• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengasuhan Alternatif

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA (Halaman 36-43)

PENGASUHAN ALTERNATIF DAN PERKAWINAN USIA DINI

4.1 Pengasuhan Alternatif

Mencetak generasi unggul di tengah persaingan global dapat dilakukan dengan jalan menyelenggarakan pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, bakat, minat dan kesanggupannya. Hal tersebut akan terwujud jika pendidikan dilakukan sejak anak usia dini.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan fondasi bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia selanjutnya. Oleh karena itu, peningkatan penyelenggaraan PAUD sangat memegang peranan yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa mendatang. Arti penting mendidik anak sejak usia dini dilandasai dengan kesadaran bahwa masa anak-anak adalah masa keemasan bagi perkembangan anak (golden age), karena dalam rentang usia dari 0 sampai 5 tahun, perkembangan fisik, motorik dan berbahasa atau linguistik seorang anak akan tumbuh dengan pesat. Pada masa-masa ini, anak-anak lebih suka meniru kebiasaan-kebiasaan orang di sekitarnya. Untuk itu, perlu diberikan pendidikan terbaik sedini mungkin kepada anak, sebagai langkah pencegahan bagi anak untuk tidak mencontoh hal-hal yang tidak baik.

Tabel 4.1 memperlihatkan sebanyak 17,83 persen anak umur 0-6 tahun pada tahun 2014 sedang mengikuti PAUD. Persentase anak kelompok umur 0-2 tahun yang sedang mengikuti PAUD sebesar 1,05 persen, kelompok umur 3-4 tahun sebesar 19,46 persen, dan kelompok umur 5-6 tahun sebesar 39,25 persen.

4

4

Tabel 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD menurut

TipeDaerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, 2014

Tipe Daerah/Jenis Kelamin Kelompok Umur (Tahun)

0 - 2 3 - 4 5 - 6 3 - 6 0 - 6 (1) (2) (3) (4) (5) (6) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 1,24 20,90 44,93 32,68 19,97 Perempuan (P) 1,44 23,92 44,91 34,43 20,88 L+P 1,34 22,35 44,92 33,53 20,41 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 0,71 15,42 33,99 24,82 15,16 Perempuan (P) 0,82 17,92 33,71 25,71 15,53 L+P 0,77 16,65 33,85 25,25 15,34 K + D : Laki-laki (L) 0,97 18,15 39,27 28,67 17,53 Perempuan (P) 1,13 20,84 39,23 29,97 18,15 L+P 1,05 19,46 39,25 29,31 17,83 Sumber: BPS - Susenas 2014

Anak umur 0-6 tahun di daerah perkotaan yang sedang mengikuti PAUD lebih tinggi dibanding dengan daerah perdesaan. Anak umur 0-6 tahun di daerah perkotaan yang sedang mengikuti PAUD sebesar 20,41 persen, sedangkan di daerah perdesaan sebesar 15,43 persen.

Gambar 4.1 secara umum memperlihatkan persentase anak laki-laki umur 0-6 tahun yang mengikuti PAUD tidak terlalu jauh berbeda dengan anak perempuan. Persentase anak laki-laki umur 0-6 tahun yang sedang mengikuti PAUD sebesar 17,53 persen dan anak perempuan sebesar 18,15 persen. Pola yang serupa tampak di daerah perkotaan maupun perdesaan.

PENGASUHAN ALTERNATIF

DAN PERKAWINAN USIA DINI

4.1 Pengasuhan Alternatif

Mencetak generasi unggul di tengah persaingan global dapat dilakukan dengan jalan menyelenggarakan pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, bakat, minat dan kesanggupannya. Hal tersebut akan terwujud jika pendidikan dilakukan sejak anak usia dini.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan fondasi bagi perkembangan kualitas sumber daya manusia selanjutnya. Oleh karena itu, peningkatan penyelenggaraan PAUD sangat memegang peranan yang penting untuk kemajuan pendidikan di masa mendatang. Arti penting mendidik anak sejak usia dini dilandasai dengan kesadaran bahwa masa anak-anak adalah masa keemasan bagi perkembangan anak (golden age), karena dalam rentang usia dari 0 sampai 5 tahun, perkembangan fisik, motorik dan berbahasa atau linguistik seorang anak akan tumbuh dengan pesat. Pada masa-masa ini, anak-anak lebih suka meniru kebiasaan-kebiasaan orang di sekitarnya. Untuk itu, perlu diberikan pendidikan terbaik sedini mungkin kepada anak, sebagai langkah pencegahan bagi anak untuk tidak mencontoh hal-hal yang tidak baik.

