• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA, PEMBANGUNAN PERIKANAN DAN MASYARAKAT NELAYAN UJUNG KULON

Inti dari masalah ekonomi di sektor apapun adalah masalah alokasi, produksi, distribusi dan konsumsi. Permasalahan ini pula yang dihadapi oleh masayarakat nelayan terkait dengan dalam aktivitas ekonominya di sektor perikanan. Masalah alokasi tentu saja terkait dengan pengaturan dari berbagai sumber daya, baik sumber daya laut, sumber daya manusia, faktor permodalan dan lain-lain yang dimiliki oleh masyarakat nelayan untuk kegiatan produksi yang menjadi aktivitas ekonominya. Kegiatan produksi sendiri terkait dengan bagaimana aktivitas ekonomi masyarakat nelayan mentransformasikan atau mengubah bentuk input produksi perikanan menjadi produk yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat nelayan. Sementara masalah distribusi terkit dengan bagaimana produksi perikanan yang ada dapat di distribusikan ke tangan konsumen, masalah konsumsi terkait dengan bagaimana upaya memilih berbagai alternatif konsumsi berbagai produk barang dan jasa yang tersedia di sektor perikanan dan bagaimana hal tersebut dapat digunakan untuk memberikan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan.

Cara pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dikemukakan di atas ditentukan sistem ekonomi politik yang mempengaruhi masyarakat nelayan. Sistem ekonomi politik yang ada akan mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga ekonomi yang hidup dan berperan dalam pengaturan ekonomi masyarakat nelayan. Sistem ekonomi politik juga mempengaruhi dan menentukan bagaimana produk-produk kebijakan publik yang ditujukan sebagai pengaturan aktivitas ekonomi dalam rangka mengatasi permasalahan ekonomi yang ada. Kenyataannya dalam setiap aktivitas perekonomian suatu negara, apapun bentuknya, tidak dapat hanya diserahkan pada interaksi antara produsen dan konsumen dalam mekanisme pasar. Adakalanya pasar tidak bekerja secara sempurna. Di sinilah campur tangan negara untuk mengatasi permasalahan yang ada terkait dengan kepentingan publik. Setiap keputusan yang menyangkut kebijakan publik terkait dengan masyarakat nelayan akan berhubungan dengan lembaga ekonomi dan lembaga politik yang ada dan tentu saja terkait dengan bagaimana mencapai pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan umum (bonum commune) masyarakat nelayan. Jadi, pembahasan tentang posisi negara dan kaitannya dengan masyarakat nelayan terkait erat dengan produk kebijakan publik di sektor perikanan mulai dari proses, sistem organisasi dan implementasi dari kebijakan publik tersebut. Dalam hal ini, pemahaman akan kebijakan publik yang diambil oleh negara dan bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi lembaga- lembaga ekonomi dan politik yang ada dalam masyarakat nelayan berarti pemahaman akan ekonomi politik masyarakat nelayan. Dan pemahaman akan ekonomi politik masyarakat nelayan akan membawa pada pemahaman pada keseluruhan proses dan aktivitas masyarakat dalam upaya memecahkan masalah- masalah ekonomi sekaligus mencapai tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan politik masyarakat nelayan.

Sejarah, Pertumbuhan dan Pengelolaan Sektor Perikanan

Jika dirunut ke belakang melihat sejarah kebijakan pembangunan perikanan di Indonesia, tampak sekali bahwa sektor ini di masa lalu menjadi sektor urutan kedua yang dipentingkan setelah sektor pertanian, dimana hal ini juga berimplikasi pada pertumbuhan sektor perikanan yang juga sangat terkait pada perkembangan perekonomian masyarakat nelayan. Walaupun selalu ada

ungkapan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah “pelaut” yang artinya

seluruh aktivitas kehidupannya terkait dengan sumber daya laut tidak menjadikan negara menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor utama dan andalan dalam perekonomian bangsa Indonesia. Dari masa penjajahan sampai awal kemerdekaan sebenarnya pemerintah kolonial sudah memiliki perhatian terhadap bidang ekonomi yang terkait dengan kelautan dan perikanan, namun perhatian tersebut belum mampu menjadikan sektor ekonomi kelautan dan perikanan tumbuh seperti yang diharapkan.

