• Tidak ada hasil yang ditemukan

Social Security System Masyarakat Nelayan (Kasus Masyarakat Nelayan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Social Security System Masyarakat Nelayan (Kasus Masyarakat Nelayan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten)"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

SOCIAL SECURITY SYSTEM

MASYARAKAT NELAYAN

(Kasus Masyarakat Nelayan Ujung Kulon, Kabupaten

Pandeglang, Banten)

MIRAJIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasI berjudul Social Security System Masyarakat Nelayan : Kasus Masyarakat Nelayan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MIRAJIANI. Social Security System Masyarakat Nelayan (Kasus Masyarakat Nelayan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten). Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI, ARIF SATRIA, SAHARUDDIN dan TRIDOYO KUSUMASTANTO.

Secara historis transformasi masyarakat nelayan Ujung Kulon dimulai dengan terbukanya isolasi wilayah pesisir Ujung Kulon pada tahun 1970-an dan menjadi semakin pesat di era 1980-an sampai saat ini. Lancarnya transportasi dan akses keluar masuk wilayah mendorong penetrasi kapitalisme dan pengaruh pasar semakin merasuk dalam kehidupan masyarakat. Penetrasi kapitalisme menye-babkan perubahan signifikan dalam dimensi budaya, institusi dan tindakan ekonomi. Perubahan-perubahan tersebut terkait dengan berubahnya mekanisme social security system dalam sistem penghidupan nelayan setempat.

Perubahan dimensi budaya ekonomi masyarakat terjadi sebagai akibat dari terbukanya wilayah dan masuknya sistem ekonomi kapitalis yang membawa masuk barang-barang baru, gaya hidup baru dan informasi-informasi baru serta kepuasan-kepuasan baru dimana kekayaan dan konsumsi merupakan bentuk kebutuhan baru yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Norma budaya kapitalisme seperti selfish (mementingkan diri sendiri), memaksimumkan keuntungan dan kepuasan, individualisme, serta kompleksitas pasar mempengaruhi dan mengubah budaya ekonomi masyarakat nelayan setempat. Perkembangan budaya ekonomi ini ditunjang oleh berkembangnya prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi seperti televisi, handphone, internet dan sebagainya. Beberapa aspek tertentu dalam budaya ekonomi nelayan yang erat kaitannya dengan mekanisme perekonomian masyarakat yang mengalami perubahan antara lain orientasi bekerja keras, pandangan dan pengambilan keputusan investasi dan saving, basis resiprositas sistem trust (kepercayaan) antar pelaku ekonomi, kolektivitas ekonomi dan solidaritas.

(5)

basis nilai utama dari mekanisme social security system tradisional yang memberikan jaminan social economic security bagi masyarakat nelayan.

Dari dimensi perubahan institusi, penetrasi sistem ekonomi kapitalis membawa perubahan signifikan dalam institusi patronase yang merupakan social security institution yang keberadaannya sangat signifikan dalam perekonomian nelayan. Terjadi transformasi basis norma institusi patronase berbasis norma tradisional (moralitas asli) menjadi berbasis norma ekonomi kapitalis di masa kini. Implikasi perubahan basis norma terjadi pada aktivitas ekonomi pertukaran dan transaksi ekonomi serta dasar pengambilan keputusan seluruh pelaku-pelaku ekonomi. Ketika institusi ekonomi patronase berbasis norma moralitas asli, maka strategi tindakan ekonomi survival terlekat pada institusi patronase yang sepenuhnya berfungi sebagai social security institution. Tindakan ekonomi survival terwujud pada seberapa jauh nelayan dapat membangun hubungan patronase yang dapat memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan subsistensi dan hubungan saling menguntungkan dengan basis etika moralitas. Ketika basis norma patronase berubah, maka yang terjadi adalah melemahnya fungsi institusi patronase sebagai social security institution. Hal ini menjadikan nelayan setempat tidak semata-mata bergantung pada institusi patronase, melainkan menjalin relasi, jaringan secara personal atas peluang-peluang ekonomi yang disediakan pasar.

Pada dasarnya fakta ini membuktikan bahwa sistem ekonomi nelayan Ujung Kulon bergerak dari sistem ekonomi moral menuju sistem ekonomi formal. Perubahan ini dimulai dari perubahan di lapangan gagasan (idiil) yang awalnya berbasis sistem nilai substantif berubah menjadi sistem nilai instrumental, sehingga tindakan ekonomi berorientasi nilai substantif menjadi tindakan ekonomi berorientasi instrumental. Jika dikaitkan dengan pembahasan tentang social security system, ketika sistem nilai dan norma tradisional (moralitas asli) yang menjadi dasar dari mekanisme social security, maka mekanisme tersebut terlekat pada bekerjanya institusi patronase yang sepenuhnya berfungsi sebagai social security institution. Bekerjanya institusi ini menjadi basis kemampuan masyarakat untuk bisa bertahan dari situasi krisis. Masuknya sistem nilai baru menyebabkan norma tradisional yang menjadi basis moralitas ekonomi mulai berubah dan turut mengubah tindakan ekonomi survival dalam mekanisme ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, hasil studi ini menemukan bahwa terjadi fakta melemahnya social security system tradisional karena mekanisme ekonomi yang cenderung berbasis norma ekonomi kapitalis. Mekanisme social security system pada masa kini bertumpu pada aktivitas ekonomi individu dan rumah tangga secara personal yang harus mencari kesempatan ekonomi dan jaringan/relasi sosial yang dianggap menguntungkan. Tindakan ekonomi survival masyarakat nelayan pada penelitian ini lebih mencerminkan bentuk keterlekatan relasional dimana tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan/relasi sosial personal dan institusi dalam struktur sosial. Dengan situasi ini, tindakan ekonomi survival ditentukan nelayan membangun relasi/jaringan ekonomi yang disediakan pasar sehingga kemampuan untuk mendapatkan social economic security system yang bervariasi diantara pelaku ekonomi.

(6)
(7)

SUMMARY

MIRAJIANI. Social Security System of Fishing Community (A Case of Fishing Community at Ujung Kulon, Pandeglang Regency, Banten. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI, ARIF SATRIA, SAHARUDDIN and TRIDOYO KUSUMASTANTO.

Historically, the transformation of fishing community at Ujung Kulon was started with the opening of isolated coastal area at Ujung Kulon in 1970s and increasingly developed since 1980s. Better transportation and access to and from the area had encouraged the penetration of capitalism and market influence to the society. The penetration of capitalism and market influence had caused significant change in the dimension of culture, institution and economic action. Those changes were related to the change on social security system mechanism in the livelihood of local.

In economic cultural dimension, fishing community at Ujung Kulon had undergone change as a result of area opening and the introduction of market economic system. The market brought new goods, lifestyle, information and satisfaction where wealth and consumption were new needs to be fulfilled by the society. Market culture norms include being selfish, maximizing profit and satisfaction, individualism and market complexity had influenced and changed the economic culture of local fishing community. The development of market economic culture was supported by the development of transportation facilities and infrastructures such as television, mobile phone, and internet and so on. Some aspects in economic culture of fishermen were closely related to economic mechanism of the society that undergone change such as orientation for hard work, opinion on and decision making of investment and saving, reciprocity, trust system among economic actors, economic collectivity and solidarity.

In the context of change on economic culture of fishing community, it seems that certain aspects in the culture that changed could become the economic motivation needed for the growth of market economic. One of the origin cultural aspects of fishermen which was tendency to work hard was one of economic motivations needed for market economic growth. Fishermen at Ujung Kulon had undergone change on value orientation. The value of hard work that initially was aimed for subsistence fulfillment had changed to pursue wealth and consumption. This change on orientation apparently functioned as the driver of economic wheel in fishery sector. Orientation of hard work was getting stronger when the aim is to pursue wealth and consumption which means to gain glory among the society. The situation would give more motivation to work to gain maximum economic profit. This motivation supported by the increase in self-confidence in investment and saving based on optimism and loss risk could be a driver for economic growth of fishermen. On the other hand, the introduction of market economic culture norm had diluted the mechanism of traditional social security system of local fishing community due to the change in norm system of reciprocity, trust, collectivity and solidarity which was the base of main value of traditional social security system that give social economic security to fishing community.

