• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Budidaya Intensif

Teknologi budidaya udang dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan yaitu : non intensif, semi intensif (madya), dan intensif, bahkan akhir- akhir ini telah berkembang sistem super-intensif. Perbedaan dari sistem tersebut terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola pemberian pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo 2000, diacu dalam Rahman 2005). Sistem budidaya non intensif dilakukan secara sederhana dengan input dan manajemen yang minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan sistem budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumberdaya dan manajemen yang lebih banyak (Wyban dan Sweeny 1991).

Perkembangan budidaya udang vaname sudah menyebar di sentra budidaya udang nasional seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jogjakarta, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan. (Poernomo 2002; Sugama 2002), dengan berbagai tingkatan teknologi budidaya mulai dari teknologi non intensif, semi-intensif, intensif bahkan super intensif. Ciri-ciri teknologi budidaya udang intensif adalah penggunaan padat penebaran tinggi disertai pemberian pakan tambahan dan pengelolaan mutu air. Semakin tinggi produksi yang hendak dicapai dari suatu ekosistem makin besar subsidi energi yang harus diberikan. Energi yang diserap pada tingkat yang lebih tinggi akan lebih rendah dari masukkannya, dimana sebagian akan merupakan limbah sisa. Jika limbah yang dieksresikan lebih besar dari kemampuan penguraian secara alami, maka akan terjadi penurunan mutu lingkungan (Azwar 2001).

Produksi udang di tambak dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi intensif. Sistem ini dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan input biaya yang besar. Ciri-ciri sistem budidaya ini adalah memiliki petakan yang kecil berukuran 0,2 – 0,5 ha/petak dengan padat tebar yang cukup tinggi (500.000 – 600.000) ekor/ha, serta pemberian pakan buatan yang tinggi. Pemberian pakan akan menentukan keberhasilan budidaya udang karena pakan buatan merupakan input utama dalam peningkatan pertumbuhan (Suyanto dan Mujiman 2002).

Dilihat dari aspek produksi, daya dukung lahan tambak dapat diartikan sebagai jumlah produksi ikan (biomassa) optimum yang dapat dihasilkan per satuan luas lahan tambak dengan teknologi tertentu pada musim tanam tertentu (Gang et al. 1998). Lebih lanjut dikatakan bahwa daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi seperti peningkatan kadar oksigen dalam air dengan aerator, pengolahan air baku (water treatment), pemupukan untuk meningkatkan kadar nitrat dan fosfat, dan penggunaan pakan berkualitas, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas dan kuantitas limbah tambak yang dihasilkan.

Pada budidaya tambak udang sistem intensif, input pakan yang tinggi akan meningkatkan kadar nutrien dan kelimpahan fitoplankton dalam air kolam, aerasi mekanis menyebabkan partikel sedimen menjadi tersuspensi, dan melalui pergantian massa air akan terbuang sejumlah nutrien dan padatan tersuspensi dari kolam-kolam budidaya yang pada akhirnya memasuki perairan pesisir di sekitarnya (Hopkins et al. 1993). Boyd (2003) menyatakan bahwa limbah tambak intesif sering memiliki pH, kadar amonia, fosfor, kebutuhan oksigen biologis (BOD) dan padatan tersuspensi (TSS) yang lebih tinggi dibanding perairan alamiah disekitarnya. Pada waktu panen, kadar TSS akan tinggi terutama pada volume 20-25 % limbah akhir tambak (final effluent) dan TSS tersebut sekitar 92 % berasal dari input pakan (Chen et al. 1989).

Menurut Primavera dan Apud (1994) menyatakan, dalam proses budidaya intensif, 35 % dari input pakan akan menjadi limbah berupa padatan tersuspensi dan limbah tersebut akan memasuki perairan pesisir disekitarnya. Soewardi

(2002), mengemukakan bahwa pada luasan tambak udang 5000 m2 dengan

teknologi budidaya intensif (kepadatan udang 210.000 ekor/ha), total pakan 3,6 ton menghasilkan limbah TSS sebesar 1.230 kg selama pemeliharaan 120 hari. Menurut Boyd (1999), beban limbah budidaya udang dapat mencapai 12,6-21 kgN dan 1,8-3,6 kgP per ton produksi udang pada tingkat FCR 1,5 dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya produktivitas udang. Teichert- Coddington et al. (1996) melaporkan bahwa buangan limbah nitrogen dari tambak udang komersial meningkat seiring meningkatnya FCR

