• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Parameter Penunjang

4.3.1. Kualitas Air

Salah satu faktor yang berperan menentukan keberhasilah produksi udang budidaya adalah pengelolaan kualitas air. Pengukuran kualitas air selama pemeliharaan udang penting dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan salah satu parameter kualitas air. Dengan mengetahui gejala-gejala tersebut maka dapat diambil suatu tindakan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang kurang baik terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang yang dipelihara. Hasil pengamatan terhadap beberapa peubah kualitas air yang meliputi suhu, kecerahan, kedalaman, padatan tersuspensi, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, BOD5 dan Bahan organik total selama penelitian di sajikan pada Tabel 4. Kisaran nilai fisika kimia media pemeliharaan yang diperoleh selama penelitian masih berada dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh udang vaname untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhannya.

Tabel 4. Kisaran nilai fisika kimia media pemeliharaan selama penelitian

Nilai Fisika Kimia Air Parameter

Minimum Maksium Rerata (n=8)

Suhu (oC) Salinitas (ppt) pH Oksigen Terlarut (mg/L) Kecerahan (cm) Kedalaman air (cm) Amonia (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L) TSS (mg/L) BOT (mg/L) BOD5 (mg/L) 22,0 30 7,0 2,6 20 104 0,0098 0,0008 0,0065 24 4,93 2,25 29,6 42 8,8 6,9 100 170 0,9675 0,0456 0,6409 120 39,90 7,32 25,06 38,17 7,8 4,14 44,69 135,19 0,3214 0,0134 0,1425 73,833 27,215 4,6746

Hasil pengukuran suhu pada petak tambak penelitian berkisar antara 22,0 – 29,6 0C, dengan suhu rata-rata 25,06 0C, kisaran suhu tersebut masih berada dalam batas yang layak bagi kehidupan udang vaname. Udang vaname hidup pada toleransi suhu 16 – 36 0C dan optimal pada suhu 28–31 0C(Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa temperatur optimal untuk budidaya udang

vaname berkisar 27–32 0C. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa

suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-32 0C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Temperatur optimal untuk udang vaname berkisar antara 28–30 0C (Zweig et al. 1999). Menurut Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang memberikan

pertumbuhan optimal berkisar 29–30 0C, sedangkan suhu yang dapat

menyebabkan pertumbuhan rendah < 26–28 0C dan batas tingkat lethal < 10–15 0

C. Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika berada pada suhu dibawah 15 0C atau diatas 330C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub lethal stress terjadi pada 15–22 0C dan 30–33 0C. Temperatur optimum untuk udang vaname adalah antara 23 – 30 0C (Wyban dan Sweeny 1991).

Hasil pengamatan salinitas air tambak udang vaname selama pemeliharaan (Tabel 4.) berkisaran antara 30- 42 ppt dengan rata-rata 38,17 ppt, kisaran salinitas yang diperoleh pada awal pemeliharaan berkisar 30–35 ppt dan terus meningkat

hingga akhir pemeliharaan berkisar 37– 42 ppt. Hal ini selain disebabkan karena lokasi penelitian berdekatan dengan pantai/laut sebagai sumber air asin dan tidak ada percampuran air dari sumber air tawar , juga karena masa pemeliharaan dilakukan pada saat peralihan dari musim hujan ke musim kemarau sehingga meningkatkan penguapan. Walaupun demikian kadar salinitas tersbut masih dapat ditoleransi oleh udang vaname karena bersifat euryhaline (Haliman dan Adijaya 2005), sehingga dapat dipelihara didaerah pantai dengan kisaran salinitas 1–40

ppt (Bray et al. 1994). Menurut Mc Grow dan Scarpa (2002) bahwa udang

vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5–45 ppt. Soemardjati dan Suriawan (2007), mengemukakan bahwa udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15–25 ppt, bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk pertumbuhannya.