(8)

activity. Transformation was occurred in patronage institution of Ujung Kulon fishing community from traditional norm-based patronage (original morality) to market economic norm-based patronage. The implication of change in norm base occurred in exchange economic activities, economic transaction and the base of decision making of all economic actors. When patronage economic institution was based on original morality norm the survival economic action strategy depended on the institution. Patronage institution was functioned as social security institution; thus, survival economic action was manifested in to what extent the fishermen were able to build patronage relationship in order to give security in fulfilling subsistence need based on morality ethic that assuring mutually beneficial economic interaction within the patronage institution. However, when the norm base in patronage changed into market norm base, the function of patronage institution as social security institution was diluted. It made local fishermen were no longer able to depend merely on patronage institution. They had to build personal relation, relationship and network on the economic opportunities offered by the market.

Those facts were proof that the economic system of fishing community at Ujung Kulon had moved from moral economic system to formal economic system. The change started from the change in rationality of substantive value system base to instrumental value system; in other words, substantive value oriented economic action to instrumental oriented economic action. If it linked to the discussion about social security system; when value system and traditional norm (original morality) became the base of social security mechanism, the mechanism adhered to the work of patronage institution as social security institution and in turn, would be the base of society ability to survive in critical situation. However, along with the penetration of value system brought by market culture that eventually would change the survival economic action in the mechanism of society economy. In other words, the study found that there was a fact that traditional social security system had diluted due to economic mechanism that tend to be based on market economic norm. At present, social security system mechanism relied on individual and household economic activities in personal and they had to search for beneficial economic opportunities and social network/relation. Therefore, it could be stated that survival economic action of fishing community in this research tended to reflect the form of relational embeddedness where economic action was situated socially and embedded in social network/relation of personal in social structure. Due to this situation, survival economic action was determined by individual/household economic action strategy and how fishermen build economic relation offered by the market; therefore, the ability to get social economic security system was vary among economic actors.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

SOCIAL SECURITY SYSTEM

MASYARAKAT NELAYAN

(Kasus Masyarakat Nelayan Ujung Kulon, Kabupaten

Pandeglang, Banten)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MS 2. Dr.Ir. Rilus A.Kinseng MA

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2012 sampai Oktober 2013 ini ialah “Social Security System Masyarakat Nelayan (Kasus Masyarakat Nelayan Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ekawati Sri wahyuni, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu bersedia berdiskusi, memberikan nasihat dan solusi dari setiap masalah yang dihadapi penulis. Dr Arif Satria, M.Si, Dr Saharuddin M.Si dan Prof Dr Tridoyo Kusumastanto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, masukan dan arahan yang berharga selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada pimpinan IPB, khususnya Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua dan Sekretaris Program Studi Sosiologi Pedesaan dan seluruh staf dosen yang telah membagikan ilmu dan pencerahan kepada penulis khususnya terkait dengan bidang sosiologi pedesaan.

Ungkapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan dengan tulus kepada ibunda dan ayahanda tercinta, Ibu Rusminah dan Bapak Sulaiman AS, suami Mukhron Hakim Lubis, ananda Aqilla Daffa Hakimah, ananda Adiba Diva Diandra dan ananda Anaira Audrey serta seluruh keluarga di Kalimantan Selatan atas doa, dukungan dan kasih sayang yang diberikan sehingga dapat mencapai jenjang pendidikan tertinggi. Semoga Allah SWT berkenan membalas pengorbanan mereka dengan anugerah yang tak terhingga dan kepada mereka semua karya ini dipersembahkan. Harapan penulis, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan seluruh umat.

Bogor, Agustus 2015

(16)
(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Issu strategis pembangunan saat ini adalah menjadikan kelautan dan perikanan sebagai satu kekuatan yang menentukan masa depan bangsa. Hal ini didukung dengan konstelasi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan total luas wilayah laut Indonesia lebih dari 3.5 juta km2 (KKP 2011) dengan panjang garis pantai lebih dari 104.000 km (Bakosurtanal 2011). Terdiri dari 18.110 pulau besar dan kecil serta 10.640 desa pesisir. Tidak berlebihan jika pemerintah saat ini mencanangkan masa depan Indonesia berada di laut, sehingga di masa-masa mendatang pembangunan kelautan dan perikanan menjadi penting.

Salah satu arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Hal ini masih dihadapkan pada fakta bahwa masyarakat nelayan selama ini diidentikkan dengan kelompok masyarakat yang memiliki sistem penghidupan yang lekat dengan kemiskinan, ketidakpastian nafkah dan krisis. Masalah kemiskinan adalah masalah sentral yang dihadapi oleh para nelayan, sehingga seringkali nelayan dikategorikan sebagai kelompok masyarakat miskin dari kelompok yang paling miskin (poorest of the poor). Pada tahun 2011, diperkirakan populasi penduduk pesisir miskin mencapai 7,8 juta jiwa (KKP. 2011). Jumlah penduduk miskin ini 25,82 % dari seluruh penduduk miskin Indonesia yang berjumlah 30,02 juta jiwa (BPS. 2011). Sebagian besar dari penduduk miskin pesisir ini adalah para nelayan. Selain kemiskinan, ekonomi nelayan juga lekat dengan risiko krisis dan ketidakpastian (crisis and uncertainty) yang disebabkan oleh beberapa hal, antara lain (1) dalam kegiatan mencari nafkah nelayan sangat tergantung dengan cuaca/iklim yang berubah-ubah, (2) nelayan juga sangat tergantung pada sumberdaya laut yang saat ini terpapar pada perubahan global yang disebabkan oleh climate change atau perubahan yang disebabkan oleh manusia (human made) (Allison. 2009, Baran and Schwartz. 2009), (3) nelayan menghadapi permasalahan dalam hal penguasaan teknologi perikanan. Tahun 2011, sebagian besar nelayan di Indonesia merupakan nelayan tradisional dengan armada tradisional ( perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel dan perahu dengan teknologi mesin kurang dari 5 GTT), dan jumlah armada tradisional ini 89,9% dari keseluruhan armada nelayan di Indonesia (Satria. 2012), (4) nelayan menghadapi masalah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana (Mulyadi. 2005), (5) aktivitas mencari nafkah nelayan sangat tergantung pada ketersediaan modal finansial (Ritonga. 2004, Purba. 2009). Terkait dengan krisis dan ketidakpastian ekonomi ini maka mekanisme social security system untuk mempertahankan survivalitas ekonomi masyarakat nelayan menjadi penting.

(18)

aspek budaya dan struktur kelembagaan/institusi dalam sistem penghidupan mereka (Iskandar. 2012, Lenggono. 2011, Nasution. 2011). Hal ini terjadi dikarenakan keberadaan pasar yang dibawakan kapitalisme dan program pembangunan dan kebijakan yang dibawakan oleh negara mempengaruhi aspek kultural, struktural dan hubungan sosial dalam kelembagaan ekonomi masyarakat. Dalam hal ini interaksi pengaruh tersebut dapat mempengaruhi kelembagaan jaminan sosial asli/lokal (local social security institution) yang didasarkan pada ikatan-ikatan asli yang telah melembaga. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap pola strategi nafkah dan survival ekonomi masyarakat nelayan.

Proses transformasi masyarakat terkait dengan perubahan perangkat sistem penghidupan masyarakat nelayan yang tentu saja terkait dengan mekanisme survival sistem penghidupan ekonomi nelayan yang berciri lekat dengan risiko dan ketidakpastian ekonomi mengisyaratkan konsekuensi perubahan dalam mekanisme social security system masyarakat nelayan tersebut yang seterusnya berpengaruh terhadap daya survival sistem penghidupan masyarakat nelayan. Penelitian tentang social security system masyarakat nelayan ini perlu dilakukan, karena dapat menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam social security system masyarakat nelayan dilatarbelakangi oleh transformasi masyarakat nelayan atas pengaruh pembangunan berorientasi kapitalisme (pasar). Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya pemahaman kita terhadap sistem penghidupan masyarakat nelayan.

Perumusan Masalah

Berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat nelayan ternyata belum sepenuhnya dapat mengentaskan kemiskinan nelayan seperti yang diharapkan. Pada masa kini, penghidupan sebagian nelayan masih bergelimang dengan kemiskinan dan derajat ketidakpastian nafkah (degree of livelihood insecurity) yang semakin meningkat (Kusnadi. 2003, Retnowati. 2011). Pemenuhan kewajiban yang diprogramkan oleh negara melalui kebijakan pembangunan dirasakan masyarakat nelayan sebagai upaya yang tidak berkelanjutan, jangka pendek dan accidental. Program dan kebijakan pembangunan tersebut belum memberikan jaminan penghidupan sepenuhnya kepada masyarakat miskin.

