• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lamban dan Tidak Reformis

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 76-82)

Departemen P dan K 1

2. Lamban dan Tidak Reformis

Salah satu tugas institusi pendidikan adalah mencerdaskan bangsa dan membuat masyarakat kritis. Tapi bila kita perhatikan

pada masa krisis sampai sekarang, jelas, institusi pendidikan itu sama sekali tidak cerdas dan tidak kritis, dan terbukti tidak punya kepekaan terhadap masalah krisis (setise of crisis). Meski setiap hari media cetak maupun elektronik memberitakan jutaan anak putus sekolah karena tidak ada biaya, dan puluhan ribu anak menderita penyakit gizi buruk maupun busung lapar, sekolah-sekolah (negeri dan swasta) tetap melakukan pungutan untuk pakaian seragam, uang gedung, dan pungutan lain yang jumlahnya mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Pungutan itu menjadi syarat bagi penerimaan murid baru. Artinya, calon murid baru yang sampai batas akhir daftar ulang tidak bisa bayar uang tersebut, haknya sebagai calon murid otomatis gugur.

Menteri P dan K Juwono Sudarsono (Mei 1998-Oktober 1999) pernah membuat aturan bahwa murid baru tidak harus pakai seragam baru, boleh memakai seragam kakaknya atau orang lain yang sudah tidak terpakai. Tapi yang terjadi di lapa-ngan, pungutan uang seragam, uang gedung, BP3, dan lain-lain untuk tingkat SLTP (Negeri) pun cukup tinggi, rata-rata di atas Rp 150.000 per murid (1999). Dan anehnya, itu justru banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri. Hal yang sama terjadi pada kegiatan rekreasi. Meski dalam kondisi krisis, banyak seko-lah melaksanakan program pariwisata dengan biaya di atas Rp 100.000 per murid (1999). Seorang guru SLTPN di Gunungkidul yang kritis terhadap kebijakan pimpinannya yang tidak peka krisis, justru dihambat nilai DP3-nva.

Pungutan-pungutan yang tidak mencerminkan sense of crisis itu juga terjadi menjelang Ebta/Ebtanas. Sebuah SD di Cipinang, Jakarta Timur, misalnya, mengenakan pungutan sebesar Rp 78.000. Sedangkan untuk tingkat SLTP (terutama swasta), tidak sedikit yang memungut biaya di atas Rp 300.000 per murid (1999). Kebijakan berupa keharusan untuk segera melunasi uang sekolah sebagai syarat mengikuti ulangan umum juga masih ditempuh oleh banyak sekolah. Jadi krisis atau tidak krisis, sebe-lum atau setelah reformasi, praktiknya sama saja. Tidak ada per-bedaan.

Jika kita bertanya, bagaimana pendidikan menghadapi reformasi? Maka jawaban yang diperoleh adalah frustasi, sebab kita tidak menemukan perubahan apa-apa. Korupsi-kolusi dan suasana bisnis tetap merajalela dalam kehidupan birokrasi pendidikan. Materi pelajaran dan metode mengajar belum ada yang berubah. Guru tetap sebagai penatar atau komandan. Mo-del evaluasi terhadap siswa maupun sekolah oleh Kanwil (seka-rang Dinas) tetap sama. Dan cara menyikapi perubahan pun sama seperti masa Orde Baru: murid takut kepada guru, guru takut kepada kepala sekolah, kepala sekolah takut kepada pengawas, pengawas takut kepada Kakanwil (sekarang Kepala Dinas Pendidikan), Kepala Dinas takut kepada bupati/walikota (dan tidak tahu, apakah menteri takut kepada presiden?). Jadi belum ada reformasi sama sekali dalam institusi pendidikan nasional. Yang ada hanya perubahan nama dan penanggung jawab saja.

Bila kita bandingkan antara buruh dengan guru dalam menghadapi perubahan, maka buruh terbukti jauh lebih respon-sif dan berani daripada guru, terutama menyangkut perubahan kebijakan pemerintah. Tapi guru, meski lebih tinggi pendidikan-nya dan seharuspendidikan-nya selalu mengikuti informasi baru, sikap mere-ka terhadap perubahan sangat lamban dan cenderung defensif. Buktinya, beberapa kebijakan Menteri P dan K selama krisis ter-nyata berhenti sebatas kebijakan dan tidak terimplementasi pada tingkat bawah. Padahal, kebijakan-kebijakan menteri itu disam-paikan melalui televisi dan radio sehingga, logikanya, dapat diak-ses oleh semua warga.

Kita bisa ambil contoh paling baru, soal Program Pendaf-taran Dini untuk anak Prasejahtera dan Sejahtera I. Meski di media elektronik dan cetak tiap hari diiklankan program ter-sebut, ketika kita bertanya ke para guru (di Jakarta dan Yogyakarta) mengenai implementasinya, maka jawabannya sa-ma: "Kami hanya tahu dari koran dan TV, tapi tidak tahu bagai-mana pelaksanaannya di lapangan. Yang jelas, sampai sekarang sekolah belum memperoleh petunjuk pelaksanaan."

