• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Pendidikan Kristianitas

1. Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses komunikasi yang di dalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung secara terus menerus dan berakhir setelah orang yang bersangkutan meninggal. Hal itu dirumuskan

dalam buku yang berjudul Ilmu Pendidikan (Siswoyo, D. 2008 : 18-19) sebagai berikut :

Pendidikan merupakan suatu proses dimana potensi-potensi yang dimiliki setiap individu, kemampuan-kemampuan serta kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan dalam hidup sehari-hari disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa dan digunakan oleh manusia menolong dirinya sendiri atau orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan.

Selain itu, pendidikan juga merupakan sarana untuk memperkembangkan kehidupan manusia, karena pendidikan menyediakan waktu, materi dan arahan sebagai bekal bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Namun tidak hanya itu saja, pendidikan juga tidak hanya berarti pendidikan formal di lingkup sekolah melainkan juga pendidikan non formal yang dialami melalui segala pengalaman, tindakan dan sikap manusia di dalam menjalani kehidupan setiap hari di sekolah, masyarakat ataupun dalam keluarga (Mulyana R, 2004: 4-5).

Kenyataan yang dialami manusia menunjukkan bahwa, pada dasarnya manusia dapat dididik dan membutuhkan pendidikan yang dapat mengembangkan hidupnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hidupnya, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Untuk mencapai tujuan yang ingin dicita - citakan setiap manusia harus berusaha seturut kemampuan yang dimiliki, tetapi terkadang manusia itu sendiri lemah, belum siap dalam menjalankan sesuatu untuk mencapai tujuan tersebut dalam hidupnya. Maka mengingat keadaan setiap manusia ini, pendidikan sangat dibutuhkan dan menjadi hal utama dalam kehidupan manusia. Said (1989: 17) mengatakan bahwa

“ keadaan lemah, tidak berdaya, belum siap inilah yang menyebabkan anak

manusia dapat dididik dan perlu pendidikan (homo educandum et educabile ) “

a. Arti Pendidikan

Apabila berbicara tentang pendidikan, setiap orang cenderung berpikir tentang sekolah sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan. Memang benar bahwa sekolah sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan berhubungan erat dengan pendidikan. Perlu diketahui bahwa pendidikan dapat dilaksanakan dalam lembaga formal maupun informal. Selain dari kedua lembaga itu, pengalaman hidup juga bisa merupakan pendidikan yang selalu dialami dalam keluarga, tempat bekerja dan sebagainya. Mgr. Geise dalam Borgias Fransiskus (2006: 171-172) menerangkan, bahwa arti penting proses pembelajaran multikultural merupakan suatu wacana filosofis untuk dapat membentuk kesadaran dan fakta pluralitas dalam hidup bermasyarakat seseorang. Melihat kenyataan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, setiap manusia masih pilih-pilih dalam hal pergaulan, kurang kesadaran setiap manusia untuk dapat mengenal suku, agama dan ras dari hati ke hati menjadikan kesenjangan hubungan antar umat beragama.

Dalam memperdalam segi dinamis pembelajaran, ada hal yang menarik untuk dijadikan simbol kata dalam pendidikan. Menurut Mgr. Geise dalam Borgias Fransiskus (2006: 178-181) pada dasarnya “ pendidikan bermuara dan

berasal dari bahasa latin dari kata Educare : educare (keluar dari) dan kata ducere

sendiri mempunyai arti menumbuhkan, memelihara, mendidik, membesarkan dan

menuntun keluar dari: kesempitan, keterkungkungan, keterbelakangan, kebodohan, kegelapan budi, dan lain-lain. Pendidikan yang dialami manusia seharusnya membuat manusia mampu belajar terus menerus sampai akhir hayat.