2.2. Sedimen

Menurut Neufeldt (1988) diacu dalam Haeruddin (2006), yang dimaksud dengan sedimen adalah bahan/materi yang mengendap di dasar cairan atau bahan yang diendapkan oleh angin dan air. Sementara kamus Chamber (1972) diacu dalam Selley (1988) menyatakan bahwa sedimen sebagai sesuatu yang terdapat di dasar cairan, kerukan atau deposit. Sedimen adalah material yang terkontaminasi di dalam suatu massa air, baik berupa bahan organik maupun an organik (Taurusman, 1999). Menurut Sutikno (1984), sedimen adalah material yang diendapkan dan bersifat lunak serta tidak kompak.

Menurut diameter butirannya, Selley (1988) mengklasifikasi sedimen atas batuan (boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir halus (fine sand), pasir sangat halus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (clay) dan bahan terlarut (dissolved material). Ada beberapa skala kelas (grade scale) yang biasa digunakan untuk mengklasifikasikan sedimen menurut ukuran butirannya. Skala yang umum digunakan adalah Skala Wenworth dan Skala Phi Krumbein.

Hutabarat dan Evans (1985) telah membagi sedimen berdasarkan ukuran diameter butiran yaitu batuan (Boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar

(very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir haIus (fine sand), pasir sangat haIus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (ciay), dan bahan terlarut (dissolved material). Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar berdasarkan ukuran diameter butiran (Hutabarat dan Evans 1985)

No Jenis sedimen Diameter (mm)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Batuan (boulders), Kerikil (gravels),

Pasir sangat kasar (very coarse sand),

Pasir kasar (coarse sand),

Pasir haIus (fine sand),

Pasir sangat haIus (very fine sand),

Pasir (medium sand),

Lumpur (silt),

Liat (ciay)

Bahan terlarut (dissolved material).

> 256 2 – 256 1 – 2 0,5 – 1 0,25 – 0,5 0,125 - 0,25 0,0625 – 0,125 0,0020 – 0,0625 0,0005 – 0,0020 < 0,0005

Wood (1987) mengemukkan bahwa terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah, karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap. Lebih lanjut dikatakan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju penambahanya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya fauna yang didominasi oleh deposist feeder.

Sedimen dasar tambak merupakan bagian dari lingkungan tambak.

Sedimen tambak terutama dibagian permukaannnya berinteraksi dengan air di atasanya dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sedimen yang terdiri atas partikel dan mikroorganisme dapat mengalami resuspensi ke dalam air apabila ada gerakan air dengan kecepatan 0,95 cm/detik (Boyd 1990). Proses degradasi bahan organik secara biokimiawi melepaskan nutrien dan mengkonsumsi oksigen diperairan. Kondisi sedimen mengalami proses-proses yang dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas air, terutama terjadi didasar perairan yaitu pada lapisan dekat permukaan sedimen yang dikenal dengan interface layer (Sutikno 2003). Substrat bagi jenis-jenis udang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

kelangsungan hidup udang (Ray dan Chien 1992). Udang pama (Penaeus

semisulcatus) dan Penaeus monodon hidup dengan baik pada substrat pasir dengan kisaran ukuran 0,9 – 0,12 mm. Sedangkan L vannamei tumbuh lebih baik pada substrat yang impermeabel daripada substrat tanah (Mendez et al. 2004). Bratvold dan Browdy (2001) melakukan pemeliharaan udang vaname dengan substrat yang berbeda yakni tanpa sedimen, pasir dan aqua mats selama 104 hari

pemeliharaan dengan padat tebar 130 ekor/ m2 memperoleh sintasan dengan

kisaran 65,4 – 80,8 %. Sedangkan Suwoyo dan Hendrajat (2006) mendapatkan pertumbuhan udang vaname lebih baik pada media tanah tambak dibanding dengan substrat tanah sawah dan pasir