• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Korban Tindak Pidana

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA (Halaman 86-92)

PERLINDUNGAN KHUSUS 7.1 Upaya Perlindungan Anak di Indonesia

7.3.3 Anak Korban Tindak Pidana

Perlindungan terhadap anak korban kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 ayat (2) Perlindungan Anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta medapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua, anak korban harus mendapatkan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya.

Penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum khususnya korban anak, harus ditangani secara khusus baik represif maupun tindakan preventif demi menciptakan masa depan anak yang baik dan sejahtera. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Tabel 7.1 Jumlah Narapidana Anak Menurut Statusnya , 2014

Bulan Anak Negara Napi Anak Sipil Napi Anak Pidana Napi Total

(1) (2) (3) (4) (5) Januari 73 1 3.605 3.679 Februari 86 4 3.532 3.622 Maret 62 9 3.462 3.533 April 64 14 3.648 3.726 Mei 52 10 3.615 3.677 Juni 44 9 3.556 3.609 Juli 45 75 3.354 3.474 Agustus 22 4 3.377 3.403 September 79 1 3.158 3.238 Oktober 35 10 2.891 2.936 November 37 10 2.822 2.869 Desember 36 - 2.658 2.694 Rata-rata 53 12 3.307 3.372

Sumber: Lembaga PemasyarakatanRI

Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 (Ketentuan Umum), anak didik pemasyarakatan apapun kriterianya baik anak pidana, anak negara, maupun anak sipil semuanya telah menerima keputusan pengadilan. Sementara itu, sejumlah tahanan anak yang tinggal di Rumah Tahanan Anak, Cabang Rutan Anak dan tempat-tempat tertentu masih harus menunggu keputusan pengadilan. Sesuai dengan penjelasan pada butir 4, pasal 1 Bab 1 bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara dan tempat tertentu. Pejabat pelaksana hukum seperti Penyelidik, Penuntut Umum dan Hakim (Hakim Pengadilan, Hakim Banding dan Hakim Kasasi) berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak untuk melaksanakan berbagai macam kepentingan antara lain penyidikan (Pasal 44), penuntutan (Pasal 46) dan pemeriksaan (Pasal 47, Pasal 48 dan Pasal 49).

Tabel 7.2 Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin, 2014

Kelompok Usia Status Laki-Laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4) (5) Dewasa Narapidana 101.878 5.629 107.507 Tahanan 49.377 2.768 52.145 Jumlah 151.255 8.397 159.652 Anak-Anak Narapidana 2.902 60 2.962 Tahanan 774 16 790 Jumlah 3.676 76 3.752

Dewasa dan Anak-Anak

Narapidana 104.780 5.689 110.469 Tahanan 50.151 2.784 52.935 Jumlah 154.931 8.473 163.404

Sumber: Lembaga PemasyarakatanRI

Sesuai dengan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak pelaku tindak pidana di seluruh Indonesia pada tahun 2014 mencapai sebanyak 3.752 anak. Dari jumlah tersebut, seperti yang disajikan pada Tabel 7.2 sebanyak 790 anak (21,06 persen) masih berstatus sebagai tahanan dan sebanyak 2.962 anak (78,94 persen) lainnya telah berstatus narapidana atau anak didik. Tabel 7.2 juga menunjukkan bahwa anak laki-laki pelaku tindak pidana jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan.

7.3.3 Anak Korban Tindak Pidana

Perlindungan terhadap anak korban kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 ayat (2) Perlindungan Anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta medapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban dan tanggung jawab kita semua, anak korban harus mendapatkan perhatian dan perlindungan terhadap hak-haknya.

Penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum khususnya korban anak, harus ditangani secara khusus baik represif maupun tindakan preventif demi menciptakan masa depan anak yang baik dan sejahtera. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

membagi tiga bagian terhadap anak yang perkara dengan hukum, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa: “Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (4) tersebut dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami suatu tindak pidana. Kasus yang dialami oleh anak akhir-akhir ini cendrung mengalami peningkatan hal ini dapat kita lihat dari pemberitaan yang ada baik melalui media cetak maupun elektronik, melihat kondisi yang ada dibutuhkan suatu upaya yang serius dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap anak. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan terhadap anak sangat diperlukan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa Anak korban dan Anak saksi berhak atas“ upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Yang dimaksud dengan rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Kemudian yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat.

Sumber data : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.2 Persentase Penduduk Yang Pernah Menjadi Korban Kejahatan Menurut Kelompok Umur, 2014

Hasil Susenas tahun 2014 (Gambar 7.2) menunjukkan bahwa dari keseluruhan penduduk pada tahun 2014, sebanyak 1,06 persen diantaranya pernah menjadi korban kejahatan. Dari jumlah tersebut, sebesar 0,29 persen diantaranya adalah anak (penduduk usia kurang dari 18 tahun). Persentase korban kejahatan dewasa sekitar 5 kali lipat lebih banyak daripada anak, yang mencapai 1,45 persen.

