• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRISIS DAN KETIDAKPASTIAN NAFKAH: KARAKTERISTIK EKONOMI NELAYAN UJUNG KULON

Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan

Ekonomi nelayan lekat dengan situasi krisis dan ketidakpastian karena dalam aktivitas mencari nafkah sangat tergantung pada situasi alam yang fluktuatif sehingga pendapatan mereka juga tidak menentu dari waktu ke waktu. Faktor alam yang sangat menentukan aktivitas ekonomi nelayan adalah kondisi alam yang pada saat ini juga mengalami perubahan secara signifikan karena perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global. Wilayah pesisir tempat nelayan bermukim dan mencari nafkah merupakan wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim berupa kenaikan muka air laut, perubahan suhu permukaan air laut, perubahan pola cuaca dan iklim setempat. Semakin ekstrim perubahan cuaca yang terjadi, maka semakin besar hambatan bagi nelayan untuk melakukan aktivitasnya mencari nafkah.

Indonesia memiliki wilayah berupa gugusan kepulauan dan berada pada pengaruh iklim tropis, dimana hal ini merupakan dampak dari posisi Kepulauan Indonesia berada diantara dua samudra dan dua benua. Kondisi Iklim di Indonesia terpengaruh oleh sirkulasi monsun Asia dan Australia yang dicirikan oleh sistem angin dekat permukaan yang berubah arah hampir setengah tahun sekali. Perubahan arah sirkulasi ini membentuk perubahan dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Sirkulasi angin summer monsoon berlangsung pada periode Juni-Juli agustus, dimana di kalangan masyarakat nelayan Pesisir, musim ini dikenal dengan istilah Musim Timur. Musim sirkulasi angin winter monsoon berlangsung pada periode Desember-Januari-Februari yang identik dengan sebutan Musim Barat.

Pada saat Musim Timur, ini berarti musim tangkapan ikan bagi nelayan setempat, karena secara umum gelombang laut relatif tidak terlalu tinggi dan cuaca cerah, dan suhu laut mendukung untuk berkumpulnya ikan-ikan. Sedangkan pada saat sirkulasi winter monsoon, angin akan bertiup kencang disertai dengan arus gelombang tinggi, terkadang hujan deras dan suhu laut tidak mendukung berkumpulnya ikan. Pada saat musim barat inilah para nelayan menyebutnya dengan musim paceklik. Musim paceklik bagi nelayan adalah suatu masa dimana para nelayan tidak dapat menjalankan aktivitasnya karena faktor cuaca ataupun faktor lainnya dalam waktu relatif lama sehingga nelayan tidak memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kalaupun nelayan dapat melakukan aktivitas melaut, maka pendapatan nelayan yang dihasilkan tersebut tidak mampu menutupi pengeluaran ekonomi yang dikeluarkan termasuk pengeluaran kebutuhan rumah tangga dan pengeluaran modal melaut.

Pesisir Ujung Kulon terletak pada Kabupaten Pandeglang yang memiliki garis pantai menghadap Samudera Indonesia sepanjang 47,20 km, garis pantai menghadap Selat Sunda 182, 80 km dan garis pantai termasuk Pulau-pulau kecil sepanjang 461,80 km. Luas Perairan Kabupaten Pandeglang di Samudera Indonesia 349,28 km2 dan perairan Selat Sunda 1.352,72 km2. Secara umum, luas perairan Provinsi Banten 11. 486,72 km2 dengan panjang garis pantai sepanjang

499,62 km. Posisi geografis wilayah pesisir Ujung Kulon menghadap Samudera Indonesia dan memiliki pulau-pulau kecil di sekitarnya menentukan daerah tangkapan ikan (fishing ground) terdekat berada di sekitar Pulau-pulau kecil tersebut. Armada penangkapan ikan nelayan setempat yang cenderung sederhana dan tradisional menjadikan daerah tangkapan ikan yang terjauh sampai ke pinggiran Samudera Indonesia dan Selat Sunda.

