• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFORMASI MASYARAKAT NELAYAN UJUNG KULON Tonggak Historikal Tranformasi Masyarakat Nelayan Ujung Kulon

Desa Sumber Jaya telah mengalami beberapa tonggak kesejarahan yang cukup berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan/transformasi sosial yang terjadi yang memiliki akibat lanjutan terhadap transformasi sistem nafkah dan ekonomi masyarakat nelayan. Di masa lalu, secara historikal catatan tentang kawasan Ujung Kulon sendiri sebenarnya sudah ada semenjak tahun 1846. Ketika seorang ahli Botani Jerman, F. Junghun pada Tahun 1846 melakukan pengumpulan tumbuhan tropis. Pada masa itu kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon sudah mulai dikenal oleh para peneliti. Bahkan perjalanan ke Ujung Kulon ini sempat masuk di dalam jurnal ilmiah beberapa tahun kemudian (TNUK. 2009). Selanjutnya tidak banyak lagi catatan mengenai Ujung Kulon sampai meletusnya gunung krakatau pada tahun 1883. Pada saat gunung Krakatau meletus terdapat beberapa catatan yang menggambarkan kedahsyatan letusan Krakatau yang menghasilkan gelombang tsunami setinggi kurang lebih 15 meter, telah memporak-porandakan tidak hanya pemukiman penduduk di Ujung Kulon, tetapi satwaliar dan vegetasi yang ada. Meskipun letusan Krakatau pada tahun 1883 seakan mengakhiri cerita tentang Ujung Kulon karena telah menyapu bersih kawasan Ujung Kulon, akan tetapi beberapa tahun kemudian diketahui bahwa ekosistem-vegetasi dan satwa liar di Ujung Kulon tumbuh baik dengan cepat.

Di era penjajahan Hindia Belanda, kawasan Ujung Kulon merupakan lokasi penelitian para ilmuan Belanda oleh karena wilayah ini memiliki kekayaan alam yang dianggap sangat penting dan perlu dilestarikan. Pada tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari Perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK Pemerintah Hindia Belanda Nomor : 60 Tanggal 16 Nopember 1921 (TNUK. 2009).

Sejarah tentang masyarakat Ujung Kulon sendiri baru dapat ditelusuri pada era tahun 1930-an. Dengan ditetapkannya Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan sebagai wilayah suaka, maka wilayah ini seakan terisolasi dari luar, karena hanya pihak-pihak yang berkepentingan saja yang mendatangi wilayah ini. Namun ternyata tidak menjadi menutup kemungkinan munculnya pemukiman penduduk yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah kampung. Menurut para informan, sekitar Tahun 1930-an, mulai terbentuk kampung- kampung di sekitar pesisir Ujung Kulon termasuk Kampung Sumur yang menjadi cikal bakal Kecamatan Sumur dan Desa Sumber Jaya. Penduduknya adalah penduduk asli setempat (sebagaian penduduk yang berhasil menyelamatkan diri ketika tragedi Gunung Krakatau meletus). Pada saat itu juga mulai ada migrasi masuk nelayan-nelayan yang berasal dari labuan (Kabupaten Pendeglang), Carita, Binuangeun. Pada mulanya mereka ke laut untuk mencari ikan dan singgah di wilayah pesisir ini hingga pada akhirnya menetap. Merekalah yang dianggap penduduk asli di Pesisir Ujung Kulon, yang pada saat ini disebut sebagai urang kulon. Menurut Informan, pada jaman pendudukan Hindia Belanda dan Jepang di pulau-pulau kecil di perairan Ujung Kulon dan Hutan sekitar Pegunungan

Honje menjadi tempat persembunyian penduduk untuk menghindari kerja paksa (menjadi tenaga rodi dan romusha) dari penjajah Belanda dan Jepang.

Pada Tahun 1937, Besluit Van Der Gouverneur General Van Nederlandch Indie dengan keputusan Nomor : 17 Tanggal 24 Juni 1937 menetapkan status kawasan Suaka Alam tersebut kemudian diubah menjadi Kawasan Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Pada Masa itu, jumlah penduduk masih sedikit dan pemukiman hanya terdapat pada garis sepanjang pantai Ujung Kulon. Pada masa ini akses transportasi hanya melalui laut dan jalan setapak yang menghubungkan wilayah Pesisir dengan wilayah Cibaliung.

