• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penambahan Berat Badan Interdialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Penambahan Berat Badan Interdialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

FITRI MAILANI

127046068 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUBUNGAN PENAMBAHAN BERAT BADAN

INTERDIALISIS DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN

PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FITRI MAILANI

127046068 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

Telah di uji

Pada tanggal: 16 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D

Anggota : 1. Cholina Trisa, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB

2. Prof. Dr. dr. Harun Al Rasyid Damanik, Sp.PD., Sp.GK

(5)
(6)

Judul Tesis : Hubungan Penambahan Berat Badan Interdialisis dengan

Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis

Nama Mahasiswa : Fitri Mailani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kualitas hidup menjadi ukuran penting setelah pasien menjalani terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan penambahan berat badan interdialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan jumlah sampel 194 pasien yang berasal dari RSUD dr. Pirngadi dan RSUP Haji Adam Malik Medan. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi penambahan berat badan dengan alat ukur timbangan berat badan Weighing Machine model ZT-120, CAMRY BR2015 dan kuisioner

(7)

paling rendah adalah keterbatasan akibat masalah fisik yaitu 3,16 (SD 12,30) dan yang tertinggi adalah dukungan dari staf dialisis yaitu 95,81 (SD 14,15). Hasil uji korelasi Pearson diperoleh p value 0,00 (p<0,05), dengan nilai r -0,307. Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara penambahan berat badan interdialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Selain itu penelitian ini juga menemukan makna spiritualitas pada pasien yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan, butuh dukungan dari orang terdekat, mempunyai harapan besar untuk sembuh dan menerima dengan ikhlas penyakit yang diderita. Ners di unit hemodialisis diharapkan melakukan penilaian kualitas hidup secara berkelanjutan dan memperhatikan manajemen cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis.

(8)

Thesis Title : Correlation Interdialytic Weight Gain and Quality of Life Patients Chronic Kidney Disease on Hemodialysis

Name : Fitri Mailani

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

(9)

(SD 14,15). The result of Pearson correlation test showed that p value was 0.00 (p<0.05) with r value of -0.307 which indicated that there was the significant correlation between interdialytic weight gain and the quality of life in patients. In addition, this study also found that the meaning of spirituality in patients, by being devoted to God, needed support from closed friends, had great expectation for recovery and accepted their illness sincerely. It is recommended that nurses in the hemodialysis unit assess the quality of life continuously and pay attention to the liquid management on patients undergoing hemodialysis.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Hubungan Penambahan Berat Badan Interdialisis dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis”, disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU) beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister Keperawatan.

2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU sekaligus dosen pembimbing I. Terima kasih telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam mengerjakan tesis ini hingga selesai. Terima kasih juga atas kesempatan yang telah beliau berikan kepada penulis dalam meningkatkan aktualisasi diri selama masa pendidikan.

(11)

4. Prof. Dr. dr. Harun Al Rasyid Damanik, Sp. PD, Sp. GK dan Ibu Yesi Ariani, S.Kep, Ns, M.Kep, CWCC sebagai penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

5. RSUD Dr. Pirngadi Medan dan RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut.

6. Ayah, Ibu, dan Keluarga penulis yang telah banyak memberikan dukungan materil dan moril dalam penyelesaian tesis ini.

7. Yayasan Pendidikan Amanah Kesehatan Padang atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

8. Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2013 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberi dorongan untuk menyelesaikan laporan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, 16 Juli 2014 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Fitri Mailani

Tempat/Tgl Lahir : Padang Sidempuan, 22 Mei 1988

Alamat : Jln. Nusa Indah Komp. GIM A 16 D, Asam Kumbang, Medan

No. Telp/HP : 085261969699

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 17 Hilalang-Panjang 1999

SLTP SMP Negeri 2 Pancung Soal 2002

SMA SMA Negeri 1 Ranah Pesisir 2005

Ners Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2010

Magister Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2014

Riwayat Pekerjaan :

(13)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Peserta pada acara “Seminar dan Workshop Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Jantung Tingkat Lanjutan (ACLS) dan Interpretasi EKG”, 20 Oktober 2012, PPNI Medan.

Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan

Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU. Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE

“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera Utara.

Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic, 24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta “Pelatihan Perawatan Luka Dasar Certified Wound Care Clinician Associate (CWCCA)”, 16-19 September 2013, Indonesian Etnep. Oral presentasi pada Seminar Internasional “the 1st International Conference in

Education and Nursing Research 2014 Transforming in Nursing Education and Research”, 22-23 Agustus 2014, Fakultas

(14)

DAFTAR ISI

2.3. Penambahanan Berat Badan Interdialisis... 26

(15)

2.6. Kerangka Konsep ... 51

4.1. Deskripsi Karakteristik Responden... 67

4.2. Penambahan Berat Badan Interdialisis ... 69

4.3. Kualitas Hidup Pasien PGK ... 69

4.4. Hubungan Penambahan Berat Badan Interdialisis dengan Kualitas Hidup ... 70

4.5. Analisa Tematik Aspek spiritualitas ... 73

BAB 5. PEMBAHASAN ... 78

5.1. Penambahan Berat Badan Interdialisis ... 78

5.2. Kualitas Hidup Pasien PGK ... 81

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik ... 10

Tabel 3.1 Variabel Independen dan Defenisi Operasional ... 59

Tabel 3.2 Variabel Dependen dan Defenisi Operasional ... 59

Tabel 3.3 Nomor Pertanyaan berdasarkan 19 aspek KDQOL ... 62

Tabel 3.4 Skor Item Pernyataan Kuisioner KDQOL version 1,3 ... 63

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Data Demografi Responden ... 68

Tabel 4.2 Penambahan Berat Badan Interdialisis ... 69

Tabel 4.3 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik... 70

Tabel 4.4 Kualitas Hidup berdasarkan Penambahan Berat Badan Interdialisis ... 71

(17)

DAFTAR GAMBAR

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 109

a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 110

b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 111

c. Kuesioner Data Demografi ... 112

d. Lembar Kuisioner Kualitas Hidup ... 113

e. Izin menggunakan kuisioner ... 121

f. Panduan Wawancara ... 122

g. Lembar observasi penambahan berat badan ... 123

Lampiran 2 Biodata Expert ... 124

Lampiran 3 Izin Penelitian ... 130

a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 131

b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 133

(19)

Judul Tesis : Hubungan Penambahan Berat Badan Interdialisis dengan

Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis

Nama Mahasiswa : Fitri Mailani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kualitas hidup menjadi ukuran penting setelah pasien menjalani terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan penambahan berat badan interdialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan jumlah sampel 194 pasien yang berasal dari RSUD dr. Pirngadi dan RSUP Haji Adam Malik Medan. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi penambahan berat badan dengan alat ukur timbangan berat badan Weighing Machine model ZT-120, CAMRY BR2015 dan kuisioner

(20)

paling rendah adalah keterbatasan akibat masalah fisik yaitu 3,16 (SD 12,30) dan yang tertinggi adalah dukungan dari staf dialisis yaitu 95,81 (SD 14,15). Hasil uji korelasi Pearson diperoleh p value 0,00 (p<0,05), dengan nilai r -0,307. Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara penambahan berat badan interdialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Selain itu penelitian ini juga menemukan makna spiritualitas pada pasien yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan, butuh dukungan dari orang terdekat, mempunyai harapan besar untuk sembuh dan menerima dengan ikhlas penyakit yang diderita. Ners di unit hemodialisis diharapkan melakukan penilaian kualitas hidup secara berkelanjutan dan memperhatikan manajemen cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis.

(21)

Thesis Title : Correlation Interdialytic Weight Gain and Quality of Life Patients Chronic Kidney Disease on Hemodialysis

Name : Fitri Mailani

Study Program : Master of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

(22)

(SD 14,15). The result of Pearson correlation test showed that p value was 0.00 (p<0.05) with r value of -0.307 which indicated that there was the significant correlation between interdialytic weight gain and the quality of life in patients. In addition, this study also found that the meaning of spirituality in patients, by being devoted to God, needed support from closed friends, had great expectation for recovery and accepted their illness sincerely. It is recommended that nurses in the hemodialysis unit assess the quality of life continuously and pay attention to the liquid management on patients undergoing hemodialysis.