Gambar 27. Wilayah Tangkapan Ikan Nelayan Ujung Kulon Sumber : DKP 2012

Banyaknya pulau-pulau kecil yang masih alami dan tidak berpenghuni ataupun pulau-pulau kecil yang merupakan hutan lindung mempengaruhi tingkat produktivitas sumberdaya dan potensi perikanan di wilayah ini. Di sekitar pulau- pulau kecil inilah merupakan lokasi dimana ikan-ikan berkumpul. Keberadaan Taman Nasional Ujung Kulon yang merupakan wilayah konservasi turut menentukan produktivitas perikanan di wilayah setempat. Secara teoritis, lokasi dimana ikan-ikan berkumpul merupakan daerah perairan dengan tingkat kesuburan tinggi yang ditandai dengan produktivitas primer. Produktivitas primer adalah tingkat pembentukan senyawa organik yang merupakan sumber energi terbesar produktivitas fitoplankton yang berperan besar dalam produktivitas sumberdaya di laut. Produktivitas primer dalam suatu wilayah perairan ditandai dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu cahaya, zat hara (nutrien) dan faktor oceanografi (Nybakken. 1992). Fitoplankton hanya terdapat pada lokasi dengan intensitas cahaya yang mencukupi untuk berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya matahari di wilayah tropik yang tidak tercemar dapat menembus sampai kedalaman 100-120 m ke bawah permukaan laut. Wilayah perairan yang tercemar secara otomatis akan menghalangi faktor pencahayaan dan selanjutnya mempengaruhi berlangsungnya fotosintesis. Dari dasar inilah ketika suatu wilayah perairan sudah tercemar, maka biasanya produktivitas sumber daya laut menjadi rendah. Dengan dasar inilah maka produktivitas sumberdaya laut di wilayah setempat relatif masih memadai dengan terjaganya wilayah perairan laut Ujung Kulon dari pencemaran.

Tabel 14. Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Perairan Ujung Kulon

No Nama Pulau Luas (Ha) Keterangan

1 Oar 11 Pribadi (H. Toni)

2 Sumur 1.600 -

3 Umang 10 Pribadi (Wisata )

4 Mangir 1.500 Pribadi

5 Pamagangan 900 Hutan Lindung 6 Boboko 900 Hutan Lindung 7 Handeuleum 60 Hutan Lindung 8 Peucang 500 Hutan Lindung 9 Panaitan 17.500 Hutan Lindung 10 Badul 15 Konservasi Biota 11 Karang Tikukur 4 Hutan Lindung 12 Pinang Kecing 4 Hutan Lindung

13 Watan 15 Hutan Lindung

14 Handeuleum Tengah - Tidak berpenghuni 15 Karangcopong Besar - Tidak berpenghuni 16 Karangcopong Kecil - Tidak berpenghuni 17 Karangcareuh - Tidak berpenghuni 18 Karang Tikukur Kecil - Tidak berpenghuni 19 Karang Ewoh - Tidak berpenghuni 20 Karang Eurih - Tidak berpenghuni 21 Karang Cikalapa Bareum - Tidak berpenghuni 22 Kabuy Utan - Tidak Berpenghuni 23 Karang bidur - Tidak Berpenghuni 24 Karang Pabayang - Tidak Berpenghuni 25 Karang Gunung Payung - Tidak Berpenghuni 16 Karang Jajar - Tidak Berpenghuni 27 Batu Putih - Tidak Berpenghuni 28 Batu Asin - Tidak Berpenghuni 29 Batu Quran - Tidak Berpenghuni Sumber : Data Primer dan Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011

Fishing Ground di wilayah sekitar pesisir Ujung Kulon juga dipengaruhi oleh upwelling yang merupakan faktor oseanografis yang mempengaruhi persediaan zat hara yang diperlukan bagi produktivitas sumber daya laut. Upwelling merupakan pemindahan massa air dari lapisan bawah ke permukaan sehingga dapat menaikkan zat hara yang diperlukan. Upwelling ini sangat dipengaruhi oleh faktor osenografis secara global artinya juga sangat dipengaruhi iklim global dan produktivitas perikanan pada area yang tak terbatas dan berubah sesuai dengan pergerakan angin dan iklim.

