BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Kualitas hidup
2.4.1 Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan sesuatu yang bersifat subyektifitas dan multidimensi. Subyektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari sudut pandang pasien itu sendiri sedangkan multidimensi bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologis atau fisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual (Panthee & Kritpracha, 2011).
fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan tentang penyakit yang diderita dan lingkungan (WHO, 1997). Stigelman (2006) juga menyatakan bahwa kualitas hidup berhubungan dengan penyakit dan terapi yang dijalani. Ferrans (1996) mengatakan bahwa model konsep kualitas hidup secara umum dibagi menjadi empat domain yaitu domain kesehatan dan fungsinya, domain sosial dan ekonomi, domain psikologis/ spiritual, dan domain keluarga. Secara umum domain kualitas hidup dibagi menjadi empat yaitu:
a. Domain kesehatan fisik
Domain pertama dalam kualitas hidup adalah domain kesehatan fisik (WHO, 1997), sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Ferrans (1996) domain pertama adalah domain kesehatan dan fungsinya. Domain ini mencakup beberapa elemen yaitu kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari, physical independence, ketergantungan pada obat-obatan atau bantuan medis, nyeri, energi (kelelahan), istirahat dan tidur dan kemampuan fisik untuk melakukan pekerjaan yang harus diselesaikan nya. Kesehatan fisik merupakan hal utama yang harus dinilai dalam mengevaluasi kualitas hidup individu (Hays et al., 1997).
b. Domain Kesejahteraan Psikologis
Domain ini menggambarkan bagaimana individu memandang dirinya sendiri terkait dengan kemampuan tubuh dan penampilannya. Domain ini juga menggambarkan tentang perasaan positif dan bagaimana individu menilai dirinya sendiri, serta kemampuan belajar, berpikir dan berkonsentrasi (WHO, 1997).
c. Domain Hubungan Sosial dan Lingkungan
Domain ini terkait dengan relasi personal, dukungan keluarga dan sosial yang diterima dan aktivitas seksual (WHO, 1997). Domain ini terkait dengan keadaan keuangan individu, menggambarkan tingkat keamanan individu yang dapat mempengaruhi kebebasannya dirinya, meliputi kepuasan dengan kehidupan, kebahagiaan secara umum, perawatan kesehatan yang diterima dan social care
(Ferrans, 1996) d. Domain Spiritual
Domain ini meliputi kepuasan dengan diri sendiri, tercapainya tujuan pribadi, kedamaian dalam pikiran, penampilan pribadi dan kepercayaan kepada Tuhan (Ferrans, 1996). Spiritualitas merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan dalam penilaian kualitas hidup karena gangguan spiritualitas akan menyebabkan gangguan berat secara psikologis termasuk keinginan bunuh diri (Bele et al., 2012). Finkelstein, West, Gobin, & Wuerth (2007) juga mengatakan bahwa spiritualitas merupakan bagian yang sangat penting dinilai oleh peneliti untuk melihat kualitas hidup pasien, namun hanya sebagian kuisioner kualitas hidup yang mengkaji lebih dalam mengenai persepsi spiritualitas. Dalam penelitian ini, untuk melihat gambaran spiritualitas pada pasien penyakit ginjal kronik dilakukan wawancara terbuka terhadap beberapa pasien sebagai data tambahan dalam menilai kualitas hidup yang telah dinilai menggunakan kuisioner
KDQOL 1,3.
2.4.3 Instrument untuk Mengukur Kualitas Hidup
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis pada penelitian ini adalah kuisioner
Kidney Disease Quality of Life Short Form 1,3 (KDQOL-SF 1,3) yang merupakan pengembangan dari Short Form 36 (SF-36). Alat ukur ini merupakan alat ukur khusus yang digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik dan pasien yang menjalani dialisis (Hays et al., 1997).