Sumber data : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.3. Persentase Penduduk Korban Kejahatan Menurut Kelompok Umur, 2014

Jika dilihat menurut kelompok umur, komposisi penduduk dewasa yang menjadi korban kejahatan jauh lebih besar (90,69 persen) dbandingkan korban

Anak Dewasa Anak+Dewasa

0,29 1,45 1,06 Dewasa 90,69% Anak 9,31%

membagi tiga bagian terhadap anak yang perkara dengan hukum, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa: “Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (4) tersebut dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami suatu tindak pidana. Kasus yang dialami oleh anak akhir-akhir ini cendrung mengalami peningkatan hal ini dapat kita lihat dari pemberitaan yang ada baik melalui media cetak maupun elektronik, melihat kondisi yang ada dibutuhkan suatu upaya yang serius dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap anak. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan terhadap anak sangat diperlukan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa Anak korban dan Anak saksi berhak atas“ upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Yang dimaksud dengan rehabilitasi medis tersebut adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Kemudian yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar anak korban, dan atau anak saksi dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan di masyarakat.

Sumber data : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.2 Persentase Penduduk Yang Pernah Menjadi Korban Kejahatan Menurut

Kelompok Umur, 2014

Hasil Susenas tahun 2014 (Gambar 7.2) menunjukkan bahwa dari keseluruhan penduduk pada tahun 2014, sebanyak 1,06 persen diantaranya pernah menjadi korban kejahatan. Dari jumlah tersebut, sebesar 0,29 persen diantaranya adalah anak (penduduk usia kurang dari 18 tahun). Persentase korban kejahatan dewasa sekitar 5 kali lipat lebih banyak daripada anak, yang mencapai 1,45 persen.

Sumber data : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.3. Persentase Penduduk Korban Kejahatan Menurut Kelompok Umur, 2014

Jika dilihat menurut kelompok umur, komposisi penduduk dewasa yang menjadi korban kejahatan jauh lebih besar (90,69 persen) dbandingkan korban

Anak Dewasa Anak+Dewasa

0,29 1,45 1,06 Dewasa 90,69% Anak 9,31%

anak (9,31 persen). Dari sekitar 2,41 juta penduduk yang pernah menjadi korban kejahatan, sekitar 247 ribu (9,31 persen) adalah anak (Gambar 7.3).

Tabel 7.3. Jumlah dan Persentase Penduduk Korban Kejahatan, Tahun 2012-2014

Jumlah/Persen Kategori 2012 2013 2014

(1) (2) (3) (4) (5)

Jumlah Anak 348.341 268.371 247.610

Dewasa 2.152.693 2.167.721 2.413.216

Anak dan Dewasa 2.501.034 2.436.092 2.660.826

Persentase Anak 13,93 11,02 9,31

Dewasa 86,07 88,98 90,69

Anak dan Dewasa 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS - Susenas, 2012-2014

Pola penduduk korban kejahatan berdasarkan hasil Susenas tahun 2012 – 2014 (Tabel 7.3) menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban kejahatan selalu lebih sedikit dibandingkan dewasa yang menjadi korban kejahatan. Bahkan dibandingkan data tahun 2012, persentase anak yang menjadi korban kejahatan turun 4,62 persen dari 13,93 persen di tahun 2012 menjadi 9,31 persen ditahun 2014. Bagi para pemerhati anak, angka ini sudah barang tentu sangat menggembirakan. Karena menunjukkan adanya keberhasilan dalam upaya pencegahan anak menjadi korban kriminal.

Sumber : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.4. Perbandingan Komposisi Penduduk yang Pernah Menjadi Korban

Kejahatan Menurut Kelompok Umur dan Tipe Daerah, 2014

Data Susenas menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban kejahatan selama tahun 2014 jumlahnya mencapai sekitar 247,6 ribu anak (Tabel Lampiran

L-Anak Dewasa 63,51 60,08

36,49 39,92 Perdesaan Perkotaan

7.3.1). Seperti yang nampak pada Gambar 7.4, sekitar 63,51 persen (157,2 ribu anak) dari keseluruhan anak korban kejahatan selama tahun 2014 tinggal di perkotaan dan sekitar 36,49 persen lainnya (90,4 ribu anak) adalah anak perdesaan. Kondisi ini juga menunjukkan indikasi bahwa wilayah perdesaan lebih aman dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Gambaran serupa juga dirasakan oleh penduduk dewasa korban kejahatan. Dari Gambar 7.4 nampak bahwa sekitar 60,68 persen (sekitar 1.464,3 ribu jiwa) dari total orang dewasa yang menjadi korban kejahatan selama tahun 2014 adalah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan 39,92 persen lainnya (sekitar 948,9 ribu jiwa) adalah penduduk dewasa yang tinggal di perdesaan.

