• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Pendidikan Kristianitas

2. Kristianitas

a. Pengertian Kristianitas

J.C. Tukiman, T (1975 : 25) menegaskan bahwa : kristianitas bukanlah suatu fase dalam seluruh perkembangan paham religi umat dan idea-idea moril, akan tetapi kristianitas adalah pilihan individuil yang mengatasi segala pengaruh. Untuk itulah ia menekankan bahwa tugas kehidupan adalah tugas seorang kristen, sebab kristianitas selalu menuntut kebenaran obyektif yang tergantung pada keputusan subyektif satu orang dengan lainnya dalam terang Kristus. Seandainya kristianitas itu hanya semata-mata tergantung pada pilihan akhir dan kriteria rationil dari kaum beriman, pasti kebenaran obyektif tidak akan tercapai.

Dari pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa kristianitas sebagai suatu pilihan individu untuk mengatasi berbagai pengaruh. Oleh karena itu maka kristianitas menekankan tugas seorang kristen adalah tugas kehidupan yang menuntut kebenaran obyektif yang tergantung pada keputusan subyektif dalam terang Kristus.

Menurut Leonardus Samosir (2007: 785), kristianitas mendefinisikan dirinya dengan kata “Gereja“. Di dalam kata ini termuat gambaran, apa dan bagaimana kristianitas semestinya. Tanpa mereduksi keseluruhan pesan Perjanjian Baru, disini hanya akan dilihat dua gambaran Gereja, yakni dari Kisah Rasul dan Surat Paulus kepada umat di Korintus.

Walaupun Kisah Rasul tidak secara eksplisit menyebut kata “ jemaat“ atau “Gereja“, namun Kisah Rasul memberikan gambaran tentang umat kristiani yang ideal. Kisah Rasul 2: 41-47 dan 4: 32-37, menyuguhkan satu gambaran, bagaimana semestinya komunitas kristiani. Keterlibatan anggota dalam kelompok, baik dalam hidup yang jasmani maupun yang rohani, keterpancaran ”cahaya rohani” yang menarik orang di luar, antara lain menjadi identitas kristiani.

Rasul Paulus dalam surat kepada Umat di Korintus menyuguhkan metafer “Tubuh Mistik Kristus”. Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus yang bersatu dengan Kristus sebagai Kepala. Gereja dianalogikan dengan organisme dengan anggota-anggotanya yang saling menunjang, sesuai dengan kharisma dan fungsinya masing-masing. Gereja memang bukan sekedar organisasi di mana anggota-anggotanya bekerja sesuai dengan fungsinya. Gereja berkaitan dengan peristiwa keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus. Dalam kaitan ini: Allah lewat Roh-Nya menganugerahkan berbagai karisma yang membangun kesatuan Gereja di bawah Kristus sebagai Kepala.

Baik Kisah Rasul maupun Surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus memberikan gambaran tentang identitas secara positif; dalam artian menyuguhkan nilai-nilai yang mestinya ada dalam komunitas kristiani. Tapi, dengan begitu

perwujudan detail dan konkretnya menjadi terbuka. Keterbukaan ini terbukti dalam sejarah: ada sekian kelompok kristiani yang secara detail berbeda satu sama lain. Metafer Gereja sebagai “ Tubuh Mistik Kristus “ masuk ke dalam Dokumen Konsili Vatikan II.

Di samping ini masih ada metafer lain yang dianggap sebagai “ pengimbang “ metafer yang titik beratnya kristologis dan hirarki ini, yakni metafer “Umat Allah”. Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus yang diikat dan dibimbing oleh Kristus, tetapi Gereja tidak bisa menyamakan dirinya dengan tujuan terakhir umat beriman. Gereja adalah “Umat Allah“ yang berjalan bersama menuju ke tujuan yakni kesatuan atau kebahagiaan bersama Allah.

Untuk menyambungkan Gereja dengan masyarakat, maka Dokumen Konsili Vatikan II menyodorkan metafer “tanda dan sarana“: Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan yang dari Allah. Gereja tidak lagi digambarkan sebagai bahtera yang menjaring ikan sebanyak mungkin ketika berangkat menuju pantai abadi, tetapi menjadi penerang bagi bahtera lain yang berjalan menuju pantai abadi.