Kelebihan kuisioner ini adalah menilai kualitas hidup dari dua aspek yaitu spesifik penyakit tertentu (disease-specific) dan generik (generic instrument) yang sudah meliputi domain fisik, psikologis, sosial maupun lingkungan. Domain yang mencakup target untuk penyakit ginjal meliputi: gejala/permasalahan klinis yang dialami, efek dari penyakit ginjal, tingkat penderitaan oleh karena sakit ginjal, status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi social, fungsi seksual, kualitas tidur, dukungan sosial, kualitas pelayanan staf unit dialysis, dan kepuasan pasien. Sementara skala survei SF-36 yang bersifat generik mengukur fungsi fisik, peran fisik, persepsi rasa sakit, persepsi kesehatan umum, emosi, peran emosional, fungsi social, dan energi/kelelahan .
Menurut Mc Dowell, (2006) kuisioner yang spesifik untuk penyakit tertentu biasanya berisikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang sering terdapat pada penyakit tersebut, misalnya pasien penyakit ginjal diukur dengan Kidney Disease Quality of Life Short From (KDQOL SF), keuntungan alat pengukuran ini adalah dapat mendeteksi lebih tepat keluhan/hal khusus yang sangat berperan pada penyakit tertentu, misalnya kram otot, kulit kering, sesak nafas merupakan hal yang penting pada pasien penyakit ginjal maka hal tersebut tergambarkan pada pertanyaan kuisioner.
Kelemahan kuisioner ini adalah tidak dapat digunakan pada penyakit lain dan kuisioner ini terdiri dari banyak pertanyaan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengisinya. Selain itu kuisioner ini tidak menilai domain spiritualitas, sementara spiritualitas merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan dalam penilaian kualitas hidup karena gangguan spiritualitas akan menyebabkan gangguan berat secara psikologis termasuk keinginan bunuh diri (Bele et al., 2012).
Secara spesifik Hays et al. (1997) telah menentukan domain kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu mencakup 19 domain yaitu:
1. Gejala/masalah yang menyertai
Gejala dan masalah yang menyertai pasien penyakit ginjal adalah masalah yang menyertai setelah didiagnosis sakit ginjal. Masalah yang menyertai ini antara lain : nyeri otot, nyeri dada, kram otot, kulit gatal-gatal, kulit kering, nafas pendek (sesak), pusing, penurunan nafsu makan, gangguan eliminasi, mati rasa pada tangan dan kaki, mual, permasalahan pada tempat penusukan, dan permasalahan pada tempat memasukkan kateter (pada dialisis peritoneal).
2. Efek Penyakit Ginjal
Efek ini timbul sebagai konsekuensi akibat penyakit ginjal yang diderita dan sering menyusahkan pasien. Efek ini antara lain: pembatasan cairan, pembatasan diet, kemampuan bekerja disekitar rumah, kemampuan untuk melakukan perjalanan, ketergantungan terhadap petugas kesehatan, perasaan
khawatir dan stres terhadap penyakit yang diderita, kehidupan seksual, dan penampilan.
3. Beban akibat Penyakit Ginjal
Beban sebagai akibat penyakit ginjal sering kali dirasakan pasien. Beban akibat penyakit ini antara lain sejauh mana Penyakit ginjal yang diderita dirasakan sangat mengganggu kehidupan, banyaknya waktu yang dihabiskan, rasa frustasi terhadap penyakit, dan perasaan menjadi beban dalam keluarga.
4. Status Pekerjaan
Indikator pada dimensi ini adalah apakah pasien masih aktif bekerja, dan apakah kondisi kesehatannya saat ini dapat menjaga pekerjaan pasien saat ini.
5. Fungsi Kognitif
Pasien dengan penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis sering kali mengalami penurunan fungsi kognitif. Sering kali menjadi lambat dalam berkata atau melakuakn sesuatu, sulit untuk berkonsentrasi, dan bingung tanpa sebab.
6. Kualitas Interaksi Sosial
Aspek ini mengukur bagaimana kualitas interaksi yang dilakukan pasien dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Pada pasien dengan penyakit ginjal tidak jarang pasien mengasingkan diri dari orang lain, mudah tersinggung, dan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain.
7. Fungsi Seksual
8. Tidur
Aspek ini mengukur bagaimana tidur pada pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis. Aspek ini termasuk kualitas tidur dan kecukupan waktu tidur.
9. Dukungan yang diperoleh
Aspek ini termasuk waktu yang tersedia bersama teman dan keluarga serta dukungan yang diterima oleh pasien dari keluarga dan teman.
