• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putus Sekolah

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA (Halaman 72-76)

PENDIDIKAN ANAK Anak merupakan aset yang berharga bagi sebuah keluarga dan masyarakat

dengan 17 tahun. Sehingga kelompok umur yang digunakan pada perhitungan APS

6.4 Putus Sekolah

Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar yang layak merupakan hak setiap warga negara. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang didasari konsep “Pendidikan Dasar Untuk Semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk setiap warga negara. Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama sembilan tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas satu SD/sederajat hingga kelas sembilan SMP/sederajat. Melalui program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak, namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan khususnya menuntaskan wajib belajar 9 tahun, karena pada kenyataannya masih banyak dijumpai anak-anak putus sekolah.

Gunawan (2010) dalam Sutiasnah (2015) menyatakan putus sekolah ialah predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya.

6.4.1 Angka Putus Sekolah

Angka putus sekolah menunjukkan tingkat putus sekolah (berhenti sekolah sebelum menamatkan pendidikan) di suatu jenjang pendidikan yang dinyatakan dalam persen.

Tabel 6.4 Persentase Anak Berumur 7-17 Tahun yang Masih/Pernah Sekolah menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Status Sekolah, 2014

Tipe Daerah/

Jenis Kelamin Sekolah Masih

Pernah Sekolah Putus

Sekolah Tamat Sekolah Total

(1) (2) (3) (4) (5) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 95,90 1,56 2,54 100,00 Perempuan (P) 96,55 0,90 2,54 100,00 L+P 96,22 1,24 2,54 100,00 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 93,60 2,65 3,75 100,00 Perempuan (P) 94,88 1,44 3,67 100,00 L+P 94,22 2,07 3,72 100,00 K + D : Laki-laki (L) 94,70 2,13 3,17 100,00 Perempuan (P) 95,69 1,18 3,13 100,00 L+P 95,18 1,67 3,15 100,00 Sumber: BPS - Susenas 2014

Pada tahun 2014, sebanyak 1,67 persen anak berumur 7-17 tahun yang putus sekolah (Tabel 6.4). Hal inimenunjukkan bahwa dari setiap 100 orang anak usia 7-17 tahun yang bersekolah, sekitar 2 anak mengalami putus sekolah. Sementara itu, persentase anak berumur 7-17 tahun yang masih bersekolah sebesar 95,18 persen dan sebanyak 3,15 persen anak telahmenamatkan sekolahnya.

Bila dilihat menurut tipe daerah, persentase anak putus sekolah lebih banyak terjadi di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Anak di perdesaan yang putus sekolah tercatat sebesar 2,07 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 1,24 persen. Apabila diperhatikan menurut jenis kelamin, anak laki-laki yang putus sekolah lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan (2,13 persen berbanding 1,18 persen).

sebesar 0,57 persen, dan kelompok umur 16-17 sebesar 0,30 persen. Tingginya angka buta huruf pada kelompok umur muda bisa dipahami karena pada umumnya anak pada kelompok tersebutjenjang pendidikannya masih rendah, bahkan ada yang belum bersekolah sehingga kemampuan baca dan tulisnya juga masih rendah. Pola ini terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan dan daerah perkotaan maupun perdesaan.

Apabila diperhatikan menurut daerah tempat tinggal, persentase anak buta huruf di daerah perdesaan lebih besar dibanding anak di daerah perkotaan (14,25 persen berbanding 10,18 persen). Berdasarkan jenis kelamin, angka buta huruf anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Angka buta huruf anak laki-laki sebesar 12,85 persen dan angka buta huruf anak perempuan sebesar 11,70 persen). Pola yang sama terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.

6.4 Putus Sekolah

Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar yang layak merupakan hak setiap warga negara. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang didasari konsep “Pendidikan Dasar Untuk Semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses yang sama untuk setiap warga negara. Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama sembilan tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas satu SD/sederajat hingga kelas sembilan SMP/sederajat. Melalui program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak, namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan khususnya menuntaskan wajib belajar 9 tahun, karena pada kenyataannya masih banyak dijumpai anak-anak putus sekolah.

Gunawan (2010) dalam Sutiasnah (2015) menyatakan putus sekolah ialah predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya.

6.4.1 Angka Putus Sekolah

Angka putus sekolah menunjukkan tingkat putus sekolah (berhenti sekolah sebelum menamatkan pendidikan) di suatu jenjang pendidikan yang dinyatakan dalam persen.

