• Tidak ada hasil yang ditemukan

Swasta Makin Liar

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 94-99)

Rusak, Pendidikan di Era Otonomi Derah

3. Swasta Makin Liar

Pelaksanaan otonomi daerah yang kemudian diikuti dengan otonomi pendidikan ternyata membawa dampak amat luas ter-hadap praktik pendidikan nasional. Bagi sekolah-sekolah negeri, saling lempar tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pem-da itu membawa Pem-dampak makin tiPem-dak tertanganinya kekurangan guru dan kerusakan gedung-gedung SD. l api bagi sekolah-seko-lah swasta, saling lempar tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah itu membawa dampak pada makin liarnya sekolah-sekolah swasta dalam melakukan pungutan biaya seko-lah. Dengan dalih otonomi daerah dan otonomi sekolah, sekolah-sekolah swasta makin liar menarik iuran ini-itu untuk men-jalankan pendidikannya.

Saya sendiri tidak bisa memahami argumentasi yang diba-ngun para pengelelola sekolah swasta. Sebab, bukankah swasta di Indonesia itu sejak awal hidup dari masyarakat, bukan dari pemerintah? Sekolah-sekolah swasta itu, sejak awal, didirikan mengandalkan dukungan masyarakat, khususnya orang tua wali murid untuk pembiayaannya. Bantuan dari Pemerintah relatif kecil, paling hanya berupa guru negeri yang diperbantukan (Guru DPK), dan itu pun jumlahnya tidak sampai separuh dari total guru di sekolah tersebut. Dengan demikian, ada otonomi atau tidak, sebetulnya tidak berpengaruh terhadap kondisi anggaran sekolah karena sejak dulu memang begitu. Maka sungguh meng-herankan bila di era otonomi ini sekolah-sekolah swasta mela-kukan pungutan macam-macam dengan dalih otonomi daerah sehingga sekolah harus mandiri. Sekolah swasta harus mandiri itu sudah sejak dari sowo-nya, sehingga sangat tidak etis bila kemudian menjadikan pelaksanaan otonomi daerah dan otonomi pendidikan sebagai dasar untuk melakukan pungutan.

Dalam situasi masyarakat belum menyadari hak-haknya sebagai warga negara yang baik, cara kerja sekolah-sekolah swasta itu kian sulit dikontrol. Apalagi, kepada masyarakat juga tidak pernah ditunjukkan, berapa besar pengurangan subsidi

yang diberikan pemerintah ke sekolah tersebut dibanding dengan masa lalu sebelum ada otonomi. Bila pengelola sekolah dapat menunjukkan data tersebut dan masyarakat dapat meng-aksesnya, barangkali itu akan sangat membantu masyarakat untuk memahami tingkat kesulitan pihak sekolah dalam men-jalankan manajemen pendidikan. Seandainya kepada masyarakat ditunjukkan data subsidi, berkurang atau bertambah, mungkin mereka akan percaya, lalu mendukung penuh kebijakan-kebi-jakan yang diambil oleh pihak sekolah. Tapi karena data tersebut

sampai sekarang tidak ada, maka masyarakat hanya dapat ber-prasangka buruk. Jangan-jangan kecurigaan orang tua wali mu-rid bahwa otonomi daerah dan otonomi pendidikan hanya dija-dikan kedok oleh pengelola sekolah swasta untuk menarik pu-ngutan yang makin banyak, memang ada betulnya.

Saling lempar tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, atau antara Pemerintah dengan masyarakat pengelola sekolah swasta, jelas akan merusak sistem pendidikan nasional, karena pendidikan nasional tidak akan berjalan lancar, tapi terus tertatih-tatih, bak seorang anak yang terus mencari kedua orang tuanya. Kesibukan sehari-harinya tidak untuk be-kerja produktif, tapi hanya mencari kedua orang tuanya sampai ketemu. Dan bila tidak ketemu, mungkin depresi atau malah sampai bunuh diri. Kondisi yang sama akan terjadi pada bidang pendidikan. Bila selamanya muncul fenomena saling lempar tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemda, maka pen-didikan menjadi tidak terurus.

Melihat kondisi buruk di lapangan tersebut, maka kecen-derungan untuk saling lempar tanggung jawab itu perlu diakhiri dengan membuat kebijakan tunggal. Caranya adalah, pertama, menarik kembali semua urusan tenaga kependidikan dari peng-angkatan dan penempatan guru negeri, mutasi, kenaikan pang-kat, hingga soal urusan kesejahteraan ke Pusat lagi, agar tidak memberi ruang baru untuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta melahirkan raja-raja kecil yang korup di daerah-daerah.

