakeholder. Di satu sisi, ketiga hal tersebut, masih ditemukan fakta tidak konsisten pelaksanaan kebijakan berkaitan dengan penetapan penyu sebagai prioritas konservasi, yaitu: 1) pemerintah pusat kurang mendorong memfasilitasi pemerintah daerah dalam menyusun strategi konservasi penyu di daerah; 2) pemerintah pusat

kurang melakukan sosialisasi berkaitan dengan insentif sebagai trade off bagi daerah untuk melaksanakan konservasi penyu; dan 3) kebijakan konservasi penyu dan pemanfaatannya perlu diintegrasikan dengan pengelolaan sumber daya alam dan kawasan konservasi lainnya untuk dijadikan pemerintah daerah sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan pembangunan daerah.

Dalam pembelajaran pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPVmemerlukan adanya umpan balik yang melibatkan eksperimentasi terhadap fungsi-fungsi riset, pembuatan regulasi dan kebijakan dalam dunia nyata dan dunia maya (virtual), dan juga mampu menginformasikan perkembangan model mental, model-model formal, dan rancangan keputusan yang berulang (iterasi) (Rist et al. 2013; Purnomo et al. 2009). Penerapan kebijakan melakukan pengelolaan adaptif konservasi penyu difokuskan pada proses pemantauan (monitoring) dan umpan baliknya (feed back) terhadap ketahanan suatu sistem sebagai akibat dalam merespon perlakuan yang diberikan.

Pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, Kaimana, Papua Barat memerlukan tahap-tahap tingkatan lokal yang mempengaruhi pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, proses-proses kolaborasi diantara institusi untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan lingkungannya. Sehingga persyaratan melakukan kolaborasi tersebut dalam pengelolaan adaptif konservasi penyu di kawasan SMPV, antara lain: pemantauan terhadap eksperimen pengelolaan adaptif konservasi penyu yang dilakukan harus efektif dan didukung fasilitas pembelajaran yang memadai dan tersedia saat itu; keterwakilan setiap stakeholder merasakan kepemilikan (berbagi peran dan fungsi) yang setara dalam proses pembelajaran tersebut; adanya komitmen (baik legitimasi maupun legalitas) dari setiap stakeholder untuk aktif dalam proses multi tahap yang mungkin menjadi sangat mahal; dan setiap stakeholder yang berkolaborasi harus memiliki perilaku dan sikap saling melengkapi ibarat membentuk jaring laba-laba (saling peduli / partisipatif dalam belajar dan bekerja). Di sisi lain penyadartahuan pengetahuan konservasi / tradisional secara berkelanjutan memerlukan upaya pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan konservasi penyu. dan sosialisasi pemahaman (brainstorming) tentang manfaat konservasi penyu bagi kebutuhan masyarakat, yaitu: a) secara sosial, masyarakat memiliki sumberdaya alam sebagai aset dan jati diri (kebanggaan) atas kepemilikan tersebut yang dapat dibagi (sharing) ke khalayak umum (masyarakat lainnya) dalam kesepakatan yang saling menguntungkan, dan b) secara ekonomi, masyarakat dilibatkan dalam manfaat ekonomi sebagai penangkar penyu dan ekowisata penyu.

Selanjutnya Sumber Daya Manusia (SDM) baik peneliti maupun praktisi kehutanan diperlukan sebagai upaya meningkatkan penelitian berkaitan dengan pengaruh kepemimpinan (internasional, nasional, dan lokal) terhadap pengelolaan adaptif konservasi penyu, dan juga bentuk kemitraan yang partisipatif sebagai upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan nilai penting dari ekonomi penyu. Perubahan pertumbuhan populasi manusia perlu diantisipasi dan juga perubahan kinerja dari institusi dalam pengelolaan adaptif konservasi penyu berkaitan dengan dasar-dasar perencanaan yang telah disepakati, dan tetap mengakomodir peran di antara stakeholder. Selain itu keberadaan institusi pengelola perlu mengantisipasi pengaruh negatif yang berpotensi, yaitu: variabel fasilitas utama sebagai federalism (misal: pencaplokan kekayaan sumber daya

alam), polycentricity (misal: pengaturan pembagian pendapatan), dan heterogeneous networks dan learning (misal: meningkatnya biaya koordinasi).

