(
Litopenaeus vannamei
)
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Hidayat Suryanto Suwoyo
ABSTRACT
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO. Level of Sediment Oxygen Demand in
the Bottom Soil of the Intensive Pond Culture of White Shrimp (Litopenaeus vannamei). Under direction of KUKUH NIRMALA and D. DJOKOSETIYANTO.
A study on the level of sediment oxygen demand in the bottom soil of intensive pond culture of white shrimp (Litopenaeus vannamei) was conducted at Instalation of Research Institute for Coastal Aquaculture (RICA), Takalar Regency, South Sulawesi from Mey to August 2008. The aim of this reasearch was to determine the level of sediment oxygen demand, sedimentation rate in the bottom soil of intensive pond culture and related variables with the level of sediment oxygen demand. This study was based on the causal design with
descriptive method. The results showed that the level of sediment oxygen
demand and sedimentation rate tends to increase progressively until the end of the shrimp culture period. The range of sediment oxygen demand was 3.4-48 mg O2/m2/hour, while sedimentation rate was 0.26-5.55 g/m2/day. The level of sediment oxygen demand was influenced by main variables (redox potential, number of bacteria population and total organic matter), water quality variables (dissolved oxygen, biological oxygen demand (BOD5), total suspended solid (TSS) and ammonia), production variables (average of weight and shrimp biomass)
RINGKASAN
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO. Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen
pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei).
Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan D. DJOKOSETIYANTO.
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis
udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak diminati, karena memiliki banyak keunggulan. Peningkatan produksi udang vaname dapat dilakukan melalui usaha budidaya secara intensif hingga super intensif dengan penerapan teknologi maju. Penelitian tingkat konsumsi oksigen sedimen pada dasar tambak intensif udang vaname (L. vannamei) telah dilakukan di Instalasi Tambak Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Takalar, Sulawesi Selatan pada bulan Mei–Agustus 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi oksigen sedimen, laju sedimentasi pada dasar tambak intensif udang vaname dan variabel-variabel yang berhubungan dengan tingkat konsumsi oksigen sedimen.
Penelitian ini menggunakan dasain kausal dengan metode deskriptif yang bersifat ex post-facto atau kajian fenomena alami yang mempelajari proses-proses yang terjadi ditambak sesuai dengan kondisi yang ada dengan mengobservasi kegiatan budidaya udang vaname secara intensif pada petak tambak yang terkendali selama ± 100 hari. Kegiatan pengelolaan tambak dilakukan sesuai dengan prosedur operasional baku atau SOP (standard operational procedure) dari BRPBAP-Maros. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian meliputi : 2 petak tambak berukuran ± 4000 m2/petak, berpola intensif dengan padat tebar 50 ekor/m2, sarana dan prasarana produksi serta alat pengambilan dan pengukur contoh sesuai dengan variabel yang diukur. Sampel air, bakteri dan sedimen diambil secara langsung di lokasi tambak udang. Sampel diambil sebanyak 3 titik pada masing-masing petak yakni pada bagian dekat sudut tambak, bagian sisi tambak yang terdapat sirkulasi air aktif serta bagian tengah tambak. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 8 kali dengan interval waktu setiap 2 minggu sekali selama pemeliharaan udang vaname. Perameter yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas parameter utama yaitu kualitas sedimen terdiri atas bahan organik total, pH, potensial redoks,total populasi bakteri, tekstur, konsumsi oksigen sedimen dan laju sedimentasi. Parameter penunjang yaitu fisika kimia air yang meliputi suhu, kecerahan, kedalaman air, padatan tersuspensi total, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, bahan organik total dan BOD5. Parameter produksi yaitu pertumbuhan, sintasan, produksi dan rasio konversi pakan. Untuk mengetahui keterkaitan antar variabel, data yang diperoleh dianalisis regresi dengan bantuan perangkat lunak SPSS dan MINITAB versi 14.0 serta analisis deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
sedimentasi semakin tinggi sejalan dengan semakin lamanya pemeliharaan udang vaname. Tingkat konsumsi oksigen sedimen yang diperoleh berkisar 3,4–48,0 mg O2/m2/jam dan laju sedimentasi berkisar 0,26–5,55 g/m2/ hari. Tingkat konsumsi oksigen sedimen sangat dipengaruhi oleh variabel utama yang meliputi potensial redoks, total populasi bakteri dan bahan organik total. Sementara variabel kualitas air meliputi oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), total padatan tersuspensi (TSS) dan amoniak serta variabel produksi meliputi berat rata-rata dan biomassa udang.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
TINGKAT KONSUMSI OKSIGEN SEDIMEN PADA DASAR
TAMBAK INTENSIF UDANG VANAME
(
Litopenaeus vannamei
)
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar
Tambak Intensif Udang vaname (Litopenaeus vannamei)
Nama : Hidayat Suryanto Suwoyo
NRP : C151060281
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc. Dr. Ir. D.Djokosetiyanto,DEA.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perairan
Prof. Dr.Ir. Enang Harris, M.S. Prof. Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,M.S.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rakhmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname(Litopenaeus vannamei). Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi tentang tingkat konsumsi oksigen sedimen tambak dan laju sedimentasi selama pemeliharaan udang vaname serta beberapa variabel-variabel yang berpengaruh.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. D.Djokosetiyanto, DEA
selaku komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, selaku
penguji luar komisi atas arahan, bimbingan dan masukan dalam penyusunan karya ilmiah ini.
2. Ayahanda Suwoyo dan Ibunda Bunaiya atas doa, kasih sayang dan ketulusan yang tiada terhingga serta saudara-saudaraku Mas Eko , Mba Dwi, Mba Tri, Mas Dian dan Adikku Sri Sulastri atas dukungannya selama ini.
3. Bapak Dr. Rachman Syah, M.S selaku kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Bapak Dr. A.Akhmad Mustafa. M.S, Bapak Drs.Gunato, M.Sc, Bapak Ir. Markus Mangampa, Bapak Ir A.Parenrengi, M.Sc dan Bapak Ir. Usman, M.Si serta staf Peneliti dan Teknisi BRPBAP-Maros atas arahan, dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
4. Isteriku tercinta Sri Redjeki Hesti Mulyanigrum, S.Si atas doa, pengertian, kesabaran dan kesetiaannya selama penulis melaksanakan tugas belajar di IPB Bogor.
5. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan
atas beasiswa pendidikan pascasarjana yang diberikan. Yayasan R.v.G. Van Deventer Maas, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri dan Program Mitra Bahari – COREMAP II atas bantuan studi dan penulisan karya ilmiah yang telah diberikan.
6. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan
mahasiswa program studi Ilmu Perairan angkatan 2006 (Pak Maskur, Bu Tutik Kadarini, Bu Kusdiarti, Bu Irin IK, Bu Lies S, Bu Yosmaniar, Bu Sarifah N, Bu Diana Yolanda S, Mas Adi Sucipto, Pak Azis, Mas Nur Hidayat, Mas Ferdinand HT, Mba Eni K, Bu Yudiana J, Muh Mustakim, Haryo Triajie, Catur Agus,Widi Setyogati, Angeli S, Rini Susilowati, Nurul Hanum, Marlina Ahmad, A. Aliah H, Ahmad Zahid, Yuyun, Nuning V, dan Naning K) atas kebersamaan, kekompakan, kerjasama yang baik serta bantuannya dalam perkuliahan, penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah ini.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan didalamnya sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan hasil penelitian ini dimasa mendatang. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. Amien.
Bogor, Januari 2009
(
Litopenaeus vannamei
)
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Hidayat Suryanto Suwoyo
ABSTRACT
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO. Level of Sediment Oxygen Demand in
the Bottom Soil of the Intensive Pond Culture of White Shrimp (Litopenaeus vannamei). Under direction of KUKUH NIRMALA and D. DJOKOSETIYANTO.