Adanya migrasi nelayan dari Labuan, Carita dan Binuangeun mendorong kegiatan pencetakan sawah di wilayah pesisir semakin meluas. Namun para nelayan tersebut tidak bermata pencaharian sebagai nelayan lagi, namun mengikuti penduduk asli yang bermata pencaharian sebagai petani sawah dan mengambil hasil hutan. Penduduk mulai memikirkan untuk dapat mencukupi sendiri kebutuhan beras, mereka mulai mengusahakan untuk mencetak sawah di sekitar pesisir yang pada saat itu berupa rawa. Tidak ada informasi tentang siapa yang pertama kali mencetak sawah, namun keberadaan sawah menjadikan penduduk Kampung ini bertambah banyak, oleh karena banyak para nelayan yang berasal dari Labuan yang memilih menetap dan turut mencetak sawah. Persawahan yang dicetakpun bertambah luas dari semula hanya daerah rawa di pesisir sampai pada batas Taman Nasional. Dengan adanya persawahan ini para penduduk dapat mencukupi kebutuhan pangan (beras) secara mandiri.

Pada masa itu, sudah ada jalan setapak yang menghubungkan Kec. Cibaliung sampai Kampung ini. Hasil hutan yang dikumpulkan penduduk dipasarkan dengan berjalan kaki ke Cibaliung. Sesekali ada pedagang dari luar wilayah pesisir yang masuk ke wilayah ini dengan menggunakan transportasi kuda. Kuda menjadi alat transportasi vital yang mengangkut bahan kebutuhan penduduk (terutama gula, garam, tekstil) dari Cibaliung yang ditukar dengan hasil hutan yang merupakan hasil dari mata pencaharian penduduk Kampung Sumur pada masa itu. Sebagian kecil penduduk setempat ada yang memiliki kuda yang mereka gunakan sebagai alat transportasi ketika mereka ke hutan untuk mengumpulkan madu dan hasil hutan lainnya yang dapat ditukar dengan beras dan kebutuhan lainnya.

Sekitar tahun 1945-an, di era kemerdekaan Negara Indonesia, di Kampung Sumur mulai dibangun bandar (pelabuhan kecil) yang mendorong perkembangan ekonomi wilayah tersebut. Adanya bandar memberi arti penting bagi perkembangan perekonomian wilayah setempat dan merupakan titik awal masyarakat pesisir Ujung Kulon mengenal pasar yang lebih luas. Keberadaan bandar dapat membuka akses keluar masuk wilayah menjadi lebih lancar. Semenjak ditetapkannya wilayah pesisir Ujung Kulon sebagai wilayah Suaka pada tahun 1921 sampai pendudukan Hindia Belanda berakhir dan digantikan oleh pendudukan Jepang, wilayah ini seakan tertutup dari dunia luar. Keberadaan prasarana transportasi berupa jalan setapak dan alat transportasi kuda tidak dapat mendorong perkembangan perekonomian wilayah. Penduduk setempat harus sedapat mungkin secara mandiri mengusahakan pemenuhan kebutuhan pokoknya. Dengan jalan setapak, tidak banyak hasil hutan yang dapat dipasarkan, sebaliknya tidak banyak barang-barang kebutuhan penduduk yang dapat diangkut. Artinya

arus transaksi ekonomi dari dan keluar wilayah menjadi sangat terbatas. Suatu hal yang berbeda ketika dibangun Bandar yang memungkinkan wilayah ini menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dagang tradisional dari luar dan sekaligus memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi yang lebih banyak dan memungkinkan mengangkut produk sumber daya lokal dalam jumlah besar ke luar wilayah seperti labuan, serang, carita dan binuangen. Keberadaan bandar juga mengundang pemodal-pemodal luar yang masuk ke wilayah ini dan mulai membangun usahanya.