Tabel 4.1 memperlihatkan sebanyak 17,83 persen anak umur 0-6 tahun pada tahun 2014 sedang mengikuti PAUD. Persentase anak kelompok umur 0-2 tahun yang sedang mengikuti PAUD sebesar 1,05 persen, kelompok umur 3-4 tahun sebesar 19,46 persen, dan kelompok umur 5-6 tahun sebesar 39,25 persen.

4

Tabel 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD menurut TipeDaerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, 2014 Tipe Daerah/Jenis Kelamin Kelompok Umur (Tahun)

0 - 2 3 - 4 5 - 6 3 - 6 0 - 6 (1) (2) (3) (4) (5) (6) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 1,24 20,90 44,93 32,68 19,97 Perempuan (P) 1,44 23,92 44,91 34,43 20,88 L+P 1,34 22,35 44,92 33,53 20,41 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 0,71 15,42 33,99 24,82 15,16 Perempuan (P) 0,82 17,92 33,71 25,71 15,53 L+P 0,77 16,65 33,85 25,25 15,34 K + D : Laki-laki (L) 0,97 18,15 39,27 28,67 17,53 Perempuan (P) 1,13 20,84 39,23 29,97 18,15 L+P 1,05 19,46 39,25 29,31 17,83 Sumber: BPS - Susenas 2014

Anak umur 0-6 tahun di daerah perkotaan yang sedang mengikuti PAUD lebih tinggi dibanding dengan daerah perdesaan. Anak umur 0-6 tahun di daerah perkotaan yang sedang mengikuti PAUD sebesar 20,41 persen, sedangkan di daerah perdesaan sebesar 15,43 persen.

Gambar 4.1 secara umum memperlihatkan persentase anak laki-laki umur 0-6 tahun yang mengikuti PAUD tidak terlalu jauh berbeda dengan anak perempuan. Persentase anak laki-laki umur 0-6 tahun yang sedang mengikuti PAUD sebesar 17,53 persen dan anak perempuan sebesar 18,15 persen. Pola yang serupa tampak di daerah perkotaan maupun perdesaan.

Sumber: BPS - Susenas 2014

Gambar 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2014

Keberadaan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini diatur oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 28 mengenai Pendidikan Anak Usia Dini menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal berbentuk TK (Taman Kanak-Kanak), RA (Raudhatul Athfal), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal berbentuk KB (Kelompok Bermain), TPA (Tempat Penitipan Anak), atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu, pendidikan usia dini jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Hasil Susenas tahun 2014, seperti yang terdapat pada Tabel 4.2memperlihatkan jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah TK/RA/BA dengan persentase sebesar 64,61 persen. Selain TK/RA/BA, jenis PAUD yang juga banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah Satuan PAUD Sejenis Lainnya dengan persentase sebesar 17,80 persen dan Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu sebesar 14,24 persen.

Tabel 4.2 Persentase Anak Berumur 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD, 2014

Tipe Daerah Jenis Kelamin Jenis PAUD Jumlah TK/ RA/ BA Kelompok bermain Taman penitipan anak Pos PAUD/ PAUD terintegrasi BKB/ Posyandu Satuan PAUD sejenis lainnya (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 66,38 3,57 0,92 12,28 16,84 100,00 Perempuan (P) 64,25 3,00 1,22 14,36 17,17 100,00 L+P 65,32 3,29 1,07 13,32 17,00 100,00 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 65,39 1,47 0,65 14,86 17,63 100,00 Perempuan (P) 61,99 1,61 0,36 15,99 20,05 100,00 L+P 63,70 1,54 0,50 15,42 18,83 100,00 K + D : Laki-laki (L) 65,95 2,65 0,80 13,42 17,19 100,00 Perempuan (P) 63,26 2,39 0,84 15,07 18,43 100,00 L+P 64,61 2,52 0,82 14,24 17,80 100,00 Sumber: BPS - Susenas 2014

Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki 0-6 tahun yang mengikuti PAUD jenis TK/RA/BA dan Kelompok Bermain lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Sementara itu, pada PAUD jenis Taman Penitipan Anak, Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu dan Satuan PAUD Sejenis Lainnya, persentase anak perempuan umur 0-6 tahun yang mengikuti PAUD tersebut lebih tinggi dibanding dengan anak laki-laki.

Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, persentase anak umur 0-6 tahun di perdesaan yang sedang mengikuti Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu dan Satuan PAUD Sejenis Lainnya lebih tinggi dibanding dengan anak di perkotaan. Sebaliknya, persentase anak 0-6 tahun di perkotaan yang sedang mengikuti PAUD TK/RA/BA, Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak lebih tinggi dibanding di perdesaan.

4.2 PerkawinanUsiaDini

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

Sumber: BPS - Susenas 2014

Gambar 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2014

Keberadaan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini diatur oleh Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 28 mengenai Pendidikan Anak Usia Dini menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal berbentuk TK (Taman Kanak-Kanak), RA (Raudhatul Athfal), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal berbentuk KB (Kelompok Bermain), TPA (Tempat Penitipan Anak), atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu, pendidikan usia dini jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Hasil Susenas tahun 2014, seperti yang terdapat pada Tabel 4.2memperlihatkan jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah TK/RA/BA dengan persentase sebesar 64,61 persen. Selain TK/RA/BA, jenis PAUD yang juga banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah Satuan PAUD Sejenis Lainnya dengan persentase sebesar 17,80 persen dan Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu sebesar 14,24 persen.

Tabel 4.2 Persentase Anak Berumur 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD, 2014

Tipe Daerah Jenis Kelamin Jenis PAUD Jumlah TK/ RA/ BA Kelompok bermain Taman penitipan anak Pos PAUD/ PAUD terintegrasi BKB/ Posyandu Satuan PAUD sejenis lainnya (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Perkotaan (K): Laki-laki (L) 66,38 3,57 0,92 12,28 16,84 100,00 Perempuan (P) 64,25 3,00 1,22 14,36 17,17 100,00 L+P 65,32 3,29 1,07 13,32 17,00 100,00 Perdesaan (D): Laki-laki (L) 65,39 1,47 0,65 14,86 17,63 100,00 Perempuan (P) 61,99 1,61 0,36 15,99 20,05 100,00 L+P 63,70 1,54 0,50 15,42 18,83 100,00 K + D : Laki-laki (L) 65,95 2,65 0,80 13,42 17,19 100,00 Perempuan (P) 63,26 2,39 0,84 15,07 18,43 100,00 L+P 64,61 2,52 0,82 14,24 17,80 100,00 Sumber: BPS - Susenas 2014

Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki 0-6 tahun yang mengikuti PAUD jenis TK/RA/BA dan Kelompok Bermain lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Sementara itu, pada PAUD jenis Taman Penitipan Anak, Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu dan Satuan PAUD Sejenis Lainnya, persentase anak perempuan umur 0-6 tahun yang mengikuti PAUD tersebut lebih tinggi dibanding dengan anak laki-laki.

Apabila dilihat menurut daerah tempat tinggal, persentase anak umur 0-6 tahun di perdesaan yang sedang mengikuti Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu dan Satuan PAUD Sejenis Lainnya lebih tinggi dibanding dengan anak di perkotaan. Sebaliknya, persentase anak 0-6 tahun di perkotaan yang sedang mengikuti PAUD TK/RA/BA, Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak lebih tinggi dibanding di perdesaan.

4.2 PerkawinanUsiaDini

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun. Karena, sebuah perkawinan sejatinya dilakukan pada saat laki-laki dan perempuan sudah cukup matang sehingga kedua belah pihak siap secara fisik, mental maupun psikis untuk membina rumah tangga. Akan tetapi, tidak jarang dijumpai anak-anakberstatus kawin/cerai.

Seiring dengan waktu, terbitlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat 1 butir 3 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak-anak. Dari Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dianjurkan adalah usia minimal 18 tahun. Pada publikasi ini, yang dimaksud dengan perkawinan usia dini mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak adalah anak-anak usia di bawah 18 tahun yang sudah menikah, anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin dan cerai, baik cerai hidup maupun cerai mati.