A study on the level of sediment oxygen demand in the bottom soil of intensive pond culture of white shrimp (Litopenaeus vannamei) was conducted at Instalation of Research Institute for Coastal Aquaculture (RICA), Takalar Regency, South Sulawesi from Mey to August 2008. The aim of this reasearch was to determine the level of sediment oxygen demand, sedimentation rate in the bottom soil of intensive pond culture and related variables with the level of sediment oxygen demand. This study was based on the causal design with
descriptive method. The results showed that the level of sediment oxygen
demand and sedimentation rate tends to increase progressively until the end of the shrimp culture period. The range of sediment oxygen demand was 3.4-48 mg O2/m2/hour, while sedimentation rate was 0.26-5.55 g/m2/day. The level of sediment oxygen demand was influenced by main variables (redox potential, number of bacteria population and total organic matter), water quality variables (dissolved oxygen, biological oxygen demand (BOD5), total suspended solid (TSS) and ammonia), production variables (average of weight and shrimp biomass)
RINGKASAN
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO. Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen
pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei).
Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan D. DJOKOSETIYANTO.
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis
udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak diminati, karena memiliki banyak keunggulan. Peningkatan produksi udang vaname dapat dilakukan melalui usaha budidaya secara intensif hingga super intensif dengan penerapan teknologi maju. Penelitian tingkat konsumsi oksigen sedimen pada dasar tambak intensif udang vaname (L. vannamei) telah dilakukan di Instalasi Tambak Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Takalar, Sulawesi Selatan pada bulan Mei–Agustus 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi oksigen sedimen, laju sedimentasi pada dasar tambak intensif udang vaname dan variabel-variabel yang berhubungan dengan tingkat konsumsi oksigen sedimen.
Penelitian ini menggunakan dasain kausal dengan metode deskriptif yang bersifat ex post-facto atau kajian fenomena alami yang mempelajari proses-proses yang terjadi ditambak sesuai dengan kondisi yang ada dengan mengobservasi kegiatan budidaya udang vaname secara intensif pada petak tambak yang terkendali selama ± 100 hari. Kegiatan pengelolaan tambak dilakukan sesuai dengan prosedur operasional baku atau SOP (standard operational procedure) dari BRPBAP-Maros. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian meliputi : 2 petak tambak berukuran ± 4000 m2/petak, berpola intensif dengan padat tebar 50 ekor/m2, sarana dan prasarana produksi serta alat pengambilan dan pengukur contoh sesuai dengan variabel yang diukur. Sampel air, bakteri dan sedimen diambil secara langsung di lokasi tambak udang. Sampel diambil sebanyak 3 titik pada masing-masing petak yakni pada bagian dekat sudut tambak, bagian sisi tambak yang terdapat sirkulasi air aktif serta bagian tengah tambak. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 8 kali dengan interval waktu setiap 2 minggu sekali selama pemeliharaan udang vaname. Perameter yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas parameter utama yaitu kualitas sedimen terdiri atas bahan organik total, pH, potensial redoks,total populasi bakteri, tekstur, konsumsi oksigen sedimen dan laju sedimentasi. Parameter penunjang yaitu fisika kimia air yang meliputi suhu, kecerahan, kedalaman air, padatan tersuspensi total, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit, nitrat, bahan organik total dan BOD5. Parameter produksi yaitu pertumbuhan, sintasan, produksi dan rasio konversi pakan. Untuk mengetahui keterkaitan antar variabel, data yang diperoleh dianalisis regresi dengan bantuan perangkat lunak SPSS dan MINITAB versi 14.0 serta analisis deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
sedimentasi semakin tinggi sejalan dengan semakin lamanya pemeliharaan udang vaname. Tingkat konsumsi oksigen sedimen yang diperoleh berkisar 3,4–48,0 mg O2/m2/jam dan laju sedimentasi berkisar 0,26–5,55 g/m2/ hari. Tingkat konsumsi oksigen sedimen sangat dipengaruhi oleh variabel utama yang meliputi potensial redoks, total populasi bakteri dan bahan organik total. Sementara variabel kualitas air meliputi oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), total padatan tersuspensi (TSS) dan amoniak serta variabel produksi meliputi berat rata-rata dan biomassa udang.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
TINGKAT KONSUMSI OKSIGEN SEDIMEN PADA DASAR
TAMBAK INTENSIF UDANG VANAME
(
Litopenaeus vannamei
)
HIDAYAT SURYANTO SUWOYO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar
Tambak Intensif Udang vaname (Litopenaeus vannamei)
Nama : Hidayat Suryanto Suwoyo
NRP : C151060281
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc. Dr. Ir. D.Djokosetiyanto,DEA.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perairan
Prof. Dr.Ir. Enang Harris, M.S. Prof. Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,M.S.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rakhmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Tingkat Konsumsi Oksigen Sedimen pada Dasar Tambak Intensif Udang Vaname(Litopenaeus vannamei). Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi tentang tingkat konsumsi oksigen sedimen tambak dan laju sedimentasi selama pemeliharaan udang vaname serta beberapa variabel-variabel yang berpengaruh.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. D.Djokosetiyanto, DEA
selaku komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, selaku
penguji luar komisi atas arahan, bimbingan dan masukan dalam penyusunan karya ilmiah ini.
2. Ayahanda Suwoyo dan Ibunda Bunaiya atas doa, kasih sayang dan ketulusan yang tiada terhingga serta saudara-saudaraku Mas Eko , Mba Dwi, Mba Tri, Mas Dian dan Adikku Sri Sulastri atas dukungannya selama ini.
3. Bapak Dr. Rachman Syah, M.S selaku kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Bapak Dr. A.Akhmad Mustafa. M.S, Bapak Drs.Gunato, M.Sc, Bapak Ir. Markus Mangampa, Bapak Ir A.Parenrengi, M.Sc dan Bapak Ir. Usman, M.Si serta staf Peneliti dan Teknisi BRPBAP-Maros atas arahan, dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
4. Isteriku tercinta Sri Redjeki Hesti Mulyanigrum, S.Si atas doa, pengertian, kesabaran dan kesetiaannya selama penulis melaksanakan tugas belajar di IPB Bogor.
5. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan
atas beasiswa pendidikan pascasarjana yang diberikan. Yayasan R.v.G. Van Deventer Maas, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri dan Program Mitra Bahari – COREMAP II atas bantuan studi dan penulisan karya ilmiah yang telah diberikan.
6. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan
mahasiswa program studi Ilmu Perairan angkatan 2006 (Pak Maskur, Bu Tutik Kadarini, Bu Kusdiarti, Bu Irin IK, Bu Lies S, Bu Yosmaniar, Bu Sarifah N, Bu Diana Yolanda S, Mas Adi Sucipto, Pak Azis, Mas Nur Hidayat, Mas Ferdinand HT, Mba Eni K, Bu Yudiana J, Muh Mustakim, Haryo Triajie, Catur Agus,Widi Setyogati, Angeli S, Rini Susilowati, Nurul Hanum, Marlina Ahmad, A. Aliah H, Ahmad Zahid, Yuyun, Nuning V, dan Naning K) atas kebersamaan, kekompakan, kerjasama yang baik serta bantuannya dalam perkuliahan, penyusunan dan penyelesaian karya ilmiah ini.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan didalamnya sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan hasil penelitian ini dimasa mendatang. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. Amien.
Bogor, Januari 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pinrang, Sulawesi Selatan pada tanggal 10 Juli 1976 dari pasangan Bapak Suwoyo dan Ibu Bunaiya sebagai anak kelima dari enam bersaudara.