Keberadaan bandar juga menjadikan komoditas kelapa semakin memiliki nilai ekonomi, karena kapal-kapal dagang tradisional yang singgah memungkinkan mengangkut kopra sebagai hasil olahan kelapa lebih banyak. Dengan situasi ini, maka selain mencetak sawah, para penduduk juga mulai memperluas perkebunan kelapa dengan menanam pohon kelapa untuk dijadikan kopra di sepanjang pesisir sampai batas Semenanjung Ujung Kulon. Kopra dipasarkan di wilayah Labuan, dan untuk mengangkut hasil bumi kopra, para pedagang kopra menggunakan tembon (semacam perahu layar). Pada masa itu tembon merupakan alat transportasi laut yang cukup vital karena selain mengangkut hasil bumi, tembon juga digunakan untuk mengangkut penumpang yang ingin bepergian ke wilayah Panimbang ataupun Labuan. Uniknya jika penumpang berupa orang, maka tidak diwajibkan untuk membayar ongkos angkutan. Biaya angkutan hanya dibebankan pada hasil bumi yang diangkut. Digambarkan oleh informan, bahwa setiap ada pemberangkatan maupun kedatangan tembon akan ada suara gong yang merupakan pemberitahuan kepada penduduk Kampung (layaknya peluit kapal pada masa kini). Menurut informan yang pada saat itu bersekolah di salah satu pesantren yang ada di wilayah Labuan, yang bersangkutan selalu menggunakan alat transportasi ini untuk berangkat dan pulang dari sekolah.

Masuknya pasar dan adanya transaksi ekonomi dengan pihak luar ternyata membawa perubahan bahwa penduduk setempat mulai mengenal sistem ekonomi uang. Jika sebelumnya lebih banyak mengenal cara-cara barter dalam transaksi ekonomi, misalnya hasil hutan dibarter dengan barang kebutuhan yang tidak bisa diproduksi sendiri seperti gula, garam dan tekstil. Dengan semakin beragamanya transaksi ekonomi menggunakan transaksi ekonomi uang, dimulailah era penduduk mengenal sistem pasar yang sebenarnya.

Pada Tahun 1958, berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 48/Um/1958 Tanggal 17 April 1958 Kawasan Ujung Kulon berubah status kembali menjadi Kawasan Suaka Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah. Pada Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 16/Kpts/Um/3/1967 Tanggal 16 Maret 1967 Kawasan G. Honje Selatan seluas 10.000 Ha yang bergandengan dengan bagian Timur Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Cagar Alam Ujung Kulon.

Untuk mempermudah keluar masuk CAUK, maka dibangunlah jalan darat yang dianggap cukup layak untuk dilalui kendaraan roda empat yang menghubungkan Kecamatan Labuan-Cibaliung. Namun ruas jalan dari Kecamatan Labuan-Cibaliung masih terkendala dengan belum adanya jembatan di Kecamatan Citeureup, sehingga perjalanan dari Labuan-Cibaliung harus ditempuh dengan cara memutar yang memerlukan jarak tempuh relatif lebih lama.

Sementara prasarana jalan yang menghubungkan Kecamatan Cibaliung-Sumur tetap menggunakan jalan tanah, yang menjadikan fungsi bandar semakin memiliki arti penting bagi perekonomian lokal. Pada masa itu listrik mulai masuk sampai pada Kecamatan Cibaliung (sekitar 15 km dari kecamatan Sumur). Pada tahun 1979, melalui SK Menteri Pertanian Negara Indonesia Nomor : 39/Kpts/Um/1979 Tanggal 11 Januari 1979 Kawasan Gunung Honje Utara seluas 9.498 Ha dimasukkan ke dalam wilayah Cagar Alam Ujung Kulon.

Pada masa orde baru (sekitar tahun 1980-an), kampung Sumur dijadikan sebuah desa. Pada masa ini pula mulai dibangun jalan yang lebih lebar yang dapat dilewati kendaraan roda dua dan roda empat, walaupun masih berupa jalan tanah yang dilapis dengan kerikil. Jalan ini dapat menghubungkan Kecamatan Cibaliung dengan Desa-Desa Pesisir Ujung Kulon di Kecamatan Sumur. Pembangunan jalan ini erat kaitannya dengan keberadaan Cagar Alam Ujung Kulon (CAUK) di masa orde baru CAUK mulai mendapatkan perhatian dunia internasional karena disana merupakan habitat dari badak bercula satu yang dianggap sangat langka, sehingga negara banyak menerima bantuan dari luar negeri untuk kegiatan konservasi. Dengan donasi dari luar negeri yang pula CAUK melakukan perluasan wilayah, sebagai cerminan bahwa pemerintah Indonesia juga memperhatikan persoalan konservasi lingkungan