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah, ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi glomerulus, berlangsung lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009). Penyakit ginjal kronik juga ditandai dengan penurunan fungsi ginjal dengan cepat sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan

hydroelectrolytic dan akumulasi produk katabolisme nitrogen seperti urea dan kreatinin. Penyakit ini dapat didefinisikan sebagai sindrom kompleks, secara lambat, progresif, dan irreversibel akan menghilangkan fungsi ginjal (Mansjoer, 2000).

(24)

meningkat menjadi 126 orang pada tahun berikutnya, dan terakhir tahun 2013 tercatat 184 orang yang rutin menjalani hemodialisa, dan diperkirakan semakin meningkat setiap tahunnya.

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Ignatavicius & Workman, 2009). Proses hemodialisis ini dapat dilakukan dua sampai tiga kali seminggu yang memakan waktu tiga sampai lima jam setiap kali hemodialisis (Smeltzer & Bare, 2008). Hasil Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa adekuasi hemodialisis dapat dicapai dengan jumlah dosis hemodialisis 10-12 jam perminggu.

(25)

menjalani hemodialisis harus dikontrol (Welch, Perkins, Johnson, &Kraus, 2006).

Penambahan berat badan interdialisis merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialisis (Arnold, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan 60-80% pasien meninggal akibat kelebihan masukan cairan dan makanan pada periode interdialitik (Kaplan De-Nour, &Czaczkes, 1972 dalam Sonnier, 2000). Di Amerika Serikat sekitar 17% pasien mengalami penambahan berat badan lebih dari 3Kg dalam satu periode dialisis. Resiko komplikasi akibat penyakit ginjal kronik dapat dikurangi dengan membatasi penambahan berat badan interdialisis tidak boleh lebih dari 2,5-3Kg atau 3,5-4% dari berat badan kering (Lopez-Gomez, 2005). Menurut Abuelo (1998) untuk meminimalkan penambahan berat badan tersebut pasien harus menjalani diet pembatasan cairan yang ketat yaitu masukan cairan dibatasi 1 liter perhari.

(26)

Menurut Pace (2007), peningkatan berat badan interdialisis melebihi 4.8% akan meningkatkan mortalitas meskipun tidak dinyatakan besarannya. Peningkatan berat badan lebih dari 5,7% juga menyebabkan resiko kematian dan kerusakan kardiovaskuler (Sarkar et al., 2006). Penambahan berat badan interdialisis yang terlalu tinggi dapat menimbulkan efek negatif terhadap keadaan pasien, diantaranya hipotensi, kram otot, hipertensi, sesak nafas, mual dan muntah, dan banyak gejala lainnya (Smeltzer & Bare, 2008).Gangguan fisik yang bisa ditimbulkan akibat penambahan berat badan yang terlalu tinggi pada saat intra-dialisis adalah besarnya volume cairan pada saat ultrafikasi, hipotensi, sakit kepala, sedangkan pada saat interdialisis menyebabkan hipertensi, hipertropi ventrikel kiri, dan edema paru (Veerapan, Arvind & Ilayabharthi, 2012).

Penambahan berat badan interdialisis dapat menyebabkan komplikasi ke semua organ tubuh, kelebihan cairan yang dialami oleh pasien sangat erat kaitannya dengan morbiditas dan kematian (Linberg, Magnus, Karl, Wikstrom, 2009). Acute pulmonry edema adalah gejala yang paling sering terjadi pada pasien akibat penambahan berat badan sehingga menyebabkan pasien dirawat diruangan

emergency (Abuelo, 1998). Beberapa gejala yang menunjukkan adanya kelebihan cairan pada tubuh pasien seperti tekanan darah naik, peningkatan nadi dan frekuensi pernafasan, peningkatan vena sentral, dispnea, batuk, edema, peningkatan berat badan yang berlebihan sejak dialisis terakhir (Hudak & Gallo, 1996).

(27)

pasien diantaranya yaitu: hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawat daruratan hemodialisis, meningkatnya resiko hipertropy ventrikuler dan gagal jantung (Welch et al., 2006). Penambahan berat badan interdialisis juga merupakan salah satu indikator kualitas hidup bagi pasien hemodialisa yang perlu dikaji sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan perawatan berkelanjutan dalam pengaturan hemodialisis pasien, dan meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan cairan (Linberg et al., 2009).

Menurut Sathvik, parthasarathi, Narahari & Gurudev (2008), kualitas hidup menjadi ukuran penting setelah pasien menjalani terapi penggantian ginjal seperti hemodialisis atau transplantasi ginjal. Cleary & Drennan (2005) dalam penelitian menunjukkan pasien hemodialisis mengalami kualitas hidup yang lebih buruk dari pada individu pada umumnya. Secara khusus, pasien akan mengalami penderitaan fisik, keterbatasan dalam beraktivitas sehari-hari. Kualitas hidup juga berhubungan dengan penyakit dan terapi yang dijalani. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti karakteristik demografi, faktor kesehatan, ekonomi, lingkungan, keamanan, dukungan keluarga, depresi dan lainnya (Stigelman et al., 2006).

(28)

akan menyebabkan gangguan berat secara psikologis termasuk keinginan bunuh diri (Bele, Bodhare, Mudgalkan, Saraf, & Valsangkar, 2012).

Perawat hemodialisis mempunyai peran penting sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokasi, konsultan dan pemberi edukasi untuk membantu pasien mencapai kualitas hidup yang baik. Perawat hemodialisis harus mempunyai kemampuan secara profesional untuk mempersiapkan pasien sebelum hemodialisis, memantau kondisi pasien selama hemodialisis dan memberi edukasi diet dan pembatasan cairan yang tepat serta memberikan dukungan untuk kemampuan self care serta melakukan pemantauan secara menyeluruh (Kallenbach et al., 2005). Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat secara komprehensif terhadap pasien hemodialisis diharapkan dapat mengurangi dan mencegah komplikasi yang dialami pasien selama menjalankan terapi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisis.

(29)

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas dan berbagai fenomena yang muncul tentang penambahan berat badan interdialisis dan kualitas hidup, maka pertanyaan penelitian ini adalah: apakah terdapat hubungan antara penambahan berat badan interdialisis terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum menggambarkan tujuan menyeluruh dari penelitian ini. Tujuan khusus merupakan penjabaran dari tujuan umum.

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis hubungan penambahan berat badan interdialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan penambahan berat badan interdialisis pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

b. Mendeskripsikan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

c. Menganalisis hubungan penambahan berat badan interdialisis dengan kualitas hidup pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

1.4 Hipotesis

(30)

1.5 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi praktek keperawatan di unit hemodialisa, bagi pasien hemodialisis, bagi pendidikan keperawatan dan penelitian selanjutnya.

a. Praktek keperawatan di unit hemodialisa

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi praktek keperawatan di unit hemodialisa dalam memberikan asuhan keperawatan. Penelitian ini akan memberi informasi kepada perawat dampak dari penambahan berat badan interdialisis terhadap kualitas hidup pasien sehingga perawat akan meningkatkan pemantauan diet pada pasien. Penelitian ini juga akan memberikan informasi tentang kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis, sehingga perawat lebih memperhatikan dan mengevaluasi kualitas hidup pasien secara berkelanjutan dan dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik yang meliputi kesehatan fisik, mental, hambatan akibat penyakit ginjal, gejala dan masalah yang muncul, dampak penyakit ginjal dalam kehidupan sehari-hari, serta masalah sosial dan spiritual.

b. Pasien Hemodialisis

Memberikan informasi kepada pasien tentang dampak penambahan berat badan interdialisis, sehingga pasien dapat menyadari pentingnya pembatasan cairan dan meningkatkan kepatuhan diet pada pasien hemodialisis.