Pendidikan sekolah dasar di SDN 16 Pinrang dari tahun 1983 hingga 1989, melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pinrang dari tahun 1989 hingga 1992 dan pendidikan sekolah menengah atas penulis selesaikan di SMAN 1 Pinrang pada tahun 1995. Pendidikan sarjana di tempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar dari tahun 1995 dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama mendapat penghargaan sebagai Mahasiswa Terbaik I Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS. Pengalaman kerja di bidang perikanan dimulai pada tahun 1999 saat penulis bekerja di Divisi Budidaya, PT. Mina Transindo Totabuan di Gorontalo, Sulawesi Utara. Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai tenaga honorer di Balai Penelitian Perikanan Pantai, dan diangkat sebagai staf peneliti pada tahun 2002 di tempat yang sama dan sekarang berganti nama menjadi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), Maros Sulawesi Selatan dengan bidang kajian penelitian keteknikan budidaya udang dan ikan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……… xii
DAFTAR GAMBAR ………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv
I PENDAHULUAN ………. 1
1.1 Latar Belakang ……….. 1
1.2 Perumusan Masalah ……….. 3
1.3 Pendekatan Masalah ………. 3
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 4
1.5 Hipotesis ………... 4
II TINJAUAN PUSTAKA ……… 5
2.1 Sistem Budidaya Intensif ……….. 5
2.2 Sedimen ……… 7
2.3 Bahan Organik ……….. 9
2.4 Potensial Redoks ………... 12
2.5 Bakteri ………... 15
2.6 Kualitas Air ………... 18
III METODOLOGI PENELITIAN ………... 24
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………... 24
3.2 Bahan dan Alat ………. 24
3.3 Metode Penelitian ………. 25
3.3.1 Penentuan Titik Amatan ……… 25
3.3.2 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen ... 25
3.3.3 Pengambilan Contoh Bakteri pada di tambak ……... 27
3.3.4 Konsumsi Oksigen Sedimen Tambak ………... 27
3.3.5 Laju Sedimentasi ………... 28
3.3.6 Pertumbuhan Mutlak dan Laju Pertumbuhan Harian. 29
3.3.7 Tingkan Kelangsungan Hidup ……….. 29
3.3.8 Produksi Bersih ………. 30
3.3.9 Rasio Konversi Pakan ………... 30
3.4 Analisis Data ……… 31
3.4.1 Analisis Deskriptif ……… 31
3.4.2 Analisis Regresi dan Korelasi ………... 31
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 32
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 32
4.2 Parameter Utama ……….. 32
4.3 Parameter Penunjang ……… 46
4.4 Analisis Regresi dan Korelasi ……….. 60
V SIMPULAN DAN SARAN 76
5.1 Simpulan ………... 76
5.2 Saran ………. 76
DAFTAR PUSTAKA ………... 77
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi sedimen dasar berdasarkan ukuran diameter butiran.. 7
2. Reaksi redoks yang terjadi pada sedimen tambak ... 15 3. Alat pengambilan contoh dan pengumpulan data ... 25 4. Kisaran parameter fisika kimia air selama penelitian ... 47 5. Pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, produksi dan rasio
konversi pakan udang vaname selama 100 hari pemeliharaan ... 57
6. Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan variabel bahan
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema titik pengambilan contoh air dan sedimen ... 26
2. Alat pengambilan contoh sedimen di tambak udang... 26
3. Persentasi fraksi tekstur tanah pada tambak penelitian ... 33 4. Kandungan bahan organik total tanah tambak budidaya
udang vaname selama penelitian ... 34 5. Perubahan potensial redoks tanah tambak ... 36 6. Perubahan nilai pH tanah tambak selama penelitian... 38 7. Total populasi bakteri pada sedimen tambak udang ... 39
8. Laju sedimentasi pada tambak intensif udang vaname... 41
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Konsumsi oksigen sedimen tambak selama penelitian ... a Pola dinamika oksigen terlarut (mg/L) pada media
budidaya udang vaname selama penelitian ... Pola dinamika amoniak (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian ... Pola dinamika nitrit (mg/L) pada media budidaya
udang vaname selama penelitian ... Pola dinamika padatan tersuspensi total (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian ... Pola dinamika BOD5 (mg/L) pada media budidaya udang vaname selama penelitian ... Pola dinamika bahan organik total (mg/L) pada media Budidaya udang vaname selama penelitian ... Pertumbuhan udang vaname selama penelitian ... Hubungan antara berat udang vaname dan umur ……….... Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan varibel Bahan organik, total bakteri, potensial redoks, pH,umur ....
Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan varibel kualitas air (oksigen terlarut, BOD5, TSSdan amoniak) ... Hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan laju
sedimentasi ... Hubungan antara laju sedimentasi dengan padatan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta lokasi penelitian ... 91 2. Hasil Analisis regresi 5 variabel yang berhubungan dengan
Konsumsi oksigen sedimen tambak ... 92 3. Ringkasan persamaan regresi dalam menentukan
variabel-variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi oksigen
sedimen ... 92 4. Analisis ragam dari variabel yang berpengaruh terhadap
konsumsi oksigen sdimen ... 93 5. Konstanta dan koefisien regresi pada persamaan 3 dari
variabel yang berpengaruh terhadap kons.Oksigen sedimen 93
6. Rata-rata dan standar deviasibeberapa variabel kualitas
sedimen tambak udang vaname ... 94 7. Matriks korelasi antara variabel terikat dengan variabel
bebas dan antar variabel bebas sendiri ... 94 8. Hasil pengukuran konsumsi oksigen sedimen, bahan
organik total, potensial redoks, pH dan umur ... 95 9. Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan berat
rata-rata dan umur pemeliharaan ... 97 10. Hubungan antara konsumsi oksigen sedimen dengan
beberapa parameter kualitas air ...
97 11. Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan konsumsi
oksigen sedimen dengan laju sedimentasi ...
98 12. Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan konsumsi
oksigen sedimen dengan berat rata-rata udang ...
98 13.
14.
Analisis ragam bagi persamaan regesi hubungan konsumsi oksigen sedimen dengan berat biomassa udang ... Perhitungan jumlah sedimen (limbah organik) yang
terakumulasi dalam tambak dan beberapa pendekatan
pustaka yang lain ...
99
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis
udang introduksi yang akhir-akhir ini banyak diminati, karena memiliki
banyak keunggulan seperti relatif tahan penyakit, pertumbuhan cepat (masa
pemeliharaan 100 – 110 hari), tahan terhadap perubahan lingkungan, sintasan
selama pemeliharaan tinggi dan FCR-nya rendah. Sejak diperkenalkan udang
vaname sebagai salah satu komoditas budidaya unggulan, kinerja perudangan
nasional tampak menunjukkan produksi udang yang signifikan. Produksi udang
tahun 2003 mencapai 192.666 ton dan tahun 2004 meningkat menjadi 242.650 ton
(Anonim 2005). Peningkatan produksi udang vaname dapat dilakukan melalui
usaha budidaya secara intensif hingga super intensif dengan penerapan teknologi
maju.
Kegiatan budidaya udang vaname yang dilakukan secara intensif
memerlukan berbagai input budidaya seperti pakan, pupuk, kapur, benih udang,
pestisida dan pergantian air baru akan memberikan pengaruh pada kandungan
bahan organik pada air dan sedimen tambak. Kandungan bahan organik ini
cukup tinggi, terutama yang berasal dari sisa pakan, sisa metabolisme/urine,
organisme yang mati, pemupukan, pengapuran, pestisida yang digunakan serta
konstribusi bahan organik dari sumber air yang masuk ke tambak melalui
pergantian air. Akumulasi bahan organik di dalam media pemeliharaan tersebut
memerlukan oksigen terlarut untuk menguraikannya (Boyd 1991). Hasil
monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994) terhadap tambak intensif
menyebutkan bahwa 15 % dari pakan yang diberikan akan larut dalam air,
sementara 85 % yang dimakan sebagian besar juga dikembalikan lagi ke
lingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17 % dari jumlah pakan yang
diberikan dikonversi menjadi daging udang, 48 % terbuang dalam bentuk
ekresi(metabolisme, kelebihan nutrien), ecdysis (moulting) dan pemeliharaan (energi), 20 % dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam
bentuk limbah padat berupa feses. Kondisi ini berpotensi untuk terjadinya
defisit oksigen yang selajutnya dapat menyebabkan kondisi anaerob dalam sistem
dalam air menyebabkan kekeruhan dan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam
air sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintetik (Ginting
1995; Siregar dan Hasanah 2006).
Akumulasi bahan organik dalam jumlah yang sesuai dengan daya dukung
lahan akan berdampak positif, karena dapat dihasilkan unsur-unsur hara yang
sangat bermanfaat bagi organisme perairan. Sebaliknya akumulasi bahan organik
dalam jumlah yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan akan berdampak
negatif karena akan meningkatkan laju penurunan oksigen (oxygen deplesion rate) dalam air dan peningkatan kebutuhan oksigen di sedimen dasar (sedimen oxygen demand) serta menurunkan potensial redoks ke tingkat reduksi (Meagaung 2000). Bila hal ini berlanjut maka akan memperburuk kondisi lingkungan budidaya
khususnya lapisan air dasar permukaan tanah dasar dan akan dihasilkan senyawa
tereduksi seperti NH3, CH4 dan H2S yang bersifat toksik dan menciptakan habitat
yang tidak sesuai bagi udang (Boyd 1992). Sehingga udang mengalami stress,
nafsu makan berkurang, mudah terserang penyakit bahkan lebih parah lagi akan
menyebabkan kematian (Poernomo 1996).