Dalam derajat tertentu permasalahan kemiskinan nelayan lebih disebabkan karena kurang tepatnya kebijakan yang diarahkan pada peningkatan pendapatan yang merupakan turunan kurangnya pemahaman masalah kemiskinan nelayan itu sendiri (Fauzi. 2005). Menurut Fauzi (2005), kemiskinan nelayan dikarenakan rendahnya pendapatan yang terkait dengan karakteristik unik dari sumber daya kelautan itu sendiri. Karakteristik unik inilah yang harus dipahami secara benar sehingga tidak menghasilkan pemahaman mengenai kemiskinan nelayan yang keliru yang menjadi penyebab strategi pengentasan kemiskinan yang keliru pula.

(19)

lama semakin menurun yang pada akhirnya juga akan menurunkan pendapatan para nelayan.

Kedua, sifat mata pencaharian di sektor ekonomi melayan adalah adanya sticky labour force ( adanya kelebihan kerja dalam satu kegiatan mencari nafkah) sehingga pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan mencari nafkah harus terbagi (shared income) yang berarti pendapat orang perorang menjadi semakin kecil. Pada akhirnya situasi seperti ini menyulitkan mereka untuk meningkatkan pendapatan dan keluar dari kemiskinan.

Ketiga, sifat kapital usaha perikanan laut yang sulit untuk ditarik kembali (irreversible capital). Usaha perikanan mengalami fluktuasi karena faktor alam. Pada saat hasil tangkapan kurang menguntungkan dan tidak dapat memenuhi break event point dari modal yang telah dikeluarkan, nelayan tidak bisa menarik modal yang telah dikeluarkan karena sifat modal yang tidak bisa kembali. Dalam bahasa ekonomi, situasi ini disebut sebagai rendahnya perolehan (return) atas biaya oportunitas investasi modal/kapital nelayan.

Keempat, sifat lainnya yang juga turut membuat kemiskinan menjadi persisten di kalangan nelayan adalah sulitnya penyesuaian terhadap produktivitas (adjusment to productivity gains) dimana pergerakan surplus tenaga kerja di sektor perikanan bersifat reversible (dapat balik kembali). Berbeda dengan tenaga kerja sektor lain pada saat pindah ke sektor lain (misalnya petani ke luar desa) akan sulit kembali ke sektor semula. Di sektor perikanan sifat sumberdaya dengan rezim akses terbuka menjadikan tenaga kerja selalu kembali pada komunitasnya dan memperoleh free access walaupun produktivitas di sektor ini semakin menurun.

Kelima, adalah sektor perikanan laut seringkali mengalami masalah finansial berupa kurangnya permodalan serta sulitnya akses untuk masuk kepada lembaga keuangan formal. Dengan kendala tersebut, negara mengambil kebijakan memberikan bantuan berupa kredit ringan atau subsidi untuk meningkatkan investasi berupa kapal atau sarana peralatan lainnya. Namun bantuan tersebut pada jangka panjang justru tidak menguntungkan para nelayan. Bantuan yang diluncurkan justru menyebabkan industri perikanan menjadi overcapitalized sehingga yang terjadi economic overfishing dimana jumlah armada yang semakin banyak justru menghasilkan produktivitas perikanan yang semakin sedikit. Misalnya program motorisasi justru menimbulkan dampak overcrowded bagi nelayan sehingga pendapatan yang dihasilkan tidak lebih baik dari sebelumnya. Subsidi yang diberikan kepada nelayan yang sudah berada dalam kondisi tangkap jenuh (fully exploited) berarti tingkat penangkapan yang sama justru harus dilakukan dengan biaya yang lebih mahal.

(20)

terhadap kemiskinan keluarga. Misalnya, tidak tersedianya air bersih akan memaksa keluarga nelayan untuk mengeluarkan uang untuk membeli air bersih, yang berarti menghabiskan pendapatan nelayan.

Kemiskinan sarana terkait dengan minimnya sarana mencari nafkah/melaut yang dimiliki oleh nelayan miskin. Ketiadaan pemilikan sarana menjadikan kerentanan nelayan miskin mencukupi kebutuhan modal untuk kegiatan melaut serta perubahan-perubahan sumber daya laut yang memang tidak dapat diprediksi. Hal ini dapat dilihat pada nelayan perorangan mengalami kesulitan membeli bahan bakar untuk keperluan melaut terkait dengan fluktuatifnya hasil tangkapan dan juga tidak adanya dana cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan mendesak.

Pada masyarakat nelayan, lingkungan fisik laut sarat dengan risiko, karena pekerjaan nelayan sebagai penangkap ikan mendapatkan hasil yang tidak bisa ditentukan kepastiannya dan semuanya serba spekulatif. Masalah risiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terjadi karena terkait dengan permasalahan modal, penguasaan sarana dan teknologi yang berbeda, sumberdaya kelautan yang bersifat tidak tetap karena tergantung dengan iklim dan cuaca sehingga hasil usaha perikanan laut bersifat fluktuatif. Perubahan ekologis dalam hal sumberdaya kelautan yang disebabkan oleh perubahan iklim dan perubahan sumber daya atas perlakuan manusia turut meminggirkan nelayan miskin dengan akses dan kontrol yang terbatas terhadap sumber daya.

Menurut Satria (2002), struktur sosial masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron klien. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh risiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, ikatan patron-klien merupakan langkah penting untuk menjaga kelangsungan kegiatan perekonomian mereka oleh karena hubungan patron klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi mereka. Dalam kelembagaan ekonomi kolektif tersebut dimainkan etika-etika tertentu yang bekerja dalam tindakan ekonomi mereka untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi terkait dengan kondisi mereka sebagai kelompok masyarakat yang melakukan aktivitas ekonomi pada situasi yang fluktuatif dan unpredictable. Kelembagaan ekonomi patronase sampai saat ini masih tetap dipertahankan untuk menjaga kepentingan subsitensi mereka. Pola patron-klien akan terus terjadi dalam komunitas nelayan selama belum ada institusi baru yang mampu menggantikannya, walaupun tata hubungan patron klien tersebut tidak selalu didasarkan pada asas saling menguntungkan (Satria, 2002).

(21)

Perubahan struktur kelembagaan penopang sosial dapat saja terjadi. Perubahan tersebut dapat berupa kelembagaan lama (yang didasarkan pada ikatan-ikatan asli yang telah melembaga) disandingkan dengan kelembagaan baru atau yang terjadi justru peluruhan kelembagaan lama sementara kelembagaan baru mengalami disfungsionalitas peran. Kalau yang terjadi hal yang kedua maka adanya perubahan kelembagaan justru bermakna pada meningkatnya livelihood insecurity yang dirasakan masyarakat nelayan. Maknanya bahwa transformasi masyarakat yang disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang berinteraksi dengan introduksi pasar baik yang berorientasi ekonomi maupun orientasi sosial cenderung mempengaruhi mekanisme social security. Hingga saat ini belum ada pendeskripsian secara jelas tentang mekanisme ekonomi bertahan hidup masyarakat nelayan tersebut, sehingga penting untuk melakukan penelitian yang menyeluruh tentang social security system masyarakat nelayan.

Sebuah mekanisme ekonomi masyarakat akan bekerja ditopang oleh institusi ekonomi yang konstruksinya berakar dari aspek kultural (Geertz. 1983, Scott. 1989) dan menentukan aspek tindakan ekonomi (Weber.1958, Geertz.1983, Grannovetter 2001). Dalam rangka mendalami konstruksi social security system yang ada pada masyarakat nelayan, maka penelitian ini akan mendalami dimensi perubahan dalam sistem sosial ekonomi nelayan, yaitu dimensi perubahan moralitas ekonomi, institusi dan tindakan ekonomi. Pemilihan fokus penelitian pada ketiga aspek tersebut karena diyakini bahwa dimensi kultural dan institusi merupakan akar dari tindakan ekonomi bertahan hidup dari para nelayan. Dalam hal ini tindakan ekonomi bertahan hidup memiliki karakter dan mekanisme tertentu karena terlekat pada institusi yang bekerja sesuai dengan orientasi nilai kultural yang diproduksi dan direproduksi pada tataran idiil. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perubahan mekanisme social security system masyarakat nelayan Ujung Kulon dalam kerangka transformasi masyarakat yang terjadi dalam pengaruh penetrasi kapitalisme/pasar.