10.Dorongan dari staf dialisis
Aspek ini termasuk dorongan yang diberikan oleh staf dialisis untuk mandiri dan beradaptasi terhadap penyakit yang diderita serta rutinitas terapi yang harus dijalani.
11.Kepuasan pasien
Aspek ini mengukur kepuasan pasien terhadap layanan dialisis yang mereka dapatkan.
12.Fungsi fisik
Aspek ini mencakup kemampuan untuk beraktifitas seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan dan kemampuan aktifitas berat.
13.Keterbatasan akibat masalah fisik
Aspek ini mencakup seberapa besar masalah fisik yang dialami pasien mengganggu pekerjaan dan aktifitas sehari-hari, seperti memperpendek waktu untuk bekerja atau beraktifitas, keterbatasan dan kesulitan dalam beraktifitas.
14.Rasa nyeri yang dirasakan
Aspek ini mencakup intensitas rasa nyeri dan pengaruhnya terhadap aktivitas normal baik didalam maupun di luar rumah.
15.Persepsi kondisi kesehatan secara umum
Aspek ini mencakup pandangan pasien terhadap kondisi kesehatan sekarang, prediksi di masa yang akan datang, dan daya tahan terhadap penyakit.
16.Kesejahteraan emosional
Aspek ini mencakup kesehatan mental secara umum, depresi, perasaan frustasi, kecemasan, kebiasaan mengontrol emosi, perasaan tenang dan bahagia.
17.Keterbatasan akibat masalah emosional
Aspek ini mencakup bagaimana masalah emosional mengganggu pasien dalam beraktifitas sehari hari, seperti lebih tidak teliti dari sebelumnya.
18.Fungsi sosial
Aspek ini mencakup keterbatasan berinteraksi sosial sebagai akibat dari maslah fisik dan emosional yang dialami.
19.Energi/ Kelelahan
Aspek ini menggambarkan tingkat kelelahan, capek, lesu dan perasaan penuh semangat yang dialami pasien setiap waktu.
2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor sosial demografi yang terdiri dari 1) jenis kelamin, dimana pasien perempuan cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasien berjenis kelamin laki-laki (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Sathvik, 2008; Veerapan et al., 2012; Tel & Tel, 2011). 2) Usia, pasien yang berusia lanjut lebih cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dan cenderung lebih depresi (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Veerapan et al., 2012). 3) Pendidikan, pasien berpendidikan rendah juga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Pakpour et al., 2010). 4) Status pernikahan, pasien yang bercerai atau yang tidak mempunyai pasangan hidup cenderung nilai kesehatan fisik, sosial rendah dan rentan terhadap depresi (Paraskevi, 201; Tel & Tel, 2011). 5) Status pekerjaan atau status ekonomi pasien juga mempengaruhi kualitas hidup (Bele et al.,; Pakpour et al., 2010).
Selain faktor sosial demografi ada beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 1) depresi, pasien yang mengalami depresi mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak depresi (Son et al., 2009; Kizilcik et al., 2012). 2) Beratnya/ stage penyakit ginjal serta memiliki riwayat penyakit penyerta atau penyakit kronis juga mempengaruhi kualitas hidup (Bele et al., 2012; Pakpour et al, 2010; Cleary & Drennan, 2005; Ayoub & Hijjazi, 2013). 3) Lamanya menjalani hemodialisis, 4) tidak patuh terhadap pengobatan dan tidak teratur menjalani hemodialisis, 5) indeks masa tubuh yang tinggi (Pakpour et al, 2010). 6) Dukungan sosial dan dukungan keluarga, pasien yang mendapatkan dukungan sosial dan keluarga akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Rambod & Rafii, 2010; Tel & Tel, 2011; Thomas & Washington,
2012). 7) Adekuasi hemodialisis, pasien yang memiliki adekuasi hemodialisis yang baik akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik juga (Cleary & Drennan, 2005), 8) interdialityc weight gain (IDWG), dan urine output, pasien yang memiliki kenaikan berat badan interdialisis lebih kecil akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sementara pasien yang memiliki volume urin yang lebih banyak akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, (Veerapan et al, 2012), dan yang terakhir 9) kadar hemoglobin, pasien yang mempunyai hemoglobin 11 g /dl dalam waktu 6-12 bulan akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Plantinga, Fink, Jaar, Huang, Wu, et al., 2007).