Tabel 6.4 Persentase Anak Berumur 7-17 Tahun yang Masih/Pernah Sekolah menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Status Sekolah, 2014

Tipe Daerah/

Jenis Kelamin Sekolah Masih

Pernah Sekolah Putus

Sekolah Tamat Sekolah Total

(1) (2) (3) (4) (5) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 95,90 1,56 2,54 100,00 Perempuan (P) 96,55 0,90 2,54 100,00 L+P 96,22 1,24 2,54 100,00 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 93,60 2,65 3,75 100,00 Perempuan (P) 94,88 1,44 3,67 100,00 L+P 94,22 2,07 3,72 100,00 K + D : Laki-laki (L) 94,70 2,13 3,17 100,00 Perempuan (P) 95,69 1,18 3,13 100,00 L+P 95,18 1,67 3,15 100,00 Sumber: BPS - Susenas 2014

Pada tahun 2014, sebanyak 1,67 persen anak berumur 7-17 tahun yang putus sekolah (Tabel 6.4). Hal inimenunjukkan bahwa dari setiap 100 orang anak usia 7-17 tahun yang bersekolah, sekitar 2 anak mengalami putus sekolah. Sementara itu, persentase anak berumur 7-17 tahun yang masih bersekolah sebesar 95,18 persen dan sebanyak 3,15 persen anak telahmenamatkan sekolahnya.

Bila dilihat menurut tipe daerah, persentase anak putus sekolah lebih banyak terjadi di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Anak di perdesaan yang putus sekolah tercatat sebesar 2,07 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 1,24 persen. Apabila diperhatikan menurut jenis kelamin, anak laki-laki yang putus sekolah lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan (2,13 persen berbanding 1,18 persen).

Angka putus sekolah anak yang paling tinggi terdapat pada jenjang pendidikan SMP/sederajat (Tabel 6.5.). Sebanyak 2,24 persen anak mengalami putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP/sederajat. Sementara itu, angka putus sekolah anak pada tingkat SM/sederajat dan SD/sederajat masing-masing sebesar 1,74 persen dan 1,41 persen. Pola yang serupa juga terlihat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan serta pada anak laki-laki maupun perempuan.

Apabila diperhatikan menurut daerah tempat tinggal, angka putus sekolah anak di daerah perdesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkotaan. Lebih tingginya angka putus sekolah anak di daerah perdesaan dibanding anak di daerah perkotaan terlihat pada setiap jenjang pendidikan baik SD/sederajat, SMP/sederajat, maupun SM/sederajat.

Tabel 6.5 Angka Putus Sekolah Anak Berumur 7-17 Tahun menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan, 2014

Tipe Daerah/ Jenis Kelamin

Jenjang Pendidikan SD/

Sederajat Sederajat SMP/ Sederajat SM/

(1) (2) (3) (4) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 1,12 2,53 1,62 Perempuan (P) 0,75 0,98 1,34 L+P 0,94 1,76 1,48 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 2,41 3,35 2,42 Perempuan (P) 1,16 1,98 1,74 L+P 1,81 2,68 2,08 K + D : Laki-laki (L) 1,82 2,96 1,98 Perempuan (P) 0,97 1,49 1,51 L+P 1,41 2,24 1,74 Sumber: BPS – Susenas 2014

Ada perbedaan yang signifikan antara angka putus sekolah anak laki-laki dan perempuan (Tabel 6.5). Untuk jenjang pendidikan SD dan SMP angka putus sekolah anak laki-laki hampir dua kali lipat dibanding dengan anak perempuan. Pada jenjang SM angka putus sekolah anak laki-laki sebesar 1,98 persen dan anak perempuan sebesar 1,51 persen.

6.4.2 Alasan Tidak Sekolah

Pendidikan yang diupayakan oleh pemerintah sebagai usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat dilihat dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program tersebut menegaskan bahwa anak-anak Indonesia harus sekolah minimal sampai sembilan tahun atau lulus SMP. Akan tetapi, program tersebut dirasakan masih belum optimal jika melihat masih banyak anak yang putus sekolah.

Pendidikan murah atau gratis yang banyak diwacanakan dan diinginkan kalangan masyarakat memang akan menolong jika ditinjau secara faktor ekonomi. Akan tetapi, kebijakan ini harus juga ditunjang dengan kebijakan lain untuk menuntaskan berbagai faktor penyebab putus sekolah yang lainnya. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi bukanlah penyebab satu-satunya putus sekolah. Selain faktor ekonomi, putus sekolah juga dapat disebabkan oleh faktor psikologis, geografis, serta lingkungan sosial.

Faktor ketidakmampuan membiayai sekolah atau faktor ekonomi menjadi faktor penyebab yang paling dominan dari tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.6, sebagian besaranak berumur 7-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dikarenakan alasan ekonomi, yaitu tidak ada biaya (39,48 persen), bekerja/mencari nafkah (9,77 persen) dan malu karena ekonomi (1,17 persen). Selain alasan ekonomi, alasan menikah/mengurus rumah tangga dan merasa pendidikan cukup juga memberikan dampak terhadap anak tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan persentase masing-masing sebesar 4,86 persen dan 4,85 persen.

Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, persentase anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan alasan menikah/mengurus rumah tanggadan sekolah jauh di perdesaan lebih tinggi dibanding anak di perkotaan. Persentase anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena menikah/mengurus rumah tangga di perdesaan sebesar 5,71 persen, dan di perkotaan sebesar 3,35 persen. Persentase anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena sekolah jauh di perdesaan sebesar 5,87 persen, dan di perkotaan sebesar 0,42 persen.

