• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Hakikat Konteks

2.3.2 Konteks Sosial

Konteks umumnya ditentukan oleh fitur dari lingkungan fisik, fitur dari dunia sosial, dan dengan fitur dari dunia psikologis. Salah satu unsur pembentuknya adalah fitur dari dunia sosial. Hal ini dipertegas oleh Searle dalam Bosco, Monica, dan Bruno (2004: 7) bahwa status sosial umumnya dapat memengaruhi efek komunikatif ucapan dalam sebuah pembicaraan. Jika seorang jenderal meminta tentara untuk merapikan kamarnya, umumnya tentara tersebut akan mempertimbangkan permintaan tersebut hanya terbatas pada permintaan atau sebagai perintah.

Pendapat Searle ini secara tegas memperlihatkan bahwa status sosial seseorang akan memengaruhi seseorang dalam memaknai ujaran yang disampaikan. Oleh Bergman, Hall, dan Ross (2017: 271) “social context includes

information about the relationships between the people who are speaking and what their roles are”. Konteks sosial adalah hubungan antara orang-orang yang

berbicara dan aturannya. Pada bagian inilah peran penting konteks sosial terlihat. Pandangan lain yang berkaitan erat dengan konteks sosial adalah konsep SPEAKING yang dikemukakan oleh Dell Hymes. Hymes (Baryadi, 2015: 19) menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa adalah komponen tutur yang dikenal dalam konsep SPEAKING. S (setting/scene) berkaitan dengan latar waktu dan tempat ketika sebuah komunikasi terjadi atau dapat pula berupa scene atau suasana, seperti santai, serius, dan sebagainya. P

(participants) berkaitan dengan penutur atau pembicara, E (end) sederhananya dapat dimaknai sebagai tujuan yang ingin dicapai dalam tindak tutur. A (act of

sequence) mencakup pesan dan isi pesan yang akan disampaikan. K (key)

berkaitan dengan unsur suprasegmental seperti nada, cara, dan perasaan ketika tuturan disampaikan. I (instrumentalities) berkaitan dengan sarana/media dalam menyampaikan komunikasi, bisa lisan atau tulisan. N (norm of interaction and

interpretation) berkaitan dengan norma atau aturan-aturan ketika berinteraksi.

Dan G (genres) adalah jenis dari wacana seperi puisi, mite, pidato, dan sebagainya.

Hal ini juga tergambar secara jelas dalam penelitian yang dilakukan oleh Francesca M. Bosco, Monica Monica Bucciarellie, dan Bruno G. Bara dengan judul “The Fundamental Context Categories in Understanding Communicative

Intention” dalam penelitian ini Bosco, dkk menyatakan bahwa konteks yang

berbeda akan menentukan ekspresi yang berbeda dalam kaitan menetapkan makna dari sebuah komunikasi. penelitian yang dilakukan adalah dengan melakukan percobaan pada tiga kelompok anak usia 3-7 tahun. Dan hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa kategori konteks yang berbeda, konteks yang berbeda akan menghasilkan bentuk ekspresif yang berbeda pula dalam memaknai makna dari sebuah komunikasi. Salah satu dimensi yang menjadi bagian penting dalam penelitian ini adalah status sosial. Eksperimen yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Ketika (Mark) seorang anak sedang asyik bermain dengan bonekanya selama berjam-jam dan tidak peduli pada orang lain.

Konteks A: “ibu Mark tiba dan mengatakan: “Berhenti bermain, saatnya makan

malam!”

Konteks B: “adik Mark datang dan mengatakan:“Hentikan bermain, saatnya

makan malam!”

Dari dua konteks yang berbeda ini tentunya respon Mark akan sangat berbeda antara meresponi pernyataan ibunya maupun adikknya. Bisa jadi ketika meresponi ibunya Mark langsung berhenti dari aktivitas bermainnya. Akan tetapi ketika adik Mark menyampaikan pernyataan yang sama tidak akan mengubah Mark berhenti dari aktivitas bermainnya. Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa konteks sosial akan berperan penting dalam

Rahardi (2005: 49) lebih lanjut menyatakan bahwa konteks sosial (social

context) adalah konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi

antaranggota masyarakat dalam suatu suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan konteks sosietal (societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Dasar dari munculnya konteks sosial adalah solidaritas (solidarity). Pandangan Rahardi secara jelas memaparkan tentang dimensi konteks sosial yang tergambar baik secara horizontal maupun vertikal.