Berdasarkan hal di atas maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana pasar/kapitalisme mempengaruhi transformasi masyarakat nelayan ?

2. Bagaimana perubahan mekanisme social security system nelayan dalam kerangka transformasi masyarakat nelayan ?

Tujuan Penelitian

Sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis dan mendeskripsikan pengaruh pasar/kapitalisme terhadap transformasi masyarakat nelayan

(22)

Kegunaan Penelitian

Diharapkan penelitian ini memberikan kegunaan dengan sumbangan pemahaman penting baik dalam tataran teoritis maupun implikasi kebijakan. Pada tataran teoritis, penulis berharap penelitian ini memperkaya khasanah penelitian tentang masyarakat nelayan, khususnya menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam social security system masyarakat nelayan dilatarbelakangi oleh transformasi masyarakat nelayan atas pengaruh pembangunan berorientasi kapitalisme (pasar). Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya pemahaman kita terhadap sistem penghidupan masyarakat nelayan. Pada tataran implikasi kebijakan, temuan-temuan dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan yang berharga bagi pengambil kebijakan tentang upaya meningkatkan jaminan atas pencapaian kesejahteraan nelayan, khususnya terkait dengan kebijakan supporting social security system yang diperuntukkan bagi masyarakat nelayan.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini menitikberatkan pada :

1. Pendalaman terhadap pengaruh negara dan pasar terhadap proses transformasi masyarakat nelayan

2. Pendalaman terhadap mekanisme social security system masyarakat nelayan dari dimensi perubahan budaya, institusi dan tindakan ekonomi dalam kerangka transformasi masyarakat atas pengaruh kapitalisme/pasar.

Berdasarkan ruang lingkup tersebut, maka penulis menyusun kerangka disertasi sebagai berikut :

Pendahuluan

Kerangka Teoritis dan Konseptual Metodologi Penelitian

Negara, Pembangunan Perikanan dan Masyarakat Nelayan Transformasi Masyarakat Nelayan

Krisis dan Ketidakpastian Ekonomi Nelayan

Pasar dan Social Security System Masyarakat Nelayan Simpulan dan Implikasi Penelitian

Kebaruan Disertasi (Novelty)

Kebaruan atau novelty dari penelitian ini adalah temuan yang menjelaskan tentang social security system masyarakat nelayan yang dikonstruksi secara sosial untuk mempertahankan sistem sosial tetap secure. Kebaruan penelitian ini dapat dikemukakan dengan mempelajari perkembangan penelitian-penelitian terdahulu, khususnya terkait dengan topik tentang social security system masyarakat nelayan. Kebaruan (novelty) dari penelitian ini dapat dikemukakan dalam hal : (1) fokus pendalaman tentang social security system, (2) aspek yang didalami terkait fenomena social security system, (2) paradigma penelitian dan epistemologi yang digunakan, (4) hasil penelitian.

(23)

warga negara untuk dapat bertahan dan lepas dari situasi krisis dalam penghidupan. Pemaknaan tentang social security system lebih pada cara-cara negara melaksanakan kewajibannya untuk menjamin kehidupan warga negara dari krisis sehingga dapat mencapai kehidupan yang sejahtera ( Lindenthal. 2004, Wisnu. 2012). Sementara pada penelitian ini lebih mendalami bagaimana social security system yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat masyarakat nelayan untuk bertahan dari situasi krisis dan ketidakpastian ekonomi yang menjadi ciri khas perekonomian nelayan. Social Security System masyarakat nelayan didalami dalam kerangka transformasi masyarakat sehingga penggalian menjadi luas dan mendalam. Tujuannya adalah untuk dapat dipahami secara mendalam mekanisme apa yang dilakukan individu dan masyarakat untuk mempertahankan sistem sosial tetap secure apapun perubahan atau transformasi masyarakat yang terjadi.

Kedua, Fenomena social security system yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat nelayan didalami dengan penggalian dimensi moralitas ekonomi, institusi dan tindakan ekonomi dalam kerangka transformasi masyarakat dikaitkan dengan perubahan social security system masyarakat. Pendalaman fenomena ini menjadi unik dan menyeluruh oleh karena penelitian-penelitian yang telah dilakukan hanya mendalami aspek-aspek tertentu saja misalnya aspek budaya nelayan dikaitkan dengan kemiskinan nelayan (Kusnadi. 2003, Imron, 2003, Retnowati. 2011), aspek institusi ekonomi nelayan (Lenggono. 2011, Nasution. 2013), dan penggalian aspek tindakan ekonomi nelayan dikaitkan dengan kemiskinan (Iskandar. 2012).

Ketiga, terkait dengan paradigma dan epistemologi penelitian. Penelitian ini konsisten menggunakan paradigma konstruktivis dengan epistemologi Weberian. Proses berpikir dalam keseluruhan penelitian menempatkan verstehen

atau “pemaknaan” di lapangan gagasan individu, sehingga pemahaman tentang social security system dari sistem gagasan idiil yang menjadi acuan tindakan untuk mengkonstruksi perangkat kehidupan. Inilah kekhasan/keunikan penelitian ini dari penelitian-penelitian sebelumnya yang seringkali menggunakan Epistemologi Durkheimian dan Parsonian yang lebih memiliki pandangan struktural (Fajar. 2009, Nasution. 2012, Subair. 2013).

(24)

BAB 2

KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL

Pemaknaan Konsep Social Security System

Istilah social security system sebenarnya di adopsi dari mekanisme penjaminan sosial ekonomi oleh negara-negara kesejahteraan (Welfare State) yang disebut sebagai sistem jaminan sosial. Definisi dari istilah ini begitu beragam dan sangat tergantung dengan program, kebijakan, kondisi sosial ekonomi dan pandangan dari institusi, organisasi maupun negara yang menggunakannya. Istilah social security system juga seringkali disejajarkan dengan istilah social protection (perlindungan sosial), walaupun hingga saat ini kedua istilah ini memiliki berbagai macam definisi dan seringkali overlap satu sama lain.

Beragam definisi dari banyak definisi yang digunakan oleh institusi dan negara antara lain definisi World Bank (1991) mendefinisikan social security system secara luas sebagai tindakan publik yang dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima. World Bank (2001) juga mendefinisikan social protection sebagai intervensi publik untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat untuk mengelola risiko yang memberikan dukungan kepada kaum miskin (public interventions to assist individuals, households and communities to manage risk better and that provide support to the critically poor). Jika dilihat dari definisi social protection dan social security system yang dikemukakan World Bank, tampak kedua istilah tersebut terkait satu sama lain dan tidak ada pembatas yang jelas diantara keduanya. Pada tahun 2001 World Bank juga menerbitkan istilah social risk management yang juga terkait kedua istilah di atas dan memperluas konsep perlindungan sosial termasuk program jaring pengaman yang berfokus pada program pengelolaan risiko. Istilah social risk management didefinisikan sebagai tindakan kolektif publik untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat dalam mengelola risiko dalam rangka mengurangi kerentanan, meningkatkan konsumsi dan meningkatkan kontribusi kepada pembangunan ekonomi (a collection of public measures intended to assist individuals, households and communities in managing risks in order to reduce vulnerability, improve consumption smoothing and enhance equity while contributing to economic development).

(25)

ekonomi, dan politik, (c) peningkatan jaminan (security) untuk mengatasi risiko kronis atau tiba-tiba untuk kalangan miskin dan terpinggirkan. Dari definisi ADB dapat disimpulkan bahwa social development termasuk bagian dari social protection, sedangkan social security system merupakan bagian dari program yang dicanangkan dalam social development.

Japan international cooperation of agency (JICA) (2009) mensejajarkan maksud istilah social protection dengan social security. Social protection menurut JICA difokuskan pada kalangan rentan (vulnerable group) dengan tiga area yang berbeda yaitu (a) social insurance and welfare, (b) dukungan untuk para penyandang cacat (support for people with disabilities), (c) tenaga kerja dan kesempatan kerja (labor and employment). Social security menurut JICA merupakan penyediaan pendapatan dan jasa oleh pemerintah dan lembaga-lembaga publik untuk individu untuk mengatasi masalah hidup yang mereka tidak dapat mengatasi melalui usaha mereka sendiri, termasuk penyakit, usia tua, cacat, dan pengangguran.