Gambar 28. Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993) Sumber : roadmap DKP 2011

Daerah upwelling di Indonesia selalu bergerak mengikuti perubahan angin monsun mengingat wilayah laut yang sangat luas tersebut dipengaruhi oleh iklim monsun. Daerah upwelling di laut sebelah barat Sumatra dan sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dipengaruhi oleh dua musim, yaitu monsun tenggara dan monsun barat laut, yaitu pada kondisi normal. Pada monsun tenggara (Mei-September) berhembus angin yang bergerak sejajar dengan pantai selatan Pulau Jawa yang bertiup dari Australia ke arah khatulistiwa. Tiupan angin ini menyebabkan gerakan massa air permukaan ke arah lepas pantai selatan Jawa. Akibatnya terjadi kekosongan massa air di sebagian besar pantai selatan Jawa. Sebagai kompensasi, maka massa air dari bagian bawah bergerak ke atas (upwelling) mengganti kekosongan massa air tersebut. Pergerakan massa air ke atas ini tentu disertai pula dengan naiknya zat hara ke permukaan. Dengan demikian produktivitas primer di daerah tersebut akan tinggi. Selain itu perubahan sistem arus yang dipengaruhi oleh perubahan iklim global atau akibat variabilitas laut berpotensi menaikkan atau menurunkan produktivitas tersebut. Sirkulasi arus lautan serta gerakan air laut juga dipengaruhi oleh perubahan lokal dari temperatur, salinitas, curah hujan, dan medan angin yang berhembus di atas permukaan laut serta pasang surut.

Kedua faktor di atas yaitu keragaan wilayah dan upwelling menentukan fluktuasi produktivitas sumber daya perikanan di wilayah ini. Selain kedua faktor tersebut terdapat faktor lain yang menentukan apakah para nelayan bisa turun melaut menangkap ikan atau tidak melakukan aktivitas penangkapan yaitu adanya variasi cuaca di Wilayah Pesisir Ujung Kulon berupa arah angin, arah gerak gelombang dan kecepatan angin. Kecepatan angin yang tinggi akan menentukan gelombang tinggi yang menjadi faktor pembatas nelayan tidak bisa melaut, selain itu cuaca juga menentukan perpindahan ikan dari satu tempat ke tempat yang lain yang menjadikan suatu waktu di wilayah tertentu tangkapan ikan menjadi sedikit.

Tabel 15. Variasi Unsur Cuaca Wilayah Pesisir Ujung Kulon Periode Juni - Oktober 2011

Tabel 16. Variasi Unsur Cuaca Wilayah Pesisir Ujung Kulon Periode Januari-Oktober 2012

Sumber : Diolah dari Prakiraan Cuaca Wilayah Carita, Labuan, Tanjung Lesung, Panimbang dan Sumur. BMKG Serang. 2012

Sejalan dengan monson tenggara dan upwelling yang terjadi di perairan bagian selatan Pulau Jawa, maka pada sekitar bulan Maret-September merupakan musim tangkapan ikan bagi nelayan pesisir Ujung Kulon yang mencapai puncak

Bulan Unsur Cuaca

Arah Angin Arah Gerak Gelombang Tinggi Gelombang(m) Cuaca Kecepatan Angin (knts) Juni Tenggara,Timur laut, Timur, Selatan Tenggara, selatan 0.8 – 2.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0 Juli Tenggara,Timur, Barat Daya Tenggara 0.8 – 3.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0

Agustus Timur, Tenggara, Selatan Tenggara 1.0 – 3.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 15.0 September Tenggara,Timur laut, Timur, Selatan Tenggara Selatan 0.6 – 2.5 Cerah Berawan, hujan ringan 3.0 – 15.0