Kisaran nilai pH air yang diperoleh selama penelitian berkisar 7,0–8,8. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang tersebut cukup optimal. Dimana standar pH untuk budidaya vaname yaitu 7,5–8,5 (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vannamei berkisar 7,3–8,5 dengan torelansi 6,5–9. Wyban dan Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4–8,9 dengan nilai optimum 8,0. Nilai pH air tambak bagi pertumbuhan udang berkisar antara 7,5–8,7 dengan batas optimum antara 8,0– 8,5 (Poernomo 1989).

Kandungan oksigen terlarut yang diamati selama penelitian berkisar 2,6 – 6,9 mg/L dengan rata-rata 4,14 mg/L. Kadar oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L Sedangkan Suprapto (2005) berpendapat bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vannamei > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/L. Dari data yang diperoleh selama pemeliharaan menunjukkan konsentrasi oksigen terlarut yang semakin menurun pada akhir penelitian. Hal ini diduga disebabkan karena biomassa udang vaname semakin tinggi sehingga lebih banyak membutuhkan oksigen. Selain itu salinitas yang semakin tinggi akan memacu laju metabolisme di dalam tubuh udang untuk proses osmoregulasi

sehingga disatu sisi udang lebih banyak membutuhkan oksigen, disisi lain konsentrasi oksigen di dalam air semakin menurun karena difusi oksigen dari udara terhambat hingga menyebabkan kelarutan oksigen semakin berkurang.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 2 4 6 8 10 12 14

Lama Pemeliharaan (Minggu ke-)

Ok s ig e n Te rl a rut ( m g/ L) Tambak A Tambak B

Gambar 10. Pola dinamika oksigen terlarut (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.

Hasil pengamatan kecerahan air selama pemeliharaan berkisar 20-100 cm dengan rata-rata 44,69 cm. Pada awal pemeliharaan kecerahan air tambak cukup tinggi dan semakin menurun hingga akhir pemeliharaan. Tingginya nilai kecerahan pada awal pemeliharaan diduga disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang cukup baik masuk kedalam air, kurangnya padatan tersuspensi, dan warna air yang terlihat agak jernih, kemudian nilai kecerahan mulai turun hingga 20 cm pada pertengahan bulan 3 sampai panen disebabkan karena makin meningkatnya suspensi organik dari kotoran udang dan sisa makanan, menumpuknya sel plankton yang sudah tua dan mati ditambah lagi gerakan udang yang makin aktif karena semakin besar dengan padat tebar yang tinggi. Menurut Adiwijaya et al. (2003) bahwa kecerahan air yang baik pada petak pembesaran udang vannamei berkisar antara 40–60 cm, sedangkan Anonim (2003) mengemukakan bahwa kecerahan/ transparansi untuk budidaya udang vannamei berkisar 30–60 cm. Kecerahan optimal untuk budidaya udang vannamei berkisar 30–40 cm (Suprapto 2005). Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi serta ketelitian dalam melakukan pengukuran (Effendi 2000).

Hasil pengamatan tinggi air tambak udang vaname selama pemeliharaan berkisaran antara 104-170 cm dengan rata-rata 135,19 cm, kisaran tinggi air yang diperoleh pada awal pemeliharaan berkisar 104–115 cm dan terus meningkat hingga akhir pemeliharaan. Hal ini selain disebabkan karena adanya penambahan air pada awal pemeliharaan dan pergantian air pada akhir – akhir pemeliharaan udang. Menurut Suprapto (2005), Bila kondisi tambak sudah siap, segera tambak diisi air sampai penuh (120 cm), jangan dilakukan secara bertahap untuk mencegah tumbuhnya klekap. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 2 bulan pertama tidak dilakukan pergantian air, tetapi penambahan air untuk menjaga kedalaman air dalam tambak tetap dilakukan. Setelah udang mencapai umur lebih dari 2 bulan maka pergantian air dilakukan sedikit demi sedikit.