Suroso Prawiroharjo dalam Dwi Siswoyo (2008: 15) menerangkan, “salah satu konsep tentang pendidikan yang banyak diajarkan dalam lembaga pendidikan guru adalah menggambarkan pendidikan sebagai bantuan pendidikan untuk membantu peserta didik menjadi dewasa“. Bila hanya menekankan agar peserta didik lebih dewasa, pendidikan sama halnya dengan persekolahan yang hanya mendidik anaknya untuk dapat berpikir cerdas tetapi kurang mementingkan segala aspek pribadi manusia seperti halnya kepribadian diri.

Dwi Siswoyo (2008: 17) mengatakan bahwa “pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu yang mempengaruhi perkembangan fisik dan jiwanya (akal, rasa dan kehendak) sosial dan moralitasnya. “Pendidikan yang baik akan memberikan kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi kemampuan dan perkembangan kepribadian setiap individu. Pendidikan yang baik akan memberikan kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi kemampuan dan perkembangan kepribadian setiap individu dalam pertemuannya dengan sesama dalam masyarakat serta hubungannya dengan Tuhan.

Doni Koesoema A, (2007: 54), menegaskan bahwa pendidikan senantiasa berkaitan dengan dimensi sosialitas manusia. Manusia sejak kelahirannya telah membutuhkan kehadiran orang lain dalam menopang hidupnya. Menurut Doni Koesoema A, pendidikan merupakan usaha sadar yang ditujukan bagi

pengembangan diri manusia secara utuh, melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya (religius, moral, personal, sosial, kultural, temporal, institusional, relasional dan sebagainya) demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus dalam memaknai hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain (Doni Koesoema 2007: 54).

Romo Driyarkara (1980: 126) menegaskan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Disini boleh dikatakan bahwa, pendidikan dapat menghantar manusia pada perubahan baik dalam aspek kognitif, afektif, emosional dan spiritual. Beliau menegaskan bahwa pendidikan hendaknya menghantar orang pada suatu perubahan yang lebih baik. Yang dimaksudkan oleh Dryarkara adalah pengangkatan martabat manusia menuju taraf insani. Dryarkara menegaskan bahwa pendidikan menjadi pemikiran ilmiah apabila memenuhi beberapa syarat yaitu: pemikiran kritis, metodis dan sistematis. Dengan pemikiran kritis orang tidak menerima apa yang ditangkap dari kenyataan. Metodis yang dimaksudkan adalah bahwa dalam proses berpikir dan menyelidiki, orang mempergunakan cara atau metode tertentu. Sedangkan sistematis yang dimaksudkan disini adalah dalam proses berpikir, orang dijiwai oleh suatu ide tertentu yang menyeluruh dan menyatu sehingga ada keserasian.

Disamping itu juga ada 2 hal penting dalam pendidikan yang ditemukan oleh Dryarkara. Pertama: Proses. Pendidikan membutuhkan proses belajar dari ketidaktahuan menjadi lebih tahu. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama bagi peserta didik untuk berproses. Kedua: Eksitensialisme/keberadaan kita. Keberadaan manusia dapat menjadi lebih baik apabila manusia itu sendiri mau

berproses dan berusaha. Tolak ukur yang dipakai oleh Driyarkara dalam pendidikan adalah: Dialogis (Pendidik dan peserta didik) dan Humanis (Memanusiakan manusia muda).

Dari defenisi-defenisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

pendidikan merupakan suatu usaha untuk menumbuhkan, memelihara, mendidik, menghantar dan menuntun peserta didik agar keluar dari kesempitan, keterbelakangan, kebodohan dan kegelapan hati. Pendidikan sebagai usaha untuk membantu peserta didik agar dapat bertumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan yang baik akan memberikan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi kemampuan dan perkembangan kepribadian setiap individu dalam pertemuannya dengan sesama dalam masyarakat serta hubungannya dengan Tuhan.