c. Pendidikan Keperawatan

(31)

bagi pengembangan kurikulum keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah yaitu pemberian asuhan keperawatan berdasarkan holistic nursing sehingga mahasiswa diharapkan mampu memberi asuhan keperawatan secara keseluruhan mulai dari masalah fisik, psikologis, lingkungan dan spiritual sehingga kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.

d. Penelitian selanjutnya

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal atau penurunan ginjal kurang dari 60% ginjal normal bersifat progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang toksin dan produk sisa dari darah serta tidak dapat berfungsi secara maksimal, dimana kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan albuminuria (>30 mg albumin urin per gram dari creatinin urin),

Glomerular Filtration Rate (GFR) <60ml/menit/1,73 m2 dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan (Black& Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Menurut National Kidney Foundation, penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut derajat berikut ini:

Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit

Derajat Deskripsi Nama lain GFR (ml/menit/1.73

m2)

I Kerusakan ginjal dengan GFR normal

Resiko I >90

II Kerusakan ginjal dengan GFR ringan

Chronic Renal Insufisiensi (CRI)

60-89 III Penurunan GFR

(33)

Sumber (Black& Hawks, 2009).

2.1.3 Dampak Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik akan berdampak terhadap perubahan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Seperti yang dijelaskan berikut ini:

a. Perubahan Fisik

Perubahan yang terjadi pada fisik pasien penyakit ginjal kronik tergantung pada kerusakan ginjal dan keadaan lainnya yang mempengaruhi seperti usia dan kondisi tubuh pasien. Perubahan fisik yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik menurut Smeltzer & Bare (2008) adalah sebagai berikut:

1. Sistem Neurologi: kelemahan, fatigue, kecemasan, penurunan konsentrasi, disorientasi, tremor, seizures, kelemahan pada lengan, nyeri pada telapak kaki, perubahan tingkah laku.

2. Sistem Integumen: kulit berwarna coklat keabu-abuan, kering, kulit mudah terkelupas, pruritus, ekimosis, purpura tipis, kuku rapuh, rambut tipis.

3. Sistem kardiovaskular: Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, dan sakrum),

edema periorbita, precordial friction rub, pembesaran vena pada leher, perikarditis, efusi perikardial, tamponade pericardial, hiperkalemia, hiperlipidemia.

(34)

5. Sistem gastrointestinal: bau ammonia, napas uremik, berasa logam, ulserasi pada mulut dan berdarah, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi atau diare, perdarahan pada saluran pencernaan.

6. Sistem hematologi: anemia, trombositopenia.

7. Sistem reproduksi: amenorrhea, atropi testis, infertil, penurunan libido

8. Sistem muslukoskleletal: kram otot, hilangnya kekuatan otot, renal osteodistropi, nyeri tulang, fraktur, dan foot drop.

Pasien penyakit ginjal kronik akan mengalami kerusakan jaringan ginjal yang permanen. Kondisi ini membuat gangguan fisik dan psikologis semakin terasa oleh pasien dan membuat kehidupan pasien menjadi tidak normal akibat keterbatasan yang dimiliki, sehingga akan mengganggu kehidupan sosialnya (Leung, 2003).

b. Perubahan Psikologis

(35)

akibat efek dari penyakit yang diderita, dan ketakutan akan diisolasi oleh lingkungan sekitar (Kastrouni et al., 2010).

Depresi yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronis adalah multidimensional meliputi komponen fisik, psikologis dan sosial. Depresi biasanya timbul pada tahun pertama pada saat mulai dilakukan terapi hemodialisis. Kondisi ini dipicu oleh perubahan secara radikal pola hidup pasien, masalah kehilangan pekerjaan, perubahan peran di keluarga, perubahan hubungan dan waktu yang terbuang untuk dialisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien penyakit ginjal kronis yang mengalami depresi memiliki kualitas hidup yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami depresi (Son et al., 2009).

Pemberian informasi kepada pasien penyakit ginjal kronik tentang penyakit mereka dan keterlibatan dalam perencanaan dan implementasi perawatan membantu pasien untuk melawan perasaan-perasaan ketergantungan dan menjadi termotivasi untuk mempertahankan kesehatan mereka sedapat mungkin (Hudak & Gallo, 1996). Masalah psikologis lain yang dialami oleh pasien penyakit ginjal kronik adalah perubahan harga diri pasien, perubahan pola hidup, perubahan nilai-nilai personal dan pola rutinitas pasien, kehilangan harapan, dendam (Leung, 2003).

c. Perubahan Sosial

(36)

fisik yang dialaminya maka pasien pun akan mengalami perubahan peran dalam keluarga maupun peran sosial di masyarakat. Peran sosial lain yang berubah pada pasien penyakit ginjal kronik adalah perubahan pekerjaan. Pasien dengan keterbatasan fisik akan mengalami penurunan kemampuan kerja. Pasien dapat mengambil cuti atau kehilangan pekerjaannya. Hal ini akan menimbulkan permasalahan lain yaitu penurunan kualitas hidup pasien. Pasien penyakit ginjal kronik yang tidak mempunyai pekerjaan mempunyai penurunan skor yang sangat signifikan pada dimensi fungsi fisik, peran fisik, kesehatan umum, vitalitas, peran emosional dan peningkatan intensitas nyeri (Blake et al., 2000).

d. Perubahan Ekonomi

Perubahan ekonomi akibat dari penyakit ginjal dan dialisis tidak hanya terjadi pada individu dan keluarga pasien. Masalah ekonomi ini juga akan berakibat kepada perekonomian negara sebagai penanggung jawab atas penduduknya. Biaya dialisis yang mahal akan membuat pengeluaran di sektor kesehatan akan meningkat. Biaya perawatan yang mahal membuat pasien yang harus menjalani hemodialisis di negara berkembang sebagian besar meninggal atau berhenti melakukan dialisis setelah 3 bulan menjalani terapi (Shcieppati & Remuzzi, 2005). Di sisi lain kapasitas kerja dan fisik mereka mengalami penurunan yang sangat drastis sehingga terjadi penurunan penghasilan

2.1.4 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, dalam Sudoyo et al., 2006).

(37)

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan Laju Filtrat Glumerulus (LFG), sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 20–30 % dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

b. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Kormobid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien gagal ginjal kronik dimana hal ini untuk mengetahui kondisi kormobid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

c. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus dan ini dapat dikurangi melalui dua cara yaitu: pembatasan asupan protein yang mulai dilakukan pada LFG ≤ 60%ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Selamnjutnya terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Selain itu sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. d. Pencegahan dan Terapi Penyakit Kardiovaskuler dan Komplikasi

(38)

e. Terapi Pengganti Ginjal

Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan trasplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan pada saat ini adalah hemodialisis dimana jumlahnya terus bertambah.

2.2 Hemodialisis

2.2.1 Definisi Hemodialisis

Hemodialisis adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2009; Ignatavicius, 2009).

2.2.2 Indikasi Hemodialisis

(39)

per 1,73m² serta tanda dan gejala hiperkalemia (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.3 Peralatan Hemodialisis

Peralatan hemodialisis meliputi mesin hemodialisis, Dialiser dan Dialisat. a. Mesin Hemodialisis

Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem monitoring. Pompa dalam mesin hemodialisis berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialiser dan mengembalikan kembali ke dalam tubuh (Thomas, 2003). Selain itu mesin hemodialisis juga dilengkapi detektor udara untuk mendeteksi adanya udara dalam vena. Mesin ini juga berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting untuk mencapai adekuasi hemodialisis. (Hudak & Gallo, 1999; Thomas, 2003).

b. Dialiser

(40)

permukaan membran yang besar, sedangkan high flux adalah dialiser yang mempunyai pori-pori besar dan dapat melewatkan molekul yang besar, dan mempunyai permeabilitas tinggi terhadap air.