Oktober Selatan, tenggara, Barat Daya

Selatan 0.6 – 2.0 Cerah Berawan, hujan ringan

3.0 – 15.0

November Tenggara Barat Daya Selatan Tenggara Selatan 0.6 – 2.0 Berawan, Hujan ringan 3.0 – 15.0

Desember Barat, Barat Daya Barat 0.7 – 2.5 Berawan, Hujan ringan

3.0 – 15.0 Sumber : Diolah dari Prakiraan Cuaca Wilayah Carita, Labuan, Tanjung Lesung, Panimbang dan

Sumur. BMKG Serang. 2011

Bulan Unsur Cuaca

Arah Angin Arah Gerak Gelombang

Tinggi Gelombang(m)

Cuaca Kecepatan Angin(knts)

Januari Barat, Barat Laut, Barat Daya

Barat 0.7 – 4.0 Berawan, hujan ringan

3.0 – 20.0

Pebruari Utara, Barat Laut, Barat Daya, selatan

Barat, Tenggara, Selatan 0.8 – 2.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0

Maret Barat, Barat Laut, Barat Daya

Barat 0.6 – 2.5 Berawan, hujan ringan

3.0 – 15.0

April Barat Daya, Timur, Timur Laut Tenggara Selatan 0.7– 2.5 Cerah Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0

Mei Timur, Tenggara, Barat Daya,selatan Tenggara, Selatan 0.7 – 2.0 Cerah Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0

Juni Timur, Barat Daya, tenggara

Tenggara. 0.7 – 3.0 Berawan, Hujan ringan

3.0 – 15.0

Juli Tenggara, selatan Tenggara 0.5 – 2.5 Berawan, Hujan ringan

3.0 – 12.0

Agustus Barat Daya, Tenggara Selatan

Tenggara 0.3 – 1.2 Berawan, Hujan ringan

3.0 – 10.0

September Tenggara, Timur Tenggara 0.8 – 3.0 Cerah Berawan, Hujan Ringan

3.0 – 15.0

Oktober Tenggara, Timur Tenggara 0.7– 2.5 Cerah Berawan, Hujan Ringan

musim ikan sekitar bulan Mei-Juni. Pada bulan berikutnya yaitu antara Oktober sampai Nopember angin monsun tenggara semakin menguat. Penguatan angin tenggara ini menyebabkan pusat upwelling bergerak ke pantai barat Sumatera dan di pesisir Ujung Kulon terjadi angin Barat (Oktober–Pebruari). Tangkapan ikan di wilayah pesisir Ujung Kulon menjadi berkurang dan mencapai puncaknya pada bulan Desember-Pebruari yang dikenal dengan musim paceklik.

Tabel 17. Matriks Fluktuasi Musim Tangkapan Ikan Nelayan Pesisir Ujung Kulon

Musim Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nop Des Hasil Tangkapan Tinggi √ √ √ Hasil Tangkapan Sedang √ √ √ √ Hasil Tangkapan Sedikit √ √ Musim Paceklik (Paila) √ √ √

Musim hasil tangkapan tinggi dalam setiap aktivitas melaut berlangsung selama kurang lebih tiga bulan dalam setahun, yaitu pada bulan April, Mei dan Juni. Pada musim ini, hasil tangkapan ikan cukup tinggi. Pada saat inilah nelayan berharap tingkat penghasilan relatif tinggi dari usaha penangkapan ikan yang dapat menutupi defisit pemenuhan kebutuhan modal dan kebutuhan rumah tangga pada bulan-bulan sebelumnya. Pada tiga bulan musim tangkapan tinggi merupakan musim tangkapan ikan teri, tenggiri, kembung, lemur, ekor kuning, tongkol, belida yang memiliki nilai ekonomis relatif tinggi. Khusus ikan teri yang merupakan komoditas utama yang dihasilkan alat tangkap bagan merupakan komoditas yang menghidupkan usaha pengolahan ikan teri rebus kering untuk komoditas ekspor. Keberadaan usaha penangkapan dan pengolahan ikan teri inilah yang mendorong denyut aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan semakin tinggi. Pada saat ini nelayan berlomba-lomba mengubah alat tangkap ikan yang dimilikinya menjadi alat tangkap bagan, karena usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bagan menurut nelayan lebih menjanjikan pendapatan yang relatif lebih pada musim-musim tangkapan puncak.

