• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marjinalisasi Ekonomis

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 145-150)

Secara ekonomis, proses peminggiran peran guru itu dila-kukan melalui sistem penggajian guru yang amat rendah, sehing-ga pendapatan seorang guru untuk hidup paling sederhana pun tidak cukup, apalagi hidup di kota-kota besar, seperti para guru di wilayah Jabotabek (yang serba mahal). Seorang guru di wila-yah Jabotabek dengan tingkat pendidikan SI (sarjana) sedikitnya butuh 10 tahun untuk bisa cicil kredit rumah paling sederhana (RSS = Rumah Sangat Sederhana), atau butuh 15 tahun untuk bisa kredit rumah tipe Rumah Sederhana (RS). Itu pun dengan kerja ekstra mengajar di mana-mana dari pukul 05.00-19.00 WIB. Jika hanya mengajar di satu tempat, gajinya tidak bakal cukup untuk kredit rumah yang paling sederhana pun.

Gaji guru, seperti gaji pegawai negeri sipil lainnya, sengaja dibuat rendah agar posisi tawar guru terhadap penguasa rendah, sehingga tidak memiliki keberanian untuk melawan, karena keberanian untuk melawan itu diidentikkan dengan hilangnya s u m b e r - s u m b e r pendapatannya sebagai seorang guru. Guru secara sengaja diciptakan memiliki ketergantungan ekonomis kepada penguasa, karena guru akan selalu mengidentikkan pe-nguasa adalah negara dan pepe-nguasalah yang sumber-sumber ekonomi mereka.

Meskipun gaji guru rendah, kebijakan menaikkan gaji guru negeri tidak otomatis b e r d a m p a k pada peningkatan kualitas guru. Cermati saja, misalnya, kenaikan tunjangan fungsional guru hingga rata-rata menjadi di atas Rp 200.000, dan tunjangan kepa-da guru swasta sebesar Rp 75.000 untuk tingkat S D - S M T A kepa-dan Rp 50.000 untuk guru TK (Kompas, 19/12/2000) pada tahun 2001, tidak otomatis memacu guru untuk lebih berkembang. Bagi guru-guru swasta, kebijakan itu m e m a n g baru pertama kali setelah lebih dari 55 tahun turut mencerdaskan bangsa, baru sekarang nasibnya diperhatikan. Selama itu, mereka menjadi bagian dari aparatus negara, tapi nasibnya disuruh urus sendiri. Orang Jawa bilang, pemerintah itu urik alias curang. Jadi, khusus untuk guru swasta kebijakan baru itu belum dapat dilihat secara objektif.

Tapi untuk guru-guru negeri, baik yang mengajar di sekolah-sekolah negeri maupun swasta (Guru Dpk), kenaikan tunjangan fungsional yang terjadi pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu cukup signifikan jumlahnya. Hanya dalam waktu tiga tahun (pasca 22 Mei 1998-awal 2001), gaji guru nege-ri meningkat hampir tiga kali lipat. Pertama kali perbaikan gaji guru itu dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie dengan memberi-kan uang penyesuaian sebanyak Rp 150.000 per bulan untuk semua guru. Lalu, Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan tunjangan fungsional rata-rata di atas Rp 200.000. Pada masa Orde Baru, tunjangan fungsional guru dibedakan oleh golongan dan paling tinggi Rp 50.000. Baik B.J. Habibie maupun G u s Dur selain menaikkan tunjangan fungsional juga menaikkan gaji

p o k o k , s e h i n g g a gaji p o k o k s e o r a n g guru negeri s e k a r a n g d e n g a n G o l o n g a n III—IV rata-rata a n t a r a Rp 1 . 1 0 0 . 0 0 0 - R p 1.600.000. Pada masa Orde Baru (yang direpresentasikan oleh Golkar), gaji pokok hanya sekitar Rp 500.000,-. Maka aneh sekali bila para guru masih percaya dan ingin kembali ke Golkar.

Meski Presiden B.J. Habibie dan G u s Dur telah berhasil meningkatkan gaji guru negeri mencapai dua kali lipat, tidak otomatis kinerja guru-guru negeri seiring dengan peningkatan kesejahteraannya. Kinerja guru-guru negeri masih tetap seperti sebelumnya: malas-malasan, sering izin tidak masuk mengajar, minimalis (begini saja sudah cukup), rasa ingin tahu (curiosity) tetap rendah, tidak meng-iip date informasi maupun ilmu penge-tahuannya, tetap menjadi calo industri penerbitan maupun pari-wisata, tidak memiliki prinsip, takut pada atasan, dan sebagai-nya. Dengan kata lain, kenaikan gaji guru menjadi dua kali lipat lebih itu tidak berdampak pada perbaikan kualitas guru. Boleh jadi hanya berdampak pada pola konsumsi mereka.

Beberapa kawan dalam suatu diskusi informal sering berko-mentar: "Setuju kalau kesejahteraan guru ditingkatkan, tapi se-sungguhnya guru yang ada sekarang ini tidak layak digaji tinggi, karena mereka tidak memiliki kompetensi, otoritas, dan integ-ritas yang tinggi sebagai pendidik." Mereka ibarat sekrup-sekrup dalam sebuah mesin yang hanya bergerak bila digerakkan oleh tangan-tangan manusia (dalam hal ini adalah birokrasi pendidik-an). Otoritas mereka digadaikan kepada pengawas, Kanwil, Kan-dep (dulu, sekarang Dinas Pendidikan), atau yayasan (bagi guru swasta). Akibatnya, para guru tidak pernah merasa gelisah mes-kipun mutu pendidikan merosot dan buku-buku yang mereka pakai hanya m e m p e r b o d o h diri sendiri m a u p u n murid, dan menjadikan guru hanya sebagai kepanjangan tangan penerbit atau industri pariwisata yang berkolusi dengan pejabat untuk mencari keuntungan ekonomis semata.