Guru sering dianggap sebagai makluk serba tahu. Tapi bila guru saja tidak tahu sesuatu yang seharusnya dia ketahui, lalu kepada siapa masyarakat dapat bertanya tentang hal-hal baru, terutama dalam bidang pendidikan? Kita bisa memaklumi bila guru yang ada di nun jauh pelosok sana tidak tahu apa-apa ten-tang kebijakan-kebijakan baru di bidang pendidikan, mengingat yang ada di dekat kekuasaan pun tidak tahu apa-apa. Tapi bila para guru di Jakarta dan Yogyakarta tidak mengetahui persoalan tersebut, jelas ada sesuatu yang hilang pada mereka.

Sesuai dengan tugasnya mencerdaskan bangsa, seharusnya, institusi pendidikan menjadi pelopor pembaruan dalam banyak hal. Tapi ternyata fungsi pelopor itu kalah dengan Departemen Penerangan, yang telah memberikan kebebasan pers tanpa em-bel-embel dan membubarkan Korpri di lingkungannya. Semen-tara, di lingkungan P dan K tidak ada pembaruan sama sekali, kecuali menghapus penataran P4, dan itu pun akan diganti de-ngan Wawasan Kebangsaan, yang isinya mungkin sama dede-ngan penataran P4, hanya namanya saja beda. Padahal, banyak hal yang seharusnya segera direformasi agar praksis pendidikan nasional mempunyai sumbangan yang signifikan bagi bangsa untuk keluar dari krisis, jeratan kemiskinan, dan mengatasi konflik di masyarakat. Banyak orang meyakini, pendidikan yang baik dapat mengantarkan bangsa keluar dari multikrisis. Tapi celakanya, praksis pendidikan nasional tidak jelas juntrungan-nya karena departemen yang seharusjuntrungan-nya bertanggung jawab untuk pembaruan pendidikan itu sendiri tidak mengalami kebaruan sama sekali. Mereka masih tetap konservatif, korup, tidak peka, serta tidak aspiratif terhadap suara-suara yang disampaikan oleh masyarakat.

Beberapa hal yang perlu segera direformasi dalam tubuh Departemen Pendidikan Nasional sebagai penanggung jawab pelaksana pendidikan antara lain: kecenderungan berpikir dan bertindak sentralistik, tidak mau mendengarkan masukan dari luar, suka memaksakan kehendak, orientasi pada proyek, korup-si dan kolukorup-si, kurang transparan, lemahnya kemampuan

manaje-rial, dan menipisnya wawasan kebangsaan. Sungguh menyedih-kan bila praksis pendidimenyedih-kan justru turut memperparah krisis, memiskinkan masyarakat, dan mempertajam konflik sosial seperti yang terjadi selama ini.

Bila internal Departemen Pendidikan Nasional sudah meng-alami reformasi seperti yang diharapkan, sehingga menjadi lebih terbuka, aspiratif, demokratis, memiliki kepekaan sosial yang tinggi dalam setiap kebijakannya, terbebas dari korupsi dan kolusi, lebih efisien, memiliki kemampuan manajerial yang tinggi sehingga mampu membuat perencanaan yang matang dan holis-tik, serta memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi; barulah praksis pendidikan (di lapangan) dapat direformasi sesuai hara-pan masyarakat. Sebab, kalau yang di atas sudah berubah, maka perubahan di tingkat bawah tidak ada penghalangnya. Tapi bila di tingkat atas belum mengalami reformasi sama sekali, perubah-an di bawah akperubah-an mendapat resistensi dari birokrasi di pusat. Dan dengan ancaman tidak memperoleh bantuan bila tidak patuh pada birokrasi di pusat, aparat paling bawah (kepala sekolah) pasti takut melanggar perintah dari atas. Apalagi, para kepala sekolah dan guru kita memiliki nyali yang kecil terhadap birokrat pendidikan.

Tapi bila mereka yang menentukan kebijakan di Departe-men Pendidikan Nasional tetap resisten terhadap perubahan, sulit sekali mengharapkan terjadinya perubahan praksis pendi-dikan. Akhirnya, menteri boleh berganti-ganti, tapi kalau dirjen-nya ke bawah masih tetap warisan Orde Baru, menteri baru itu tidak akan membawa perubahan apa-apa kecuali hanya melahir-kan wacana-wacana baru saja. Langkah awal mereformasi Depar-temen Pendidikan Nasional adalah mengganti para birokrat yang sudah terbukti korup dan kolusi. Cuma masalahnya, apa-kah menteri punya keberanian untuk itu? Sebab, langapa-kah itu pasti akan membuat beratus atau beribu pejabat P dan K menjadi terancam posisinya. Tapi bila langkah mereformasi itu tidak dilakukan, maka selain pendidikan kehilangan auranya,

masya-rakat juga tetap hidup dalam situasi sebelum reformasi: tertindas, dipermiskin, diperbodoh oleh sekolah. Padahal, sekolah seharus-nya mencerdaskan dan membebaskan masyarakat dari jeratan kemiskinan.

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 76-82)