Hasil pengukuran kadar amonia diperoleh selama pemeliharaan udang vaname berkisar antara 0,0098–0,9675 mg/L dengan rata-rata 0,3214,69 mg/L. Kisaran nilai amonia tersebut cukup tinggi namun masih berada dalam batas toleransi bagi kehidupan udang vaname di tambak karena ditunjang oleh nilai pH dan oksigen yang berada pada batas optimal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Buwono (1993) yang menyatakan bahwa kadar amonia yang tinggi akan bersifat racun apabila pH air tinggi. Total amonia yang baik bagi kehidupan udang dewasa adalah kurang dari 3 mg/L dan bagi kehidupan benur kurang dari 1 mg/L Bila proses pembusukan tidak berlangsung lancar, maka terjadi penumpukan sampai konsentrasi yang membahayakan udang.

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 0 2 4 6 8 10 12 14

Lam a Pem eliharaan (Minggu ke-)

A m on ia k ( m g/ L) Tambak A Tambak B

Gambar 11. Pola dinamika amoniak (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.

Daya racun amonia akan meningkat bila konsentrasi oksigen terlalu rendah, sebaliknya bila kandungan oksigen tinggi akan menyebabkan kandungan amonia menjadi rendah karena dioksidasi menjadi NH4yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis (Widigdo dan Soewardi 1999). Soetomo (2002), menyatakan bahwa jumlah amonia ditambak akan bertambah sejalan dengan aktifitas proses perombakan dan meningkatnya suhu air. Menurut Samocha dan Lawrence (1993) bahwa kandungan amonia untuk juvenil udang vaname berkisar antara 0,4–2,31 mg/L. Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amonia untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam , salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L. Suprapto (2005) mengemukakan bahwa kadar amonia yang masih dapat ditoleransi oleh udang vaname berkisar 0,1 – 0,5 mg/L.

Hasil pengukuran kandungan nitrit yang diperoleh selama penelitian berkisar 0,0008-0,0456 mg/L, dengan rata-rata 0,0134 mg/L. Kadar nitrit yang diperoleh ini masih dalam batas toleransi untuk kehidupan dan pertumbuhan udang. Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada perairan alami. Konsentrasi lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat melalui proses nitrifikasi, serta antara nitrat dan gas hidrogen melalui proses dinitrifikasi.

0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 0,025 0,030 0,035 0,040 0,045 0,050 0 2 4 6 8 10 12 14

Lam a Pem eliharaan (Minggu ke-)

N itr it (m g /L ) Tambak A Tambak B

Gambar 12. Pola dinamika nitrit (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.

Kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname yakni 0,01–0,05 mg/L (Adiwijaya et al. (2003) ; Soemardjati dan Suriawan (2007). Menurut Suprapto (2005), kandungan nitrit yang dapat di toleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–1 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005), kandungan nitrit yang baik untuk kehidupan

udang vaname adalah ≤ 0,1 mg/L. Clifford (1994) mengemukakan bahwa

kandungan nitrit yang optimal untuk budidaya udang vaname < 1,0 mg/L.

Kandungan nitrat yang diperoleh selama penelitian berkisar 0,0065- 0,6409 mg/L, dengan rata-rata 0,1425 mg/L. Kadar nitrat yang diperoleh cukup layak dan sangat diperlukan karena merupakan bentuk nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh plankton dalam pertumbuhannya. Menurut Effendi, (2000), Nitrat adalah bentuk nitrogen utama diperairan alami dan sangat diperlukan oleh pertumbuhan akuatik (algae), sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Kandungan nitrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan algae di perairan adalah 0,2–0,9 mg/L dan optimal pada kisaran 0,1–4,5 mg/L. Sementara Clifford (1994) mengemukakan bahwa konsentrasi nitrat yang optimal untuk udang vaname berkisar 0,4–0,8 mg/L.