Di sedimen tambak proses penguraian bahan organik menjadi lebih
kompleks karena melibatkan aktivitas tidak hanya bakteri aerob namun juga
anaerob dan proses fermentasi. Sedimen tambak kaya akan nutrien dan bahan
organik. Konsentrasi nutrien disedimen tambak jauh lebih tinggi dari yang ada
di badan air diperkirakan 1 cm ketebalan sedimen tambak umumnya terdapat 10
kali atau lebih jumlah nutrien yang ada pada 1 m kedalaman badan air. Bahan
organik yang melimpah di sedimen tambak, menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme sangat pesat, sehingga konsumsi oksigen di sedimen tambak
menjadi banyak dan dapat mengakibatkan daerah dasar tambak di bawah
permukaan menjadi daerah anoksid (tidak beroksigen).
Kebutuhan oksigen terlarut merupakan faktor utama yang mempengaruhi
proses dan kondisi di perbatasan antara air dan sedimen tambak. Kebutuhan
konsumsi oksigen pada sedimen merupakan indikator tingkat intensitas proses
mineralisasi dan metabolisme komunitas bentik ( Boyd 1995 ; Gunarto 2006).
Menurut Madenjian (1990) bahwa penggunaan total oksigen dalam tambak
45 dan 4 %. Tingkat konsumsi oksigen sedimen merupakan petunjuk adanya
kegiatan mikroorganisme di dalam substrat dan merupakan gambaran kebutuhan
oksigen yang dapat diketahui melalui konsumsi atau proses penggunaan oksigen
terlarut di dalam tambak atau badan air.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
tingkat konsumsi oksigen sedimen dan laju sedimentasi pada dasar tambak
intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tingkat konsumsi oksigen sedimen dasar tambak dan
variabel-variabel yang berhubungan sehingga dapat digunakan sebagai dasar
dalam pengelolaan lahan tambak yang baik dan menentukan strategi alokasi input
budidaya yang optimal dalam sistem budidaya udang vaname secara intensif.
1.2. Perumusan masalah
Banyaknya limbah organik yang terakumulasi dalam tambak yang terus
meningkat seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan akan menyebabkan
menurunnya konsentrasi oksigen dalam perairan tambak. Hal ini terjadi karena
oksigen dibutuhkan mikroorganisme (bakteri) aerob yang terdapat di sedimen
untuk merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Bila
aktivitas bakteri pengurai ini berlangsung intensif, maka tambak akan menjadi
anaerob sehingga dapat menyebabkan ketersediaan oksigen dan daya dukung
perairan tambak menjadi rendah yang selanjutnya berdampak pada produksi
biomassa udang yang rendah melalui penurunan laju pertumbuhan dan tingginya
tingkat mortalitas udang.
1.3. Pendekatan Masalah
Dalam sistem budidaya udang vaname secara intensif memerlukan
masukan pakan tambahan (pellet) menjadi salah satu komponen utama untuk
mencapai target produksi. Tingginya beban masukan bahan organik dari sisa
pakan dan hasil ekskresi udang akibat efisiensi pemanfaatan pakan yang rendah,
padat penebaran benur yang tinggi serta tidak dapat diimbangi oleh kemampuan
Dengan meningkatnya bahan organik dalam tambak, maka akan
menyebabkan perubahan kualitas fisika-kimia habitat udang, yakni penurunan
kandungan oksigen terlarut dan peningkatan kebutuhan oksigen di sedimen dasar
karena digunakan untuk menguraikan bahan organik tersebut. Konsumsi oksigen
pada sedimen merupakan gambaran kebutuhan oksigen yang dapat diketahui
melalui konsumsi atau proses penggunaan oksigen terlarut sehingga informasi
tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan lahan tambak yang
baik dan menentukan strategi alokasi input budidaya yang optimal dalam sistem
budidaya udang vaname secara intensif. Usaha perbaikan mutu lingkungan
habitat udang yang disebabkan oleh akumulasi bahan organik dapat dilakukan
dengan cara memperbaiki pengelolaan pakan (feeding management), pergantian air, sistem penyiponan secara periodik, sistem pembuangan tengah, pemanfaatan
berbagai jenis bakteri pengurai bahan organik, pengembangan metode tandon
yang dikombinasikan dengan biofilter dan resirkulasi .
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi oksigen
sedimen dan laju sedimentasi pada dasar tambak intensif udang vaname selama
pemeliharaan dan variabel-variabel yang berhubungan dengan tingkat konsumsi
oksigen tersebut.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tingkat konsumsi oksigen sedimen tambak, laju sedimentasi dan variabel-variabel
yang berhubungan sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan
lahan tambak yang baik dan menentukan strategi alokasi input budidaya yang
optimal dalam sistem budidaya udang vaname secara intensif.
1.5. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah semakin intensif suatu
kegiatan budidaya, akumulasi bahan organik dan laju sedimentasi di dasar tambak
akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan, maka tingkat
konsumsi oksigen sedimen tambak semakin tinggi, ketersediaan oksigen dan
daya dukung perairan tambak menjadi rendah sehingga berdampak pada
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Budidaya Intensif
Teknologi budidaya udang dalam tambak dilakukan dengan beberapa
tingkatan yaitu : non intensif, semi intensif (madya), dan intensif, bahkan
akhir-akhir ini telah berkembang sistem super-intensif. Perbedaan dari sistem tersebut
terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola
pemberian pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo 2000,
diacu dalam Rahman 2005). Sistem budidaya non intensif dilakukan secara
sederhana dengan input dan manajemen yang minimal, sistem semi intensif
menggunakan input yang menengah, dan sistem budidaya intensif biasanya
membutuhkan input sumberdaya dan manajemen yang lebih banyak (Wyban dan
Sweeny 1991).
Perkembangan budidaya udang vaname sudah menyebar di sentra
budidaya udang nasional seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Jogjakarta, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTB, Bali dan
Sulawesi Selatan. (Poernomo 2002; Sugama 2002), dengan berbagai tingkatan
teknologi budidaya mulai dari teknologi non intensif, semi-intensif, intensif
bahkan super intensif. Ciri-ciri teknologi budidaya udang intensif adalah
penggunaan padat penebaran tinggi disertai pemberian pakan tambahan dan
pengelolaan mutu air. Semakin tinggi produksi yang hendak dicapai dari suatu
ekosistem makin besar subsidi energi yang harus diberikan. Energi yang diserap
pada tingkat yang lebih tinggi akan lebih rendah dari masukkannya, dimana
sebagian akan merupakan limbah sisa. Jika limbah yang dieksresikan lebih besar
dari kemampuan penguraian secara alami, maka akan terjadi penurunan mutu
lingkungan (Azwar 2001).
Produksi udang di tambak dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi
intensif. Sistem ini dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan input
biaya yang besar. Ciri-ciri sistem budidaya ini adalah memiliki petakan yang
kecil berukuran 0,2 – 0,5 ha/petak dengan padat tebar yang cukup tinggi (500.000
– 600.000) ekor/ha, serta pemberian pakan buatan yang tinggi. Pemberian pakan
akan menentukan keberhasilan budidaya udang karena pakan buatan merupakan
Dilihat dari aspek produksi, daya dukung lahan tambak dapat diartikan
sebagai jumlah produksi ikan (biomassa) optimum yang dapat dihasilkan per
satuan luas lahan tambak dengan teknologi tertentu pada musim tanam tertentu
(Gang et al. 1998). Lebih lanjut dikatakan bahwa daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi seperti peningkatan kadar oksigen
dalam air dengan aerator, pengolahan air baku (water treatment), pemupukan untuk meningkatkan kadar nitrat dan fosfat, dan penggunaan pakan berkualitas,
yang pada akhirnya akan menentukan kualitas dan kuantitas limbah tambak yang
dihasilkan.