Sebuah metafer (atau gambaran) tetaplah sebuah metafer (atau gambaran). Metafer (atau gambaran) mau menggambarkan sebuah realitas, bukannya mau memberikan batasan sampai kepada wujud konkret. Karena itu, metafer atau gambaran mesti dilihat dalam konteksnya masing-masing. Gambaran dalam Kisah Rasul memberikan sketsa tentang sebuah jemaat yang ideal. Namun gambaran Gereja jaman sekarang tidak boleh dibatasi hanya dengan gambaran Kisah rasul ini. gambaran yang cenderung sektarian dalam Kisah Rasul tentunya

tidak bisa sepenuhnya menjadi acuan di tengah Gereja yang memikirkan ulang posisinya dalam masyarakat.

Begitu juga dengan metafer dari Paulus yang dilatar-belakangi oleh perpecahan jemaat. Gereja yang “karismatis” adalah Gereja yang ideal. Namun secara konkret, manusia sebagai anggota Gereja yang konkret tidak bisa meninggalkan bentuk organisasi untuk menjaga kesolidan jemaat. Begitu juga halnya dengan metafer dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, seperti Tubuh Mistik Kristus yang Kristologis dan hirarkis, metafer Umat Allah yang melihat aspek pengembaraan Gereja yang beranggotakan orang berdosa, dan terminus Tanda dan sarana Keselamatan yang mau memberikan penekanan pada makna Gereja bagi dunia. Berbagai metafer tadi menunjukkan gerak identitas Gereja yang menyandang “essensi” tertentu tetapi sekaligus menjawab persoalan partikular, dan dengan begitu memunculkan metafer atau gambaran yang berbeda.

Dari pernyataan atau uraian tentang pengertian kristianitas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kristianitas pada hakikatnya adalah penghayatan nilai-nilai kristiani. Nilai-nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai-nilai-nilai-nilai-nilai kristiani yang terdapat dalam Gereja Katolik seturut teladan Yesus Kristus sendiri. Misalnya kasih, sukacita, damai sejahtera, pengampunan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kebersamaan dan lain sebagainya. Penghayatan nilai-nilai kristiani ini dapat terwujud dalam kehidupan sehari hari-hari. Hal ini merupakan bentuk tindakan nyata dalam kehidupan orang kristiani.

b. Sejarah Kristianitas

Menurut Michael Keene (2006: 6) kristianitas berawal dari provinsi Palestina jajahan Romawi (yang sekarang adalah negara-negara Israel, Palestina dan Yordania) sekitar 2000 tahun yang lalu dan didasarkan pada kehidupan, pengajaran, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Walaupun Yesus hanya mengajar selama tiga tahun dan wafat secara hina di atas kayu salib di luar kota Yerusalem, kelahiran-Nya sekarang dirayakan di seluruh dunia dan menjadi titik pangkal penghitungan waktu, bahkan oleh orang-orang non-Kristen.

Kristianitas pada awalnya tumbuh sebagai gerakan radikal di dalam tradisi Yahudi yang jauh lebih tua. Yesus adalah seorang Yahudi. Tetapi setelah kematian-Nya, agama baru itu tersebar lebih luas di antara orang-orang kafir dibanding dengan orang-orang Yahudi. Tidak lama kemudian, kristianitas mengembangkan hidupnya sendiri lepas dari agama induknya walaupun hubungan antara kedua agama itu tetap kompleks dan menimbulkan masalah untuk jangka waktu yang lama.

Oleh karena kristianitas menyebar di luar kekaisaran Romawi, kehidupan dan ajaran Yesus tetap tinggal di hati orang yang percaya. Jika agama-agama lain mengakui Yesus sebagai seorang Guru dan nabi besar, umat Kristen percaya bahwa Ia adalah Allah atau Putera Allah yang mengambil wujud manusia untuk memulihkan hubungan antara Allah dan manusia yang telah rusak akibat dosa dan ketidaktaatan manusia. Mereka percaya bahwa Yesus disalib dan bangkit kembali, untuk menghancurkan kuasa dosa dan maut, dan ia sekarang memerintah sebagai Tuhan dari segala ciptaan. Seorang kristiani dapat mempunyai hubungan pribadi

dengan Allah melalui Kristus dalam hidup, dalam kuasa Roh Kudus. Kristianitas tidak hanya peduli terhadap keselamatan perorangan tetapi juga menciptakan suatu komunitas kaum beriman (Gereja) dan menanggapi ajaran-ajaran Kristus yang radikal tentang perilaku sosial dan moral.