Pada bulan April, Mei dan Juni 2012, dalam satu bulan nelayan dapat melaut dengan frekuensi sampai 20 kali melaut dengan jumlah tangkapan yang cukup besar. setiap perahu bagan dapat menangkap ikan rata-rata 4,64 ton per bulan dan 183, 28 kg per melaut. Perahu Congkreng yang merupakan alat tangkap yang lazim terdapat di wilayah setempat dapat melakukan aktivitas melaut dengan frekuensi yang hampir sama dengan perahu bagan namun perahu jenis ini dipakai untuk memancing dan memancing ikan-ikan yang berukuran sedang seperti ikan kembung, cumi, udang, tenggiri, tongkol, kakap, dan lain-lain. Pada musim tangkapan puncak, setiap perahu congkreng dapat menangkap ikan dengan jumlah rata-rata 30,85 kg rata-rata per sekali melaut dan dalam satu bulan tangkapan puncak dapat menangkap ikan rata-rata 6.16 kwintal per bulan.

Pada bulan Maret, Juli, Agustus dan September, tangkapan nelayan mulai agak berkurang dibandingkan musim tangkapan puncak. Dalam periode ini nelayan masih dapat melakukan aktivitas melaut 13-15 kali sebulan untuk jenis alat tangkap bagan dan perahu congkreng. Rata-rata tangkapan perahu bagan dalam sebulan di musim ini masih dapat menangkap ikan sebanyak 1,77 ton per bulan dan 1.38 kwintal rata-rata per sekali melaut, sedangkan tangkapan perahu

Gambar 29. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Bagan per Bulan Jan- Des 2012

Gambar 30. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Congkreng per Bulan Jan-Des 2012

Gambar 31. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Bagan per melaut Jan-Des 2012

Gambar 32. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Congkreng per melaut Jan-Des 2012

congkreng di musim ini sebesar 2,96 kwintal rata-rata per bulan dan 19,75 per sekali melaut.

Pada musim tangkapan sedikit di bulan Oktober dan Nopember nelayan bagan hanya melakukan aktivitas melaut, paling banyak 10 kali dalam sebulan, itupun dengan hasil tangkapan yang tak seberapa dan tak bisa diprediksi. Pada musim tangkapan sedikit, nelayan bagan mendapatkan hasil tangkapan ikan teri 0,7 kwintal rata-rata per sekali melaut, sedangkan nelayan yang menggunakan perahu congkreng yang melakukan kegiatan menjaring dan memancing ikan dilaut hanya mendapatkan rata-rata 0,16 kwintal per sekali melaut.

Pada musim paceklik, nelayan bagan sama sekali tidak melakukan aktivitas melaut selama tiga bulan, yaitu di bulan Desember, Januari dan Pebruari, karena pada saat itu musim tangkapan ikan teri sudah berakhir. Beberapa nelayan ada yang mencoba-coba melakukan aktivitas melautpun tidak mendapatkan hasil tangkapan. Pada musim ini seringkali terjadi badai ataupun angin dengan kecepatan tinggi, sehingga bagi nelayan-nelayan yang menghindari risiko rusaknya bagan dan perahu mereka, lebih baik memilih tidak melakukan aktivitas melaut. Berbeda dengan nelayan bagan, nelayan perahu congkreng masih sesekali melakukan aktivitas melaut di sekitar pesisir yang memudahkan mereka berbalik ke darat jika cuaca tiba-tiba menjadi buruk. Mereka tetap sesekali melakukan aktivitas melaut dengan risiko kerugian yang besar. Dari data primer yang telah dikumpulkan nelayan congkreng di wilayah setempat pada bulan Desember, Januari dan Pebruari di masa paceklik melakukan aktivitas melaut, maksimal 8 kali dalam sebulan dengan hasil tangkapan yang relatif sedikit yaitu rata-rata 8,3 kg per sekali melaut, bahkan pada bulan Pebruari, nelayan hanya mendapatkan ikan dengan jumlah rata-rata 7 kg per sekali melaut. Hasil ini jika dikurangi ongkos melaut (logistik dan bahan bakar), hasil yang menjadi pendapatan nelayan menjadi relatif kecil, bahkan pada saat tertentu hasil tangkapan nelayan tidak dapat menutupi modal yang harus dikeluarkan. Nelayan semakin terpuruk jika modal melaut yang dikeluarkan ternyata didapat dengan cara berhutang.