International Labor Organization (ILO) (2003) mengemukakan program

decent work for all sebagai pengejewantahan dari konsep social security. Konsep ini berarti peluang untuk pekerjaan produktif dan memberikan pendapatan yang adil, adanya jaminan (security) di tempat kerja dan perlindungan sosial bagi keluarga, prospek yang lebih baik untuk pengembangan pribadi dan integrasi sosial, kebebasan bagi masyarakat untuk mengekspresikan pandangan, mengorganisir dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan, mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang setara bagi semua perempuan dan laki-laki. ILO (2002) mengemukakan definisi dari social security yaitu merupakan bentuk perlindungan (protection) yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan, kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia ataupun kematian. Social security tersebut terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds dan program kompensasi lainnya. Definisi social security ini tidak jauh berbeda dengan definisi social protection yang dikemukakan oleh Devereux and Sabates-Wheeler (2004), dimana social protection didefinisikan sebagai inisiatif, baik formal maupun informal, yang memberikan bantuan sosial (social assistence) kepada individu dan rumah tangga sangat miskin, pelayanan sosial (social services) kepada kelompok yang membutuhkan perawatan khusus atau kalangan rentan dan memiliki risiko dalam penghidupan, asuransi sosial (social insurance) untuk melindungi individu dari risiko dan konsekuensi penghidupan yang diskriminatif.

(26)

sosial bagi kelompok sangat miskin (social welfare for particularly needy groups),

melindungi kelompok miskin dalam kasus bencana alam (protection of the poor in cases of natural disaster). BMZ dan GTZ mendefinisikan social protection sebagai Sistem yang mendukung suatu kerangka kerja institusional yang membantu masyarakat untuk mengatasi risiko hidup dan konsekuensinya. Sistem dapat berupa sistem informal berbasis pada hubungan keluarga atau hubungan sosial lainnya, termasuk keanggotaan kelompok swadaya atau asosiasi (misal : kelompok asuransi mikro), asuransi swasta (jiwa dan asuransi properti). Sistem formal diselenggarakan negara dengan berbagai bentuk asuransi sosial. Dalam hal ini BMZ dan GTZ menempatkan istilah social security dan social protection terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan secara nyata dalam pelaksanaan program peningkatan dan perlindungan kesehatan masyarakat.

United Nations Development Program (UNDP) (2006) mengemukakan pandangan bahwa social protection bukan hanya diperuntukkan bagi kalangan miskin, marginal dan vulnerable, tapi lebih pada semua pihak yang membutuhkan perlindungan dan bantuan. Social protection didefinisikan sebagai perlindungan sosial yang melibatkan intervensi dari publik, swasta, organisasi sukarela, dan jaringan sosial (social networks), untuk mendukung individu, rumah tangga dan masyarakat mencegah, mengelola, dan mengatasi bahaya (hazards), risiko (risk) dan tekanan (stresses) yang mengancam kesejahteraan sekarang dan di masa depan. Sedangkan Europe Aid (European Union and The European Commission)(2007) berpendapat bahwa social protection adalah kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pencegahan dan reaksi terhadap defisit sosial (social deficits) termasuk dalam hal ketenagakerjaan, akses terhadap kredit mikro dan asuransi mikro serta layanan untuk mencukupi kebutuhan dasar (basic need) dan pengurangan kemiskinan

Barrietos and Shepherd (2003), menjelaskan bahwa konsep social security lebih sempit dibandingkan konsep social protection. Jaminan sosial umumnya terkait dengan program kesejahteraan yang bersifat perlindungan dari situasi krisis dalam hal basic needs yang sudah lazim di negara-negara maju yang merupakan negara welfare state. Di negara tersebut social security diartikan sebagai sistem jaminan sosial yang menyediakan perlindungan sosial (social protection) yang diimplementasikan dalam program asuransi sosial yang bertujuan memberikan perlindungan sosial dari kondisi-kondisi kemiskinan, ketuaan (old age), cacat (disability), pengangguran (unemployment) dan lain-lain. Social security system dilaksanakan berupa (1) asuransi sosial (social insurance), dimana layanan penjaminan didapatkan dengan berkontribusi pada program asuransi, meliputi kondisi-kondisi pensiun, cacat (disability insurance), keselamatan (asuransi keselamatan) dan pengangguran, (2) pemeliharaan penghasilan (income maintenance), dimana layanan ini berupa distribusi uang tunai pada saat terdapat gangguan pekerjaan (PHK), termasuk pensiun, cacat dan pengangguran. Pemeliharaan Penghasilan dilaksanakan sebagai mekanisme jaminan agar warga tetap mendapatkan penghasilan yang mencukupi standar kebutuhan hidup, (3) layanan lain terkait dengan jaminan atas basic security (keamanan dasar), dimana ada jaminan kepada warga untuk memiliki akses untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan perawatan medis.

Kurien dan Paul (2001) mengemukakan bahwa pengertian social security

(27)

gangguan sementara atau hilangnya daya produktif dalam situasi sosial seperti pengangguran, siklus hidup atau usia tua, sakit atau kecacatan. Social security

dirancang oleh negara berbentuk skema asuransi sosial yang mengatasi gangguan pendapatan. Mekanisme ini memungkinkan karena sistem penggajian tenaga kerja secara teratur/rutin (regular salary), sehingga dapat dilakukan mekanisme pay roll deductions dan pemotongan pajak (taxes). Sebaliknya di negara berkembang

economic insecurity bersumber kemiskinan yang meluas dan kronik (widespread and chronic poverty). Sistem penggajian tenaga kerja tidak semua teratur karena sebagian besar dari pekerja merupakan wiraswasta yang berkecimpung di sektor pertanian dan sektor lainnya yang belum terorganisir dengan baik sehingga belum sepenuhnya dapat diterapkan mekanisme pemotongan pajak. Selain itu, peranan negara dalam memberikan jaminan kepada masyarakat terbatas pada anggaran yang tidak mencukupi, sehingga penyelenggara social security tidak semata-mata tanggung jawab negara, melainkan juga tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan.

Secara konseptual, Saefuddin (2003) menganalogikan istilah social security system dengan sistem keterjaminan sosial yaitu kemampuan masyarakat secara mandiri untuk terus berkembang serta mewaspadai, mencegah dan mengatasi terjadinya krisis yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal sehingga dapat terwujud suatu kesejahteraan.

Sejarah mengungkapkan bahwa semua bangsa di dunia ini pernah mengalami krisis dan ketidakpastian yang disebabkan kemiskinan, sakit, cacat, usia tua. Dalam dunia ekonomi, kondisi-kondisi ini hampir tidak terhindarkan. Di masa lalu, Bangsa Yunani kuno membuat sekuriti sosial dengan melakukan penyimpanan minyak zaitun karena dianggap sumber makanan bergizi yang bisa disimpan dalam waktu lama. Menimbun minyak zaitun merupakan bentuk tindakan yang menjamin keamanan ekonomi.

Eropa pada masa abad pertengahan, sistem feodal adalah sebuah sosial sekuriti tradisional yang memberi jaminan atas keamanan ekonomi. Tuan feodal bertanggungjawab terhadap kelangsungan kehidupan ekonomi dari budak pekerja perkebunan, sementara budak memberikan keamanan ekonomi bagi feodal dengan jaminan pasokan tenaga kerja.

Pada abad pertengahan juga muncul idea of charity sebagai sebuah mekanisme yang berfungsi sebagai social security. Pada umumnya social security dilekatkan pada pertalian kekerabatan (darah dan perkawinan). Anggota kerabat bertanggung jawab satu sama lain jika anggota keluarganya ada yang mengalami krisis. Pola ini lazim terdapat pada masyarakat yang memiliki sistem ekonomi pertanian dan tanah menjadi sumberdaya penting dalam menjamin penghidupan sosial. Sehingga yang menjadi sumber ekonomi tradisional untuk sistem jaminan sosial adalah asset (berupa tanah), tenaga kerja, keluarga dan amal (charity).