Sekitar tahun 1985 jalan tersebut mulai diaspal dari Cibaliung sampai Kecamatan Sumur, walaupun dari Kecamatan Sumur yang dipusatkan di Desa Sumber Jaya menuju desa-desa lainnya sampai ujung pemukiman kampung pesisir Ujung Jaya masih menggunakan jalan kerikil yang belum kunjung dihotmix sampai saat ini. Pada tahun itu pula jembatan di Kecamatan Citereup yang menghubungkan Labuan dan Cibaliung/Sumur dibangun, sehingga prasarana jalan dan transportasi menjadi lebih lancar dan jaraknya lebih dekat. Pembangunan jalan ini ternyata mengubah kehidupan sosial masyarakat desa. Perubahan tersebut antara lain (1) bandar Sumur semakin tidak berfungsi dan mulai ditinggalkan. Para pengusaha lokal menganggap lebih efektif dan efesien mengangkut kopra dan hasil produksi sumber daya lokal lainnya dengan melalui jalan darat, (2) alat transportasi tembon yang merupakan alat transportasi laut utama mulai ditinggalkan, digantikan dengan kendaraan roda empat (pick-up dan truk untuk mengangkut hasil bumi dan hasil laut serta kendaraan pe-es (minibus) yang digunakan untuk mengangkut penumpang manusia. Keberadaan alat transportasi darat ini ternyata menyebabkan akses keluar masuk penduduk menjadi lebih terbuka. Effeknya adalah beberapa penduduk mulai bermigrasi keluar, sebaliknya penduduk desa juga semakin bertambah karena adanya migrasi masuk, (3) alat transportasi kuda benar-benar ditinggalkan, digantikan oleh alat transportasi sepeda dan sepeda motor, (4) mata pencaharian penduduk mulai beragam dengan munculnya sektor perdagangan, jasa, dan menjadi buruh di Kota Jakarta, Serang, Pandeglang dan Cilegon, (5) hasil laut dan hasil hutan memiliki nilai ekonomis yang semakin tinggi

Pada era tahun 80-an, perahu tembon telah digantikan oleh perahu motor yang terkait adanya migrasi masuk nelayan Cirebon, Indramayu serta Lampung (Bugis) yang membawa teknologi penangkapan ikan yang baru sekaligus para pemodal baru di sektor perikanan. Sejak saat itu perekonomian di sektor perikanan semakin memiliki kecenderungan perkembangan yang semakin pesat

Gambar 25 . Prasarana Jalan dan Pelabuhan Pendaratan Ikan Desa Sumber Jaya

Sekitar Tahun 1990-an, adanya prasarana jalan dan seiring dengan dirubahnya status kawasan Cagar Alam Ujung Kulon menjadi Taman Nasional Ujung Kulon juga memungkinkan untuk tumbuhnya pariwisata. Pada Tahun 1992, Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992 tentang perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas 78.619 Ha dan penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha yang terletak di Pesisir dan Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas kawasan sekitar 122.956 Ha. Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai kawasan yang dilindungi dan kawasan konservasi sumberdaya alam telah mendapat pengakuan sebagai kawasan yang penting dan dibanggakan secara nasional dan internasional. Dibuktikan dengan adanya pengakuan internasional pada Tahun 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Natural World Heritage Site dengan Surat Keputusan Nomor: SC/Eco/5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992.

Semakin populernya TNUK sebagai salah satu kawasan yang dilindungi dan kawasan konservasi sumber daya alam sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah yang berusaha mewujudkan wilayah ini sebagai salah satu pusat pariwisata di Propinsi Banten. Panorama alam pesisir Ujung Kulon yang menawarkan keindahan alam yang luar biasa dan jadilah kawasan ini menjadi kawasan wisata pantai. Sekitar tahun 2000-an, mulai dibangun fasilitas pariwisata di Pulau Umang yang baru diresmikan sekitar tahun 2004. Pulau Umang menyediakan fasilitas pariwisata yang relatif lengkap seperti hotel dan sarana penunjang lainnya. Meskipun pariwisata di Pulau Umang sepenuhnya dikelola oleh pihak swasta, namun Sektor Pariwisata lebih terdorong perkembangannya ketika Pulau Umang menjadi pulau wisata yang memiliki fasilitas lengkap. Selain Pulau Umang, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan juga merupakan tujuan wisata, namun di kedua Pulau ini pengelolaannya terkait dengan Taman Nasional Ujung Kulon karena wilayahnya yang termasuk wilayah konservasi TNUK. Pulau Umang adalah pulau kecil yang letaknya sangat dekat (berseberangan) dengan Desa Sumber Jaya dan Kecamatan Sumur, sedangkan Pulau Peucang dan Pulau

