• Tidak ada hasil yang ditemukan

MBS = Masyarakat Bayar Sendiri

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 56-60)

Reformasi Pendidikan, Sekadar Wacana

2. MBS = Masyarakat Bayar Sendiri

Bagi masyarakat awam, indikator perubahan kebijakan da-lam bidang pendidikan itu sebetulnya sederhana saja, yaitu mencari sekolah makin mudah, biaya sekolah makin murah, syukur gratis, tidak banyak pungutan, tidak ganti-ganti buku setiap semester yang akhirnya membebani ekonomi mereka, setelah lulus sekolah bisa langsung mendapatkan kerja.

Tapi apa yang mereka harapkan hanya ilusi, karena me-mang tidak pernah terealisasi dalam hidup. Masyarakat awam justru merasa heran karena mereka merasakan bahwa pungutan biaya sekolah itu makin beragam jenis dan makin banyak jum-lahnya. Padahal, pendapatan mereka sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan makin menurun. Jargon pendi-dikan gratis tidak pernah dirasakan oleh masyarakat karena hanya istilahnya saja yang berubah, dari yang semula bernama SPP berubah menjadi sumbangan untuk BP3. Tapi secara prinsip masyarakat sama-sama membayar dengan rupiah.

Sampai sekarang, sekolah-sekolah negeri, yang sebagian besar dananya dari negara juga, masih tetap didominasi oleh anak-anak orang kaya. Sedangkan anak-anak orang miskin, karena NEM-nya jelek, masuk ke sekolah swasta kere yang biasanya mereka tanggung sendiri dan mutunya lebih buruk. Hal itu karena sistem penerimaan murid baru belum mengalami perubahan seperti sebelumnya, yaitu hanya berdasarkan NEM atau hasil UAN.

Padahal, yang memiliki NEM atau hasil akhir UAN yang bagus adalah mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas.

Pemberian beasiswa juga masih tetap didasarkan pada ke-mampuan akademis, bukan pada keke-mampuan sosial ekonomi murid. Akibatnya, beasiswa hanya diterima oleh mereka yang secara finansial sebetulnya sudah tidak mengalami kesulitan lagi. Sedikit orang miskin yang memiliki kemampuan akademis cukup baik sehingga memperoleh beasiswa. Mayoritas orang miskin adalah bodoh, karena itu sulit memperoleh beasiswa. Orang awam semula berharap bahwa reformasi sampai pada tingkat memfasilitasi mereka agar bisa turut memperoleh beasiswa guna meringankan biaya sekolah.

Yang membuat masyarakat awal terheran-heran, mening-katnya pungutan-pungutan ini-itu justru bersamaaan dengan diperkenalkannya konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan Dewan Pendidikan maupun Komite Sekolah. Dalam baya-ngan awal mereka, keberadaan institusi-institusi baru itu akan semakin meringankan beban biaya pendidikan masyarakat. Tapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Beban pendidikan yang harus dipikul oleh masyarakat semakin berat, justru dengan ada-nya MBS, Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah. Wajar bila kemudian bagi masyarakat awam, MBS itu kependekan dari Masyarakat Bayar Sendiri, bukan Manajemen Berbasis Sekolah. Apa yang dimaksudkan dengan MBS itu berarti, masyarakat harus membayar sendiri dana-dana pendidikannya. Dan apa yang disebut Komite Sekolah itu setali tiga uang dengan BP3, yaitu kepanjangan tangan sekolah untuk melakukan pungutan kepada orang tua murid. Semua pungutan, berapa pun besarnya, menjadi sah bila sudah mendapat persetujuan dari Komite Seko-lah. Dan Komite Sekolah umumnya akan mendukung keputusan pihak sekolah, karena yang duduk di Komite Sekolah memang orang-orang yang memiliki hubungan kedekatan dengan kepala sekolah.