c. Spiritualitas Kristiani

Menurut Michael Keene (2006: 88), spiritualitas melibatkan setiap aspek kehidupan, baik secara individual maupun bersama-sama. Tradisi Ibrani menekankan spiritualitas sebagai suatu penyatuan; sedangkan tradisi Yunani meletakkan tekanannya pada suatu keinginan yaitu kerinduan yang kuat, untuk mengalami Allah baik di dunia ini maupun di dalam kehidupan yang akan datang. Dalam spiritualitas Kristen, kedua aspek penyatuan dan keinginan itu digabungkan dan hal ini telah menambah vitalitas dan daya cipta Kristen secara mengagumkan.

Umat kristiani telah mengembangkan bermacam-macam bentuk spiritualitas secara luas termasuk doa, dan meditasi, ibadat, ziarah dan pembacaan Alkitab secara pribadi. Bagi umat kristiani kehidupan spiritualitas mereka mempengaruhi segala sesuatu yang mereka kerjakan, walaupun itu tidak begitu berarti. Perwujudan nyata dari karya luar biasa Roh Kudus di dalam kehidupan mereka dapat dilihat dalam bidang kesejahteraan sosial dan etika, juga di dalam karya-karya seni, musik, literatur dan arsitektur. Spiritualitas adalah cara hidup; juga cara untuk mengikuti Yesus. (Consuelo Del Prado, Biarawati Katolik Peru).

Michael Keene (2006: 90) menegaskan bahwa dalam kurun waktu dari tiga tahun dalam tugas pelayanan-Nya kepada orang banyak, Yesus menyatakan kepada mereka tentang Kerajaan Allah yang sudah dekat, dengan memanggil mereka yang mendengarkan dan menanggapi pesannya pada hidup pelayanan serta pemuridan. Orang-orang yang mengikuti guru religius pada zaman Yesus mengikatkan diri mereka kepada guru yang menurut mereka pengajaran-Nya paling menarik. Namun Yesus membalikkan kebiasaan ini ketika ia memilih murid-murid-Nya yang paling dekat dengan memanggil mereka supaya mengikuti

Dia. Yesus juga memperluas panggilan untuk pemuridan bagi orang lain, dengan

kebebasan bagi mereka untuk menerima atau menolak. Menjadi seorang murid memerlukan perubahan hati secara radikal. Komitmen secara total kepada Yesus yang oleh para penulis Injil sering digambarkan sebagai kesediaan untuk meninggalkan segalanya termasuk semua orang yang berada di sekeliling mereka. Dalam Sabda-Nya Yesus menegaskan bahwa “ setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya” (Mrk 8: 35-35).

Kisah seorang anak muda kaya yang memiliki kekuasaan melukiskan hal mengikut Yesus ini secara sempurna. Kepada anak muda ini, yang menyatakan bahwa ia telah melaksanakan seluruh perintah agama Yahudi dari masa mudanya, Yesus mengatakan, “Hanya satu lagi kekuranganmu. Pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan

beroleh harta di surga. Kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” Dalam Injil orang-orang yang mengikut Yesus meninggalkan segala-galanya” termasuk pekerjaan, keluarga dan anak-anak. Untuk beberapa dari antara mereka, menjadi seorang murid Yesus juga berarti mau hidup selibat demi Allah dan kerajaan-Nya. Usaha keras dalam spiritualitas Kristen yang dilakukan melalui berdoa, berziarah atau beribadat memampukan umat untuk semakin dekat kepada Allah dan membuat pemuridan Kristen lebih berarti. Tidak ada dua orang Kristen yang sama, demikian juga tidak ada dua jalan menuju ke kedewasaan kristiani yang sama. Dalam kristianitas, umat yang beranekaragam dapat menggunakan jalan yang berbeda-beda untuk menuju kepada Allah melalui Yesus dengan menggunakan bermacam-macam cara berdoa, beribadat atau musik untuk membantu perjalanan iman mereka.