Dialiser merupakan komponen penting yang merupakan unit fungsional dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal. Berbentuk seperti tabung yang terdiri dari 2 ruang yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh membran semi permeabel. Di dalam dialiser cairan dan molekul dapat berpindah dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser yang mempunyai permebilitas yang baik mempunyai kemampuan yang tinggi dalam membuang kelebihan cairan, sehingga akan menghasilkan bersihan yang lebih optimal (Smeltzer & Bare, 2008).

c. Dialisat

(41)

disebut Quick of Dialysate (Qd). Untuk mencapai hemodialisis yang adekuat Qd yang disarankan adalah 400-800mL/menit (Daugirdas, 2007).

2.2.4 Proses Hemodialisis

Proses hemodialisis dimulai dengan pemasangan kanula inlet ke dalam pembuluh darah arteri dan kanula outlet ke dalam pembuluh darah vena, melalui fistula arteriovenosa (Cimino) yang telah dibuat melalui proses pembedahan. Sebelum darah sampai ke dialiser, diberikan injeksi heparin untuk mencegah terjadinya pembekuan darah. Darah akan tertarik oleh pompa darah (blood pump) melalui kanula inlet arteri ke dialiser dan akan mengisi kompartemen 1 (darah). Sedangkan cairan dialisat akan dialirkan oleh mesin dialisis untuk mengisi kompartemen (dialisat). Di dalam dialiser terdapat selaput membran semi permeabel yang memisahkan darah dari cairan dialisat yang komposisinya menyerupai cairan tubuh normal.

(42)

untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau keseimbangan cairan. Sistem buffer tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Setelah terjadi proses hemodialisis di dalam

dialiser, maka darah akan dikembalikan ke dalam tubuh melalui kanula outlet

vena. Sedangkan cairan dialisat yang telah berisi zat toksin yang tertarik dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis oleh cairan pembuang yang disebut

ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama hemodialisis akan semakin optimal. Efek terapeutik yang ingin dicapai dari proses hemodialisis yang dilakukan adalah membersihkan tubuh dari sisa metabolisme yang tidak dibutuhkan, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta mengembalikan fungsi ginjal yang diinginkan (Black & Hawks 2009).

2.2.5 Komplikasi Hemodialisis

Terapi hemodialisis yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Gangguan fisik yang sering dikeluhkan pasien penyakit ginjal stadium akhir yang mengikuti terapi dialisis adalah kelelahan, tidak tahan cuaca dingin, pruritus, kelemahan ekstremitas bawah, dan kesulitan tidur (Yong, Kwok, Wong, Chen and Tse, 2009). Sementara gangguan psikologis yang sering dialami pasien adalah depresi yaitu sekitar 20-30% terjadi pada pasien dialisis. Depresi dan kecemasan hal yang paling umum dirasakan oleh pasien dialisis hal ini dikarenakan gejala uremia seperti kelelahan, gangguan tidur, menurunnya nafsu makan dan gangguan kognitif.

(43)

yang menjalani terapi dialisis mengalami depresi. Gejala depresi yang biasa ditunjukkan adalah rasa bersalah, putus asa, mudah marah, dan bunuh diri. Selain itu gangguan yang paling sering dialami pasien adalah dysfungsi seksual atau gangguan ereksi pada pasien pria. Hasil penelitian Santos, Frota, Junior, Cavalcanti, Vieira et al. (2012) dari total 58 pasien perempuan yang menjalani hemodialisa, 46 (79,3%) diketahui mengalami disfungsi seksual. Prevalensi disfungsi seksual di antara perempuan yang menjalani hemodialisa sangat tinggi , mencapai hampir 80%.

Secara garis besar komplikasi yang terjadi pada pasien hemodialisis dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: komplikasi yang berhubungan dengan prosedur dialisis dan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronik (Lewis et al., 2000).

Komplikasi intradialisis yang berhubungan dengan prosedur dialisis adalah 1. Hipotensi

(44)

2. Mual dan muntah

Mual dan muntah saat hemodialisis dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu gangguan keseimbangan dialisis akibat ultrafiltrasi yang berlebihan, lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis, dan besarnya ultrafiltrasi (Thomas, 2003; Daugirdas, 2007).

3. Demam dan menggigil

Selama prosedur HD perubahan suhu dialisat juga dapat meningkatkan atau menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat yang tinggi lebih dari 37.5°C bisa menyebabkan demam. Sedangkan suhu dialisat yang terlalu dingin kurang dari 34–35,5°C dapat menyebabkan gangguan kardiovaskuler, vasokontriksi dan menggigil (Pergola, Habiba & Johnson, 2004).

4. Headache (sakit kepala)

Penyebab sakit kepala saat hemodialisis belum diketahui. Kecepatan UFR yang tinggi, penarikan cairan dan elektrolit yang besar, lamanya dialisis, tidak efektifnya dialisis, dan tingginya iltrafiltrasi juga dapat menyebabkan terjadinya

headache intradialysis (Incekara et al., 2008). 5. Sindrom disequilibrium

(45)

terlalu cepat pada saat hemodialisis mengakibatkan plasma darah menjadi hipotonik. Akibatnya akan menurunkan tekanan osmotik, mengakibatkan pergeseran air kedalam sel otak sehingga terjadi edema serebral (Thomas, 2003).

6. Hemolisis

Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat pelepasan kalium intraselluler (Thomas, 2003). Hemolisis dapat terjadi akibat sumbatan akses selang darah dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan tekanan negatif yang berlebihan karena pemakaian jarum yang kecil pada kondisi aliran darah yang tinggi, atau posisi jarum yang tidak tepat. Penyebab lain hemolisis adalah penggunaan dialisat hipotonik (Thomas, 2003 ; Kallenbach et al., 2005). Hemolisis masif akan meningkatkan risiko hiperkalemi, aritmia dan henti jantung (Thomas, 2003).

7. Kram otot

Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstremitas bawah. Beberapa faktor resiko terjadinya kram diantaranya perubahan osmolaritas, ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan kalium dan kalsium intra atau ekstra sel (Thomas, 2003; Kallenbach et al., 2005).

8. Emboli udara

(46)

emboli udara adalah adanya sesak nafas, nafas pendek dan kemungkinan adanya nyeri dada (Daugirdas, 2007) .

9. Nyeri dada

Terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan, perubahan volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri dada juga bisa menyertai komplikasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach et al., 2005).

Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis, adalah: 1.Penyakit Jantung

Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penyakit jantung disebabkan karena gangguan fungsi dan struktur otot jantung, dan atau gangguan perfusi. Faktor risiko penyakit jantung yaitu: faktor hemodinamik, metabolik seperti kelebihan cairan, garam dan retensi air, anemia, hipertensi, hipoalbuminemia, ketidakseimbangan kalsium-fosfat, dislipidemia, kerusakan katabolisme asam amino, merokok dan diabetes mellitus (Parfrey & Lameire, 2000).

2. Anemia

(47)

Sebagian sel darah merah tertinggal pada dialiser atau blood line meskipun jumlahnya tidak signifikan (Thomas, 2003).

3. Mual dan lelah

Mual dan muntah juga masalah yang sering dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisi, ada beberapa faktor yang menyebabkan klien merasa mual dan kelelahan (letargi) setelah menjalani hemodialisis. Beberapa penyebab timbulnya mual dan rasa lelah setelah hemodialisis yaitu: Hipotensi, kelebihan asupan cairan diantara dua terapi hemodialisis, problem terkait berat kering, obat hipertensi, anemia, penggunaan asetat pada hemodialisis.

4. Malnutrisi

Malnutrisi terjadi khususnya kekurangan kalori dan protein, hal ini berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada klien HD kronik. Faktor penyebab terjadinya malnutrisi adalah karena meningkatnya kebutuhan protein dan energi, menurunnya pemasukan protein dan kalori, meningkatnya katabolisme dan menurunnya anabolisme. Juga disebabkan oleh metabolisme yang abnormal akibat hilangnya jaringan ginjal dan fungsi ginjal (Churawanno, 2005).