Pada budidaya tambak udang sistem intensif, input pakan yang tinggi akan
meningkatkan kadar nutrien dan kelimpahan fitoplankton dalam air kolam, aerasi
mekanis menyebabkan partikel sedimen menjadi tersuspensi, dan melalui
pergantian massa air akan terbuang sejumlah nutrien dan padatan tersuspensi dari
kolam-kolam budidaya yang pada akhirnya memasuki perairan pesisir di
sekitarnya (Hopkins et al. 1993). Boyd (2003) menyatakan bahwa limbah tambak intesif sering memiliki pH, kadar amonia, fosfor, kebutuhan oksigen biologis
(BOD) dan padatan tersuspensi (TSS) yang lebih tinggi dibanding perairan
alamiah disekitarnya. Pada waktu panen, kadar TSS akan tinggi terutama pada
volume 20-25 % limbah akhir tambak (final effluent) dan TSS tersebut sekitar 92 % berasal dari input pakan (Chen et al. 1989).
Menurut Primavera dan Apud (1994) menyatakan, dalam proses budidaya
intensif, 35 % dari input pakan akan menjadi limbah berupa padatan tersuspensi
dan limbah tersebut akan memasuki perairan pesisir disekitarnya. Soewardi
(2002), mengemukakan bahwa pada luasan tambak udang 5000 m2 dengan
teknologi budidaya intensif (kepadatan udang 210.000 ekor/ha), total pakan 3,6
ton menghasilkan limbah TSS sebesar 1.230 kg selama pemeliharaan 120 hari.
Menurut Boyd (1999), beban limbah budidaya udang dapat mencapai 12,6-21
kgN dan 1,8-3,6 kgP per ton produksi udang pada tingkat FCR 1,5 dan akan
meningkat seiring dengan meningkatnya produktivitas udang.
2.2. Sedimen
Menurut Neufeldt (1988) diacu dalam Haeruddin (2006), yang dimaksud
dengan sedimen adalah bahan/materi yang mengendap di dasar cairan atau bahan
yang diendapkan oleh angin dan air. Sementara kamus Chamber (1972) diacu
dalam Selley (1988) menyatakan bahwa sedimen sebagai sesuatu yang terdapat di
dasar cairan, kerukan atau deposit. Sedimen adalah material yang terkontaminasi
di dalam suatu massa air, baik berupa bahan organik maupun an organik
(Taurusman, 1999). Menurut Sutikno (1984), sedimen adalah material yang
diendapkan dan bersifat lunak serta tidak kompak.
Menurut diameter butirannya, Selley (1988) mengklasifikasi sedimen atas
batuan (boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir halus (fine sand), pasir sangat halus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (clay) dan bahan terlarut (dissolved material). Ada beberapa skala kelas (grade scale) yang biasa digunakan untuk mengklasifikasikan sedimen menurut ukuran butirannya. Skala yang umum
digunakan adalah Skala Wenworth dan Skala Phi Krumbein.
Hutabarat dan Evans (1985) telah membagi sedimen berdasarkan ukuran
diameter butiran yaitu batuan (Boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar
[image:32.595.114.518.582.736.2](very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir haIus (fine sand), pasir sangat haIus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (ciay), dan bahan terlarut (dissolved material). Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar berdasarkan ukuran diameter butiran (Hutabarat dan Evans 1985)
No Jenis sedimen Diameter (mm)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Batuan (boulders),
Kerikil (gravels),
Pasir sangat kasar (very coarse sand),
Pasir kasar (coarse sand),
Pasir haIus (fine sand),
Pasir sangat haIus (very fine sand),
Pasir (medium sand),
Lumpur (silt),
Liat (ciay)
Bahan terlarut (dissolved material).
Wood (1987) mengemukkan bahwa terdapat hubungan antara kandungan
bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus, persentase
bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar, hal ini berhubungan
dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan
sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan.
Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah,
karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap. Lebih lanjut dikatakan
bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber
bahan makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju penambahanya
dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme
dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya
fauna yang didominasi oleh deposist feeder.
Sedimen dasar tambak merupakan bagian dari lingkungan tambak.
Sedimen tambak terutama dibagian permukaannnya berinteraksi dengan air di
atasanya dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sedimen yang terdiri atas
partikel dan mikroorganisme dapat mengalami resuspensi ke dalam air apabila ada
gerakan air dengan kecepatan 0,95 cm/detik (Boyd 1990). Proses degradasi bahan
organik secara biokimiawi melepaskan nutrien dan mengkonsumsi oksigen
diperairan. Kondisi sedimen mengalami proses-proses yang dapat memberikan
pengaruh terhadap kualitas air, terutama terjadi didasar perairan yaitu pada lapisan
dekat permukaan sedimen yang dikenal dengan interface layer (Sutikno 2003). Substrat bagi jenis-jenis udang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup udang (Ray dan Chien 1992). Udang pama (Penaeus
semisulcatus) dan Penaeus monodon hidup dengan baik pada substrat pasir dengan kisaran ukuran 0,9 – 0,12 mm. Sedangkan L vannamei tumbuh lebih baik pada substrat yang impermeabel daripada substrat tanah (Mendez et al. 2004). Bratvold dan Browdy (2001) melakukan pemeliharaan udang vaname dengan
substrat yang berbeda yakni tanpa sedimen, pasir dan aqua mats selama 104 hari
pemeliharaan dengan padat tebar 130 ekor/ m2 memperoleh sintasan dengan
kisaran 65,4 – 80,8 %. Sedangkan Suwoyo dan Hendrajat (2006) mendapatkan
pertumbuhan udang vaname lebih baik pada media tanah tambak dibanding
2.3. Bahan Organik
Limbah yang berasal dari budidaya tambak intensif mengandung bahan
organik yang tinggi. Limbah organik ini berasal dari sisa pakan yang terlarut dan
tersuspensi dalam air, sisa metabolit, eksresi hewan budidaya berupa feses dan
urin, pupuk, obat-obatan dan bahan perlakuan lainnya (Sitorus 2005). Penguraian
bahan organik melalui proses oksidasi aerobik, berlangsung sebagai bagian rantai
makanan di alam, sebagai bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan
digunakan untuk membangun substansi vital dari jenis-jenis mikroba (Mara 1976,
diacu dalam Bachtiar 1994).
Bahan organik total menggambarkan kandungan bahan organik total
dalam suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi dan
koloid (Hariyadi et al. 1992) serta yang mengendap di dasar perairan. Bahan organik dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari sisa pakan, sisa
metabolisme, pupuk, plankton yang mati dan beberapa sumber lainnya. Dalam
perairan bahan organik secara tidak langsung berpengaruh pada organisme
budidaya karena keberadaannya dapat mempengaruhi parameter kimia air lainnya
sebagai bahan yang akan terdekomposisi baik secara aerob dan anaerob. Selain
itu bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan
bakteri yang bersifat patogen.
Berdasarkan fungsinya bahan organik menurut Goldman dan Horne (1983)
dapat dibagi lima macam, yaitu : 1) bahan organik yang dapat mengalami proses
dekomposisi, contohnya N-organik, P-organik dan humus; 2) bahan organik yang
diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme, contohnya asetat, glukosa dan
glikolat; 3) bahan organik yang dihasilkan oleh alga dan beberapa hewan yang
berperan penting dalam pigmentasi darah dan klorofil, antara lain asam humik dan
sitrat; 4) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan yang dapat
mempercepat atau menghambat pertumbuhan dirinya atau pesaingnya; 5) bahan
organik yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan
dirinya, sering kali bahan organik ini merupakan racun bagi organisme lain,
contohnya lendir yang dihasilkan oleh alga biru-hijau (blue green algae).
Berdasarkan sumbernya, Metcalf dan Eddy (1991) membedakan bahan
domestik, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; 2)
bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein,
karbohidrat, lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; 3) bahan organik yang
berasal dari limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida.
Lebih lanjut dikatakan bahwa , nilai kandungan bahan organik diperairan dapat
diukur sebagai karbon organik total (TOC, total organic carbon), kebutuhan
oksigen untuk proses kimia (COD, chemichal oxygen demand), kebutuhan
oksigen untuk proses biokimia (BOD, biologychal oxygen demand).
Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai
bahan organik partikulat dalam agregat besar atau organisme mati yang bersumber
baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allocthonous) perairan. Secara umum bahan organik mengandung 40 – 60 % protein, 25 – 50 % karbohidrat dan
10 % lemak dan minyak, serta urea (APHA, 1985). Menurut Sladeck (1979),
diacu dalam Taurusman (1999), bahan organik dalam ekosistem perairan akan
terbentuk karena adanya proses anabolisme unsur hara oleh organisme primer
dengan bantuan sinar matahari, lalu diikuti proses kehidupan organisme sekunder
dan adanya masukan bahan organik dari ekosistem lainnya. Kandungan bahan
organik dalam perairan dapat diukur secara langsung dengan cara mengukur
kandungan bahan organik total (total organic matter, TOM) (Wetzel dan Likens 1991).
Seiring dengan penambahan jumlah pakan dalam kegiatan budidaya
udang, beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya
semakin meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat
penurunan kualitas media budidaya (Rosenbery 2006). Tanpa adanya penanganan
khusus tentang hal ini akan berdampak pada penurunan hasil produksi akibat
pertumbuhan yang lambat, peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan
menurunnya efisiensi konversi pakan (Brune et al. 2003).
Limbah organik yang masuk ke perairan di sekitar pertambakan berasal
dari buangan rumah tangga daerah urban, industri berbahan baku organik,
pertanian/ peternakan, dan buangan tambak itu sendiri. Limbah organik tambak
berasal dari sisa pakan, eksresi organisme budidaya dalam bentuk feses dan urine,
mengendap dan terakumulasi di dasar tambak. Limbah ini dikeluarkan pada saat
pergantian air tambak dan pada saat panen. Agar pergantian air tambak dapat
bermanfaat secara efektif , maka pembuangan sedimen organik dilakukan dengan
mengembalikan dalam keadaan tersuspensi, sehingga dapat dialirkan melalui
saluran pembuangan. Cara yang paling umum untuk mengembalikan dalam
keadaan tersuspensi adalah mengeruknya dengan air mengalir yang berkecepatan
0,25 – 0,5 m/detik. Aliran tersebut dapat dihasilkan dengan menggunakan kincir
atau sirkulator lainnya. Penggunaan alat tersebut bisa menyebabkan akumulasi
bahan organik dibagian tertentu tambak (Effendie 1998).
Peningkatan bahan organik dan unsur hara pada batas-batas tertentu akan
meningkatkan produktivitas organisme akuatik, namun apabila masukan tersebut
melebihi kemampuan organisme akuatik untuk memanfaatkannya akan timbul
permasalahan serius. Permasalahan yang timbul antara lain: tingkat kekeruhan
menjadi tinggi sehingga menurunkan tingkat penetrasi sinar matahari dan proses
fotosintesis di kolom air akan terhambat; makin meningkatnya jumlah tanaman
berakar pada bagian litoral dan menghilangkan jenis plankton dan benthos tertentu
serta jenis organisme akuatik lainnya, serta munculnya jenis organisme baru yang
biasanya merugikan kepentingan perikanan (Jorgensen 1980). Soeriatmaja (1981)
menambahkan bahwa peningkatan bahan organik berlebihan akan membawa
akibat-akibat seperti meningkatnya unsur kimia yang berlebihan, menurunkan pH
dan oksigen terlarut, serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses dekomposisi.
Selanjutnya keadaan tersebut akan berpengaruh pada kualitas lingkungan pesisir
yang juga akan berakibat terjadinya penurunan potensi perikanan dan dapat
mengancam usaha pertambakan udang sendiri dalam jangka panjang karena air
buangan tambak akan mempengaruhi sumber air areal pertambakan.
Hasil penelitian Bachtiar (1994) di TIR Karawang menunjukkan bahwa
pada tambak intensif, setiap siklus per hektar dari 4.188 kg pakan akan terbagi
menjadi produksi udang 2.327 kg dan 1.861 kg pakan yang tidak termanfaatkan
dan sisa metabolisme. Selanjutnya pakan yang tidak dimanfaatkan dan sisa
metabolisme tersebut akan mengendap di dasar tambak sebesar 18 % (1.327,61
kg) berbentuk padatan tersuspensi, serta sisanya sebesar 533,39 kg terbuang ke
dengan model keseimbangan bahan terhadap beban limbah organik kegiatan
budidaya udang secara intensif diperoleh konstribusi beban limbah BOD sebesar
533,39 kg/siklus/ha dan COD sebesar 656 kg/siklus/hektar.
Menurut Huisman (1987) diacu dalam Harris (1993) menyatakan bahwa
bila konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram
padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka
pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg sehingga akan menghasilkan limbah
organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg yang selanjutnya akan
terbuang ke perairan sekitarnya.
2.4. Potensial Redoks
Redoks potensial (Eh) adalah besarnya nilai relatif dari proses oksidasi dan reduksi di lingkungan dasar perairan/tambak. Nilai yang lebih besar
menunjukkan kondisi yang lebih teroksidasi (John et al. 1989, diacu dalam Gunarto 2006). Menurut Rhoads (1974) bahwa potensial redoks (Eh) adalah
besarnya aktivitas elektron dalam proses oksidasi reduksi yang dinyatakan dalam
milivolt (mV).
Berdasarkan besarnya nilai redoks potensial (Eh) dan pH sedimen serta
warnanya, Odum (1971) mengelompokkan sedimen secara vertikal menjadi 3
mintakat yaitu mintakat oksidasi dengan nilai redoks potensialnya diatas + 200 mV, mintakat diskontinyu (redox rotential discontinuity, RPD) dengan nilai redoks potensialnya antara 0 sampai + 200 mV, dan mintakat reduksi dengan nilai redoks potensialnya dibawah nol atau negatif. Mintakat redoks Diskontinyu
merupakan daerah pembalikan nilai redoks potensial (Eh) dari positif ke negatif,
sehingga disebut juga sebagai mintakat peralihan
Konsentrasi oksigen di sedimen berhubungan erat dengan nilai potensial
redoks (Eh) sedimen tersebut. Rhoads (1974) mengemukakan bahwa pada nilai
potensial redoks (Eh) lebih kurang dari 400, konsentrasi oksigennya berkisar 4 –
10 mg/L. Kemudian pada nilai potensial redoksnya (Eh) sekitar + 300 mv, nilai
konsentrasi oksigennya sekitar 0,3 mg/L. Pada nilai redoks potensial (Eh) +200
mv, oksigennya sebesar 0,1 mg/L, dan nilai konsentrasi oksigen tidak terukur lagi
Nilai derajat keasaman sedimen bersama potensial redoks menunjukkan
sifat fisika kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik. Kandungan oksigen
dalam sedimen berpengaruh besar terhadap nilai redoks potensial dan pH sedimen
selain itu dapat pula dijadikan sebagai kontrol reaksi kimia ion-ion antar air dan
sedimen. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri yang hidup dalam substrat
dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam substrat menurun.
Keadaan ini dapat mengubah kondisi substrat kedalam lingkungan reduksi (Biggs
1967, diacu dalam Emiyarti 2004).
Reaksi oksidasi-reduksi (redoks) dalam reaksi biologi secara normal
dapat digambarkan sebagai proses kehilangan atau penambahan hidrogen atau
elektron. yang masing-masing oksidasi akan diimbangi oleh reduksi (Gray 2004),
secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut :
AH2 B
A BH2
Dimana AH2 adalah donor hidrogen dan B adalah akseptor hidrogen.
Masing-masing pasangan (AH2/ A atau B / BH2) yang mempunyai suatu kecenderungan
untuk menyumbangkan ekuivalen, oksidasi (AH2 Æ A) atau menerima dan di
kurangi/mereduksi (BÆ BH2). Bila kedua pasangan tersebut berada dalam reaksi
reduksi-oksidasi yang kompleks, aliran reaksi akan ditentukan oleh
kecenderungan yang relatif dari masing-masing pasangan untuk menyumbangkan
atau menerima elektron ekuivalen, hal ini disebut dengan potensial redoks.
Redoks dapat diukur dengan menggunakan sel galvanik yang terdiri dari 2
elektroda dengan penghubung cairan/media. Oksidasi terjadi pada elektroda
negatif (anoda) dan memproduksi elektron, sedangkan elektron yang
dimanfaatkan dan reduksi ditempatkan pada elektroda positif (cathoda).
