• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Kualitas Air

Salah satu faktor yang berperan menentukan keberhasilah produksi udang budidaya adalah pengelolaan kualitas air, karena udang adalah hewan air yang segala kehidupan, kesehatan dan pertumbuhannya tergantung pada kualitas air sebagai media hidupnya (Tricahyo 1995). Kualitas air secara luas dapat diartikan sebagai setiap faktor fisik, kimiawi dan biologi yang mempengaruhi penggunaan air. Untuk keperluan budidaya udang kualitas air secara umum dapat diartikan sebagai setiap peubah (variabel) yang mempengaruhi pengelolaan dan kelangsungan hidup, kembang biak, pertumbuhan atau produksi. (Boyd1982)

Pengukuran kualitas air selama pemeliharaan udang menurut Hendrajat dan Mangampa (2007) penting dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan salah satu parameter kualitas air. Dengan mengetahui gejala-gejala tersebut maka dapat diambil suatu tindakan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang kurang baik terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang yang dipelihara. Beberapa peubah kualitas air penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang di tambak

meliputi oksigen terlarut, salinitas, suhu, warna, pH, serta senyawa beracun seperti amoniak dan asam belerang yang berkaitan erat satu sama lain (Ahmad 1991).

Suhu air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan, morfologi, reproduksi, tingkah laku, pergantian kulit dan metabolisme udang. Disamping itu suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas, kecepatan reaksi unsur dan senyawa yang terkandung dalam air. Udang vaname hidup pada toleransi suhu 16 – 36 0C dan optimal pada suhu 28 – 31 0C (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa temperatur optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27 – 32 0C. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-32 0C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Temperatur optimal untuk udang vaname menurut Zweig et al. 1999 berkisar antara 28 – 30 0C. Menurut Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang

memberikan pertumbuhan optimal berkisar 29 – 30 0C, sedangkan suhu yang

dapat menyebabkan pertumbuhan rendah < 26 – 28 0C dan batas tingkat lethal < 10 – 15 0C. Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika berada pada suhu dibawah 15 0C atau diatas 33 0C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub lethal stress terjadi pada 15 – 22 0C dan 30 – 33 0C. Temperatur

optimum untuk udang vaname adalah antara 23 – 30 0C (Wyban dan Sweeny

1991; Soemardjati dan Suriawan 2007).

Menurut Adiwijaya et al. (2003) bahwa kecerahan air yang baik pada petak pembesaran udang vannamei berkisar antara 40–60 cm, sedangkan Anonim (2003) mengemukakan bahwa kecerahan/ transparansi untuk budidaya udang vannamei berkisar 30 – 60 cm. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi serta ketelitian dalam melakukana pengukuran (Effendie 2000). Poernomo (1989) mengemukkan bahwa penyebab utama menurunnya daya cerah dan seringnya terjadi blooming karena makin suburnya dasar tambak akibat timbunan sisa-sisa makanan serta tinggi kepadatan plankton , batas kecerahan yang layak adalah antara 30 – 40 cm. batas kecerahan tersebut biasanya didominasi oleh kepadatan plankton jenis

(hijau kecoklatan). Menurut Suprapto (2005), kecerahan optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 30 – 40 cm. Bila kondisi tambak sudah siap, segera tambak diisi air sampai penuh (120 cm), jangan dilakukan secara bertahap untuk mencegah tumbuhnya klekap.

Bray et al. (1994) menyatakan bahwa udang vanname dapat dipelihara di daerah perairan pantai (coastal) dengan kisaran salinitas 1-40 ppt. Udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15-25 ppt, bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk pertumbuhannya. (Samocha dan Lawrence 1993 ; Zweig 1999 ; Clifford 1994 ; Soemardjati dan Suriawan, 2007). Menurut Mc Grow dan Scarpa (2002) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5 – 45 ppt. Sugama (2002) melaporkan bahwa kisaran salinitas selama pemeliharaan udang vannamei di tambak air tawar berkisar 1,2-5,0 ppt. Haliman dan Adijaya (2005) mengemukakan bahwa udang vanname memiliki sifat euryhalin. udang muda yang berumur 1–2 bulan memerlukan kadar garam 15–25 ppt agar pertumbuhannya dapat optimal, setelah umurnya lebih dari 2 bulan , pertumbuhan relatif baik pada kisaran salinitas 5 –30 ppt. Lebih lanjut dikatakan bahwa salinitas yang tinggi (diatas 40 ppt) sering terjadi pada musim kemarau menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Pada salinitas yang tinggi pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi. Kisaran salinitas optimal untuk udang vaname berkisar 15 – 30 ppt.

Kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L. Menurut Anonim (2003) bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk budidaya udang vaname harus > 4 mg/L dengan nilai toleransi 0,8 mg/L. Sedangkan Suprapto (2005) berpendapat bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vaname > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/L. Adiwijaya et al. (2003) mengemukakan bahwa kisaran optimal oksigen terlarut selama masa pemeliharaan berkisar 3,5 – 7,5 mg/L. Sugama (2002) menambahkan bahwa kadar oksigen selama pemeliharaan udang vaname harus > 3,5 mg/L. Menurut Seidman

dan Lawrence (1985), diacu dalam CP.Prima (1993) bahwa oksigen terlarut yang rendah merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kelambatan pertumbuhan udang pada tambak intensif. Nilai DO (Dissolved oksigen) kritis untuk pertumbuhan Penaeus vannamei adalah 1,9 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005) menngemukakan bahwa tanda-tanda sederhana terjadinya kekurangan oksigen yaitu udang berenang dipermukaan air atau berkumpul disekitar inlet air tambak. Upaya untuk meningkatkan angka DO dilakukan dengan pemakaian kincir air. Nilai DO minimal pada malam hari dianjurkan tidak kurang dari 3 mg/L. Sedangkan untuk mengantisipasi oksigen yang terlalu tinggi akibat blooming plankton dilakukan dengan pergantian air (pengenceran) dan pengaturan jam operasional kincir air.

Kebutuhan oksigen biokimia (BOD) menggambarkan banyaknya pemakaian oksigen oleh mikroba untuk merombak bahan organik didalam sampel air yang diinkubasi pada periode tertentu dengan temperatut tetap, misalnya BOD5 (dalam kondisi aerobik diinkubasi pada suhu 20 0C selama 5 hari) (Wardoyo 1994). Menurut Abel (1989), nilai BOD merupakan ukuran yang digunakan sebagai kandungan bahan organik diperairan dengan asumsi bahwa oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme selama masa penguraian bahan organik. Keberadaan BOD akan mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan karena proses oksidasi limbah organik, oksigen terlarut yang tersedia akan cepat dikonsumsi untuk proses metabolisme bakteri. Lee et al. (1978), diacu dalam Sudibyaningsih (1983) menggolongkan tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5 yakni kisaran konsentrasi BOD5 < 2,9 mg/L tergolong kriteria kualitas air tidak tercemar, kisaran 3,0 – 4,9 mg/L tergolong tercemar ringan, kisaran 5,0 – 14,9 mg/L tergolong tercemar sedang dan konsentrasi > 15,0 mg/L tergolong tercemar berat.

Standar pH untuk budidaya vaname yaitu 7,5 – 8,5 (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vaname berkisar 7,3 – 8,5 dengan torelansi 6,5 – 9. Wyban dan Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4 – 8,9 dengan nilai optimum 8,0. Nilai pH air tambak bagi pertumbuhan udang berkisar antara 7,5 – 8,7 dengan batas optimum antara

8,0 – 8,5 (Poernomo 1989). Perairan dengan pH ekstrim dapat membuat udang tertekan , pelunakan karapaks, serta kelangsungan hidup rendah. Mortalitas tinggi pada udang terjadi pada pH perairan dibawah 6,0 sedangkan pada pH 3,0 dalam 20 jam terjadi kematian 100 % (Law 1988). Buwono (1993) menyatakan bahwa pengaruh langsung dari pH rendah menyebabkan kulit udang keropos dan selalu lembek karena tidak dapat membentuk kulit baru. Selanjutnya dikatakan bahwa pH 6,4 dapat menurunkan laju pertumbuhan sebesar 60 %. Sebaliknya pH tinggi 9,0-9,5 menyebabkan peningkatan kadar amoniak sehingga secara tidak langsung membahayakan udang. Kondisi pH tinggi kadang-kadang terjadi di tambak pada siang hari dan dapat menyebabkan blooming plankton.