Sejarah mencatat, semenjak masa penjajahan Kolonial Belanda, perhatian pada sektor kelautan dan perikanan mulai ada, dibuktikan pada tahun 1911 terbentuk lembaga Bugerlijk Openbare Werken yang berubah menjadi Departemen Verkeeren Waterstaat pada tahun 1931. Lembaga ini merupakan lembaga organisasi formal dalam tubuh organisasi pemerintahan Kolonial Belanda yang mengurusi masalah kelautan dan masyarakat pantai yang menyandarkan kegiatan ekonomi dibidang kelautan. Namun pada kenyataannya keberadaan lembaga ini lebih ditujukan bagaimana menjaga kepentingan ekonomi pemerintah Belanda daripada memperhatikan sektor perikanan dan kelautan itu sendiri. Pada saat itu Belanda berkepentingan dalam aktivitas kepelabuhan terutama yang dapat mendukung kegiatan ekspor rempah-rempah dan bagaimana produksi perikanan dapat mencukupi kebutuhan konsumsi pemerintah kolonial. Pada saat itu Belanda juga mulai memperhatikan aspek legalitas wilayah pengelolaan perikanan dengan adanya UU Ordonansi tentang batas laut Hindia Belanda melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie pada tahun 1939, yang menetapkan bahwa lebar laut wilayah Hindia Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau sampai sejauh 3 mil.

Lembaga yang menangani kegiatan-kegiatan perikanan semasa pemerintahan Kolonial Belanda masih berada dalam lingkup Departemen Pertanian yang bernama Departemen van Landbouw Nijverheid en handel yang kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken. Kegiatan- kegiatan perikanan masa itu digolongkan sebagai kegiatan pertanian dan ada sub departemen khusus yaitu Onderafdeling Zee Visserij yang mengurusi kegiatan ekonomi yang terkait dengan kelautan serta Institut Voor de Zee Visserij yang merupakan lembaga atau wadah kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut. Posisi perikanan dan kelautan yang menjadi subsektor dari sektor pertanian bertahan dari jaman penjajahan Belanda, Jepang, masa Orde Lama dan Masa Orde Baru.

Semasa pendudukan Jepang 1942-1945, Departemen van Ekonomische Zaken berubah nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Fungsi dan tugas departemen ini tidak berubah dari fungsinya di zaman Kolonial Belanda. Lembaga penelitian dan pengembangan perikanan laut Institut Voor de Zee Visserij berubah nama menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan berpusat di Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang ini terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah dengan dibentuknya Jawatan Penerangan Perikanan yang disebut Suisan Shidozo di daerah. Hal yang tidak berubah pada masa pendudukan Jepang ini adalah seperti halnya dengan pemerintah Kolonial Belanda, sektor perikanan dan kelautan tetap dimasukkan dalam katagori sektor pertanian.

Setelah Indonesia merdeka, dibentuk Jawatan Perikanan 2 September 1945 yang berada di bawah Koordinator Pertanian hingga terbentuknya kabinet parlementer ketiga pada 3 Juli 1947. Pada tanggal 1 Januari 1948 terjadi restrukturisasi pada Kementerian Kemakmuran Rakyat, Jawatan Perikanan menjadi bagian dari Urusan Pertanian dan Kehewanan. Pada masa pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949, Kementerian Kemakmuran Rakyat kemudian dipecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Pada masa itulah Jawatan Perikanan masuk ke dalam Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian pada 17 Maret 1951 mengalami perubahan susunan, yakni penunjukan tiga koordinator yang menangani masalah Pertanian, Perkebunan dan Kehewanan. Di bawah Koordinator Pertanian, dibentuk Jawatan Pertanian Rakyat. Jawatan Perikanan pada masa itu telah berkembang menjadi Jawatan Perikanan Laut, Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan Darat, dan Yayasan Perikanan Laut. Kesemua jawatan tersebut berada di bawah Jawatan Pertanian Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama. Pada 9 April 1957, susunan Kementrian Pertanian mengalami perubahan lagi dengan dibentuknya Direktorat Perikanan dan di bawah direktorat tersebut.

Upaya menguatkan kapasitas kelembagaan formal Negara yang terkait dengan urusan perikanan dan kelautan pada masa itu terpengaruh oleh jatuh bangunnya kabinet karena politik yang tidak stabil semasa pemerintahan parlementer. Pada 5 Juli 1957, presiden mengeluarkan dekrit untuk kembali pada UUD 1945. Kabinet yang menjadi pelaksana pemerintahan disebut Kabinet Presidensial. Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani.

Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak kembali susunan kabinet dan terbentuklah Kabinet Dwikora pada 1964. Pada Kabinet Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami dekonstruksi menjadi lima buah departemen dan pada kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon pemerintah atas hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya departemen khusus untuk meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui pembentukan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, Departemen Perikanan Darat/Laut tidak lagi di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria melainkan mengalami reposisi dan bernaung di bawah Kompartemen Maritim. Di bawah Kompartemen baru, departemen tersebut mengalami perubahan nama menjadi Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut. Keadaan ini tidak berlangsung lama, pada 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September dan Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera I pada 1966. Masa ini

menandai berakhirnya pemerintah orde lama dan digantikan oleh pemerintah orde baru.