Kebanyakan kondisi perairan, cenderung memiliki kondisi oksigen yang
rendah, hal ini berkaitan dengan permasalahan difusi oksigen dalam kolom air ke
sedimen. Hal ini tergantung pada konsentrasi oksigen dalam air, sifat fisika dan
kimia sedimen, dan aktivitas organisme dasar. Bila kondisi sedimen menjadi
anoksid, populasi fauna akan semakin berkembang. Pada kondisi ini, potensial
oleh bakteri yang anaerob dalam sedimen. Sedimen terdiri dari bahan-bahan
organik dan anorganik, dimana bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan
yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur.
Reaksi geokimia yang terjadi di perairan estuari terutama dikontrol oleh
kondisi fisika-kimia sedimen khususnya potensial redoks. Menurut Golterman
(1990),salah satu metode untuk melihat proses dekomposisi bahan-bahan organik
dalam sedimen adalah dengan melihat zona reduksi atau oksidasi (potensial
redoks). Potensial redoks adalah pengukuran kuantitatif reduksi-oksidasi dari
suatu sistem yang dapat diukur dengan elektroda platina. Potensial redoks
merupakan suatu besaran potensial listrik yang dapat menunjukkan proses
dekomposisi bahan-bahan organik dalam sedimen berlangsung dalam keadaan
reduksi atau oksidasi. Oksidasi adalah proses kehilangan elektron dari suatu
persenyawaan kimia, dari substansi atau dari atom dan radikalnya, sedangkan
reduksi adalah penambahan elektron pada persenyawaan kimia. Pada perairan
yang belum tercemar dan cukup bahan organik, zona oksidasi relatif lebih tebal.
Adapun pada perairan yang kurang oksigen, zona oksidasi ini hanya beberapa
sentimeter saja dari permukaan sedimen, dan zona reduksi akan bergerak ke
lapisan lebih dalam.
Perbedaan stratifikasi di sedimen dicirikan oleh perbedaan akseptor
elektron. Oksigen merupakan agen oksidasi yang paling penting dipermukaan
sedimen. Pada kedalaman dibawah 0 – 4 cm, dimana kandungan oksigen telah
menurun sehingga terjadi proses denitrifikasi, Nitrat (NO3) merupakan akseptor
elektron selanjutnya diikuti oleh besi (Fe3+), mangan (Mn++), sulfat (SO42-) dan
karbondioksida membantu sebagai elektron akseptor (Tabel 2), yang umumnya
terjadi pada kedalaman antara 10 – 50 cm. Aliran energi biologi di sedimen pada
umumnya hanya terjadi pada empat zona tersebut dan pemisahan zona tersebut
berdasarkan hasil energi bebas dari reaksi redoks potensial yang terjadi pada
masing-masing zona. Respirasi secara aerob terjadi pada lapisan dimana
didominasi oleh banyaknya oksigen, sedangkan zona lainnya respirasi terjadi
Tabel 2 . Reaksi redoks yang terjadi pada sedimen tambak (Reddy et al. 1986, diacu dalam Avnimelech dan Rivto 2003).
Sistem Oksidasi
(Elektron aseptor) Proses
Perkiraan nilai redoks potensial (mV)
O2 → CO2 NO3-→ N2 Senyawa Organik Fe3+→ Fe2+ Mn4+→ Mn2+ SO4→ S2- CO2 → CH4
Respirasi aerob Denitrifikasi
Fermentasi Reduksi Sulfat Reduksi Methanogenesis
500 – 600 300 – 400
< 400 200 -100 -200
2.5. Bakteri
Bakteri merupakan kelompok organisme yang paling melimpah
jumlahnya. Bakteri dapat ditemukan di tanah, air atau bahkan dalam bentuk
simbion dengan organisme lain. Berdasarkan sumber karbonnya bakteri
digolongkan atas bakteri heterotrof dan autotrof. Bakteri heterotrof merupakan
jenis bakteri yang membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon untuk
pertumbuhannya. Organisme heterotrof tidak dapat mensistesis bahan organik
ataupun senyawa berkarbon dari bahan anorganik. Oleh karena itu golongan ini
harus mendapat sumber nutriennya dari bakteri heterotrof yang lain atau autotrof.
Bakteri heterotrof biasa dikenal sebagai dekomposer dan konsumen pada rantai
makanan. Sedangkan autotrof hanya menggunakan karbondioksida atau karbonat
inorganik sebagai satu-satunya sumber karbon (Wikipedia 2007)
Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi nutrien organik di
dalam kegiatan produksi akuakultur dan sedimen tambak (Hargreaves 1988). Di
dalam kolam atau tambak, bakteri sering ditemukan di sedimen dasar, yang
biasanya mengandung banyak bahan organik dan aerasi kurang bahkan anaerob
(Moriaty 1999 ; Burford et al. 2003).
Bakteri heterotrof yang ada dalam perairan biasanya akan memanfaatkan
pakan yang tidak termakan (un aeaten feed), feses dan bahan organik lain sebagai sumber protein untuk dirubah menjadi amonia inorganik. Proses perubahan
nitrogen dari protein menjadi amonia inorganik disebut mineralisasi. Hampir
85% nitrogen yang terdapat di pakan yang diberikan ke udang biasanya akan
mengandung terlalu banyak nitrogen, mikroorganisme perombak akan tumbuh
dengan baik dan kelebihan nitrogen akan dilepaskan ke lingkungan dalam bentuk
nitrogen inorganik (mineralisasi ) (Boyd 1990).
Peningkatan bahan organik dalam tambak dapat menyebabkan
meningkatnya populasi bakteri. Bahan organik yang ada akan digunakan bakteri
sebagai sumber pakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Ginting 1995).
Lebih lanjut dikatakan bahwa populasi bakteri Vibrio sp lebih banyak terdapat dalam tanah dibandingkan dalam air. Hal ini menunjukkan tingginya penimbunan
bahan organik pada tanah akibat sisa pakan dan kotoran udang.
Muliani et al. (1998) mengemukakan bahwa bakteri yang patogen
oportunistik terhadap udang adalah Aeromonas spp dan Vibrio sp sering
menimbulkan kematian udang baik di panti pembenihan maupun di tambak. Jenis
bakteri ini umumnya ditemukan di perairan laut dan pantai bahkan di dalam
saluran pencernaan udang itu sendiri. Bakteri ini akan berkembang dan menjadi
patogen jika terjadi penurunan mutu air akibat penumpukan bahan organik yang
berasal dari sisa pakan dan kotoran udang.
Fukuda (2000) menyatakan, bahan organik limbah budidaya bersifat dapat
terurai secara biologis (biodegradable matter) dalam air. Melalui aktivitas mikrobial, bahan organik dapat terhidrolisis melalui proses enzimatis dan
mengubah bentuk senyawa organik tidak larut menjadi larut dalam air. Disamping
itu, mikroba juga berperan dalam mineralisasi senyawa organik menjadi senyawa
anorganik terlarut yang menghasilkan nutrien seperti fosfat dan nitrat (Nagata et
al. 2003). Dalam proses penguraian bahan organik dalam perairan, umumnya
kelompok bakteri yang dominan berperan adalah bakteri aerobik, baik dari jenis
bakteri autotrofik maupun heterotrofik. Sedangkan jenis bakteri anaerobik obligat
ataupun fakultatif lebih berperan dalam dekomposisi bahan organik di sedimen
dasar perairan, atau pada keadaan dimana terjadi anoksid dalam air (Rheinheimer
1992 ; Leonard et al. 2000 ; Fukuda 2000). Beberapa jenis bakteri yang berperan dalam degradasi bahan organik di perairan pesisir (termasuk air payau) dan laut
seperti Pseudomonas sp, Nitrosomonas sp, Marinobacter sp, Nitrobacter sp,
Dalam proses oksidasi secara biologis, bahan organik dari limbah tambak
yang terdiri dari komponen karbohidrat, protein, lemak dan lain-lain, akan
mengalami pemecahan o!eh aktivitas mikroba (enzim) dan menghasilkan berbagai
senyawa yang lebih sederhana. Proses ini berlangsung dalam beberapa tahap,
karena tidak otomatis seluruh senyawa organik langsung dapat diubah menjadi
bentuk yang sederhana. Fukuda (2000) menyatakan, reaksi oksidasi dari bakteri
melalui respirasi endogenous akan berjalan dalam 3 tahapan reaksi, yakni :
enzim
1) Oksidasi senyawa organik : (CH2O)m CO2 + H2O enzim
2) Sintesa materi sel : (CH2O)m + NH3 + O2 Sel + CO2
enzim
3) Oksidasi materi sel : Sel + O2 CO2 + H2O + NH3
Dalam respirasi tersebut, sintesa materi sel merupakan tahapan terpenting
proses oksidasi senyawa organik karena mikroba melepaskan ion nitrat ke dalam
air setelah mengoksidasi ion amonium. Persamaan (2) di atas merupakan kunci
keberhasilan proses penguraian limbah organik secara biologis aerobik, karena
ketersediaan bahan organik dan amonia akan menjadi faktor penentu
perkembangan populasi mikroba pengurai (sintesa sel). Bila selama proses
penguraian limbah organik tersebut terdapat nitrogen, maka akan dioksidasi
menjadi nitrit dan akhimya membentuk produk nitrat yang mempunyai bentuk
stabil dan tidak beracun (Nagata et al. 2003).