2.4.5 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis
Hasil penelitian menunjukkan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya dan mengalami gangguan atau skor yang lebih rendah disebagian besar domain kualitas hidup (Cleary & Drennan, 2005; Sathvik et al., 2008; Bele et al., 2012; Yong et al, 2009; Pakpour et al., 2010; Ayoub & Hijjazi, 2013; Tel&Tel, 2011). Kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis dalam empat domain yaitu fisik, psikologis, sosial dan lingkungan juga lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menjalani transplantasi ginjal (Sathvik et al, 2008). Pengukuran kualitas hidup dengan menggunakan kuisioner Kidney Disease Quality of Life SF 36 didapat bahwa nilai keterbatasan peran akibat gangguan fisik dan vitalitas mendapat skor yang paling rendah diantara aspek lainnya (Cleary & Drennan, 2005; Kizilcik et al., 2012; Pakpour et al., 2010). Pengukuran kualitas hidup menggunakan WHOQOL-BREF didapat skor paling
rendah pada domain kesehatan fisik (Sathvik et al., 2008; Paraskevi, T., 2011), sedangkan pengukuran dengan Quality Of Life Index didapat domain kesehatan dan fungsinya dan domain sosioekonomi mempunyai skor yang paling rendah (Rambod & Rafii, 2010; Ayoub & Hijjazi, 2013).
2.4.6 Peran Perawat di Unit Hemodialisis
Peran perawat secara umum adalah sebagai pemberi perawatan, membuat keputusan klinik, pelindung dan advokat, manejer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik (Potter & Perry, 2005). Praktek keperawatan hemodialisis merupakan praktek keperawatan lanjut, yang dilakukan oleh perawat dialisis yang terdiri dari perawat praktisi dan perawat spesialis klinik dan memiliki sertifikat pelatihan dialisis (Headley & Wall, 2000). Kallenbach et al., (2005) menyebutkan bahwa perawat dialisis selain sebagai care provider/ clinician
(pemberi asuhan keperawatan), educator, counselor, administrator, advocate dan researcher juga sebagai collaborator.
Praktek keperawatan lanjut di unit hemodialisis lebih ditekankan pada pendekatan kolaborasi tim yang meliputi: Nefrologis, ahli gizi, pekerja sosial, psikolog/ psikiater, ahli bedah akses vaskuler, radiologis, perawat dialisis dan perawat spesialis klinik. Peran perawat dialisis di unit hemodialisis dalam melakukan praktek keperawatan lanjut pada pasien hemodialisis dapat mencegah terjadinya komplikasi yang berefek pada peningkatan kualitas hidup pasien hemodialisis (Headley & Wall, 2000). Peran perawat di unit hemodialisa antara lain:
a. Pemberi Asuhan Keperawatan
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan adalah untuk membantu menyelesaikan masalah dan mencegah terjadinya komplikasi. Pasien hemodialisis juga bersifat unik yang akan mempunyai keluhan yang berbeda-beda, baik masalah hematologi, nutrisi, endokrin, muskuloskeletal, dan respon imun yang abnormal. Perawat juga memberi asuhan secara holistik, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Perawat memberikan bantuan kepada pasien dan keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut. Perawat hemodialisis diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga dalam melakukan pengelolaan klien hemodialisis yang memiliki faktor risiko dan masalah penyakit yang ditemukan pada klien penyakit ginjal tahap akhir, seperti: diabetes millitus, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, hiperparatiroidisme sekunder dari anemia, hiperlipidemia.