Khotbah di Bukit menyajikan secara keseluruhan pengajaran Yesus. Tidak ada tempat lain dalam Injil yang memperlihatkan sifat pemuridan Kristen Yang radikal yang diterangkan dengan lebih jelas, selain dalam perikop ini. Pemuridan Kristen dalam Injil berarti membentuk keputusan pribadi, yang sering harus dibayar dengan sangat mahal, untuk mengikuti Yesus yang akan mempengaruhi setiap dimensi kehidupan. Pemuridan berarti mengubah hubungan, membentuk sikap pribadi terhadap harta benda dan kekayaan, memberikan susunan prioritas baru dan memberi arti yang baru tentang cinta kasih. Pemuridan membawa seluruh perspektif baru terhadap pemenuhan pribadi.

Bilamana berbicara tentang pemuridan Kristen, Yesus mengutip hukum Yahudi (Taurat) dan memperdalamnya dengan interpretasi-Nya sendiri.

Demikianlah Yesus memperluas pengajaran Sepuluh Perintah Allah tentang pembunuhan dengan menyatakan bahwa kemarahan yang menghancurkan adalah merupakan tindak kejahatan; Ia mengubah hukum yang memperboleh pembalasan dendam dalam keadaan-keadaan tertentu untuk menghapuskan segala bentuk tindakan balas dendam; dan Ia juga memperluas perintah untuk mengasihi sesama hingga mencakup mengasihi musuh-musuh.

Dalam suatu perintah yang sederhana, yang sering disebut Perintah Emas, Yesus merangkum hukum Kristen yang baru tentang cinta kasih. Ia memerintahkan para pengikut-Nya bahwa mereka harus memperlakukan orang lain dengan cara yang sama sebagaimana mereka ingin diperlakukan oleh orang lain. Yesus menjelaskan bahwa pemuridan Kristen yang sejati juga harus mempengaruhi tingkah laku moral dan etika. Ia memberikan dua contoh dalam Khotbah di Bukit yakni perzinahan dan perceraian. Sepuluh Perintah Allah menyatakan bahwa perzinahan adalah melanggar hukum, tetapi Yesus melangkah lebih jauh daripada sekadar suatu pernyataan yang sederhana itu dengan menyentuh inti permasalahannya: yang benar menurut pengajaran-Nya adalah seseorang jangan hanya menghindari perzinahan, tetapi juga jangan sampai mempunyai keinginan untuk berzina. Memasuki Kerajaan Allah merupakan sesuatu hal yang sedemikian serius sehingga tidak ada kurban yang pantas yang memungkinkannya. Yesus tampaknya mengijinkan perceraian dengan alasan perzinahan, walaupun dalam situasi lain Ia sangat tidak menerimanya. Yang jelas adalah bahwa hubungan yang bersifat perzinahan dan/ atau perceraian tidak mendapat tempat dalam kehidupan Kristen.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah cara hidup dan juga cara mengikuti Yesus. Spiritualitas juga merupakan kekuatan ilahi dan kehadiran Allah yang penuh daya ditengah umat-Nya dalam sejarah keselamatan (Yl 3:1; Yeh 36:25-27; Kel 15:8-10). Orang-orang kristiani yang mengikuti Yesus meninggalkan segala-galanya karena digerakkan dan didayai oleh Roh Kudus sendiri. Spiritualitas orang Kristen yang didayai oleh Roh Kudus memampukan umat untuk semakin dekat dengan Allah. Dalam Perjanjian Lama spiritualitas atau Roh merupakan ungkapan dinamika daya ilahi yang mempengaruhi ciptaan (Kej 1:2; 2:7; Mzm 104:29; Ayb 34:13). Dalam Perjanjian Baru, Roh pembaharu yang dijanjikan dan dinantikan itu datang dalam Yesus Kristus (Mrk 1:10; Luk 4:17-21). Dan dengan perantaraan Roh Kristus hadir dalam diri orang beriman. Allah mengutus Roh Putera-Nya (Gal 4:6; 3:23-28). Permandian menjadikan satu tubuh dalam roh (1 Kor 12:13). Oleh karena itu hidup kristiani berarti satu tubuh dalam Roh (Rm 8: 9; Gal 5:16); dan menghasilkan buah-buah Roh (Gal 6:1). Tidak dapat disangkal bahwa hidup orang kristiani berlandaskan pada Kristus sebagai pusat keinginannya atau sebagai tujuan dari tindak perbuatannya. Kehidupan orang Kristen harus bersumber pada Yesus sendiri yang adalah sumber kehidupan orang kristiani.