Biodegradasi senyawa organik akan berlangsung berdasarkan sistem enzim,
sehingga faktor-faktor lingkungan yang menyertainya berperan sangat penting di
dalamnya. Faktor lingkungan penting yang mempengaruhi biodegradasi aerobik
tersebut adalah ketersediaan nutrien (senyawa organik dan amonia), dan oksigen
dalam media air (Brown 1990 ; Nagata et al. 2003). Selama sumber nutrisi cukup dan jumlah oksigen tidak berkurang, bakteri aerob akan berkembang populasinya
dengan baik dan menghasilkan energi yang cukup untuk menguraikan senyawa
organik. Aktivitas mikroba akan merata selama perbandingan jumlah nutrisi
cukup. Kondisi ini terdapat dalam biodegradasi limbah tambak karena kaya bahan
Di samping faktor ketersediaan nutrien dan oksigen, faktor lingkungan
lainnya yang cukup berpengaruh terhadap laju degradasi bahan organik limbah
tambak adalah: suhu, pH, salinitas, dan alkalinitas air (Choo dan Tanaka 2000).
Setiap jenis mikroba, baik itu bakteri, jamur, protozoa maupun mikro alga
mempunyai kisaran optimum terhadap faktor lingkungan untuk pertumbuhannya.
Misalnya, bakteri Nitrobacter berkembang dengan baik pada pH optimum 7,2 - 7,8 dan bila pH turun ( pH < 6) maka proses nitrifikasi akan terhambat (Mitchell
1992). Faktor lain yang mempengaruhi laju biodegradasi bahan organik adalah
karakteristik mikroba pengurai dan jenis subsrat (limbah). Setiap jenis mikroba
mempunyai laju yang berbeda dalam oksidasi senyawa organik, sintesa materi sel,
dan laju oksidasi materi sel. Demikian juga jenis substrat, apakah didominasi
bahan karbohidrat, protein atau lemak, akan sangat menentukan jenis bakteri yang
berkembang dan kemampuannya untuk mengkonversi bahan organik menjadi
senyawa yang lebih sederhana.
2.6. Kualitas Air
Salah satu faktor yang berperan menentukan keberhasilah produksi udang
budidaya adalah pengelolaan kualitas air, karena udang adalah hewan air yang
segala kehidupan, kesehatan dan pertumbuhannya tergantung pada kualitas air
sebagai media hidupnya (Tricahyo 1995). Kualitas air secara luas dapat diartikan
sebagai setiap faktor fisik, kimiawi dan biologi yang mempengaruhi penggunaan
air. Untuk keperluan budidaya udang kualitas air secara umum dapat diartikan
sebagai setiap peubah (variabel) yang mempengaruhi pengelolaan dan
kelangsungan hidup, kembang biak, pertumbuhan atau produksi. (Boyd1982)
Pengukuran kualitas air selama pemeliharaan udang menurut Hendrajat
dan Mangampa (2007) penting dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang
terjadi sebagai akibat perubahan salah satu parameter kualitas air. Dengan
mengetahui gejala-gejala tersebut maka dapat diambil suatu tindakan untuk
mengatasi perubahan-perubahan yang kurang baik terhadap kelangsungan hidup
dan pertumbuhan udang yang dipelihara. Beberapa peubah kualitas air penting
meliputi oksigen terlarut, salinitas, suhu, warna, pH, serta senyawa beracun seperti
amoniak dan asam belerang yang berkaitan erat satu sama lain (Ahmad 1991).
Suhu air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan,
morfologi, reproduksi, tingkah laku, pergantian kulit dan metabolisme udang.
Disamping itu suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas, kecepatan
reaksi unsur dan senyawa yang terkandung dalam air. Udang vaname hidup pada
toleransi suhu 16 – 36 0C dan optimal pada suhu 28 – 31 0C (Anonim 2003).
Menurut Suprapto (2005) bahwa temperatur optimal untuk budidaya udang
vaname berkisar 27 – 32 0C. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa
suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-32 0C. Jika suhu lebih dari
angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat
sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Temperatur optimal untuk udang
vaname menurut Zweig et al. 1999 berkisar antara 28 – 30 0C. Menurut Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang
memberikan pertumbuhan optimal berkisar 29 – 30 0C, sedangkan suhu yang
dapat menyebabkan pertumbuhan rendah < 26 – 28 0C dan batas tingkat lethal <
10 – 15 0C. Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan
mati jika berada pada suhu dibawah 15 0C atau diatas 33 0C dalam waktu 24 jam
atau lebih. Sub lethal stress terjadi pada 15 – 22 0C dan 30 – 33 0C. Temperatur
optimum untuk udang vaname adalah antara 23 – 30 0C (Wyban dan Sweeny
1991; Soemardjati dan Suriawan 2007).
Menurut Adiwijaya et al. (2003) bahwa kecerahan air yang baik pada petak pembesaran udang vannamei berkisar antara 40–60 cm, sedangkan Anonim
(2003) mengemukakan bahwa kecerahan/ transparansi untuk budidaya udang
vannamei berkisar 30 – 60 cm. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan
cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi serta ketelitian dalam
melakukana pengukuran (Effendie 2000). Poernomo (1989) mengemukkan
bahwa penyebab utama menurunnya daya cerah dan seringnya terjadi blooming
karena makin suburnya dasar tambak akibat timbunan sisa-sisa makanan serta
tinggi kepadatan plankton , batas kecerahan yang layak adalah antara 30 – 40 cm.
batas kecerahan tersebut biasanya didominasi oleh kepadatan plankton jenis
(hijau kecoklatan). Menurut Suprapto (2005), kecerahan optimal untuk budidaya
udang vaname berkisar 30 – 40 cm. Bila kondisi tambak sudah siap, segera
tambak diisi air sampai penuh (120 cm), jangan dilakukan secara bertahap untuk
mencegah tumbuhnya klekap.
Bray et al. (1994) menyatakan bahwa udang vanname dapat dipelihara di daerah perairan pantai (coastal) dengan kisaran salinitas 1-40 ppt. Udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15-25 ppt, bahkan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk
pertumbuhannya. (Samocha dan Lawrence 1993 ; Zweig 1999 ; Clifford 1994 ;
Soemardjati dan Suriawan, 2007). Menurut Mc Grow dan Scarpa (2002) bahwa
udang vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5 – 45 ppt. Sugama
(2002) melaporkan bahwa kisaran salinitas selama pemeliharaan udang vannamei
di tambak air tawar berkisar 1,2-5,0 ppt. Haliman dan Adijaya (2005)
mengemukakan bahwa udang vanname memiliki sifat euryhalin. udang muda
yang berumur 1–2 bulan memerlukan kadar garam 15–25 ppt agar
pertumbuhannya dapat optimal, setelah umurnya lebih dari 2 bulan , pertumbuhan
relatif baik pada kisaran salinitas 5 –30 ppt. Lebih lanjut dikatakan bahwa salinitas
yang tinggi (diatas 40 ppt) sering terjadi pada musim kemarau menyebabkan
pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Pada
salinitas yang tinggi pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih
banyak terserap untuk proses osmore