Pandangan beberapa kawan di atas ada betulnya. Berdasar-kan pengalaman pribadi, guru sebetulnya memiliki peluang besar

untuk meningkatkan kesejahteraan, sekaligus mengembangkan diri tanpa harus melacurkan profesinya sebagai pendidik, sejauh kreatif dan rajin. Tapi justru dua hal inilah yang tidak dimiliki oleh para guru kita. Mereka u m u m n y a tidak pinter, loyo, malas membaca dan bergaul, pengecut, tidak memiliki keinginan tahu terhadap ilmu, tidak ada hasrat untuk m e n g e m b a n g k a n diri, tidak memiliki keberanian dan sikap yang jelas, tidak kritis, tidak kreatif, juga tidak memiliki cakrawala dan relasi yang luas, sehingga dengan sendirinya sulit memperoleh peluang untuk berkembang, kecuali dengan mengeksploitasi para murid. Inilah persoalan guru yang menurut hemat penulis paling mendesak untuk ditangani, tapi justru selalu terlewatkan, karena mayoritas masyarakat selalu melihat b a h w a akar masalahnya pada gaji yang rendah. Pandangan masyarakat itu dipertegas oleh PGRI, yang menyederhanakan persoalan guru pada masalah gaji saja sehingga perjuangan PGRI selama masa reformasi hanya terfokus pada kenaikan gaji saja. Perjuangan mereka pun sebetulnya lebih dimaksudkan untuk " m e n e b u s dosa", karena selama 32 tahun telah menjadikan guru sebagai alat legitimasi kekuasaan, sehing-ga keberadaan PGRI tidak membuat guru sejahtera, tapi malah tambah menderita, baik secara ekonomis maupun politis.

Selain untuk " m e n e b u s dosa", agresifnya PGRI memperju-angkan kenaikan gaji guru hingga 200% dengan menggerakkan aksi demo ke Senayan dan Istana, juga secara transparan dibaca oleh banyak pihak sebagai bagian dari konspirasi elite politik untuk menjatuhkan Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Terbukti gerakan itu hanya m a m p u memobilisasi para guru di Jawa Barat yang secara kultural tidak memiliki ikatan emosional dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Belakangan, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri menuding gerakan itu disponsori oleh dua bekas pejabat O r d e Baru. G u s Dur pada waktu itu menunjuk dua nama, yang disebut ada dibalik demo guru besar-besaran itu. Meskipun tudingan itu tidak pernah dibuktikan di pengadilan, para guru di daerah lain pun percaya pada tudingan itu. Mereka membaca aroma politik demo guru itu lebih kental

dibanding tuntutan murni untuk perjuangan para guru sendiri. Terlebih orang yang dituduh itu pun tidak mengajukan gugatan pada G u s Dur.

Seharusnya, agar kenaikan gaji guru itu tidak mubazir, dalam artian dapat m e m b a w a guru ke arah sentral, bukan lagi di pinggiran, maka perlu diimbangi dengan peningkatan kesadaran kritis guru, rasa keingintahuan terhadap ilmu pengetahuan, serta semangat belajar dan mengembangkan diri yang tinggi. Tujuan ke arah sana hanya mungkin tercapai bila guru dipaksa untuk mengalokasikan sebagian gajinya untuk membeli buku-buku ber-mutu secara rutin tiap bulan, berlangganan koran/majalah, melihat film-film yang bemutu guna meningkatkan apresiasi dan imaji-nasi, meningkatkan kemampuan berbahasa, menulis, dan me-ngikuti berbagai kursus pengembangan diri guru. Jadi, bukan hanya untuk memperbesar kebutuhan konsumtif saja. Yang pen-ting adalah agar semua pembelian itu tidak dikoordinasi oleh organisasi atau birokrasi mana pun, termasuk PGRI atau instansi pemerintah, sebab bila dikoordinasi pada akhirnya hanya men-jadi lahan objekan baru. Biarkan para guru melakukan sendiri pembelian buku, koran/majalah, atau menentukan lembaga kur-sus yang akan diikutinya. Tugas para pejabat DPN atau organisasi guru hanya memberi motivasi saja.

Jika setiap kenaikan gaji tidak ada sedikit pun yang dialo-kasikan untuk pembelian buku, majalah/koran, atau pengem-bangan diri lainnya, maka kenaikan tunjangan fungsional mau-pun gaji guru hingga 1.000% mau-pun sama sekali tidak akan ber-dampak pada perbaikan kualitas guru maupun pendidikan pada umumnya, tapi justru akan merusak suasana pendidikan: guru makin malas dan konsumtif; mereka cenderung memperbesar kreditnya untuk barang-barang konsumtif. Bila hal itu yang ter-jadi, maka kenaikan gaji dan tunjangan fungsional guru tidak otomatis m a m p u membawa guru lepas dari marjinalisasi.

Peningkatan kompetensi guru dengan berbagai penataran gaya Orde Baru sebaiknya juga tidak dijalankan lagi, apalagi dijadikan proyek baru. Program itu lebih baik dihentikan. Sebab,

penataran-penataran s e m a c a m itu hanya akan memboroskan dana dan membuang energi dengan hasil yang sangat minim, terutama bila orang-orang yang menatar dan mengkoordinasi masih tetap sama dengan yang menatar pada masa Orde Baru dan motivasi utamanya hanya mencari keuntungan material.

Dalam dokumen PENDIDIKAN RUSAK-RUSAKAN (Halaman 145-150)