Tepatlah bila dikatakan bahwa hidup orang kristiani itu adalah Kristus. Rasul Paulus mengatakan pengalaman mendasar: ”Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:19-20). Kemajuan dalam kesucian tak lain adalah perkembangan secara meningkat dari citra Kristus di dalam diri kita. “

Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm 8:29). Hidup seorang kristiani merupakan hidup di dalam Kristus Yesus sebagai lingkup hidup dan tindak perbuatannya. Setiap kata, gerak dan tugas yang diemban adalah kata, gerak dan tugas dari Kristus di dalam dirinya

d. Akar dari Kristianitas

Menurut Hope S. Antone (2010: 17), untuk memahami pendidikan kristianitas kita harus melihat kembali pendidikan Yahudi. Bagi sejarahwan, ada tiga periode utama dalam Alkitab yang perlu ditinjau kembali agar dapat memahami bagaimana Pendidikan Agama terjadi pada zaman Alkitab. Tiga periode utama tersebut adalah :

- Periode sebelum pembuangan ( pre-exilic )

- Periode sesudah pembuangan ( post-exilic ) dari masa Perjanjian Lama;

- Periode Perjanjian Baru

Banyak sejarahwan pendidikan yang telah berupaya menghimpun berbagai materi atau instrumen pendidikan yang berbeda dari perikop- perikop

Alkitab dalam tiga periode ini. Pendidikan pre-exilic sebagian dijelaskan dalam

Ulangan 6, yang menyiratkan pola-pola kehidupan keluarga yang kuat yang memberikan latar belakang utama bagi pemeliharaan (iman). Melalui ritual, penceritaan, dan penafsiran di dalam keluarga, diskusi, tanya jawab dan jawaban, seorang anak Yahudi menyerap makna kehidupan dan orientasi tertentu pada

kehidupan yang dibagi bersama keluarga dan teman-teman. Tanpa catatan tertulis, komunikasi dan pengulangan lisan dari tradisi-tradisi komunitas menjadi media bagi pengajaran.

Karena pembuangan berarti suatu gangguan terhadap pola kehidupan keluarga yang stabil dan suatu ketidakpastian mengenai identitas dan masa depan komunitas, pendidikan selama dan setelah waktu itu menjadi semakin kultis sementara kebutuhan akan pentingnya institusi pendidikan lain, disamping keluarga harus dihadapi secara sengaja. Oleh karena itu perkembangan sinagoga, pusat ibadah dan pendidikan lokal mengalami peningkatan signifikan. Dengan kondisi keluarga yang terpisah, tercerai berai serta terpencar diantara negeri dan kebudayaan asing, pendidikan Yahudi menjadi suatu sarana untuk mengkomunikasikan warisan komunitas yang unik kepada generasi selanjutnya. Semua laki-laki dewasa Yahudi mempelajari Hukum Taurat dan interpretasinya bagi kehidupan mereka di sinagoga-sinagoga. Pada gilirannya, mereka diharapkan memelihara anak mereka di rumah mereka. Selanjutnya, sekolah bagi anak laki-laki didirikan dengan para rabi yang mengajar bahasa Ibrani, tradisi lisan, dan kitab-kitab tertulis. Apa yang semula diberikan di rumah sekarang dipelajari secara lebih formal di sekolah. Pada dasarnya ini merupakan suatu tradisi yang didasarkan pada “suatu pandangan hidup Umat Allah yang berbeda di bawah hukum Allah, dan interpretasi warisan tradisi mereka dari Abraham, Musa dan Daniel sampai waktu itu”. Jadi, pendidikan dan agama membentuk kurikulum dasar di rumah sama seperti di sekolah. Hal ini pasti merupakan pendidikan yang dialami oleh Yesus sebagai anak yahudi.

Pendidikan selama periode Perjanjian Baru dapat dilihat dalam dua cara : (a) Menurut cara Yesus dan (b) Menurut cara murid-murid Yesus yang pertama. Penting untuk membuat pembedaan ini, karena ada pergeseran nyata di dalam isi dan perilaku pendidikan. Ketika Yesus hidup dan mengajar secara fisik di dunia, pendidikan menurut cara Yesus berpusat pada”kemunculan Kerajaan Allah ke dalam masyarakat-Nya sendiri”. Ajaran dan khotbah-Nya, penyembuhan dan pengusiran setan yang dilakukan-Nya, cara hidup-Nya dan cara-Nya menghadapi berbagai jenis orang, semua menunjuk pada kedatangan Kerajaan Allah yang tidak lama lagi. Yesus mengklaim peran penting dalam mempercepat datangnya Kerajaan Allah. Yesus melaksanakan peran penting tersebut dalam tiga cara yang saling berhubungan: pemberitaan langsung, perayaan doa dan pelayanan bagi kebutuhan manusia.