Pada Tabel Lampiran L-4.2terlihat bahwa 1,60 persen anak perempuan usia 10-17 tahun di Indonesia telah melakukan perkawinan.Dan jika diperhatikan menurut tipe daerah, persentaseanak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatuskawin di daerah perkotaan yaitu 0,9 persen, sedangkan di perdesaan hampir tiga kali lipatnya yaitu mencapai 2,24 persen. Hal ini diduga disebabkan berbagai faktor, diantaranya ekonomi, sosial dan budaya. Alasan ekonomi mungkin dianggap sebagai solusi paling cepat dan mudah bagi orang tua atas beban anak yang tentu saja akan digantikan oleh suami setelah seorang atau setelah menikah seorang anak perempuan diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga. Yang menjadi alasan sosial misalnya masih adanya sebagian masyarakat di Indonesia yang menganggap bahwa semakin cepat menikah adalah suatu hal yang baik bagi seorang perempuan. Sedangkan dari segi budaya, diduga di beberapa daerah di Indonesia, khususnya daerah-daerah terpencil, menikah di usia sangat muda adalah hal yang sudah sangat umum dilakukan, sehingga bukan dianggap hal yang tabu meskipun tidak sesuai dengan ketetapan undang-undang perkawinan.

Sosialisasi akan pentingnya melakukan perkawinan pada usia yang tepat perlu dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga, masyarakat juga harus dikomunikasikan tentang pentingnya mengatur usia perkawinan. Bagi perempuan, menikah di usia yang tepat akan mengurangi resiko kematian ibu dan bayi. Karena

melahirkan pada usia sangat muda akan sangat beresiko terhadap kematian, baik kematian ibu maupun bayinya. Dalam jangka panjang, ini juga akan menurunkan angka fertilitas dengan cara memperpendek rentang masa reproduksi perempuan melalui penundaan usia perkawinan.

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa 98,40 persen anak perempuan usia 10-17 tahun belum kawin, 1,53 persen berstatus kawin dan 0,07 persen berstatus cerai, baik cerai mati maupun cerai hidup. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi kementerian dan lembaga terkait, anak yang berstatuskawinakan tercabutsebagian haknya sebagai anak,diantaranya adalah hak atas pendidikan. Karena sebagaimana kita tahu, pada pendidikan dasar dan menengah formal mensyaratkan anak harus berstatus belum kawin.

Sumber: BPS-Susenas 2014

Gambar 4.2 Persentase Anak Perempuan Usia10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan,2014

Lebih rinci lagi, pada Gambar 4.3, dari 1,60 persen anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin dan cerai di Indonesia, sebesar 35,83 persen kawin di usia 15 tahun ke bawah, sebesar 39,45 persen kawin di usia 16 tahun, dan sebesar24,72 persen kawin di usia 17 tahun.Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu usia perkawinan yang diijinkan untuk perempuan adalah 16 tahun, maka masih cukup banyak anak yang menikah di usia kurang dari 16 tahun.

Belum kawin 98,40

Kawin 1,53 Cerai mati dan

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun. Karena, sebuah perkawinan sejatinya dilakukan pada saat laki-laki dan perempuan sudah cukup matang sehingga kedua belah pihak siap secara fisik, mental maupun psikis untuk membina rumah tangga. Akan tetapi, tidak jarang dijumpai anak-anakberstatus kawin/cerai.

Seiring dengan waktu, terbitlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pasal 26 ayat 1 butir 3 menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak-anak. Dari Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dianjurkan adalah usia minimal 18 tahun. Pada publikasi ini, yang dimaksud dengan perkawinan usia dini mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak adalah anak-anak usia di bawah 18 tahun yang sudah menikah, anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin dan cerai, baik cerai hidup maupun cerai mati.

Pada Tabel Lampiran L-4.2terlihat bahwa 1,60 persen anak perempuan usia 10-17 tahun di Indonesia telah melakukan perkawinan.Dan jika diperhatikan menurut tipe daerah, persentaseanak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatuskawin di daerah perkotaan yaitu 0,9 persen, sedangkan di perdesaan hampir tiga kali lipatnya yaitu mencapai 2,24 persen. Hal ini diduga disebabkan berbagai faktor, diantaranya ekonomi, sosial dan budaya. Alasan ekonomi mungkin dianggap sebagai solusi paling cepat dan mudah bagi orang tua atas beban anak yang tentu saja akan digantikan oleh suami setelah seorang atau setelah menikah seorang anak perempuan diharapkan dapat membantu perekonomian keluarga. Yang menjadi alasan sosial misalnya masih adanya sebagian masyarakat di Indonesia yang menganggap bahwa semakin cepat menikah adalah suatu hal yang baik bagi seorang perempuan. Sedangkan dari segi budaya, diduga di beberapa daerah di Indonesia, khususnya daerah-daerah terpencil, menikah di usia sangat muda adalah hal yang sudah sangat umum dilakukan, sehingga bukan dianggap hal yang tabu meskipun tidak sesuai dengan ketetapan undang-undang perkawinan.