Pendidikan sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial manusia. Hal ini berarti bahwa manusia sangat membutuhkan kehadiran orang lain dalam seluruh kehidupannya. Pendidikan ditujukan untuk pengembangan manusia secara utuh melalui berbagai dimensi kehidupan yakni religius, moral, personal, sosial, kultural, temporal, institusional, rasional dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk menyempurnakan diri manusia secara terus menerus. Pendidikan yang baik dapat menghantar manusia menuju perubahan baik dalam aspek kognitif, afektif, emosional dan spiritual. Dengan demikian kehidupan manusia menjadi lebih baik. Romo Fransiskus van Lith menegaskan bahwa dalam pendidikan, lembaga pendidikan menjalankan fungsi ganda yakni sebagai pelaku perubahan sosial

sendiri dan sebagai usaha untuk mendukung munculnya pelaku-pelaku perubahan sosial (Banawiratma, SJ 1991: 65).

b. Tujuan Pendidikan

Setiap organisasi ataupun lermbaga pendidikan tentunya memiliki tujuan tertentu. Tujuan itu bermacam-macam seperti tujuan untuk memerdekakan, untuk mewujudkan keadilan sosial, untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk menjadi orang yang baik. Pendidikan untuk kemerdekaan menunjukkan bahwa pendidikan ingin menjadikan peserta didiknya “ manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya (Said, 1989: 103). Moore T. W dalam Dwi Siswoyo (2008: 81) “ Tujuan umum pendidikan adalah suatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan“. Suatu pemikiran yang logis bahwa pendidikan harus dimulai dengan tujuan, yang diasumsikan sebagai nilai. Tanpa kesadaran tujuan, maka praktek pendidikan tidak ada artinya. Berbagai pendidikan manusia mempunyai tujuan yang sama yaitu kedewasaan yang mempunyai ciri mampu untuk hidup dengan pribadi mandiri.

Menurut Hoogveld dalam Dwi Siswoyo (2008: 81) “Mendidik itu berarti membantu manusia muda agar mampu menunaikan tugas hidupnya secara mandiri”. Selain menjadikan manusia muda hidup secara pribadi, yang ingin dicapai dalam suatu pendidikan adalah agar kemampuan tertentu manusia itu kelak mempunyai kesempurnaan tertentu dalam hidup. Tujuan akhir dari pendidikan tersebut adalah agar tercapainya kebahagiaan yang sempurna.

Kebahagiaan sempurna yang ingin ditujukan menurut Notonegoro dalam Dwi Siswoyo (2008: 8) ialah suatu keadaan yang menimbulkan (1) kepuasan yang sepuas-puasnya hingga (2) tidak menimbulkan keinginan lain lagi dan (3) kekal atau abadi.

Stephen R. Covey (1994: 38) menegaskan bahwa tujuh kebiasaan manusia bukanlah seperangkat formula pemberi semangat yang terpisah atau sepotong-sepotong. Selaras dengan hukum alam pertumbuhan, ketujuh kebiasaan tersebut memberikan pendekatan yang meningkat, berurutan, dan sangat terpadu terhadap perkembangan keefektifan pribadi dan antar pribadi. Mereka menggerakkan kita secara progresif pada kontinum kematangan dari

ketergantungan (dependent) menuju kemandirian (independence) hingga

kesalingtergantungan (interdependence). Kita masing-masing memulai kehidupan

sebagai bayi, yang tergantung sepenuhnya kepada orang lain. Kita diarahkan, diasuh, dan ditunjang oleh orang lain. Tanpa pemeliharaan ini, kita hanya dapat hidup selama beberapa jam atau beberapa hari paling lama. Lalu secara berangsur-angsur, selama berbulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya, kita menjadi mandiri secara fisik, mental, emosional, hingga akhirnya kita pada hakikatnya dapat mengurus diri sendiri, menjadi diarahkan oleh batin dan percaya diri.

Pada kontinum kematangan, ketergantungan adalah paradigma anda. Anda mengurus saya; anda datang melalui saya; anda tidak berhasil; saya menyalahkan anda untuk hasilnya. Kemandirian adalah paradigma saya. Saya dapat melakukannya; saya bertanggungjawab; saya percaya diri; saya dapat memilih. Kesalingtergantungan adalah paradigma kita. Kita dapat melakukannya;

kita dapat bekerja sama; kita dapat menggabungkan bakat dan kemampuan kita serta menciptakan sesuatu yang lebih besar secara bersama-sama.