Adanya fluktuasi hasil dan nilai tangkapan ikan dalam aktivitas melaut, menjadikan pendapatan para nelayan menjadi berfluktuasi dalam setiap musim. Fluktuasi pendapatan yang tidak menentu ditambah pengelolaan keuangan rumah

Gambar 33. Fluktuasi Nilai Tangkapan Perahu Bagan per Bulan Jan- Des 2012

Gambar 34. Fluktuasi Nilai Tangkapan Perahu Congkreng per Bulan Jan-Des 2012

tangga yang tidak tepat dapat bermuara pada terciptanya krisis pada perekonomian nelayan setempat, terutama nelayan buruh (bagan, pancing/jaring) yang umumnya tidak memiliki modal dan alat tangkap sendiri dalam kegiatan melaut. Kerugian ketika mereka melakukan aktivitas melaut yang tidak menghasilkan tangkapan ikan (di musim tangkapan ikan sedikit dan musim paceklik) akan terus terakumulasi dan ketika mereka mendapatkan pendapatan di saat ada hasil tangkapan ikan terpaksa harus terpotong tunggakan hutang modal.

Gambar 35. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Pemilik Bagan per Bulan Jan-Des 2012

Gambar 36. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Buruh Bagan per Bulan Jan-Des 2012

Gambar 37. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Kunca per Bulan Jan-Des 2012

Gambar 38. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Sampan per Bulan Jan-Des 2012

Gambar 39. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Congkreng per Bulan Jan-Des 2012

Seluruh nelayan di wilayah pesisir Ujung Kulon mendapatkan penghasilan maksimum di musim panen ikan, yaitu selama bulan April Mei dan Juni, dan pendapatan tersebut semakin berkurang di musim-musim berikutnya, yaitu musim tangkapan sedang. Ketika tiba musim tangkapan sedang dan musim paceklik, di periode inilah para nelayan sering menghadapi krisis, baik dalam konteks pemenuhan kebutuhan rumah tangga maupun penyediaan modal melaut. Bagi nelayan pendapatan yang mereka terima pada masa-masa tangkapan puncak dan tangkapan sedang jauh melebihi pendapatan pada musim tangkapan sedikit dan paceklik. Jika pengelolaan keuangan rumah tangga berjalan baik, maka surplus pendapatan yang didapat pada kedua musim ini dapat diperuntukkan menutupi defisit pendapatan rumah tangga pada musim tangkapan sedikit dan masa paceklik. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ketika musim tangkapan tinggi yang berarti pula nelayan menerima pendapatan yang tinggi, pengeluaran rumah tangga juga meningkat sehingga seringkali yang terjadi pendapatan yang ada dihabiskan untuk menutupi pengeluaran yang tinggi, dan ketika tiba masa tangkapan sedikit dan paceklik, tidak ada surplus pendapatan rumah tangga yang dapat digunakan untuk menutupi defisit, sehingga tak jarang para nelayan harus berhutang. Demikian pula halnya dengan nelayan buruh mengalami hal yang tak jauh berbeda, malah terkadang situasinya menjadi lebih parah karena nilai pendapatan yang diterima oleh nelayan buruh relatif lebih kecil. Jumlah pendapatan yang tidak dapat diprediksi dan penuh ketidakpastian juga menyulitkan perencanaan pengelolaan keuangan rumah tangga yang berujung pada terciptanya krisis ekonomi rumah tangga nelayan