Hasil pengamatan kandungan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/ TSS) yang didapatkan berkisar 24-120 mg/L, dengan rata-rata 73,833 mg/L. Nilai TSS yang diperoleh ini pengaruhnya masih sedikit terhadap kepentingan perikanan (Effendie 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa bahan- bahan yang tersuspensi dalam perairan terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab nilai TSS yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Bahan tersuspensi tidak beracun tetapi dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis dalam perairan. Nilai TSS yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih rendah dari hasil penelitian Rachmansyah et al. (2006) yang mendapatkan kadar TSS air tambak udang vaname berkisar 249,28±137,47 – 254,89±143,55 mg/L dan saluran pemasukan 128,11 ± 24,82. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses budidaya dihasilkan material organik yang terakumulasi di dalam tambak dan menciri pada meningkatnya nilai TSS air tambak. Peningkatan nilai TSS dalam tambak dapat disebabkan oleh operasional kincir yang berlebih dan hembusan angin yang

kencang dapat mempengaruhi pengikisan dan pelarutan tanah pematang tambak serta pengadukan dan pelarutan bahan organik dari dasar tambak sehingga dapat meningkatkan kekeruhan dan siltasi. Menurut Soemardjati dan Suriawan (2007) bahwa nilai TSS air sumber untuk budidaya udang vaname berkisar 25–500 mg/L.

0 25 50 75 100 125 150 175 200 0 2 4 6 8 10 12 14

Lama Pemeliharaan (Minggu ke-)

P a da ta n T e rs us pe ns i T ot a l ( m g/ L) Tambak A Tambak B

Gambar 13. Pola dinamika padatan tersuspensi total (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.

Menurut Abel (1989), nilai BOD merupakan ukuran yang digunakan sebagai kandungan bahan organik diperairan dengan asumsi bahwa oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme selama masa penguraian bahan organik. Keberadaan BOD akan mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan karena proses oksidasi limbah organik, oksigen terlarut yang tersedia akan cepat dikonsumsi untuk proses metabolisme bakteri. Nilai BOD5 perairan tambak yang diperoleh selama penelitian berkisar 2,25–7,32 mg/L, dengan nilai rata-rata 4,6746 mg/L. Nilai BOD5 yang diperoleh ini masih dalam batas toleransi

kehidupan udang vaname. Ginting (1995) mendapatkan nilai BOD5 selama

pemeliharaan udang windu berkisar 1,4–6,8 mg/L dengan rata-rata 4,25 mg/L. Lebih lanjut dikatakan bahwa batas kisaran nilai BOD5 bagi kehidupan udang adalah sekitar 12,5 mg/L. Lee et al. (1978), diacu dalamSudibyaningsih (1983) menggolongkan tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5 yakni kisaran konsentrasi BOD5 < 2,9 mg/L tergolong kriteria kualitas air tidak tercemar, kisaran 3,0 – 4,9 mg/L tergolong tercemar ringan, kisaran 5,0–14,9 mg/L tergolong tercemar sedang dan konsentrasi > 15,0 mg/L tergolong tercemar berat.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 2 4 6 8 10 12 14

Lama Pemeliharaan (Minggu ke- )

BO D5 ( m g/ L) Tambak A Tambak B

Gambar 14. Pola dinamika BOD5 (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.

Kisaran nilai Bahan Organik Total (BOT) yang diperoleh selama penelitian berkisar 4,93 – 39,90 mg/L, dengan rata-rata 27,215 mg/L. Nilai BOT yang diperoleh ini lebih tinggi dari penelitian Ginting (1995) yang mendapatkan kadar BOT air tambak udang windu berkisar 3,16 – 13,26 mg/L dengan rata-rata 5,68 mg/L pada kepadatan udang 15 ekor/m2. sementara nilai BOT air tambak udang windu yang didapatkan oleh Budiardi (1998) di tambak Karawang berkisar 6,52 – 29,9 mg/L dengan rata-rata 22,47 mg/L dengan padat tebar benur 34 – 35 ekor/m2. Selanjutnya Budiardi (2007) mendapatkan kadar BOT rata-rata air tambak udang vaname untuk masa awal pemeliharaan, masa transisi dan masa akhir pemeliharaan masing-masing sebesar 50,97 mg/L; 104,58 mg/L dan 198,67 mg/L dengan padat tebar benur 85 ± 15 ekor/m2. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi padat penebaran benur, maka sejumlah input produksi yang dimasukkan ke tambak juga semakin tinggi yang berdampak pada akumulasi bahan organik dalam tambak yang seiring dengan semakin lamanya pemeliharaan. Menurut Boyd (1990), kandungan bahan organik terlarut suatu perairan normal adalah maksimum 15 mg/L, apabila kandungan bahan organik terlarut tinggi maka dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga

menurunkan daya tahan udang. Sedangkan menurut Adiwijaya et al. (2003)

bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname < 55 mg/L. Meagaung (2000) menyatakan bahwa proses penguraian bahan organik yang terlarut dalam air dapat menghabiskan oksigen dalam air. Kondisi ini akan

menghasilkan senyawa tereduksi seperti CH4, H2S, NH3 dan senyawa tereduksi lainnya. Proses penguraian ini akan berjalan lancar dengan ketersediaan oksigen terlarut yang cukup.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 2 4 6 8 10 12 14

Lama Pemeliharaan (Minggu ke-)

B a h a n O rga n ik Tot a l (m g/ L) Tambak A Tambak B

Gambar 15. Pola dinamika bahan organik total (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian.

4.3.2. Produksi

Produksi udang merupakan biomassa udang pada saat panen. Beberapa parameter yang mendukung produksi adalah ukuran atau bobot rata-rata, laju pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup serta rasio konversi pakan.

Hasil pengamatan pertumbuhan udang vaname selama 100 hari pemeliharaan (Gambar 16.), tampak bahwa pertumbuhan berat rata-rata udang vaname pada kedua petak tambak selama penelitian semakin meningkat seiring dengan lama waktu pemeliharaan. Pada 2 minggu pertama hingga minggu ke 8 pemeliharaan, laju pertumbuhan udang relatif cepat. namun setelah mencapai minggu ke 10 (70 hari) laju pertumbuhannya mulai melambat hingga akhir penelitian (100 hari). Pertumbuhan udang vaname yang diperoleh diperoleh pada penelitian ini berkisar 14,21–14,29 g/ekor dengan rata-rata 14,25 ± 0,056 g/ekor.

lebih tinggi dari hasil penelitian Suwoyo et al. (2005) yang mendapatkan

pertumbuhan berat udang vaname selama 100 hari pemeliharaan dengan kepadatan 50 ekor/m2 berkisar 13,07-13,64 g/ekor, namun lebih rendah dari hasil

penelitian Adiwijaya et al. (2003) memperoleh berat rata-rata udang vannamei sebesar 16,67 (size 60) yang dipelihara selama 120 hari dengan padat tebar benih 50 ekor/m2. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 B e ra t U d a n g (g ) 0 14 28 42 56 70 84 98

Umur Udang (hari)

Gambar 16. Pertumbuhan udang vaname (L vannamei) selama penelitian

Pertumbuhan udang vanme pada penelitian ini hasilnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan beberapa hasil kajian budidaya udang vannamei sebelumnya. Anonim (2003) mendapatkan berat rata-rata udang vannamei sebesar 20 g/ekor dengan laju pertumbuhan 0,18 g/hari yang dipelihara dengan padat tebar 90 ekor/m2 dan lama pemeliharaan 110-130 hari. Poernomo (2004) melaporkan bahwa dengan teknologi probiotik pada budidaya udang vannamei dengan padat penebaran 216; 212 dan 244 ekor/m2 yang dipelihara selama 150 hari , diperoleh berat rata-rata udang saat panen dapat mencapai 18,18 ; 18,55 dan 19,61 g/ekor. Suprapto (2005) melaporkan bahwa udang vaname yang dipelihara dengan padat tebar 125–150 ekor/m2 pada umur 100 hari beratnya sebesar 14,8 g/ekor dan masih dapat bertumbuh hingga mencapai 20 g/ekor pada umur 130 hari. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa udang vannamei dapat dipanen setelah berumur sekitar 120 hari (DOC 120, DOC = day of culture) dengan berat tubuh berkisar 16–20 g/ekor.