Beberapa kebijakan publik yang dikeluarkan pada periode awal kemerdekaan dan akhir orde lama banyak yang tidak dilaksanakan karena pergolakan politik. Sejarah mencatat pada masa Ekonomi Terpimpin semua sektor ekonomi Indonesia memburuk dengan inflasi mendekati 500%. Hal yang menggembirakan adalah dalam hal kebijakan publik yang diambil terkait ekonomi politik perikanan dan kelautan yaitu dengan ditetapkannya Deklarasi Djuanda, pada tanggal 13 Desember 1957, mendasari Indonesia menjadi rejim negara kepulauan (Archipelagic State) sebagai dasar konsepsi kewilayahan nusantara. Deklarasi Djuanda isinya antara lain menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang masuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi Republik Indonesia. Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut memperkokoh konsep wawasan nusantara. Pada masa-masa dimana paham nasionalisme ditanamkan secara gencar, pernah ada pemikiran untuk memperjuangkan sektor perikanan sebagai salah satu mainstream pembangunan nasional. Pemikiran dan harapan tersebut tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional pada tahun 1961, namun upaya untuk mewujudkannya terkendala situasi politik yang cenderung tidak stabil.

Pada masa orde baru, terjadi peningkatan dalam produksi perikanan, namun sektor perikanan dan kelautan belum menjadi prime mover perekonomian bangsa, walaupun ditinjau dari aspek kelembagaan formal tampak lebih mapan dan stabil karena dari segi stabilitas politik juga turut mendukung kondisi ini. Dari aspek pendanaan program dan kebijakan publik tentu saja tidak menjadi kendala karena pada masa orde baru dana pembangunan tersedia cukup dengan keberhasilan pemerintah orde baru memanfaatkan harga minyak yang tinggi dan pengelolaan sumberdaya hutan dan pertambangan lainnya. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi meningkat signifikan dengan tumpuan minyak bumi, sektor kehutanan dan sektor pertambangan lainnya yang pada saat itu menjanjikan pemasukan pendapatan nasional yang relatif tinggi. Dalam perkembangannya kemudian pemerintah ordebaru terlalu fokus pada upaya untuk mencapai sebutan sebagai negara industri sehingga sektor lain seperti kelautan dan perikanan yang secara kelembagaan menjadi subsektor dari sektor pertanian kurang menjadi perhatian karena dianggap sumbangan subsektor ini terhadap pendapatan nasional tidak terlalu signifikan.

Di era selanjutnya terjadi perubahan besar dari segi politik, sehingga dimulailah era baru yaitu era reformasi. Di era ini, tonggak sejarah yang paling berpengaruh pada pengelolaan sektor pertanian adalah ketika masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan kebijakan politik untuk membentuk departemen khusus yang membawahi urusan perikanan dan kelautan yang selama masa orde baru menjadi subsektor Departemen Pertanian. Momentum baru ini ditandai dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004. Pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian

tugas dan fungsinya ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.

Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. DKP kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mengalami perubahan (KKP 2008).

Terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan mencerminkan bahwa sektor ini bukan lagi pada posisi di anak-tirikan, ada kemauan politik untuk membangun dan mengembangkan sektor ini lebih baik. Bahkan terdapat harapan yang besar untuk menjadikan sektor perikanan dan kelautan menjadi prime mover perekonomian bangsa di masa depan. Selain itu pada masa ini juga dimulailah era desentralisasi perikanan yang merupakan implikasi dari kebijakan otonomi daerah di era reformasi. UU No 22 Tahun 1999 (sudah direvisi dengan UU N0.23 Tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah menetapkan bahwa wilayah laut sejauh 12 mil merupakan wilayah daerah propinsi. Sepertiga atau empat mil dari wilayah propinsi tersebut merupakan kewenangan daerah kabupaten/kota. Desentralisasi kewenangan daerah tersebut meliputi (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah tersebut, (2) pengaturan kepentingan administrasi, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat dan (5) bantuan penegakan keamanan negara.