(28)

tradisional adalah suatu set institusi tradisional yang berbasis pada solidaritas ekonomi. Dalam sistem ini menyediakan transfer/pertukaran faktor produksi, barang dan uang yang dapat memenuhi kebutuhan subsisten yang tidak bisa dicapai dikarenakan ketidakmampuan, kesakitan, kematian, tidak memiliki pekerjaan, kekurangan faktor produksi dan lain-lain. Cara ini menjamin survival ekonomi rumah tangga. Set dari institusi tradisional ini tidak hanya berfungsi di dalam rumah tangga, melainkan juga antar rumah tangga/ keluarga. Pada banyak kasus institusi didasarkan pada kin relationships (relasi kekeluargaan) atau relasi lain yang berbasis pada prinsip aliansi, pertemanan atau hubungan yang saling menguntungkan.

Menurut Fuchs (1984), social security system tradisional di negara-negara berkembang sangat terkait dengan keberlangsungan aktifitas mata pencaharian yang ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam hal ini tentu saja sistem ini merupakan komplek dari tindakan-tindakan sosial pada unit-unit-unit ekonomi yang berbasis pada kolektivitas (traditional social security system is adressed the whole complex of social actions at level of economic unit, which is constituted by the various agreements within units as well as through collective arrangements..). Kata tradisional memiliki makna pengaturan “informal” dan juga mengindikasikan bahwa struktur dan institusi merupakan institusi asli dari masyarakat. Sementara prinsip kolektivitas didasari oleh solidaritas ekonomi yang terbentuk berdasarkan kekerabatan (kinship), aliansi (biasanya melalui perkawinan), terlibat dalam organisasi dengan prinsip saling menguntungkan dan relasi pertemanan (friendship relationships) (Elwert. 1980)

Kuper (1965) meneliti masyarakat Swaziland di Afrika mengemukakan bahwa Lilima merupakan social security system tradisional, dimana ada pengaturan kerjasama (co-operative) tenaga kerja yang dihimpun di dalam suku tertentu dengan imbalan bir. Mereka menganggap bekerja bersama-sama seperti berpesta dengan dengan adanya bir yang disediakan kepada para pekerja, dan hal ini memacu semangat dan meningkatkan produktivitas mereka dalam bekerja dan tentu saja Lilima juga menguatkan solidaritas ekonomi di antara mereka. Marwick (1966) membedakan tiga bentuk dari Lilima, yaitu Lilima Letshwala (imbalan kerjasama dengan bir), Lilima lenyama ( imbalan kerjasama dengan makanan), Lilima lenkomo(imbalan kerjasama dengan bir dan makanan).

(29)

memungkinkan “trust” menjadi tetap terpelihara, dan dalam keadaan darurat,

bantuan orang lain dalam satu suku selalu dapat diandalkan.

Agarwal (1991) menunjukkan bahwa relasi patron klien yang disebut sebagai Jajmani System merupakan social security tradisional masyarakat miskin di pedesaan India Utara. Patron merupakan tuan tanah dan klien adalah petani-petani miskin. Hubungan dan interaksi di antara keduanya memang berlangsung asimetris, namun para petani miskin menganggap dengan berpatron dengan para tuan tanah, ada jaminan untuk pemenuhan kebutuhan di level subsistensi. Hal ini tentu saja menjadi fakta tambahan sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Scott (1989), bahwa institusi patronase yang dilatar belakangi kultur dan struktur sosial masyarakat petani Asia Tenggara dengan basis moral ekonomi yang memiliki ciri khas tersendiri telah memberikan social security tersendiri terhadap kelompok masyarakat petani yang tidak memiliki sumberdaya pertanian sendiri (modal, lahan). Adanya latar belakang struktural dan kultural dalam upaya pemenuhan social security (tindakan ekonomi survival) ditunjukkan dengan diktum Geertz tentang involusi pertanian yang terjadi masyarakat petani di Jawa yang mengalami permasalahan keterbatasan lahan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Petani Jawa mempekerjakan semakin banyak tambahan penduduk dengan berbagai cara tradisional, walaupun hasil produksi tidak bertambah sehingga produktivitas pertanian per kepala menurun. Akibat tindakan ekonomi yang involutif tersebut terjadilah kemiskinan bersama (shared proverty). Namun involusi pertanian dianggap suatu cara untuk berbagi, agar semua pihak dalam tetap melakukan aktivitas mata pencaharian walaupun dengan pendapatan yang menurun.

Di dalam masyarakat nelayan, institusi patronase dapat dikatakan sebagai social security sistem tradisional. Menurut Satria (2002), struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan adanya ikatan patron klien. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh risiko dan ketidakpastian. Kelembagaan ekonomi patronase sampai saat ini masih tetap dipertahankan untuk menjaga kepentingan subsitensi mereka. Pola patron-klien akan terus terjadi dalam komunitas nelayan selama belum ada institusi baru yang mampu menggantikannya, walaupun tata hubungan patron klien tersebut tidak selalu didasarkan pada asas saling menguntungkan. Eksistensi institusi patronase pada masyarakat nelayan juga dikemukakan oleh Verelst (2013) yang mengemukakan bahwa masih eksisnya pola relasi patronase pada nelayan kecil (a small scale fishery) mencerminkan bahwa ekonomi perikanan yang cenderung inequality masih bertahan. Bagi nelayan, ikatan patron-klien merupakan langkah penting untuk menjaga kelangsungan kegiatan perekonomian mereka oleh karena hubungan patron klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Dalam kelembagaan ekonomi kolektif tersebut dimainkan etika-etika tertentu yang bekerja dalam tindakan ekonomi untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi terkait dengan kondisi nelayan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan aktivitas ekonomi pada situasi yang fluktuatif dan unpredictable.

(30)

Gambar 1. Pemaknaan Social Security System

Dimensi Budaya, Institusi dan Tindakan Ekonomi dalam Konstruksi

Social Security System

Adanya dimensi budaya, institusi dan tindakan ekonomi sangat ditunjukkan dengan diktum Scott (1989) tentang moral ekonomi petani di Asia Tenggara. Fokus analisis Scott tentang perkembangan institusi (patron-klien) yang merupakan kelembagaan ekonomi masyarakat yang berfungsi sebagai salah satu komponen social security system masyarakat petani. Kajian Scott berlangsung baik sebelum dan ketika komersialisasi yang dibawa kapitalisme mulai masuk di Asia Tenggara dan mempengaruhi sistem pertanian dan bentuk pemilikan tanah menjadi lebih kapitalis.

Menurut Scott, kelembagaan ekonomi umumnya petani Asia Tenggara diwadahi oleh kelembagaan patronase dengan latar belakang kultur dan struktur sosial masing-masing. Kelembagaan ekonomi antara patron klien mempengaruhi tindakan ekonomi dan ternyata dapat memberikan jaminan sosial dan jaminan atas situasi krisis pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki sumber daya pertanian (modal, sumber daya agraria).

Hubungan patron klien pada saat komersialisasi belum berpenetrasi tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan ekonomi formal, karena justru dimensi sosial juga bekerja pada mekanisme hubungan tersebut yaitu mekanisme tindakan ekonomi yang bertujuan memperoleh keuntungan yang tidak bisa semata-mata dinilai secara ekonomi (uang). Tindakan ekonomi sosial dari patron kepada klien antara lain mewujudkan adanya jaminan penghidupan di level subsisten, jaminan atas situasi krisis (subsistence crisis insurance), perlindungan (protection), pengaruh atas kekuasaan yang dimiliki patron, dan fungsi ekonomi kolektif. Sementara tindakan ekonomi sosial dari klien kepada patron adalah kesetiaan dan loyalitas menjadi klien yang siap memberikan keuntungan ekonomi dan sosial

Social Security

System

Tradisional

Definisi : set institusi tradisional yang berbasis pada solidaritas ekonomi dan terkait dengan keberlangsungan aktifitas mata pencaharian yang ditujukan kepada bagaimana menjamin pemenuhan kebutuhan hidup

Dapat dianalogkan dengan Sistem Keterjaminan Sosial : Kemampuan masyarakat secara mandiri untuk berkembang, mencegah dan mengatasi KRISIS dari faktor internal maupun eksternal (Saefuddin. 2005)

Berwujud Sistem Formal modern atau Sistem Tradisional ( Fuch, 1984, Jutting. 1999, Tieleman & Leliveld. 1989)

Sistem berisi tata aturan, tata kelakuan dan hubungan yang terkait pemenuhan kebutuhan pada situasi krisis (embedded

pada institusi) (Tielemann &Leliveld. 1989, Scott 1989, Platteau. 2011)

Digerakkan oleh tindakan ekonomi masyarakat dan tertuntun oleh setting kultural dan struktural (Geertz. 1983, Scott.1989)

Modern (Welfare State)

(31)

terhadap patron. Adanya mekanisme tindakan ekonomi sosial dalam kelembagaan patronase yang dikemukakan oleh Scott tersebut yang dimaksudkan oleh Granovetter sebagai rasionalitas ekonomi dengan social-embeddedness.