Panaitan berada di seberang semenanjung Ujung Kulon. Perkembangan kedua pulau ini sebagai tujuan wisata mengundang banyak turis lokal maupun turis internasional masuk ke kawasan ini. Menurut Informan, turis internasional yang masuk ke kawasan ini umumnya berasal dari Rusia, argentina, Romania, Jerman, Belanda, Jepang dan Korea. Turis lokal berasal umumnya dari wilayah sekitar Banten seperti Jakarta, Bandung, Bogor dan Tangerang. Selanjutnya pada desa- desa pesisir TNUK mulai muncul tempat-tempat penginapan dan Vila-vila yang umumnya dimiliki oleh penduduk luar kampung. Situasi ini semakin dimungkinkan ketika masuknya listrik diperluas mencapai desa terujung Pesisir Ujung Kulon pada Tahun 2005

Dari aspek pemerintahan era reformasi yang membawakan era otonomi daerah menjadikan jarak hubungan antara desa dengan negara menjadi semakin dekat. Otonomi daerah menjadikan peluang menumbuh kembangkan pembangunan masyarakat Desa Sumber Jaya kepada pemerintahan Provinsi dan Kabupaten. Pada kenyataannya, ketika otonomi daerah diberlakukan, kedekatan antara desa dengan pemerintah Kabupaten semakin dekat dan semakin erat. Pada era Reformasi pula, pada Pemerintahan Pusat, muncul Departemen Kelautan dan Perikanan. Keberadaan Departemen ini yang memiliki perpanjangan tangan instansi berupa Dinas Kelautan dan Perikanan di Propinsi dan Kabupaten. Secara umum tonggak sejarah perubahan-perubahan yang terjadi di Desa Sumber Jaya dapat diikhtisarkan pada matriks berikut ini :

Tabel 12. Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat

Era/Masa Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat

1921 Rekomendasi dari Perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK Pemerintah Hindia Belanda Nomor : 60 Tanggal 16 Nopember 1921

1930 -1950 an Sekitar Tahun 1930-an

Terbentuknya Kampung Pesisir Ujung Kulon termasuk Kampung Sumur sebagai Cikal Bakal Desa Sumber Jaya dan Kecamatan Sumur

Penduduk Kampung adalah penduduk asli dan mulai ada migrasi nelayan yang berasal dari Labuan, Carita, dan binuangeun.

Mulai ada pencetakan sawah di sepanjang pesisir Ujung Kulon Pada Tahun 1937

Besluit Van Der Gouverneur General Van Nederlandch Indie dengan keputusan Nomor : 17 Tanggal 24 Juni 1937 menetapkan status kawasan Suaka Alam Ujung Kulon diubah menjadi Kawasan Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Sekitar Tahun 1945-an

Dibangun Bandar pelabuhan tradisional di kampung Sumur (Bandar Sumur). Bandar ini mempunyai arti penting bagi berkembangnya perekonomian masyarakat setempat karena dapat menghubungkan pedagang hasil bumi dari Labuan dan sekitarnya serta hasil bumi dan perikanan menjadi lebih mudah untuk dipasarkan

Sekitar Tahun 1950-an

Mulai ada pencetakan kebun kelapa di sepanjang pesisir Ujung Kulon

Seiring dengan pencetakkan sawah dan kebun kelapa, semakin banyak nelayan yang menetap menjadi penduduk Kampung Sumur

Pertambahan penduduk menjadikan pencetakan sawah meluas Tahun 1958

berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 48/Um/1958 Tanggal 17 April 1958 Kawasan Ujung Kulon berubah status kembali menjadi Kawasan Suaka Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah. Pada Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 16/Kpts/Um/3/1967 Tanggal 16 Maret 1967 Kawasan G. Honje Selatan seluas 10.000 Ha yang bergandengan dengan bagian Timur Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Cagar Alam Ujung Kulon.