5. Gangguan kulit

(48)

Urochrome, dimana pigmen ini pada ginjal sehat dapat dibuang, namun karena adanya kerusakan ginjal maka pigmen tertumpuk pada kulit, akibatnya kulit akan terlihat kuning kelabu (Thomas, 2003). Penyebab kulit belang lainnya adalah uremic frost yaitu semacam serbuk putih seperti lapisan garam pada permukaan kulit dimana hal ini merupakan tumpukan ureum yang keluar bersama keringat (Thomas, 2003; Black, 2005).

2.3Penambahanan Berat Badan Interdialisis

2.3.1 Definisi

Penambahan berat badan interdialisis adalah pertambahan berat badan pasien di antara dua waktu dialisis yang merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan, sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik (Arnold, 2008). Penambahan berat badan interdialisis biasanya berkaitan dengan kelebihan beban natrium dan air dan merupakan faktor penting terjadinya hipertensi arteri saat dialisis (Lopez-Gomez, 2005).

2.3.2 Klasifikasi Penambahan Berat Badan Interdialisis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengurangi komplikasi akibat penyakit ginjal kronik berat badan interdialisis pasien tidak boleh lebih dari 3,5-4% berat badan kering (Lopez-Gomez, 2005), oleh karena itu kategori penambahan berat badan interialisis dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ringan

<3%, sedang 3-3.9%, dan berat >3.9%.

2.3.3 Cara Mengukur Penambahan Berat Badan Interdialisis

(49)

pasien terhadap pengaturan asupan cairan. Penambahan berat badan interdialisis diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat badan terendah yang aman dicapaipasien setelah dilakukan dialisis tanpa adanya edema dan tekanan darah normal pada pasien penyakit ginjal tahap akhir, dan (tekanan sistolik antara 120–170 mmHg, tekanan diastolik antara 80–100 mmHg). (Kallenbach, 2005). Thomas (2003) menyatakan bahwa berat badan kering adalah berat dimana tidak ada eviden klinis edema, nafas yang pendek, peningkatan tekanan nadi leher atau hipertensi. Penentuan dry weight harus berdasarkan hasil pemeriksaan perawat, dokter, ahli diet dan keluhan pasien. Berat badan pasien harus diukur secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis, kemudian kelebihan cairan interdialisis dihitung berdasarkan berat badan kering setelah hemodialisis disertai dengan pengukuran kondisi klinis pasien (Arnold, 2008). Menurut Daugirdas, Blake dan Ing (2001 dalam Mitchell, 2002) berat badan kering tiap pasien dapat ditetapkan berdasarkan trial dan error dan idealnya dievaluasi tiap 2 minggu sekali

(50)

Misalnya BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke 2 adalah 58kg, prosentase IDWG (58 -54) : 54 x 100% = 7,4 %.

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penambahan Berat Badan Interdialisis

Beberapa faktor spesifik yang mempengaruhi penambahan berat badan diantara waktu dialisis antara lain faktor dari pasien itu sendiri dan juga kelurga serta ada beberapa faktor psikososial antara lain faktor demografi, masukan cairan, rasa haus, social support, self efficacy dan stress (Sonnier, 2000).

1. Faktor demografi

Beberapa penelitian membuktikan bahwa faktor demografi dan psikososial berpengaruh terhadap peningkatan berat badan interdialisis dan mempegaruhi kemampuan pasien dalam mengontrol asupan natrium dan cairan (Abuelo, 1999). Yang termasuk kedalam faktor demografi ini adalah usia, jenis kelamin serta pendidikan pasien. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Linberg et al. (2009) mengatakan ciri-ciri pasien yang berhubungan dengan kelebihan cairan interdialisis adalah usia yang lebih muda, indeks massa tubuh yang lebih rendah, lebih lama menjalani HD. Usia mempengaruhi distribusi cairan tubuh seseorang, perubahan cairan terjadi secara normal seiring dengan perubahan perkembangan seseorang.

(51)

sedikit dibandingkan yang kurus. Pada pasien hemodialisis studi yang dilakukan oleh Locksey et al. (1999) menyatakan bahwa berat badan post dialisis pada pasien pria lebih banyak berkurang dari pada pasien perempuan.

Pendidikan juga berpengaruh dalam terjadinya penambahan berat badan interdialisis, dimana pendidikan berkaitan dengan kepatuhan pasien dalam membatasi cairan. Abuelo (1998) menyatakan bahwa pasien yang berusia lanjut mengalami penurunan rasa haus sehingga asupan cairan pun menurun yang menyebabkan penambahan berat badan interdialisis pun tidak berat.

2. Asupan Cairan

Asupan cairan sangat berperan penting dalam terjadinya penambahan berat badan interdialisi dimana asupan cairan yang berlebihan akan menyebabkan penambahan berat badan interdialisis yang tidak terkontrol. Membatasi asupan cairan 1 liter perhari adalah penting untuk mengurangi resiko kelebihan volume cairan antara perawatan dialisis (Abuelo, 1999). Pemahaman dan kemampuan pasien untuk mengatur pemasukan cairan yang mendekati kebutuhan cairan tubuh diperlukan untuk menghindari akibat kelebihan cairan. Asupan cairan harian yang dianjurkan pada pasien yang menjalani hemodialisis dalah dibatasi hanya sebanyak insensible water losses ditambah jumlah urin (Smeltzer & Bare, 2008). Banyak cairan yang dikonsumsi oleh pasien kadang kala bukan karena rasa haus tetapi untuk membantu pasien dalam menelan makanan atau menelan obat (Abuelo, 1999).

3. Rasa Haus

(52)

beberapa jenis sensor, beberapa didalam perifer dan lainnya pada sensor sistem saraf pusat (Schmidt & Thews, 1989). Respon normal seseorang terhadap haus adalah minum. Pada pasien penyakit ginjal kronik peningkatan kadar angiotensin II dapat menimbulkan rasa haus, akan tetapi pasien ini tidak boleh merespon secara normal terhadap haus yang mereka rasakan (Black & Hawks, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Giovanetti melaporkan bahwa rasa haus yang berlebihan dialami oleh 86% pasien, sebanyak 34% mengalami penambahan berat badan interdialitik sebanyak 4% dari berat badan kering.

Pasien yang mengalami haus berat akan mengalami penambahan berat badan interdialisis sebanyak 4,1% atau sekitar 2,6Kg sangat berbeda dengan pasien yang mengalami rasa haus minimal hanya mengalami penambahan berat badan 3,1% atau sekitar 1,9Kg, sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Yamamoto et al. (1986) bahwa pasien yang mengalami haus berat rata-rata akan mengalami penambahan berat badan 5,3Kg dan pasien yang rasa hausnya minimal rata-rata akan mengalami penambahan berat badan 1,4Kg, penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan yang yang positif antara penambahan berat badan interdialisis dengan rasa haus (Mistiaen, 2001).

4. Faktor-Faktor Lain

(53)

cairan sehingga penambahan berat badan meningkat (Abuelo, 1998). Faktor dukungan sosial dan keluarga juga terbukti mempengaruhi penambahan berat badan. Akibat hemodialisis yang dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik dapat menimbulkan stress sehingga dukungan keluarga dan sosial sangat dibutuhkan untuk pasien. Dukungan keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan berhubungan dengan kepatuhan pasien untuk menjalankan terapi (Sonnier, 2000).

Faktor lain yang mempengaruhi adalah Self Efficacy, yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa mengeluarkan energi positif melalui kognitif, motivasional, afektif dan proses seleksi. Self Efficacy dapat mempengaruhi rasa percaya diri pasien dalam menjalani terapinya (hemodialisis). Self Efficacy yang tinggi dibutuhkan untuk memunculkan motivasi dari dalam diri agar dapat mematuhi terapi dan pengendalian cairan dengan baik, sehingga dapat mencegah peningkatan berat badan interdialisis (Istanti, 2009).