Inilah fakta rasionalitas sosial (disebut Scott sebagai moral ekonomi petani) yang bekerja pada kelembagaan ekonomi masyarakat Asia Tenggara. Adanya suatu keterlekatan dengan institusional (kelembagaan) yang memiliki etika moral subsistensi, resiprositi, patronase, safety first. Etika-etika tersebut dimainkan untuk mengatasi situasi krisis yang di hadapi oleh klien dan menjaga terpenuhinya kebutuhan minimum pada tingkat subsistensi. Etika subsistensi dan resiprositas diterapkan agar semua penduduk memiliki sumber nafkah bukan berusaha mencari sebanyak-banyaknya sumber nafkah.

Menurut Scott, pada dasarnya sistem kelembagaanlah yang menjebak petani Asia Tenggara untuk rela menerima stratifikasi sosial yang sudah ada. Patron akan tetap menjadi patron, sementara klien juga akan tetap menjadi klien, tanpa adanya mobilitas vertikal dari sistem stratifikasi masyarakat. Hubungan sosial dan ekonomi patronase tersebut kemudian berubah ketika kapitalisme dan komersialisasi pertanian masuk dan mengubah sistem hubungan ekonomi dalam sektor pertanian masyarakat Asia Tenggara. Kapitalisme mendorong perubahan dalam pemilikan tanah disertai dengan perubahan bentuk struktur sosial masyarakat agraris, terutama tumbuhnya satu kelompok besar yang terdiri dari penyewa tanah dan penggarap bagi hasil. Singkatnya bahwa berlangsungnya komersialisasi pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria sehingga terjadi perubahan tata hubungan antara pemilik lahan dengan bukan pemilik lahan (artinya terjadi perubahan kelembagaan patron-klien). Namun hubungan patron-klien tersebut tetap ada dan berjalan, hanya saja mengalami erosi.

Erosi kelembagaan yang terjadi mengubah tindakan ekonomi petani baik tindakan ekonomi patron maupun tindakan ekonomi klien dan hubungan ekonomi sosial yang berlangsung antara keduanya. Fakta yang dikemukakan Scott bahwa komersialisasi pertanian telah memperkuat rasionalisasi dari tindakan ekonomi klien yang justru memperlemah posisi para klien (petani yang tidak memiliki berkurangnya jaminan subsistensi mereka. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa pada situasi tertentu perubahan rasionalitas menjadi lebih formal pada kelembagaan patronase justru dapat saja berdampak negatif yaitu memunculkan unsur eksploitasi dalam hubungan sosial tersebut.

Pembahasan Scott di atas dapat bermuara pada kesimpulan bahwa institusi jaminan sosial masyarakat petani Asia Tenggara dikonstruksikan dengan difungsikannya kelembagaan patronase sebagai kelembagaan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup (life secure) petani pada tingkat subsisten. Kelembagaan ini pula yang mewadahi tindakan ekonomi patron dan klien yang lekat dengan social embeddedness dengan background budaya petani pra kapitalisme/komersialisme.

(32)

menjadi kelembagaan dengan transaksi ekonomi rasional formal. Akibatnya posisi klien menjadi semakin lemah, tidak terjamin dan tereksploitir.

Adanya kaitan antara tindakan ekonomi dan budaya dengan pemenuhan keterjaminan bersama juga dapat ditunjukkan dengan diktum Geertz tentang involusi pertanian yang terjadi di Jawa dengan latar belakang struktur sosial dan kultur Jawa yang memang khas. Involusi pertanian adalah suatu situasi sistem pertanian lahan sawah di Jawa mengalami permasalahan keterbatasan lahan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa adanya tindakan ekonomi petani subsisten Jawa yang tidak tertantang untuk mengatasi keterbatasan lahan dengan teknologi modern dan mengirim surplus tenaga kerja keluar sektor pertanian. Sebagai gantinya petani Jawa melakukan tindakan ekonomi yang tidak berdasarkan rasionalitas ekonomi formal yaitu mempekerjakan semakin banyak tambahan penduduk dengan berbagai cara tradisional, hingga hasil produksi tidak bertambah sementara produktivitas pertanian per kepala menurun. Akibat tindakan ekonomi yang involutif tersebut terjadilah kemiskinan bersama (shared proverty).

Jika dipandang dari hukum ekonomi mazhab neo klasik, tentu saja tindakan ekonomi yang bermuara pada involusi tersebut tidak rasional dan tidak bisa dieksplanasi. Sesuatu yang tidak rasional ketika petani Jawa melakukan tindakan ekonomi yang rela berbagi kemiskinan, mempekerjakan banyak tenaga kerja untuk mengelola lahan yang terbatas, tidak menerapkan teknologi modern, atau tidak keluar dari sektor pertanian. Ternyata, persoalan tidak semata-mata persoalan ekonomi, namun juga persoalan keterlekatan struktur sosial dan budaya masyarakat Jawa. Geertz menyebutnya sebagai culture as obstacle atau culture as stimulus. Kultur Jawa lah yang menghambat orang Jawa untuk melakukan tindakan ekonomi yang memaksimumkan benefit dan meminimumkan cost dalam pengelolaan sektor pertanian.

Inilah fakta bekerjanya keterlekatan budaya pada tindakan ekonomi masyarakat dengan kultur Jawa. Etika moral ekonomi yang dimainkan oleh orang Jawa, sehingga dengan tindakan ekonomi rela hidup pas-pasan dan berbagi kemiskinan merupakan etika kolektivitas dan etika fatalistik yang bersumber dari kultur Jawa. Kultur Jawa dan etika moral ekonomi yang terbentuk ternyata memberikan jaminan ekonomi, artinya semua masyarakat terjamin untuk mendapat shared ekonomi walaupun dalam jumlah yang semakin lama semakin sedikit dan pada akhirnya mereka hanya dapat berbagi kemiskinan. Ada satu

ungkapan yang bersumber dari kultur Jawa yaitu “mangan ora mangan asal kumpul” merupakan representasi kultural dari etika shared poverty yang dimaksudkan oleh Geertz. Menurut Geertz, keterlekatan kultural Jawa yang menjadikan adanya rintangan budaya (culture as obstacle) yang menyebabkan petani Jawa cenderung fatalistik (pasrah pada nasib) sehingga sulit keluar dari jerat kemiskinan.

(33)

tersebut tetap bisa bertahan dan eksis dan dapat melindungi mereka dari situasi krisis.

Permasalahan lapangan pekerjaan dan keuangan dari para migran tersebut di atasi dengan membangun kelembagaan ekonomi kolektif yang informal (hampir seperti patron klien Scott namun dengan warna yang berbeda) berdasarkan nilai-nilai dari modal sosial yang terbangun seperti yang telah disebut di atas. Adanya kelembagaan ekonomi dalam komunitas migran tersebut sekaligus mengatasi kesulitan yang disebabkan oleh posisi mereka sebagai pekerja ilegal yang tentu saja tidak memiliki akses terhadap lembaga ekonomi formal. Proses transaksi resiprositas berlangsung dalam solidaritas kelumpok atas dasar

“trust” dan reputasi pribadi dilekatkan pada diri seseorang mengandung kewajiban moral di dalamnya dengan sistem norma yang mengatur sanksi atas pelanggaran terhadap nilai-nilai kesantunan dan kepatutan yang telah disepakati.

Portes and Sensenbrenner (1993) menunjukkan fakta terbentuknya internal solidarity (senasib sepenanggungan di negeri orang) di kalangan migran Dominika dan Cuba di tempat perantauan mereka. Nasib ekonomi imigran sangat tergantung pada berfungsinya kelembagaan keuangan (simpan pinjam) informal yang mereka bentuk sendiri. Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal disiasati oleh imigran Dominika dan Kuba di USA dengan masing-masing mendirikan lembaga keuangan informal. Pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan migran dilaksanakan oleh lembaga perbankan informal atas dasar reputasi pribadi penerima pinjaman tanpa adanya jaminan surat-surat atau barang yang berarti. Pelanggaran terhadap kesepakatan pinjam-meminjam biasa dilakukan dengan cara mengucilkan si pelanggar dari komunitasnya. Kepercayaan (trust) dilekatkan pada diri seseorang mengandung kewajiban moral di dalamnya. Moral transaksi ekonomi yang dipandu oleh keharusan nilai yang dipelajari semua anggota komunitas dalam proses sosialisasi.