Praktik jual beli buku pelajaran dari tingkat SD-SMTA yang memiskinkan dan memperbodoh masyarakat, karena selalu ter-jadi setiap semester atau catur vvulan dan tidak bisa diwariskan kepada adik kelasnya, masih terus belangsung sampai sekarang, dan tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Padahal, sekali beli buku pelajaran untuk satu anak SD, harganya tak kurang dari Rp 200.000. Atau, dalam satu tahun tak kurang dari Rp 400.000. Uang sebesar itu memang tidak ada artinya bagi kelas menengah ke atas, karena uang saku mereka dalam satu bulan saja bisa lebih dari Rp 1 juta. Tapi bagi mereka yang hidup sebagai sopir angkutan umum, sopir pribadi, buruh bangunan, buruh pabrik, buruh perkebunan, buruh tani, petani, nelayan, pemulung, kar-yawan kecil, pedagang kecil, dan sebagainya, uang tersebut sangat memberatkan. Apalagi kebutuhan pelajar bukan hanya buku pelajaran saja, tapi juga uang saku, transportasi, BP3, seragam sekolah, dan sebagainya.

Keluhan juga menyangkut soal pakaian seragam sekolah. Ternyata, instruksi Menteri Juwono Sudarsono agar murid baru tidak harus membeli pakaian seragam baru, tidak didengarkan oleh kepala sekolah dan guru. Keharusan untuk membeli pakaian seragam baru masih tetap berlaku untuk semua tingkatan. Sebab, dalam bisnis pakaian seragam itu memang banyak pihak yang diuntungkan, termasuk pengelola sekolah. Yang dirugikan hanya orang tua murid saja, karena sebetulnya anaknya bisa mewarisi pakaian seragam kakak (kelasnya) tapi terpaksa harus membeli baru, sebab itu bagian dari daftar ulang sebagai calon murid baru.

Sebetulnya, tak ada yang salah dengan pakaian seragam sekolah karena itu dapat mengurangi terjadinya persaingan di lingkungan sekolah. Hanya saja, ketika mekanisme pembelian pakaian seragam itu sudah menjadi keharusan dan dikoordinasi oleh sekolah, di sanalah masalah itu muncul. Substansi yang disampaikan melalui cara-cara tersebut bukan keharusan bersera-gamnya, melainkan keharusan membelinya. Kalau saja pesan utama yang disampaikan adalah keharusan berseragam, itu tidak

jadi masalah, karena seragam dapat diperoleh melalui berbagai cara, termasuk mewarisi kakak (kelas) atau saudara, bahkan mungkin tetangga.

Sekarang, kebijakan pakaian seragam sekolah itu malah dobel, seiring kebijakan baru yang mewajibkan murid memakai baju muslim setiap hari Jum'at. Tanpa disadari, kebijakan terse-but menambah beban baru bagi orang tua murid, karena selain harus menyediakan pakaian seragam biasa (merah putih untuk SD, biru putih untuk SMP, dan abu-abu putih untuk SMTA), mereka juga harus menyediakan seragam muslim, yang meski-pun warnanya sama, tapi jenis potongannya berbeda. Peraturan semacam itu tidak hanya berlaku untuk sekolah-sekolah Islam, tapi juga sekolah-sekolah negeri yang notabene untuk publik.

Bagi penulis, peraturan yang mewajibkan setiap Jum'at mengenakan pakaian muslim itu memang agak mengherankan, karena muncul justru ketika iklim politik mengarah pada proses demokratisasi. Masyarakat tidak berani melontarkan kritik

ter-J

hadap kebijakan semacam itu karena khawatir dituduh SARA. Ideologi SARA — yang diciptakan oleh rezim Orde Baru — memang telah menghegemoni masyarakat sehingga menjadi tidak kritis lagi. Padahal, secara prinsip, sekolah publik itu mestinya untuk umum (semua golongan), sehingga peraturan-peraturan yang dibuat semestinya juga mengakomodasi kepentingan semua golongan, bukan hanya kepentingan satu golongan saja. Sebab kalau pendidikan saja sudah bersikap demikian, lalu melalui apa nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa itu akan ditanamkan? Jadi, bagi masyarakat awam, reformasi pendidikan belum mereka rasakan sama sekali, karena ternyata beban yang harus mereka pikul justru lebih berat dibanding sebelum reformasi. Paling tidak, sebelum reformasi jenis pakaian seragam itu cukup satu, tapi sekarang mau tidak mau harus dua. Pungut-memungut biaya dengan argumentasi yang bermacam-macam masih tetap mewarnai dunia pendidikan formal, dan malah dilegitimasi oleh konsep Manajemen Berbasis Sekolah.

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 56-60)