Sambungan Tabel 12. Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat

Era/Masa Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat 1960-1970 an Sekitar Tahun 1970-an

TNUK diperluas wilayahnya, Wilayah Kecamatan Sumur menjadi wilayah penyangga TNUK

Dibangun Jalan yang lebar dan dapat dilalui oleh Kendaraan roda empat, yang menghubungkan Kecamatan Labuan - Cibaliung, namun masih terkendala dengan belum adanya jembatan di Kecamatan Citereup, sehingga kecamatan Ciabaliung dan Sumur harus ditempuh memutar melaui jalan tanah yang jaraknya lebih jauh

Bandar semakin memiliki arti penting bagi perekonomian lokal

Listrik mulai masuk baru sampai Kecamatan Cibaliung (sekitar 20 km dari Kecamatan Sumur)

Pada tahun 1979, melalui SK Menteri Pertanian Negara Indonesia Nomor :

39/Kpts/Um/1979 Tanggal 11 Januari 1979 Kawasan Gunung Honje Utara seluas 9.498 Ha dimasukkan ke dalam wilayah Cagar Alam Ujung Kulon.

1980- 2000 an Sekitar Tahun 1980-an

Dibentuk Desa Sumber Jaya, dimana Desa Sumber Jaya pada masa itu merupakan sebuah Kampung, yang bernama Kampung Sumur yang menjadi bagian dari Desa Sumber Jaya

Migrasi masuk nelayan Cirebon /Indramayu serta Lampung (Bugis)

Bandar Sumur semakin tidak berfungsi dan mulai ditinggalkan

Dibangun Jalan yang lebar dan dapat dilalui oleh Kendaraan roda empat, yang menghubungkan Kecamatan Cibaliung dengan desa-desa Pesisir di Kawasan Ujung Kulon, namun kondisi jalan belum diaspal

Tahun 1985 an

Jembatan di Kecamatan Citereup yang menghubungkan Labuan dan Cibaliung/Sumur dibangun, sehingga prasarana jalan menjadi lancar dan jaraknya lebih dekat

Mulai masuk Kegiatan Pariwisata Sekitar Tahun 1990-an

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Pebruari 1992 tentang perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas 78.619 Ha dan penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha yang terletak di Pesisir dan Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas kawasan sekitar 122.956 Ha.

Adanya pengakuan internasional pada Tahun 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Natural World Heritage Site dengan Surat Keputusan Nomor: SC/Eco/5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992.

Jalan menuju desa-desa pesisir ujung kulon dan penghubung Kecamatan Cibaliung dengan TNUK diklaim sebagai jalan propinsi, kemudian jalan tersebut di hotmix sampai Desa Sumber Jaya, selebihnya berupa jalanan kerikil.

Listrik mulai diperluas sampai perkampungan Sumur dan Desa Sumber Jaya (th 1999)

Nelayan Pendatang dari Lampung (orang Bugis dan Indramayu) masuk ke wilayah ini mengenalkan teknologi bagan yang lebih maju, membawa modal dan membangun industri pengolahan ikan teri (sobong)

2000- sekarang Sekitar Tahun 2000

Adanya pemekaran desa

Otonomi daerah menjadikan hubungan antara desa dengan pemerintah bertambah dekat dengan semakin kuatnya otonomi pemerintah Kabupaten

Keberadaan Departeman Kelautan dan Perikanan di Era Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan banyak program-program dari DKP yang dilaksanakan di Desa Sumber Jaya

Mulai dibangunnya Pulau Umang dengan Fasilitas pariwisata yang memadai Tahun 2004

Pulau Umang diresmikan sebagai salah satu tujuan wisata nasional Tahun 2005

Transformasi Nafkah Nelayan

Adanya transformasi sistem nafkah merupakan respon masyarakat terhadap tonggak-tonggak perubahan masyarakat secara keseluruhan yang disebabkan terbukanya isolasi wilayah dan masuknya pasar dalam kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Pada sekitar tahun 1930-an sampai di era 1940 an,