Adanya kemauan politik untuk memberikan perhatian terhadap sektor kelautan dan perikanan memang berimplikasi pada peningkatan produksi perikanan pada masa-masa selanjutnya. Produksi perikanan dalam periode 2007- 2011 mengalami kenaikan rata-rata 47.78 % per tahun, dengan volume produksi pada tahun 2011 sebesar 12.385.850 ton (perikanan tangkap dan budidaya). erdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, No. KEP. 45/MEN/2011, tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI, total potensi kelompok sumberdaya ikan adalah 6.520.200 ton per tahun, terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar (1.145.400 ton/tahun), ikan pelagis kecil (3.645.600 ton/tahun), ikan demersal (1.452.400 ton/tahun), udang penaeid (98.300 ton/tahun), ikan karang konsumsi (4.800 ton tahun) dan cumi-cumi (6.520.200 ton/tahun).

Pada tahun 2011 produksi perikanan tangkap berasal dari penangkapan di laut dan penangkapan di perairan umum sebesar 5.714.271 ton. Pada tahun 2001 jumlah volume produksi perikanan tangkap sebanyak 4.276.720 ton. Periode tahun 2001 - 2011, volume produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata sebesar 2,93% per tahun, yaitu tahun 2001 sebanyak 4.276.720 ton menjadi 5.714.271 ton pada tahun 2011. Jumlah volume produksi perikanan tangkap di laut yang tertinggi terjadi pada tahun 2011, yaitu sebanyak 5.345.729 ton,sedangkan yang terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebanyak 3.966.480 ton. Volume produksi perikanan tangkap di laut pada periode tersebut meningkat rata-rata sebesar 3,06% per tahun, yaitu dari 3.966.480 ton pada tahun 2001 menjadi 5.345.729 ton pada tahun 2011.

Volume produksi perikanan tangkap tahun 2011 naik 6,13% dibandingkan dengan volume produksi tahun 2010. Peningkatan ini disebabkan karena naiknya volume produksi perikanan tangkap di laut sebesar 6,08% dan naiknya volume produksi perikanan tangkap di perairan umum sebesar 6,83%. Tingginya peningkatan volume produksi perikanan tangkap karena tingginya volume produksi perikanan di wilayah-wilayah tertentu. Dari volume produksi perikanan tangkap di laut tahun 2011 tersebut, sebanyak 20,66% didaratkan di pantai Maluku-Papua, 16,12% di pantai Utara Jawa, 11,16% di pantai Timur Sumatera, 9,70% di pantai Selatan Sulawesi, 8,60% di pantai Selat Malaka, 8,46% di pantai Utara Sulawesi, 8,40% di pantai Barat Sumatera, 6,41% di pantai Bali- Nusatenggara, 4,46% di pantai Selatan/Barat kalimantan, 3,37% di pantai Selatan Jawa dan 2,66% di pantai Timur Kalimantan.

Gambar 7. Volume dan Nilai Produksi Perikanan Nasional Tahun 2007-2011 Sumber : Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011

Dilihat dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan, dari tahun 2007-2011, belum ada realisasi penerimaan negara bukan pajak yang dapat memenuhi target yang telah ditetapkan. Persentase realisasi penerimaan terhadap target tertinggi yang pernah dicapai adalah 81,46 % pada tahun 2011, dimana sektor kelautan dan perikanan membukukan penerimaan negara bukan pajak sebesar 146,63 milyar rupiah dari target 180,00 milyar rupiah. Padahal dari aspek pendanaan pembangunan kelautan dan perikanan terjadi peningkatan jumlah yang dikeluarkan oleh negara. Pada tahun 2007-2011, kenaikan jumlah pendanaan pembangunan kelautandan perikanan rata-rata pertahunnya sebesar 113,42 % untuk pendanaan dari anggaran DIPA dan 108,51 % untuk dana alokasi khusus. Pada tahun 2011, dana negara yang sudah dikeluarkan tidak kurang dari 4.913.423 milyar rupiah.

Gambar 8. Target dan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Perikanan Nasional Tahun 2007-2011

Sumber : Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011

Dari sisi kontribusi terhadap volume produksi perikanan tangkap dunia, negara Indonesia sebenarnya berkontribusi sebesar 5,52 % volume produksi perikanan tangkap dunia. Kontribusi Indonesia masih lebih besar dari negara Amerika Serikat (4,85 % ), Jepang (4,73 %), Filipina, (2,85% ) dan Thailand (2,74%). Namun dilihat dari nilai ekspor perikanan, nilai ekspor Indonesia jauh lebih kecil daripada negara Amerika Serikat dan Thailand. Pada tahun 2008, Indonesia hanya mengekspor komoditas perikanan dengan nilai 2.473.388 ribu US$, sedangkan Amerika Serikat memiliki nilai ekspor 4.463.052 US$ , dan Thailand justru dapat mengekspor komoditas perikanan dengan nilai 6.532.404 US$. Dari sisi volume ekspor, pada tahun 2008, Indonesia hanya berkonstribusi sebesar 2.45 % (2.473.388 ribu ton) pada volume ekspor perikanan dunia sebesar 101.114.324 ribu ton. Artinya produk perikanan yang diekspor masih memiliki nilai ekonomis yang relatif lebih rendah dari produk-produk perikanan yang berasal dari negara-negara yang disebutkan di atas. Hal ini dapat terjadi jika produk yang diekspor masih berupa produk dasar yang belum di olah atau produk tersebut masih rendah dalam hal kualitas sehingga nilai ekonomisnya belum dapat mencapai tingkat yang optimum.