Peraturan Menteri No. 85/Menhut-II/2014 tentang tata cara kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA telah diberlakukan. Dengan demikian, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/Kpts-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dinyatakan tidak berlaku. Peraturan ini menegaskan bahwa penguatan fungsi KSA dan KPA serta konservasi keanekaragaman hayati, dilakukan oleh direktorat teknis terkait sebagai wujud kerjasama sesuai perjanjian atau rencana pelaksanaan program / kegiatan konservasi. Perjanjian kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA berakhit, apabila: a) jangka waktu perjanjian habis; mitra kerja melakukan tindak pidana kehutanan; atau salah satu pihak mengundurkan diri. Peng-gunaan dana dalam kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA dilakukan sesuai de-ngan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan yang perlu diatur da-lam kerjasama, antara lain: a) judul perjanjian; b)

stakeholder; c) tujuan perjanjian; d) lingkup perjanjian; e) hak dan kewajiban

stakeholder; f) kewajiban melakukan alih pengetahuan dan ketrampilan; g) larangan yang berisi antara lain membawa materi dan spesimen dari kawasan; h) pengaturan kepemilikan hak paten dan publikasi kerja-sama; i) pembagian keuntungan atas

penggunaan hak intelektual dan hak paten; j) penyerahan baseline data dan informasi;

k) penggunaan sarana prasarana kerjasama.

Akhirnya pembagian kerjasama dalam mengelola kawasan konservasi oleh

pemerintah sebagai institusi pengelola bekerjasama dengan stakeholder (termasuk

masyarakat adat atau masyarakat lokal). Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dengan memiliki kewenangan terhadap sumber daya alam yang terkandung dalam penguasaannya. Hal-hal dapat dimungkinkan apabila, yaitu: 1) kapasitas dari

stakeholder sudah cukup memadai, untuk mengelola kawasan konservasi; 2) ketika klaim masyarakat adat telah berhasil diwujudkan, untuk mendapatkan pengakuan atas wilayah adat yang berada di dalam kawasan konservasi; 3) ketika masyarakat memiliki pengetahuan lokal tentang konservasi telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari pemerintah, untuk mengelola kawasan secara mandiri berdasarkan kesesuaian dengan fungsi-fungsi konservasi.

Simpulan

Pembangunan model pengelolaan di kawasan SMPV adalah pengelolaan adaptif konservasi penyu berupa pengelolaan konservasi berbasis penyu. Konservasi penyu di kawasan SMPV dilakukan untuk kelestarian kawasannya dan juga spesies target. Spesies target ini merupakan spesies payung (Umbrella species) yang memiliki peran penting baik di daerah terestrial maupun daerah perairan laut dalam kelestariannya. Pengelolaan adaptif konservasi penyu tersebut membutuhkan persyaratan berkaitan dengan waktu pengelolaan, jumlah pengambilan, dan lokasi pemanfaatannya. Selain itu, diagram causal loops berkaitan dengan kepastian hukum, kualitas dan kuantitas habitat peneluran penyu, pendapatan masyarakat, partisipasi sebagai wujud pendapatan dari sektor non kehutanan, pendapatan konsensi pariwisata dan local livelihood, dan pendapatan pajak. Sinkronisasi dan harmonisasi komunikasi dibutuhkan di antara kepastian hukum, jaringan kerja (networking), dan insentif. institusi setingkat Unit Teknis

Daerah (UTD) atau Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) di Kabupaten atau di Propinsi dibutuhkan sebagai institusi Konservasi dan Lingkungan Hidup. Jadi, Kawasan SMPV untuk keefektifan segala kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat tradisional dan masyarakat lokal dibutuhkan

perubahan menjadi “Kawasan Konservasi Pesisir dan Laut” berbasis penyu sebagai pendekatan kebijakan dan rentang kendali pengelolaannya.