2.3.5 Dampak Penambahan Berat Badan Interdialisis

(54)

sejak dialisis terakhir (Hudak & Gallo, 1996).

Penelitian lain juga menyebutkan bahwa penambahan berat badan interdialisis yang berlebihan dapat menimbulkan komplikasi dan masalah bagi pasien diantaranya yaitu: hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawat daruratan hemodialisis, meningkatnya resiko, hipertropy ventrikuler dan gagal jantung (Welch et al., 2006).

Dari semua dampak yang ditimbulkan penambahan berat badan interdialisis akan menyebabkan gangguan aktifitas fisik pasien, dan menghambat aktifitas sehari-hari. Secara psikologis juga berdampak negatif, keterbatasan yang dialami oleh pasien akan menyebabkan stress dan depresi diperparah dengan gangguan body image yang dialami pasien dan juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial pasien (Welch et al., 2006). Hal ini akan mempengaruhi dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup yang buruk akan dapat meningkatkan angka morbility.

2.4 Kualitas Hidup

2.4.1 Definisi Kualitas Hidup

(55)

fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan tentang penyakit yang diderita dan lingkungan (WHO, 1997). Stigelman (2006) juga menyatakan bahwa kualitas hidup berhubungan dengan penyakit dan terapi yang dijalani. Ferrans (1996) mengatakan bahwa model konsep kualitas hidup secara umum dibagi menjadi empat domain yaitu domain kesehatan dan fungsinya, domain sosial dan ekonomi, domain psikologis/ spiritual, dan domain keluarga. Secara umum domain kualitas hidup dibagi menjadi empat yaitu:

a. Domain kesehatan fisik

Domain pertama dalam kualitas hidup adalah domain kesehatan fisik (WHO, 1997), sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Ferrans (1996) domain pertama adalah domain kesehatan dan fungsinya. Domain ini mencakup beberapa elemen yaitu kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari, physical independence, ketergantungan pada obat-obatan atau bantuan medis, nyeri, energi (kelelahan), istirahat dan tidur dan kemampuan fisik untuk melakukan pekerjaan yang harus diselesaikan nya. Kesehatan fisik merupakan hal utama yang harus dinilai dalam mengevaluasi kualitas hidup individu (Hays et al., 1997).

b. Domain Kesejahteraan Psikologis

(56)

c. Domain Hubungan Sosial dan Lingkungan

Domain ini terkait dengan relasi personal, dukungan keluarga dan sosial yang diterima dan aktivitas seksual (WHO, 1997). Domain ini terkait dengan keadaan keuangan individu, menggambarkan tingkat keamanan individu yang dapat mempengaruhi kebebasannya dirinya, meliputi kepuasan dengan kehidupan, kebahagiaan secara umum, perawatan kesehatan yang diterima dan social care

(Ferrans, 1996) d. Domain Spiritual

Domain ini meliputi kepuasan dengan diri sendiri, tercapainya tujuan pribadi, kedamaian dalam pikiran, penampilan pribadi dan kepercayaan kepada Tuhan (Ferrans, 1996). Spiritualitas merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan dalam penilaian kualitas hidup karena gangguan spiritualitas akan menyebabkan gangguan berat secara psikologis termasuk keinginan bunuh diri (Bele et al., 2012). Finkelstein, West, Gobin, & Wuerth (2007) juga mengatakan bahwa spiritualitas merupakan bagian yang sangat penting dinilai oleh peneliti untuk melihat kualitas hidup pasien, namun hanya sebagian kuisioner kualitas hidup yang mengkaji lebih dalam mengenai persepsi spiritualitas. Dalam penelitian ini, untuk melihat gambaran spiritualitas pada pasien penyakit ginjal kronik dilakukan wawancara terbuka terhadap beberapa pasien sebagai data tambahan dalam menilai kualitas hidup yang telah dinilai menggunakan kuisioner

KDQOL 1,3.

2.4.3 Instrument untuk Mengukur Kualitas Hidup

(57)

Kidney Disease Quality of Life Short Form 1,3 (KDQOL-SF 1,3) yang merupakan pengembangan dari Short Form 36 (SF-36). Alat ukur ini merupakan alat ukur khusus yang digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik dan pasien yang menjalani dialisis (Hays et al., 1997).

Kelebihan kuisioner ini adalah menilai kualitas hidup dari dua aspek yaitu spesifik penyakit tertentu (disease-specific) dan generik (generic instrument) yang sudah meliputi domain fisik, psikologis, sosial maupun lingkungan. Domain yang mencakup target untuk penyakit ginjal meliputi: gejala/permasalahan klinis yang dialami, efek dari penyakit ginjal, tingkat penderitaan oleh karena sakit ginjal, status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi social, fungsi seksual, kualitas tidur, dukungan sosial, kualitas pelayanan staf unit dialysis, dan kepuasan pasien. Sementara skala survei SF-36 yang bersifat generik mengukur fungsi fisik, peran fisik, persepsi rasa sakit, persepsi kesehatan umum, emosi, peran emosional, fungsi social, dan energi/kelelahan .

(58)

Kelemahan kuisioner ini adalah tidak dapat digunakan pada penyakit lain dan kuisioner ini terdiri dari banyak pertanyaan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengisinya. Selain itu kuisioner ini tidak menilai domain spiritualitas, sementara spiritualitas merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan dalam penilaian kualitas hidup karena gangguan spiritualitas akan menyebabkan gangguan berat secara psikologis termasuk keinginan bunuh diri (Bele et al., 2012).

Secara spesifik Hays et al. (1997) telah menentukan domain kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu mencakup 19 domain yaitu:

1. Gejala/masalah yang menyertai

Gejala dan masalah yang menyertai pasien penyakit ginjal adalah masalah yang menyertai setelah didiagnosis sakit ginjal. Masalah yang menyertai ini antara lain : nyeri otot, nyeri dada, kram otot, kulit gatal-gatal, kulit kering, nafas pendek (sesak), pusing, penurunan nafsu makan, gangguan eliminasi, mati rasa pada tangan dan kaki, mual, permasalahan pada tempat penusukan, dan permasalahan pada tempat memasukkan kateter (pada dialisis peritoneal).

2. Efek Penyakit Ginjal

(59)

khawatir dan stres terhadap penyakit yang diderita, kehidupan seksual, dan penampilan.

3. Beban akibat Penyakit Ginjal

Beban sebagai akibat penyakit ginjal sering kali dirasakan pasien. Beban akibat penyakit ini antara lain sejauh mana Penyakit ginjal yang diderita dirasakan sangat mengganggu kehidupan, banyaknya waktu yang dihabiskan, rasa frustasi terhadap penyakit, dan perasaan menjadi beban dalam keluarga.

4. Status Pekerjaan

Indikator pada dimensi ini adalah apakah pasien masih aktif bekerja, dan apakah kondisi kesehatannya saat ini dapat menjaga pekerjaan pasien saat ini.

5. Fungsi Kognitif

Pasien dengan penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis sering kali mengalami penurunan fungsi kognitif. Sering kali menjadi lambat dalam berkata atau melakuakn sesuatu, sulit untuk berkonsentrasi, dan bingung tanpa sebab.

6. Kualitas Interaksi Sosial

Aspek ini mengukur bagaimana kualitas interaksi yang dilakukan pasien dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Pada pasien dengan penyakit ginjal tidak jarang pasien mengasingkan diri dari orang lain, mudah tersinggung, dan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain.

7. Fungsi Seksual

(60)

8. Tidur

Aspek ini mengukur bagaimana tidur pada pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis. Aspek ini termasuk kualitas tidur dan kecukupan waktu tidur.

9. Dukungan yang diperoleh

Aspek ini termasuk waktu yang tersedia bersama teman dan keluarga serta dukungan yang diterima oleh pasien dari keluarga dan teman.

10.Dorongan dari staf dialisis

Aspek ini termasuk dorongan yang diberikan oleh staf dialisis untuk mandiri dan beradaptasi terhadap penyakit yang diderita serta rutinitas terapi yang harus dijalani.