Laju pertumbuhan berat harian spesifik yang diperoleh pada penelitian ini (Tabel 5). berada pada kisaran 7,95-7,96 %. Laju pertumbuhan berat harian spesifik udang vaname yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dari

penelitian Suwoyo dan Hendrajat (2006), yang memperoleh laju pertumbuhan harian udang vaname yang dipelihara pada substrat berbeda yakni pasir pantai, tanah sawah dan tanah tambak masing-masing 4,76 ; 3,84 dan 5,35 %/ hari. Tahe (2008) memperoleh laju pertumbuhan berat spesifik udang vaname dengan perlakuan pengurangan ransum pakan sebesar 5,17-5,26 %. Namun hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Hendrajat dan Mangampa (2007) yang mendapatkan laju pertumbuhan harian udang vaname pola tradisional plus dengan kepadatan 4 , 6 dan 8 masing-masing 9,23; 9,19 dan 9,05 %/hari. Rachmansyah

et al. (2006) memperoleh laju pertumbuhan harian udang vaname berkisar 9,48 – 9,52 %/hari selama 100 hari pemeliharaan. Arifin et al. (2007) memperoleh laju pertumbuhan harian udang vaname pola sederhana selama 60 hari pemeliharaan sebesar 14,01%. Perbedaan laju pertumbuhan yang diperoleh ini disebabkan perbedaan ukuran awal dan kepadatan udang yang tebar, lama pemeliharaan serta wadah budidaya yang digunakan.

Tabel 5. Pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, produksi dan rasio konversi pakan udang vaname selama 100 hari pemeliharaan.

Variabel Nilai parameter produksi

Kepadatan (ekor/m2) Lama pemeliharaan (hari) Berat awal (g/ekor) Berat akhir (g/ekor)

Laju pertumbuhan spesifik (%) Tingkat kelangsungan hidup(%) Produksi (kg/petak)

Produktivitas (kg/ha) Rasio konversi pakan

50 100 0,005 14,21 – 14,29 7,95 - 7,96 83,6 – 89,5 2.308 – 2.319 5.890 – 5.979 1,35 – 1,44

Data berat rata-rata yang diperoleh terhadap waktu pemeliharan (hari ke-1 sampai dengan ke-98) (Gambar 17.), memperlihatkan adanya kecenderungan membentuk persamaan linear (Lampiran 9). Hubungan linear yang ditunjukkan oleh berat rata-rata (Y, gram) terhadap waktu ( X, hari ; 1 < X < 98) adalah Y = - 1,67 + 0,157 X dengan nilai R2 = 0,972 ; adjusted R2 = 0,970, P < 0.01) yang berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya berat udang, 97,20 % dapat diterangkan oleh karena adanya pertambahan/perubahan umur dan sisanya

sebesar 2,80,4 % diterangkan oleh faktor lain. Sedangkan nilai R2 adjusted = 0,970 , berarti bahwa nilai R2 yang disesuaikan sehingga gambarannya mendekati mutu penjenjangan model dalam populasi bernilai 0,970. Persamaan tersebut dibentuk dengan tingkat kepercayaan yang tinggi (P < 0,01) sehingga dapat digunakan untuk memprediksi berat rata-rata dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-98 pemeliharaan udang vaname.

Umu r ( h a r i) B e ra t u d a n g ( g ) 1 0 0 8 0 6 0 4 0 2 0 0 1 5 ,0 1 2 ,5 1 0 ,0 7 ,5 5 ,0 2 ,5 0 ,0 S 0,906887 R- Sq 97,2% R- Sq ( ad j ) 97,0% Fi t t e d Li ne P l ot Be r a t u d a n g ( g ) = - 1 , 6 7 3 + 0 , 1 5 6 8 Um u r ( h a r i)

Gambar 17. Hubungan antara berat rata-rata udang vaname (g) dengan umur/waktu pengamatan (hari).