Dalam kaitannya terhadap penelitian ini, konteks sosial yang akan dibahas terfokus hanya pada dimensi secara vertikal yaitu tergambar jelas antara dosen dan mahasiswanya serta dimensi horizontal antarsesama mahasiswa. Dalam beberapa jurnal yang ditemukan oleh peneliti konteks sosial juga dapat dilihat dari contoh analisis yang diberikan oleh Teun A. Van Dijk dalam makalahnya yang berjudul Context and Cognition: Knowledge Frames and Speech Act

Comprehension menyatakan bahwa kita dapat memahami konteks sosial dengan

melakukan analisis konteks sosial sebagai berikut: Tuturan: May I see your ticket, please?”

Although there is set of possible context with respect to which this utterance, taken as a request, may be appropriate, only one example will be given, viz. that of ticket inspection on trains, or means of public transport in general:

Dari pernyataan di atas Teun menentukan bahwa jenis konteks di atas adalah konteks sosial. Dengan deskripsi sebagai berikut:

Social context type : Institutional. Public Institution : Public Transport Frame : Ticket Inspection

Contoh analisis konteks kedua yang diberikan oleh Teun juga memberikan gambaran yang jelas untuk kita dapat memahami konteks sosial itu sendiri.

Tuturan: “Let me carry your suitcase!”

Performed in a situation in which the speakers (x) takes the hearer (y) from the train, thereby making an offer to carry the hearer’s luggage. Clearly, such an offer would be appropriate in many kind of context, because there are no institutional restrictions on the interaction as in the first examples.

Adapun deskripsi analisis konteks yang diberikan oleh Teun adalah sebagai berikut:

Social context type: Informal. Private

Frame : Meet Somebody (at arrival).

Selain itu, Soemardjan dalam Pranowo (2009: 2) juga menyatakan bahwa konteks sosial adalah berkaitan dengan strata sosial kemasyarakatan seseorang, seperti strata bawah, menengah, dan atas. Artinya dalam konteks sosial tidak akan dapat dipisahkan dari interdisipliner sosiolinguistik yang didalamnya tentu membahas aspek-aspek linguistik dalam dunia sosial.

Cohen (1996) dalam Mansoorian, dkk (2016: 27) menyetarakan pengertian konteks sosial dengan pengertian “Sociocultural Knowledge” berikut kutipannya”

a “speaker’s ability to determine whether it is acceptable to perform the speech act at all in the given situation and, if so, to select one or more semantic formula that would be appropriate in the realization of the given specch act”

Lain halnya dengan contoh orang yang mengatakan “udaranya dingin sekali, udaranya sangat dingin”, secara linguistik ini dapat dipahami makna bahwa pembicara menyampaikan informasi tentang keadaan udara yang dirasakan. Namun, apakah pendengar yakin bahwa pembicara ingin menyampaikan informasi tentang keadaan udara? Ketika pendengar merespon informasi, misalnya "saya juga merasakan demikian - saya juga merasa seperti itu". Jawabannya membuat penutur sangat kesal karena penutur sebenarnya ingin "memerintahkan" untuk menutup pintu agar tidak dingin. Sedangkan yang ditangkap oleh teman bicara adalah "informasi". Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa "apa yang dikatakan, belum tentu yang dimaksudkan oleh pembicara" (Brown & Yule, 2005). Untuk memahami maksud penutur, maka mitra tutur perlu memahami "bagaimana pembicara berbicara." Inilah yang disebut konteks sosial.

Contoh lain dari peristiwa abai konteks sosial terjadi pada seorang mahasiswa UIN yang berterima kasih kepada dosennya dengan hanya mengucapkan trims, atau memanggil Dosen/Ustadz dengan sapaan “Boss”, (Abdurrahman, 2006: 5). Kondisi ini akan dianggap tidak sopan, seharusnya mahasiswa dapat mengatakan “terima kasih pak/bu” atau “jam berapa Ustadz?”

Dokumen terkait