Setelah kematian dan kebangkitan Yesus, ada perubahan besar dalam kandungan pendidikan. Ketika para murid Yesus secara bertahap dikenal sebagai orang Kristen, apa yang kemudian dikenal sebagai pendidikan kristen perlahan-lahan berkembang dengan perubahan besar dalam isi pemberitaan para pengikut-Nya. Perubahan dari pesan Kristus mengenai “kedatangan Kerajaan Allah“ ke suatu pesan mengenai kehadiran Yesus (pasca-kematian) dengan kekuatan yang mengubah hidup. Dalam kesetiaan pada kehidupan dan pelayanan Yesus, para murid Yesus meneruskan kabar baik melalui pelayanan tiga rangkap: perhatian pada kebutuhan manusia, merayakan hubungan yang baru dengan Allah, dan pekabaran Injil. Generasi muda selanjutnya mencoba menyesuaikan isi dan perilaku pendidikan Kristen ini dengan cara dan kondisi mereka. Seperti biasanya,

penyesuaian akan menjumpai perubahan baru dengan konteks atau situasi yang berubah. Seperti yang dicatat dengan hati-hati oleh Marianne Sawick, tiga bagian pelayanan Kristus adalah memperhatikan, merayakan (sakramen) dan pekabaran Injil tidak selalu mendapatkan perhatian yang seimbang ketika seseorang memberikan penekanan yang lebih besar pada satu isu dibandingkan yang lain.

3. Pendidikan Kristianitas

a. Pengertian Pendidikan Kristianitas

Pengertian mengenai pendidikan kristianitas disampaikan oleh Gabriel Moran (S. Antone, H 2010: 33) yang menegaskan bahwa: Pendidikan kristiani adalah: suatu tugas penting untuk memelihara iman dan membangun identitas setiap komunitas Kristen agar ia tetap berfungsi dengan orientasi pada Gereja atau berfokus pada komunitas Kristen.

Dari pengertian tersebut di atas, kita dapat memahami pendidikan kristiani sebagai suatu tugas penting yang harus diemban untuk memelihara iman. Selain itu juga pendidikan kristiani juga merupakan usaha untuk membangun identitas setiap komunitas Kristen. Dengan demikian komunitas Kristen tetap berfungsi dan memiliki orientasi pada Gereja sebagai komunitas umat beriman itu sendiri. Kepedulian utama Pendidikan Kristiani adalah pertumbuhan orang-orang Kristen sebagai pengikut Kristus yang setia dalam komunitas gereja mereka.

Menurut Thomas H. Groome ( 2010: 37 ), pendidikan kristiani adalah: kegiatan politis bersama para peziarah dalam dalam waktu yang secara sengaja bersama mereka memberi perhatian pada kegiatan Allah di masa kini kita, pada cerita iman Kristen dan Visi Kerajaan Allah, benih-benih yang telah hadir di antara kita dengan tujuan untuk memelihara iman dan

membangun identitas setiap komunitas Kristen agar ia tetap berfungsi dengan orientasi pada Gereja atau berfokus pada komunitas Kristen.

Thomas H. Groome menjelaskan bahwa hakikat kegiatan pendidikan sebagai kegiatan politis bersama para peziarah dalam waktu, yang dengan sengaja bersama orang-orang memperhatikan masa kini, warisan masa lampau yang ada didalamnya dan kemungkinan masa depan yang menguasai manusia secara utuh dan komunitas. Sebagai kegiatan politis bersama para peziarah dalam waktu, pendidikan harus memberdayakan mereka untuk secara kritis memanfaatkan masa lampau mereka agar mereka dapat bekerja secara kreatif melewati masa kini mereka menuju masa depan mereka.

Lewat pendidikan Kristianitas, karya pendidikan bukan hanya mau “mencetak“ anak yang pandai secara intelektual dengan penularan ilmu, tetapi lebih mengarah pada upaya untuk menumbuhkembangkan sikap dan semangat kristiani yang terbuka bagi peserta didiknya. Keduanya diharapkan dapat tumbuh

Dokumen terkait