Tabel 6.6 juga menunjukkan bahwa alasan tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena bekerja/mencari nafkah persentasenya lebih besar pada anak laki-laki dibanding perempuan (11,15 persen berbanding 8,01 persen).

Angka putus sekolah anak yang paling tinggi terdapat pada jenjang pendidikan SMP/sederajat (Tabel 6.5.). Sebanyak 2,24 persen anak mengalami putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP/sederajat. Sementara itu, angka putus sekolah anak pada tingkat SM/sederajat dan SD/sederajat masing-masing sebesar 1,74 persen dan 1,41 persen. Pola yang serupa juga terlihat baik di daerah perkotaan maupun perdesaan serta pada anak laki-laki maupun perempuan.

Apabila diperhatikan menurut daerah tempat tinggal, angka putus sekolah anak di daerah perdesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkotaan. Lebih tingginya angka putus sekolah anak di daerah perdesaan dibanding anak di daerah perkotaan terlihat pada setiap jenjang pendidikan baik SD/sederajat, SMP/sederajat, maupun SM/sederajat.

Tabel 6.5 Angka Putus Sekolah Anak Berumur 7-17 Tahun menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan, 2014

Tipe Daerah/ Jenis Kelamin

Jenjang Pendidikan SD/

Sederajat Sederajat SMP/ Sederajat SM/

(1) (2) (3) (4) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 1,12 2,53 1,62 Perempuan (P) 0,75 0,98 1,34 L+P 0,94 1,76 1,48 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 2,41 3,35 2,42 Perempuan (P) 1,16 1,98 1,74 L+P 1,81 2,68 2,08 K + D : Laki-laki (L) 1,82 2,96 1,98 Perempuan (P) 0,97 1,49 1,51 L+P 1,41 2,24 1,74 Sumber: BPS – Susenas 2014

Ada perbedaan yang signifikan antara angka putus sekolah anak laki-laki dan perempuan (Tabel 6.5). Untuk jenjang pendidikan SD dan SMP angka putus sekolah anak laki-laki hampir dua kali lipat dibanding dengan anak perempuan. Pada jenjang SM angka putus sekolah anak laki-laki sebesar 1,98 persen dan anak perempuan sebesar 1,51 persen.

6.4.2 Alasan Tidak Sekolah

Pendidikan yang diupayakan oleh pemerintah sebagai usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat dilihat dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program tersebut menegaskan bahwa anak-anak Indonesia harus sekolah minimal sampai sembilan tahun atau lulus SMP. Akan tetapi, program tersebut dirasakan masih belum optimal jika melihat masih banyak anak yang putus sekolah.

Pendidikan murah atau gratis yang banyak diwacanakan dan diinginkan kalangan masyarakat memang akan menolong jika ditinjau secara faktor ekonomi. Akan tetapi, kebijakan ini harus juga ditunjang dengan kebijakan lain untuk menuntaskan berbagai faktor penyebab putus sekolah yang lainnya. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi bukanlah penyebab satu-satunya putus sekolah. Selain faktor ekonomi, putus sekolah juga dapat disebabkan oleh faktor psikologis, geografis, serta lingkungan sosial.

Faktor ketidakmampuan membiayai sekolah atau faktor ekonomi menjadi faktor penyebab yang paling dominan dari tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.6, sebagian besaranak berumur 7-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dikarenakan alasan ekonomi, yaitu tidak ada biaya (39,48 persen), bekerja/mencari nafkah (9,77 persen) dan malu karena ekonomi (1,17 persen). Selain alasan ekonomi, alasan menikah/mengurus rumah tangga dan merasa pendidikan cukup juga memberikan dampak terhadap anak tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan persentase masing-masing sebesar 4,86 persen dan 4,85 persen.

Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, persentase anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan alasan menikah/mengurus rumah tanggadan sekolah jauh di perdesaan lebih tinggi dibanding anak di perkotaan. Persentase anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena menikah/mengurus rumah tangga di perdesaan sebesar 5,71 persen, dan di perkotaan sebesar 3,35 persen. Persentase anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena sekolah jauh di perdesaan sebesar 5,87 persen, dan di perkotaan sebesar 0,42 persen.

Tabel 6.6 juga menunjukkan bahwa alasan tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena bekerja/mencari nafkah persentasenya lebih besar pada anak laki-laki dibanding perempuan (11,15 persen berbanding 8,01 persen).

Alasan tidak/belum pernah sekolah atautidak sekolah lagi karena menikah/mengurus rumah tangga persentasenya lebih besar pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. Persentase anak perempuan yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi karena menikah/mengurus rumah tangga sebesar 10,77 persen, dan anak laki-laki sebesar 0,21 persen.

Tabel 6.6Persentase Anak Berumur 7-17 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi menurut Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin, 2014

Sumber: BPS - Susenas 2014

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA (Halaman 72-76)