Sosialisasi akan pentingnya melakukan perkawinan pada usia yang tepat perlu dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga, masyarakat juga harus dikomunikasikan tentang pentingnya mengatur usia perkawinan. Bagi perempuan, menikah di usia yang tepat akan mengurangi resiko kematian ibu dan bayi. Karena

melahirkan pada usia sangat muda akan sangat beresiko terhadap kematian, baik kematian ibu maupun bayinya. Dalam jangka panjang, ini juga akan menurunkan angka fertilitas dengan cara memperpendek rentang masa reproduksi perempuan melalui penundaan usia perkawinan.

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa 98,40 persen anak perempuan usia 10-17 tahun belum kawin, 1,53 persen berstatus kawin dan 0,07 persen berstatus cerai, baik cerai mati maupun cerai hidup. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi kementerian dan lembaga terkait, anak yang berstatuskawinakan tercabutsebagian haknya sebagai anak,diantaranya adalah hak atas pendidikan. Karena sebagaimana kita tahu, pada pendidikan dasar dan menengah formal mensyaratkan anak harus berstatus belum kawin.

Sumber: BPS-Susenas 2014

Gambar 4.2 Persentase Anak Perempuan Usia10-17 Tahun Menurut Status

Perkawinan,2014

Lebih rinci lagi, pada Gambar 4.3, dari 1,60 persen anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin dan cerai di Indonesia, sebesar 35,83 persen kawin di usia 15 tahun ke bawah, sebesar 39,45 persen kawin di usia 16 tahun, dan sebesar24,72 persen kawin di usia 17 tahun.Merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu usia perkawinan yang diijinkan untuk perempuan adalah 16 tahun, maka masih cukup banyak anak yang menikah di usia kurang dari 16 tahun.

Belum kawin 98,40

Kawin 1,53 Cerai mati dan

Sumber: BPS-Susenas 2014

Gambar 4.3 Persentase Anak Perempuan Usia 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Cerai Menurut Umur Kawin Pertama, 2014

Melihat fenomena perkawinan pada usia yang sangat muda bagi perempuan, tentunya hal ini tidak terlepas dari peran orang tua, seorang anak kemungkinan sudah mempunyai kesadaran atas dirinya dapat memutuskan kapan dia ingin menikah jika tidak ada campur tangan orang tua atau orang yang terdekat dengan dirinya. Sehingga untuk mengurangi fenomena pernikahan dini ini dapat dilakukan dengan cara memberikan edukasi kepada para orang tua, khususnya yang memiliki anak perempuan agar dapat menunda usia perkawinan hingga anak perempuannya telah mencapai usia yang cukup matang untuk menikah.

<= 15 tahun 35,83

16 tahun 39,45 17 tahun 24,72

Sumber: BPS-Susenas 2014

Gambar 4.3 Persentase Anak Perempuan Usia 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan

Cerai Menurut Umur Kawin Pertama, 2014

Melihat fenomena perkawinan pada usia yang sangat muda bagi perempuan, tentunya hal ini tidak terlepas dari peran orang tua, seorang anak kemungkinan sudah mempunyai kesadaran atas dirinya dapat memutuskan kapan dia ingin menikah jika tidak ada campur tangan orang tua atau orang yang terdekat dengan dirinya. Sehingga untuk mengurangi fenomena pernikahan dini ini dapat dilakukan dengan cara memberikan edukasi kepada para orang tua, khususnya yang memiliki anak perempuan agar dapat menunda usia perkawinan hingga anak perempuannya telah mencapai usia yang cukup matang untuk menikah.

<= 15 tahun 35,83 16 tahun 39,45 17 tahun 24,72

5

BAB

KESEHATAN

Dalam dokumen PROFIL ANAK INDONESIA (Halaman 36-43)