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, seorang perawat di unit hemodialisis mampu mengelola semua aspek klinis klien hemodialisis, sehingga seorang perawat dialisis harus memiliki pemikiran kritis, pengetahuan yang maju dan terampil dalam memfasilitasi pelaksanaan pedoman praktek klinis, mampu melakukan perawatan diagnostik, dapat dilatih untuk melakukan prosedur invasif tertentu, mampu mempertahankan akses vaskuler dan pencegahan infeksi (Headley & Wall,2000).
b. Manajer Kasus
Peran sebagai manager kasus, dimana perawat mampu berperan mengkoordinasikan anggota tim kesehatan. Pada pasien penyakit ginjal kronik
yang juga mengalami penyakit penyerta lain atau akibat lanjut dari penyakit ginjal kronis, sehingga penanganan pasien dilakukan secara tim, dimana perawat adalah sebagai manajer kasus mampu melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan lainnya serta mengatur sumber yang tersedia. Perawat mampu mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung jawab asuhan dan juga mengawasi tenaga kesehatan lainnya (Headley & Wall,2000).
c. Educator
Perawat pendidik (educator) harus mempunyai latar belakang pengalaman klinis, keahlian klinis dan pengetahuan teoritis. Peran Perawat pendidik dalam praktek keperawatan lanjut di unit hemodialisis mempunyai tanggung jawab terhadap staf dan pendidikan pasien. Pengetahuan terkait penyakit ginjal kronik merupakan hal yang penting. Banyak klien tidak mendapatkan informasi tentang pemahaman akses dialisis, bagaimana mempertahankan dan perawatan akses vaskuler, pengobatan dan perubahan pola makan. Sebagai perawat pendidik, juga dapat melakukan diskusi bersama pasien dan keluarga tentang transplantasi. Perawat spesialis klinik juga bertanggung jawab terhadap pendidikan staf termasuk dalam mengintegrasikan hasil penelitian klinis dalam praktek klinis, mengevaluasi kesesuaian sumber daya pendidikan yang tersedia bagi pasien dan staf merupakan aspek penting dari peran perawat spesialis sebagai pendidik (Berger et al., 1996 dalam Headley & Wall, 2000).
Peran perawat sebagai penyuluh/ pemberi pendidikan kesehatan juga terkait dengan menjelaskan kepada pasien konsep tentang penyakit ginjal tahap akhir terkait dengan prosedur hemodialisis, diet makanan, pengaturan cairan,
asupan garam dan elektrolit. Perawat menilai kebutuhan pasien dan membantu memenuhi kebutuhan pasien dengan melibatkan keluarga. Memberikan edukasi dan dukungan psikologis terhadap pasien dan keluarga dalam mengelola pasien penyakit ginjal kronik pra dialisis, mempersiapkan terapi pengganti sebaik mungkin. Mengevaluasi apakah klien mengerti dengan penjelasan perawat dan mengevaluasi kemampuan pembelajaran.
d. Konsultan
Perawat sebagai konsultan memberikan dukungan dan bimbingan untuk pasien, rekan kerja dan rekan subspesialisasi. Seorang ahli bedah vaskuler dapat melakukan konsultasi kepada perawat spesialis klinik tentang kemampuan pasien dalam melakukan perawatan akses vaskuler, menentukan pematangan akses vaskuler dan kemungkinan keberhasilan kanulasi kateter (Headley & Wall, 2000). e. Advokat
Peran perawat sebagai advokat, dimana perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi pasien dan mencegah terjadinya kecelakaan, melindungi pasien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan. Pada pasien hemodialisis peran perawat sebagai advokat, misalnya melindungi pasien agar tidak terjadi infeksi pada akses vaskuler, emboli dan perdarahan.
f. Peneliti
Di unit hemodialisis perawat spesialis klinik terlibat dalam penelitian sebagai peneliti utama. Pemanfaatan hasil penelitian menunjukkan perlunya adanya perubahan kebijakan, prosedur atau peralatan untuk memastikan
perbaikan kualitas secara terus menerus. Penelitian harus dilakukan oleh perawat spesialis terutama dalam menunjukkan efektifitas dalam praktek keperawatan hemodialisis (Headley & Wall, 2000).
Berdasarkan uraian tentang peran perawat hemodialisi dapat disimpulkan bahwa peran perawat harus terintegrasi dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien hemodialisis. Dengan terintegrasinya peran tersebut, maka dapat mencegah terjadinya komplikasi, mengurangi biaya perawatan pasien dan dapat membantu pasien dalam meningkatkan kualitas hidupnya (Headley & Wall, 2000).