Sintasan dan produktivitas udang vaname yang diperoleh dalam penelitian ini (Tabel 5.) berkisar 83,6–89,5 % dan 5.890–5.979 kg/ha tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Sugama (2002) bahwa beberapa petambak sangat berhasil membudidayakan udang vannamei dengan produksi berkisar antara 6–12 ton/ha, kelangsungan hidup 65–85 %, konversi pakan 1,0–1,2 dengan lama pemeliharaan 100–110 hari, serta ukuran panen udang antara 12,5–17,0 g/ekor (size 60–80). Bratvold dan Browdy (2001) dengan perlakuan substrat yang berbeda yakni tanpa sedimen, pasir dan aqua mats selama 104 hari pemeliharaan dengan padat tebar 130 ekor/ m2 memperoleh sintasan udang vannamei dengan kisaran 65,4–80,8 %. Salame dan Salame (2002), diacu dalam Sugama (2002) melaporkan hasil budidaya udang vannamei pada salinitas rendah di Ecuador dengan padat tebar 75–120 ekor/m2, lama pemeliharaan 100 hari diperoleh hasil sebesar 4,9–5,8 ton/ha/siklus. Tracee (2002) melaporkan hasil budidaya udang

vaname di Texas dengan kepadatan 50–75 ekor/m2, lama pemeliharan 100 hari mendapatkan produktivitas sebesar 3,36–5,04 ton/ha. Widiasa (2005) melaporkan hasil budidaya udang vannamei di Kabupaten Barru dengan padat tebar 57 ekor/m2 , lama pemeliharaan 100–105 hari , diperoleh ukuran panen udang 17,5– 19,2 g/ekor dengan sintasan 81–87 % dan produksi mencapai 2,9–3,2 ton/3.500 m2. Suwoyo et al. (2005) memperoleh sintasan sebesar 67,42–81,38 % dan produktivitas tambak udang vaname 4.594,4 - 5.550,4 kg/ha, pada kepadatan 50 ekor/m2 selama 100 hari pemeliharaan.

Nilai rasio konversi pakan yang diperoleh pada penelitian ini (1,35-1,44) tidak jauh berbeda dengan beberapa kajian budidaya udang vaname sebelumnya. Anonim (2003) mendapatkan FCR 1,3 untuk budidaya udang vaname dengan kepadatan 90 ekor/m2, sintasan 70 - 90 %, dan berat udang rata-rata saat panen 20 g/ekor dengan lama pemeliharaan 110 hari. Trenggono (2003) mendapatkan FCR udang vannamei sebesar 1,4 yang dipelihara di tambak dengan kepadatan 90 eko/ m2 dengan lama pemeliharaan 110 hari Haliman dan Adijaya (2005) melaporkan budidaya udang vaname di Sitobondo, Jawa Timur dengan padat tebar 150 ekor/m2, sintasan 85 %, berat akhir 14,28 g/ekor, menghasilkan udang sebanyak

5.465 kg/3000m2 dengan FCR 1,5. Suwoyo et al. (2005) mendapatkan FCR

udang vaname dengan perlakuan jumlah kincir berbeda sebesar 1,80–2,17 yang dipelihara di tambak dengan kepadatan 50 eko/m2 dengan lama pemeliharaan 100 hari Menurut Sutanto (2005) bahwa untuk meningkatkan efisiensi dalam budidaya udang vaname salah satu hal yang perlu dilakukan yakni menggunakan pakan yang berkualitas baik dan berprotein rendah (30 % protein) sehingga bisa mengurangi pencemaran/lebih ramah lingkungan, pengelolaan air lebih mudah, pertumbuhan lebih baik, FCR lebih rendah sehingga biaya pakan menjadi lebih rendah. Huet (1971) menyatakan bahwa konversi makanan dipengaruhi oleh sintasan, kepadatan, bobot individu, perbedaan persentase makanan harian, waktu dan lokasi penelitian serta pertumbuhan biomassa udang. Semakin rendah nilai konversi makanan semakin baik karena sedikit jumlah makanan yang dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot udang.