11.Kepuasan pasien

Aspek ini mengukur kepuasan pasien terhadap layanan dialisis yang mereka dapatkan.

12.Fungsi fisik

Aspek ini mencakup kemampuan untuk beraktifitas seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan dan kemampuan aktifitas berat.

13.Keterbatasan akibat masalah fisik

(61)

14.Rasa nyeri yang dirasakan

Aspek ini mencakup intensitas rasa nyeri dan pengaruhnya terhadap aktivitas normal baik didalam maupun di luar rumah.

15.Persepsi kondisi kesehatan secara umum

Aspek ini mencakup pandangan pasien terhadap kondisi kesehatan sekarang, prediksi di masa yang akan datang, dan daya tahan terhadap penyakit.

16.Kesejahteraan emosional

Aspek ini mencakup kesehatan mental secara umum, depresi, perasaan frustasi, kecemasan, kebiasaan mengontrol emosi, perasaan tenang dan bahagia.

17.Keterbatasan akibat masalah emosional

Aspek ini mencakup bagaimana masalah emosional mengganggu pasien dalam beraktifitas sehari hari, seperti lebih tidak teliti dari sebelumnya.

18.Fungsi sosial

Aspek ini mencakup keterbatasan berinteraksi sosial sebagai akibat dari maslah fisik dan emosional yang dialami.

19.Energi/ Kelelahan

Aspek ini menggambarkan tingkat kelelahan, capek, lesu dan perasaan penuh semangat yang dialami pasien setiap waktu.

2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

(62)

pasien berjenis kelamin laki-laki (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Sathvik, 2008; Veerapan et al., 2012; Tel & Tel, 2011). 2) Usia, pasien yang berusia lanjut lebih cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dan cenderung lebih depresi (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Veerapan et al., 2012). 3) Pendidikan, pasien berpendidikan rendah juga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Pakpour et al., 2010). 4) Status pernikahan, pasien yang bercerai atau yang tidak mempunyai pasangan hidup cenderung nilai kesehatan fisik, sosial rendah dan rentan terhadap depresi (Paraskevi, 201; Tel & Tel, 2011). 5) Status pekerjaan atau status ekonomi pasien juga mempengaruhi kualitas hidup (Bele et al.,; Pakpour et al., 2010).

(63)

2012). 7) Adekuasi hemodialisis, pasien yang memiliki adekuasi hemodialisis yang baik akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik juga (Cleary & Drennan, 2005), 8) interdialityc weight gain (IDWG), dan urine output, pasien yang memiliki kenaikan berat badan interdialisis lebih kecil akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sementara pasien yang memiliki volume urin yang lebih banyak akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, (Veerapan et al, 2012), dan yang terakhir 9) kadar hemoglobin, pasien yang mempunyai hemoglobin 11 g /dl dalam waktu 6-12 bulan akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Plantinga, Fink, Jaar, Huang, Wu, et al., 2007).

2.4.5 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis

(64)

rendah pada domain kesehatan fisik (Sathvik et al., 2008; Paraskevi, T., 2011), sedangkan pengukuran dengan Quality Of Life Index didapat domain kesehatan dan fungsinya dan domain sosioekonomi mempunyai skor yang paling rendah (Rambod & Rafii, 2010; Ayoub & Hijjazi, 2013).

2.4.6 Peran Perawat di Unit Hemodialisis

Peran perawat secara umum adalah sebagai pemberi perawatan, membuat keputusan klinik, pelindung dan advokat, manejer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik (Potter & Perry, 2005). Praktek keperawatan hemodialisis merupakan praktek keperawatan lanjut, yang dilakukan oleh perawat dialisis yang terdiri dari perawat praktisi dan perawat spesialis klinik dan memiliki sertifikat pelatihan dialisis (Headley & Wall, 2000). Kallenbach et al., (2005) menyebutkan bahwa perawat dialisis selain sebagai care provider/ clinician

(pemberi asuhan keperawatan), educator, counselor, administrator, advocate dan researcher juga sebagai collaborator.

(65)

a. Pemberi Asuhan Keperawatan

Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan adalah untuk membantu menyelesaikan masalah dan mencegah terjadinya komplikasi. Pasien hemodialisis juga bersifat unik yang akan mempunyai keluhan yang berbeda-beda, baik masalah hematologi, nutrisi, endokrin, muskuloskeletal, dan respon imun yang abnormal. Perawat juga memberi asuhan secara holistik, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Perawat memberikan bantuan kepada pasien dan keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut. Perawat hemodialisis diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga dalam melakukan pengelolaan klien hemodialisis yang memiliki faktor risiko dan masalah penyakit yang ditemukan pada klien penyakit ginjal tahap akhir, seperti: diabetes millitus, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, hiperparatiroidisme sekunder dari anemia, hiperlipidemia.

Sebagai pemberi asuhan keperawatan, seorang perawat di unit hemodialisis mampu mengelola semua aspek klinis klien hemodialisis, sehingga seorang perawat dialisis harus memiliki pemikiran kritis, pengetahuan yang maju dan terampil dalam memfasilitasi pelaksanaan pedoman praktek klinis, mampu melakukan perawatan diagnostik, dapat dilatih untuk melakukan prosedur invasif tertentu, mampu mempertahankan akses vaskuler dan pencegahan infeksi (Headley & Wall,2000).

b. Manajer Kasus

(66)

yang juga mengalami penyakit penyerta lain atau akibat lanjut dari penyakit ginjal kronis, sehingga penanganan pasien dilakukan secara tim, dimana perawat adalah sebagai manajer kasus mampu melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan lainnya serta mengatur sumber yang tersedia. Perawat mampu mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung jawab asuhan dan juga mengawasi tenaga kesehatan lainnya (Headley & Wall,2000).

c. Educator

Perawat pendidik (educator) harus mempunyai latar belakang pengalaman klinis, keahlian klinis dan pengetahuan teoritis. Peran Perawat pendidik dalam praktek keperawatan lanjut di unit hemodialisis mempunyai tanggung jawab terhadap staf dan pendidikan pasien. Pengetahuan terkait penyakit ginjal kronik merupakan hal yang penting. Banyak klien tidak mendapatkan informasi tentang pemahaman akses dialisis, bagaimana mempertahankan dan perawatan akses vaskuler, pengobatan dan perubahan pola makan. Sebagai perawat pendidik, juga dapat melakukan diskusi bersama pasien dan keluarga tentang transplantasi. Perawat spesialis klinik juga bertanggung jawab terhadap pendidikan staf termasuk dalam mengintegrasikan hasil penelitian klinis dalam praktek klinis, mengevaluasi kesesuaian sumber daya pendidikan yang tersedia bagi pasien dan staf merupakan aspek penting dari peran perawat spesialis sebagai pendidik (Berger et al., 1996 dalam Headley & Wall, 2000).

(67)

asupan garam dan elektrolit. Perawat menilai kebutuhan pasien dan membantu memenuhi kebutuhan pasien dengan melibatkan keluarga. Memberikan edukasi dan dukungan psikologis terhadap pasien dan keluarga dalam mengelola pasien penyakit ginjal kronik pra dialisis, mempersiapkan terapi pengganti sebaik mungkin. Mengevaluasi apakah klien mengerti dengan penjelasan perawat dan mengevaluasi kemampuan pembelajaran.

d. Konsultan

Perawat sebagai konsultan memberikan dukungan dan bimbingan untuk pasien, rekan kerja dan rekan subspesialisasi. Seorang ahli bedah vaskuler dapat melakukan konsultasi kepada perawat spesialis klinik tentang kemampuan pasien dalam melakukan perawatan akses vaskuler, menentukan pematangan akses vaskuler dan kemungkinan keberhasilan kanulasi kateter (Headley & Wall, 2000). e. Advokat

Peran perawat sebagai advokat, dimana perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi pasien dan mencegah terjadinya kecelakaan, melindungi pasien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan. Pada pasien hemodialisis peran perawat sebagai advokat, misalnya melindungi pasien agar tidak terjadi infeksi pada akses vaskuler, emboli dan perdarahan.

f. Peneliti

(68)

perbaikan kualitas secara terus menerus. Penelitian harus dilakukan oleh perawat spesialis terutama dalam menunjukkan efektifitas dalam praktek keperawatan hemodialisis (Headley & Wall, 2000).