Hal-hal di atas menjadi gambaran bahwa pertumbuhan dan pengelolaan sektor perikanan yang terkait dengan produk berbagai policy dan kebijakan negara jika ditinjau dari produksi, target sumbangan sektor perikanan terhadap pendapatan negara dan daya saing produk di dunia internasional belum dapatan memenuhi target dan harapan yang telah ditetapkan.

Introduksi Negara dalam Pembangunan Perikanan di Propinsi Banten Propinsi Banten merupakan salah satu propinsi baru di Indonesia (Propinsi ke-30) yang lahir pada tanggal 17 Oktober tahun 2000. Pendirian Propinsi Banten berdasarkan Undang Undang No. 23 tahun 2000 pada masa Pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten dibentuk untuk memenuhi tuntutan ekonomi politik dalam memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam laut dan Perikanan di Banten. Pembentukan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten berdasarkan keputusan Gubernur Banten No. 29 tahun 2001 tanggal 18 Juni 2001 yang merupakan pemekaran dari Dinas Pertanian dan Kelautan, dan diperkuat dengan Peraturan Daerah Propinsi Banten

Nomor 15 tahun 2002 tanggal 29 mei 2002 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata kerja Dinas Kelutan dan Perikanan Propinsi Banten. Berdasarkan kedua keputusan tersebut maka Subdin Perikanan dan Subdin Kelautan yang semula berada di bawah Dinas Pertanian dan Kelautan berubah menjadi Dinas kelautan Dan Perikanan Propinsi Banten.

Desentralisasi kebijakan perikanan turut mengubah sistem pengelolaan dan pertumbuhan sektor kelautan dan perikanan di Propinsi Banten. Banten dengan luas perairan seluas 11.486,72 km2, panjang garis pantai 866,13 km dan memiliki 130 desa pesisir, memiliki 61 pulau-pulau kecil, terumbu karang, mangrove, barang berharga muatan kapal tenggelam (BMKT) merupakan daerah yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang relatif besar. Potensi-potensi tersebut berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Samudera Hindia sebelah selatan Banten dan di WPP Laut Jawa sebesar utara. Dari sisi sumberdaya ikan, kedua WPP tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagaimana halnya dengan daerah-daerah propinsi lainnya, penerapan kebijakan otonomi daerah dan pembentukan departemen kelautan dan perikanan membawa era baru pada perkembangan pengelolaan sektor ini.

Tabel 3. Jumlah Desa Pesisir di Propinsi Banten

No. Kab/Kota Kecamatan Desa

1 Kab. Lebak 5 20 2 Kab. Pandeglang 10 35 3 Kab. Serang 8 36 4 Kab. Tangerang 7 24 5 Kota Cilegon 4 13 6 Kota Serang 1 2 Propinsi 35 130 Sumber : DKP (2012)

Peranan DKP semakin penting ketika peran strategis kelautan dan perikanan ini mulai ditegas melalui langkah khusus yang di lakukan Presiden pada tahun 2005 melalui langkah Revitalisasi bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan (RPPK) pada tanggal 11 Juni 2005. Langkah presiden ini ditindak-lanjuti dengan melakukan rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk bidang-bidang pertanian, perikanan dan kehutanan. Adanya revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan ini memberikan harapan lebih baik bagi kemajuan perikanan di masa datang. Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Provinsi Banten merupakan bagian integral dari Pembangunan nasional sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 Tentang Perikanan, UU No.32 Tahun 2005 tentang wilayah pengelolaan provinsi, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Semua payung hukum tersebut diterbitkan agar kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan yang dilaksanakan di Provinsi Banten.

Di era desentralisasi kebijakan perikanan, DKP Propinsi Banten telah tiga kali menyusun rencana strategis (renstra) yang merupakan acuan bagi

penyusunan rencana kerja dan program kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan di Provinsi Banten. Renstra DKP ini juga merupakan acuan perencanaan, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, memuat visi, misi,