Orang yang bergantung membutuhkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka kehendaki. Orang yang mandiri dapat memperoleh apa yang mereka kehendaki melalui usaha mereka sendiri. Orang yang saling tergantung menggabungkan upaya mereka dengan upaya orang lain untuk mencapai keberhasilan terbesar mereka. Jika saya mandiri, secara fisik, saya dapat bekerja sendiri dengan lumayan baik. Secara mental, saya dapat berpikir sendiri, saya dapat pindah dari satu tingkat abstraksi ke tingkat yang lain. Saya dapat berpikir secara kreatif dan analitis dan menyusun serta mengekspresikan gagasan saya dengan cara-cara yang dapat dimengerti. Secara emosional, saya akan diabsahkan dari dalam diri sendiri. Saya akan diarahkan oleh batin. Perasaan nilai diri saya tidak akan dipengaruhi apakah saya disukai atau diperlakukan dengan baik atau tidak.

Kemandirian sejati dari karakter memberi kekuatan kepada kita untuk bertindak dan bukan menjadi sasaran tindakan. Kemandirian sejati membebaskan kita dari ketergantungan kita pada keadaan dan orang lain dan merupakan cita-cita pembebas yang layak. Cara berpikir mandiri saja tidak sesuai dengan realitas kesalingtergantungan. Orang mandiri yang tidak memiliki kematangan berpikir dan tidak bertindak dengan saling tergantung mungkin merupakan produsen individual yang baik, tetapi mereka tidak akan manjadi pemimpin yang baik atau pemain tim yang baik. Mereka tidak berasal dari paradigma kesalingtergantungan yang diperlukan untuk berhasil dalam realitas perkawinan, keluarga atau

organisasi. Ketika anda benar-benar menjadi mandiri, anda mempunyai dasar untuk kesalingtergantungan yang efektif. Anda memiliki dasar karakter yang dapat anda gunakan untuk mengusahakan secara efektif “ Kemenangan Publik “ (Public Victory) yang lebih berorientasi pada kepribadian dalam tim kerja, kerja

sama dan komunikasi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah membantu manusia agar mampu menunaikan tugasnya secara mandiri. Puncak dari kemandirian adalah adanya kesalingtergantungan antara satu dengan yang lain. Hal ini membuktikan bahwa dalam kehidupan ini seseorang bergantung atau membutuhkan orang lain. Orang yang saling tergantung menggabungkan upaya mereka dan orang lain untuk mencapai suatu keberhasilan. Hal ini berarti bahwa ketika seseorang menjadi pribadi yang mandiri, ia mempunyai dasar untuk saling ketergantungan yang efektif dengan orang lain. Dengan demikian terciptalah kerjasama dan komunikasi yang baik antara satu dengan yang lain sehingga tercapailah tujuan yang diharapkan atau dicita-citakan.

c. Aspek Pendidikan

Sastrapratedja dalam Kaswardi (1993: 4) membagi aspek pendidikan menjadi tiga yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendidikan menyangkut usaha pengembangan pemahaman setiap orang sebagai dukungan terhadap aspek yang lain. Pengetahuan yang telah diterima kemudian diresapkan serta direfleksikan dalam hati seseorang sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan tindakan dalam hidupnya. Jadi ketiga aspek pendidikan ini

menunjukkan bagian yang perlu diolah. Ketiga aspek ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu pendidikan.

Winkel (1996: 16-24) sependapat dengan Sastrapratedja, bahwa pendidikan merupakan usaha untuk memperkembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiganya harus seimbang supaya kepribadian menjadi utuh. Dengan kata lain, orang menjadi lebih manusiawi sesuai dengan kodratnya, terutama di dalam kehidupan bermasyarakat.

Dokumen terkait