Berdasarkan uraian tentang peran perawat hemodialisi dapat disimpulkan bahwa peran perawat harus terintegrasi dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien hemodialisis. Dengan terintegrasinya peran tersebut, maka dapat mencegah terjadinya komplikasi, mengurangi biaya perawatan pasien dan dapat membantu pasien dalam meningkatkan kualitas hidupnya (Headley & Wall, 2000).

2.5 Landasan Teori

Model yang paling komprehensif yang digunakan dalam perawatan pasien adalah dengan mengaplikasikan bio-psycho-sosial-spiritual model (Dossey, 2005). Manusia atau individu adalah satu kesatuan yang utuh dari bio (fisik/ raga/tubuh), psiko (jiwa), sosio (hubungan dengan orang lain) dan spiritual (keyakinan/ religius). Manusia atau individu tidak bisa dipandang sebagai bagian atau per sistem yang dapat dipisah-pisahkan, antara bio–psiko–sosio–spiritual saling mempengaruhi, dimana jika salah satu sistem yang terganggu akan mempengaruhi atau mengganggu sistem yang lainnya (DeLoune & Ladner, 2011). Teori holistic nursing merupakan konsep yang paling lengkap dan praktis digunakan dalam praktek keperawatan profesional (Dossey, 2005).

Pasien yang menjalani terapi hemodialisa akan tergantung kepada terapi tersebut selama hidupnya sebelum menemukan donor ginjal yang tepat. Konsep

(69)

untuk mendasari perawatan pasien hemodialisa dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

2.5.1 Keperawatan Holistik

Model holistik mengatakan bahwa semua penyakit yang memiliki komponen psikosomatik, dan biologis, faktor psikologis, sosial, dan spiritual selalu berkontribusi untuk gejala- gejala penyakit pasien. Dimensi spiritual dalam model bio-psycho-sosial-spiritual menggabungkan spiritual dalam konteks yang lebih luas yaitu nilai-nilai, makna dan tujuan hidup. Setiap komponen dari model

bio-psycho-sosial-spiritual saling tergantung dan saling terkait. Hal ini diperlukan untuk mengatasi semua komponen untuk mencapai hasil terapi yang optimal. Terlepas dari penyakit yang diderita, teknologi yang dikembangkan, atau terapi yang digunakan, model bio-psiko-sosial-spiritual menyediakan petunjuk secara keseluruhan dalam merawat pasien (Dossey, 2005).

Secara biologi dan fisiologi, manusia merupakan suatu kesatuan dari unsur terkecil yakni sel, dimana sekumpulan sel akan membentuk jaringan, sekumpulan jaringan akan membentuk organ, organ yang memiliki fungsi sama akan membentuk sistem organ, sekumpulan sistem organ akan membentuk individu. Fokus dari dimensi ini adalah kebutuhan dasar manusia yaitu oksigen, sirkulasi, istirahat dan tidur, nutrisi dan eliminasi (DeLoune & Ladner, 2011).

(70)

self-esteem (DeLoune & Ladner, 2011). Secara sosial, manusia perlu hidup bersama, berhubungan dan saling kerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya. Secara spiritual, manusia mempunyai keyakinan atau mengakui adanya Tuhan, memiliki pandangan hidup, motif atau dorongan hidup yang sejalan dengan sifat–sifat religius yang dianutnya.

Gambar 2.1 the Bio-Psycho-Social-Spiritual Model (Dossey, 2005) 2.5.2 Elemen Spiritual

a. Keterhubungan dengan Sumber Suci atau Tuhan

Sumber suci mungkin dijelaskan sebagai orang, kehadiran, atau sebagai sebuah misteri yang melampaui kata-kata. Ketidakcukupan bahasa sangat jelas ketika kita mencoba untuk mendiskusikan atau menggambarkan apa yang ada di dalam dan antara kita, namun di luar dan kekuatan yang lebih besar dari kita. Menghubungkan dengan sumber suci bisa melibatkan hal-hal seperti doa, ritual, rekonsiliasi, dan ketenangan. Ajaran dari tradisi keagamaan menawarkan berbagai perspektif mereka sendiri dan pedoman bagaimana cara berhubungan ddengan sumber suci. Memahami bagaimana orang mencari dan merasakan hubungan

Biologi Psikologi

Sosiologi Spiritual

(71)

dengan sumber suci dan hambatan yang mungkin mereka hadapi adalah penting dalam memberikan perawatan spiritual (Dossey, 2005).

b. Keterhubungan dengan Alam

Spiritualitas sering diungkapkan pada pengalaman melaui rasa keterhubungan dengan alam, lingkungan, dan alam semesta. Hewan, burung, ikan dan makhluk lainnya dibumi yang memberikan makna dan suka cita bagi orang-orang bagi segala usia. Banyak orang-orang mengalami rasa hubungan dengan sumber suci melalui alam, terlepas dari latar belakang agama mereka. Orang sering mengekspresikan perasaan tertentu kedekatan dengan spiritual diri mereka saat berjalan dipantai, duduk didekat pohon kesukaan mereka, melihat matahari terbenam, mendengarkan air yang mengalir, melihat api, dan merawat tanaman, dan sebaliknya mengalami tatanan alam. Alam bisa menjadi sumber kekuatan, inspirasi dan kenyamanan, yang semuanya adalah atribut dari spiritualitas (Dossey, 2005).

c. Keterhubungan dengan Orang Lain

(72)

mencintai dan mendukung adalah sebuah ekspresi dari spiritualitas, seperti berjuang dengan hubungan yang menyakitkan dan sulit dengan keluarga, teman dan kenalan. Hubungan yang memerlukan penyembuhan adalah hal yang penting untuk spiritualitas, seperti hal nya orang-orang yang memberikan dukungan dan kenyamanan.

Keterhubungan Spiritual dengan orang lain baik dalam hal memberi dan keterbukaan untuk menerima cinta, hidup dan sumber suci adalah sikap spiritual. Spiritualitas dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari dan saat-saat khusus bersama dengan orang lain, saat suka cita, kesedihan, ritual, seksual, doa, bermain, semnagat, kemarahan, perdamaian, dan kepedulian (Dossey, 2005). d. Keterhubungan dengan Diri Sendiri

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit
Gambar 2.1 the Bio-Psycho-Social-Spiritual Model (Dossey, 2005)
Tabel 3.1 Variabel Independen dan Defenisi Operasional
Tabel 3.3 Nomor Pertanyaan berdasarkan 19 aspek KDQOL version 1,3
+4

Referensi

Dokumen terkait

Di Indonesia sendiri, sebuah penelitian dari Universitas Indonesia menemukan bahwa prevalensi depresi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis mencapai 31,1% dan sebagian

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui hubungan lama menjalani terapi hemodialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik di instalasi hemodialisis RSUD

Pasien hemodialisis merupakan pasien tetap sehingga diharapkan dalam rentang waktu satu minggu telah mencakup seluruh pasien PGK yang menjalani hemodialisis serta

Peneliti mengharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dengan desain penelitian yang sesuai untuk menganalisis hubungan kadar Hb dan status gizi dengan

Saat ini sedang mengadakan penelitian dengan judul “ Hubungan antara penambahan berat badan interdialisis (interdialytic weight gain) dengan kejadian hipertensi

Unit Pelayanan Dialisis Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 812 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan,

Peneliti adalah mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, bermaksud mengadakan penelitian untuk mengetahui

Berdasarkan hasil penelitian dan bahasan dapat disimppulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara infeksi virus hepatitis C kronik dengan kualitas hidup pasien PGK