Sumber : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.5. Persentase Penduduk Korban Kejahatan yang KasusnyaDilaporkan ke

Polisi Menurut Kategori Umur, Tahun 2014

Gambar 7.5 menunjukkan bahwa masih sangat sedikit kejadian kejahatan yang dilaporkan kasusnya ke polisi. Dari keseluruhan penduduk yang pernah menjadi korban kejahatan pada tahun 2014, hanya 20,2 persen diantaranya yang pernah melaporkan kejahatannya ke polisi untuk diproses, sementara selebihnya memilih untuk tidak melapor. Hal ini mungkin disebabkan tipe kejahatan yang dialami dianggap ringan, dianggap aib karena pelakunya adalah orang dekat korban, tidak berani melapor, merasa percuma melapor, dan sebagainya. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa persentase korban anak yang melapor lebih kecil dibandingkan korban dewasa.

19,55 20,26 20,20

anak (9,31 persen). Dari sekitar 2,41 juta penduduk yang pernah menjadi korban kejahatan, sekitar 247 ribu (9,31 persen) adalah anak (Gambar 7.3).

Tabel 7.3. Jumlah dan Persentase Penduduk Korban Kejahatan, Tahun 2012-2014

Jumlah/Persen Kategori 2012 2013 2014

(1) (2) (3) (4) (5)

Jumlah Anak 348.341 268.371 247.610

Dewasa 2.152.693 2.167.721 2.413.216 Anak dan Dewasa 2.501.034 2.436.092 2.660.826

Persentase Anak 13,93 11,02 9,31

Dewasa 86,07 88,98 90,69

Anak dan Dewasa 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS - Susenas, 2012-2014

Pola penduduk korban kejahatan berdasarkan hasil Susenas tahun 2012 – 2014 (Tabel 7.3) menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban kejahatan selalu lebih sedikit dibandingkan dewasa yang menjadi korban kejahatan. Bahkan dibandingkan data tahun 2012, persentase anak yang menjadi korban kejahatan turun 4,62 persen dari 13,93 persen di tahun 2012 menjadi 9,31 persen ditahun 2014. Bagi para pemerhati anak, angka ini sudah barang tentu sangat menggembirakan. Karena menunjukkan adanya keberhasilan dalam upaya pencegahan anak menjadi korban kriminal.

Sumber : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.4. Perbandingan Komposisi Penduduk yang Pernah Menjadi Korban Kejahatan Menurut Kelompok Umur dan Tipe Daerah, 2014

Data Susenas menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban kejahatan selama tahun 2014 jumlahnya mencapai sekitar 247,6 ribu anak (Tabel Lampiran

L-Anak Dewasa 63,51 60,08

36,49 39,92 Perdesaan Perkotaan

7.3.1). Seperti yang nampak pada Gambar 7.4, sekitar 63,51 persen (157,2 ribu anak) dari keseluruhan anak korban kejahatan selama tahun 2014 tinggal di perkotaan dan sekitar 36,49 persen lainnya (90,4 ribu anak) adalah anak perdesaan. Kondisi ini juga menunjukkan indikasi bahwa wilayah perdesaan lebih aman dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Gambaran serupa juga dirasakan oleh penduduk dewasa korban kejahatan. Dari Gambar 7.4 nampak bahwa sekitar 60,68 persen (sekitar 1.464,3 ribu jiwa) dari total orang dewasa yang menjadi korban kejahatan selama tahun 2014 adalah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, sedangkan 39,92 persen lainnya (sekitar 948,9 ribu jiwa) adalah penduduk dewasa yang tinggal di perdesaan.

Sumber : BPS - Susenas 2014

Gambar 7.5. Persentase Penduduk Korban Kejahatan yang KasusnyaDilaporkan ke Polisi Menurut Kategori Umur, Tahun 2014

Gambar 7.5 menunjukkan bahwa masih sangat sedikit kejadian kejahatan yang dilaporkan kasusnya ke polisi. Dari keseluruhan penduduk yang pernah menjadi korban kejahatan pada tahun 2014, hanya 20,2 persen diantaranya yang pernah melaporkan kejahatannya ke polisi untuk diproses, sementara selebihnya memilih untuk tidak melapor. Hal ini mungkin disebabkan tipe kejahatan yang dialami dianggap ringan, dianggap aib karena pelakunya adalah orang dekat korban, tidak berani melapor, merasa percuma melapor, dan sebagainya. Dari gambar juga dapat dilihat bahwa persentase korban anak yang melapor lebih kecil dibandingkan korban dewasa.

19,55 20,26 20,20

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA (Halaman 86-92)