Standar kadar amoniak untuk budidaya udang vaname < 0,1 mg/L (Anonim 2003). Sedangkan menurut Samocha dan Lawrence (1993) bahwa kandungan amonia untuk juvenil udang vaname berkisar antara 0,4 – 2,31 mg/L. Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amoniak untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam, salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L. Boyd dan Fast (1992) mengatakan bahwa konsentrasi

NH3 lebih dari 1,0 mg/L dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada

konsentrasi lebih dari 0,1 mg/L dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan udang. Wyk et al. (1999) mengemukakan bahwa konsentrasi LC50 dari NH3 adalah sekitar 0,2 mg/L untuk post larva dan 0,95 mg/L untuk udang yang berukuran 4,87 gram. Kesehatan dan pertumbuhan udang tidak terpengaruh pada konsentrasi amonia kurang dari 0,03 mg/L. Walaupun begitu, pemaparan intensif dari konsentrasi sublethal ini akan berdampak buruk terhadap udang. Laju pertumbuhan akan turun dan FCR akan meningkat.

Menurut Poernomo (1988) pengaruh langsung dari kadar amonia yang tinggi tapi belum mematikan adalah rusaknya jaringan insang. Lembaran insang akan membengkak (hiperplasia) sehingga fungsi insang sebagai alat pernapasan akan terganggu dalam hal pengikatan oksigen dari air. Level amonia yang tinggi diperairan juga dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga mengurangi afinitas pigmen darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap penyakit.

Nitrit diperoleh dari hasil perombakan amonia oleh bakteri aerob

Nitrosomonas menjadi NO2- dan seterusnya menjadi NO3- oleh bakteri

Nitrobacter didalam proses nitrifikasi dan antara nitrat dan gas nitrogen dalam proses denitrifikasi. Menurut Suprapto (2005), kandungan nitrit yang dapat diltoleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–1 mg/L. Adiwijaya et al. (2003) berpendapat bahwa kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname yakni 0,01-0,05 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005), kandungan nitrit yang baik untuk kehidupan

udang vaname adalah ≤ 0,1 mg/L. Clifford (1994) mengemukakan bahwa

kandungan nitrit yang optimal untuk budidaya udang vaname < 1.0 mg/L.

Menurut Clifford (1994) bahwa konsentrasi nitrat yang optimal untuk udang vaname berkisar 0,4-0,8 mg/L. Anonim (1988), diacu dalam Musafir (1999), kandungan nitrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan algae diperairan adalah 0,2-0,9 mg/L dan optimal pada kisaran 0,1-4,5 mg/L. Menurut Sumawidjaya (1997), kandungan nitrat dalam perairan berasal dari beberapa faktor seperti gerakan air, oksidasi, reduksi, asimilasi serta dekomposisi bahan organik. Selanjutnya dikatakan bahwa kadar nitrat yang ideal untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 2 – 3,5 mg/L.

Menurut Boyd (1990), kandungan bahan organik terlarut suatu perairan normal adalah maksimum 15 mg/L, apabila kandungan bahan organik terlarut tinggi maka dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga

menurunkan daya tahan udang. Sedangkan menurut Adiwijaya et al. (2003)

bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname < 55 mg/L Meagung (2000) menyatakan bahwa proses penguraian bahan organik yang terlarut dalam air dapat menghabiskan oksigen dalam air. Kondisi ini akan menghasilkan senyawa tereduksi seperti CH4, H2S, NH3 dan senyawa tereduksi lainnya. Proses penguraian ini akan berjalan lancar dengan ketersediaan oksigen terlarut yang cukup.