Keterbatasan Teknologi Penangkapan Ikan

Umumnya nelayan Desa Sumber Jaya adalah nelayan tradisional. Alat tangkapnyapun berupa alat tangkap tradisional pancing (memancing dengan menggunakan jukung) dan jaring (bagan), perahu motor dengan ukuran kecil sampai ukuran sedang, sehingga wilayah tangkapan mereka umumnya hanya di sekitar TNUK, selat Sunda dan Samudera Indonesia. Penggunakan alat dan sarana yang tradisional menyebabkan masyarakat setempat belum mampu memanfaatkan sepenuhnya potensi perikanan yang sangat besar di wilayah perairan tersebut. Di bawah ini merupakan data jumlah kepemilikan perahu motor dan alat tangkap ikan di Desa Sumber Jaya.

Tabel 18. Jumlah Kepemilikan Perahu Motor dan Alat Tangkap Ikan Nelayan

No Jenis Perahu dan alat Tangkap Jumlah

1 Perahu Motor Besar 5

2 Perahu Motor Sedang 17

3 Perahu Motor Kecil (congkreng) 52

4 Jukung 127 5 Sampan 25 6 Bagan Tancap 27 7 Bagan Apung/Jerigen 36 8 Bagan Perahu 40 9 Bagan Badak 10 Jumlah 339

Sumber : Monografi Desa dan Hasil Wawancara

Keterbatasan teknologi penangkapan ikan dapat dilihat dari armada penangkapan ikan yang didominasi armada sederhana dan tradisional. Jumlah perahu motor besar hanya 5 buah dan perahu ukuran sedang hanya 17 buah yang umumnya dimiliki para juragan besar. Mayoritas nelayan desa-desa pesisir Ujung kulon merupakan nelayan bagan berupa bagan tancap, bagan apung, bagan perahu dan bagan badak. Sebagian nelayan merupakan nelayan jaring dan nelayan pancing yang menggunakan jukung dan congkreng (perahu motor kecil). Terdapat pula nelayan bagan yang merangkap menjadi nelayan pancing dan nelayan jaring. Bagan adalah suatu alat penangkap ikan yang terdiri susunan bambu dan memanfaatkan cahaya sebagai penarik ikan berkumpul. Bagan merupakan alat tangkap dengan menggunakan jaring angkat. Alat tangkap bagan yang paling banyak terdapat di wilayah ini adalah bagan apung dan bagan perahu. Hanya sebagian kecil nelayan yang masih menggunakan bagan tancap. Bagan tancap dianggap tidak efektif dan efesien untuk menangkap ikan karena bersifat statis tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengejar ground fishing seperti bagan apung dan bagan perahu. Sementara bagan badak dianggap alat tangkap yang paling efesien dan efektif untuk menangkap ikan, namun karena modal pembuatan bagan badak yang relatif besar, sekitar 100-120 juta per buah menjadikan bagan ini tidak terlalu terjangkau oleh mayoritas nelayan. Umumnya hanya para juragan dan nelayan kaya yang memiliki bagan badak.

Gambar 41. Bagan Badak dengan menggunakan perah ukuran sedang

Gambar 40. Bagan Perahu

Gambar 43. Bagan Apung yang ditarik ke pinggir pantai untuk

diperbaiki Gambar 42. Perahu Bolga

Bagan apung adalah bagan yang diapungkan di atas permukaan air dengan menggunakan drum bekas. Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, terdiri dari kerangka kayu yang diatasnya terdapat susunan bambu, jaring atau waring (berukuran 0,3 cm) dan alat penggulung yang disebut roller