Hal itu penting demi kelancaran nasib guru itu sendiri, serta untuk menghindarkan para guru bersikap kedaerah-daerahan. Berdasarkan pengalaman masa lalu hingga kini, Pemda be-lum memilki traek record yang baik dalam mengelola pendidik-an, termasuk penanganan guru. Yang ada justru tindakan represif terhadap para guru SD. Selama bertahun-tahun, guru SD di ba-wah wewenang Pemda; mereka selalu menjadi sapi perahan orang-orang Pemda. Juga menjadi garda depan untuk pemena-ngan Golkar selama masa Orde Baru. Kecuali itu, Pemda juga tidak memilki uang, sumber daya manusia, dan manajemen, sehingga meski kewenangan dalam banyak hal ada pada mereka, tapi sumber gaji guru tetap dari Pusat. Yang dimiliki oleh Pemda hanya satu, yaitu ingin uangnya saja mereka keep. Sulit mem-percayai Pemda mampu mengembangkan pendidikan yang lebih baik dan demokratis, karena mereka sudah terbiasa menjadi raja-raja kecil yang menuntut penghormatan tinggi, tapi sekaligus bermental jongos terhadap atasan. Bagaimana mungkin orang yang tidak hidup merdeka akan memerdekakan sesamanya? Itu hanyalah ilusi belaka.

Kedua, resentralisasi pembangunan gedung-gedung sekolah SD. Fakta menunjukkan, pembangunan gedung-gedung SLTP/ SMTA yang langsung ditangani Pusat ternyata jauh lebih awet dibanding gedung-gedung SD yang ditangani Pemda. Mengapa? Karena birokrasi Pemda lebih panjang, sehingga lebih banyak dana dipotong dan hanya sedikit yang jatuh untuk pembangun-an. Di wilayah Jawa Timur, misalnya, ada satu kabupaten yang memiliki lebih dari 100 pengusaha pemborong resmi. Kepemilikan perusahaan tersebut umumnya ada keterkaitan dengan pejabat di kabupaten. Para pemborong itu selalu memperebutkan pem-bangunan unit gedung baru atau rehabilitasi gedung SD untuk bisa bertahan, karena satu-satunya bangunan konstruksi yang terus berjalan dan memiliki nilai cukup besar adalah pemba-ngunan gedung SD, baik membangun unit gedung baru maupun rehabilitasi. Karena perusahaan itu harus hidup terus dan dimiliki

Pendidikan Rusak-Rusakan

oleh para kerabat pejabat kabupaten, maka dengan sendirinya diusahakan selalu ada proyek yang dikerjakan. Tidak menghe-rankan bila kemudian 75% dana pendidikan di daerah selalu dialokasikan untuk pembangunan gedung setiap tahun guna menghidupi rekanan (pemborong) yang notabene milik orang-orang di sekitar eksekutif maupun legislatif tersebut. Dengan kata lain, anggaran pendidikan di daerah itu bukan untuk per-baikan dan pengembangan pendidikan, tapi untuk rayahan para

konco-konco pejabat kabupaten atau DPRD.

Betul, ada Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota yang dapat menjadi pengontrol jalannya pendidikan di daerah. Tapi tetap ada masalah. Menurut SK Menteri Pendidikan Nasional No.044/ U/2002, pembentukan dan penentuan itu dilakukan oleh bupati/ walikota. Dengan sendirinya hanya orang-orang yang menurut perasaan bupati/walikota dapat dikendalikanlah yang dipilih menjadi anggota Dewan Pendidikan. Mereka yang kritis terha-dap bupati/ walikota tidak bakal menjadi anggota Dewan Pendidik-an, apalagi menjadi pengurusnya. Dengan kata lain, keberada-an Dewkeberada-an Pendidikkeberada-an dkeberada-an turunkeberada-annya Komite Sekolah sebagai kontrol terhadap jalannya pendidikan di daerah itu hanya bohong-bohongan belaka. Realitasnya di lapangan tidak seindah itu.

Bila situasi dan kondisi pendidikan itu dibiarkan terus, maka jangankan bicara soal kualitas, kuantitas saja tidak akan terpenuhi, karena guru, gedung sekolah, dan fasilitas lainya ku-rang. Sehingga tidak berlebihan bila disimpulkan, bahwa pen-didikan di era otonomi rusak, selama tidak ada perubahan men-talitas birokrat di tingkat Pemda, baik di tingkat eksekutif mau-pun legislatif sebagai pengelola pendidikan. Terlebih tidak ada-nya kesadaran masyarakat untuk turut mengontrol jalanada-nya pen-didikan, dan semakin cuek-nya perhatian Pemerintah.

Kekacauan itu sendiri tak lepas dari pandangan double

Stan-dard para pejabat di daerah. Di satu pihak, pendidikan dianggap

perhatian. Tapi di lain pihak, tetap diperlakukan sebagai wahana strategis untuk menyemai benih-benih kepatuhan dan ketun-dukan terhadap penguasa. Kecuali itu, dengan jumlah murid yang mencapai puluhan ribu untuk setiap kabupaten/kota, pen-didikan dapat menjadi ladang bisnis yang subur. Oleh sebab itu, meski secara finansial dan subtansial pendidikan kurang mendapat perhatian, jalannya pendidikan tetap dikendalikan pe-nuh, sehingga jabatan Kepala Dinas Pendidikan dipegang oleh mantan camat, mantan kepala sospol, mantan dinas perparkiran, atau bahkan mantan kepala dinas pemakaman.

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 94-99)