Solidaritas yang terbentuk dan mendasari tindakan ekonomi tersebut tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan untung dan rugi secara ekonomi, namun karena lebih didasarkan pada etika kolektivitas yang dimainkan untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi terkait dengan kondisi mereka sebagai buruh migran ilegal. Maknanya adalah bahwa tindakan ekonomi kaum migran tersebut terkait dengan kelembagaan ekonomi yang mereka konstruksikan. Keterlekatan kelembagaan ekonomi dan tindakan ekonomi mereka mengkonstruksikan sistem jaminan sosial buruh migran tersebut sehingga mereka dapat bertahan hidup di perantauan.

(34)

yang terjatuh pada saat pengangkutan dari kapal ke pantai), rebyek (remaja putri yang berusaha membeli ikan dengan harga murah dengan cara merayu para nelayan yang baru tiba dari melaut) dan pegawai TPI. Di sisi lain pedagang besar juga memberikan kesempatan pada bakul-bakul kecil untuk terlibat dalam jaringan transaksi ekonomi yang justru memperpanjang rantai pemasaran dan mengurangi keuntungan yang diperolehnya. Tindakan ekonomi ini merupakan fakta terbentuknya internal solidarity di kalangan nelayan, alang-alang, rebyek, pedagang besar dan pedagang bakul ikan solidaritas tersebut tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan untung dan rugi secara ekonomi, namun karena lebih didasarkan pada etika kolektivitas yang dimainkan untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi terkait dengan kondisi mereka sebagai kelompok masyarakat yang melakukan aktivitas ekonomi pada situasi yang fluktuatif dan unpredictable. Etika kolektivitas dan solidaritas ini merupakan keterlekatan sosial yang menghambat nelayan untuk menerapkan hukum ekonomi yaitu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya karena etika tersebut menempatkan kebutuhan kelompok dan solidaritas di atas keuntungan pribadi. Nelayan juga melakukan transaksi ekonomi dengan para rebyek dengan dasar hal-hal yang bersifat emosional. Demikian juga halnya ketika nelayan membiarkan ikan-ikan yang terjatuh pada saat pengangkutan hasil tangkapan ikan dari perahu/kapal ke pantai tanpa dipungut, dan membiarkan para alang-alang memunguti ikan tersebut untuk dijual dan memberikan keuntungan ekonomi kepada para alang-alang. Fakta embeddedness dari tindakan ekonomi para nelayan, alang-alang, rebyek, pedagang besar dan pedagang kecil tersebut mengandung sistem nilai yang ditunjukkan antara lain nilai-nilai berbagi kelebihan, resiprocity transactions (transaksi resiprositas) dan bounded solidarity (solidaritas kelompok). Permasalahan-permasalahan modal, penguasaan sumberdaya, fluktuasi ekonomi dan bisnis perikanan diatasi dengan membangun solidaritas ekonomi kolektif yang informal (hampir seperti seperti patron-klien Scott, namun dengan warna berbeda). Proses transaksi resiprositas antara pedagang besar-bakul kecil berlangsung dalam solidaritas kelompok atas dasar trust dan reputasi pribadi yang dilekatkan pada diri seseorang yang mengandung kewajiban moral di dalamnya.

(35)
(36)

Pandangan Weber (1958) tentang Tindakan Ekonomi dan Tindakan Sosial

Dalam konteks ekonomi, manusia dianggap sebagai aktor yang memiliki pilihan-pilihan dan preferensi yang mendasari tindakan ekonomi yang dilakukan. Dalam hal ini tindakan ekonomi merupakan tindakan individu yang dilakukan dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kajian ekonomi murni, tindakan ekonomi individu mengandung makna bahwa manusia sebagai individu termotivasi melakukan tindakan-tindakan ekonomi untuk kepentingan pribadi. Pemikiran seperti ini berbasis pada filsafat utilitarian dan menjadi dasar dari perkembangan pendekatan ekonomi formal (klasik dan neoklasik).

Asumsinya adalah bahwa tindakan ekonomi individu senantiasa digerakkan oleh kepentingan pribadi individual yang berlandaskan pada pilihan-pilihan dan preferensi individu dalam setiap tindakan yang diambil selalu memperhitungkan cost dan benefit. Tindakan ekonomi individu akan disebut rasional jika dalam setiap tindakan ekonomi dapat memaksimumkan benefit dan meminimumkan cost dengan tujuan keuntungan diri sendiri sehingga dapat mencapai untilitas yang tinggi bahkan optimum. Utilitas disebut optimum jika mencapai utilitas tinggi dalam konsumsi, optimalisasi dalam proses produksi serta kelancaran sirkulasi finansial untuk menghimpun modal sehingga terwujud kapitalisasi dan investasi.

Gambar 2. Tindakan Ekonomi menurut Pendekatan Teori Ekonomi Formal

(37)

Gambar 3. Tindakan Ekonomi menurut Pendekatan Teori Sosiologi

Di sisi lain, pada kenyataannya tindakan ekonomi yang dilakukan oleh individu (actor), akan terkait dengan individu lainnya (others actors). Jika pendekatan teori ekonomi murni/formal yang diwakili oleh mazhab ekonomi klasik dan neo klasikal selalu membatasi pandangannya pada ranah individu yang masing-masing memiliki kepentingan berdasarkan interest dan harapan atas kegunaan (utility), sehingga dasar pengambilan keputusan atas tindakan ekonomi akan selalu memaksimumkan kepuasan dan benefit dengan meminimumkan korbanan sumberdaya (cost) yang digunakan serta mengacu pada kepentingan dan kepuasan individu semata. Namun di tataran realitas terdapat fenomena bahwa interest, preferensi dan kepuasan yang mengacu pada kepentingan individu bukan satu-satunya rujukan untuk menerangkan kecenderungan pengambilan keputusan dan tindakan ekonomi individu. Sehingga dapat ditunjukkan ketidakmampuan eksplanasi ekonomi neoklasik tentang keragaman tindakan ekonomi sebagai bukti bahwa dasar rasionalitas tindakan ekonomi manusia tidak tunggal dan tidak melulu mementingkan diri sendiri. Fenomena tersebut hanya dapat dieksplanasi menurut pandangan sosiologi ekonomi.

Gambar 4. Tindakan Ekonomi Sosial menurut Pendekatan Sosiologi Ekonomi

Gambar

Gambar 1.  Pemaknaan Social Security System
Tabel 1.   Perbandingan Analisis Konstruksi Social Security System Berdasarkan Tindakan Ekonomi, Budaya dan Institusi Sosial
Gambar 4.  Tindakan Ekonomi Sosial menurut Pendekatan Sosiologi Ekonomi
Gambar  6.     Skema Model Interaksi antar Level Makro, Meso dan Mikro untuk Mengkonstruksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Pendampingan Kegiatan State

Oleh karena itu, populasi sekaligus digunakan sebagai sampel penelitian, sehingga kelas lintas minat bahasa Jepang satu dan kelas lintas minat bahasa Jepang dua akan

pembuatan kapal ikan masih kurang dikuasai. 3) Belum ada informasi (data-data) prototipe kapal ikan yang dikaitkan dengan alat tangkap, wilayah penangkapan dan kondisi perairan bagi

Untuk menguji dan menganalisis secara simultan pengaruh celebrity endorser dan word of mouth terhadap minat untuk perpindahan merek (brand switching) pada konsumen

dikolokasikan dengan bentuk lain dalam BSDT ditemukan tiga data yaitu oneq / Onε? / ‘tadi’, leun/l әun / ‘nanti’, dan bian /bian/ ‘sore’. Adapun datanya

・研修病院として急変時、入院時の対応だけではなく、退院後の生活を見据え

AAAA Kabupaten Sambas Kabupaten Bengkayang Kabupaten Landak Kabupaten Sanggau Kabupaten Sekadau Kabupaten Sintang Kabupaten Kapuas Hulu Kabupaten Melawi Kabupaten Pontianak

(3) Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dengan dengan tahapan penyampaian dari teori belajar Bruner untuk mendapatkan rata-rata hasil belajar