• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN FILOSOFIS DAN ARAH PEMBAHARUAN HUKUM DALAM UU PERKOPERASIAN

SAKSI PARA PEMOHON 1 Isminarti Perwiran

I. LANDASAN FILOSOFIS DAN ARAH PEMBAHARUAN HUKUM DALAM UU PERKOPERASIAN

I. LANDASAN FILOSOFIS DAN ARAH PEMBAHARUAN HUKUM DALAM UU PERKOPERASIAN

Kehadiran UU Perkoperasian tersebut juga untuk mengakomodasi tantangan perubahan dan kesenjangan norma yang muncul dari kebutuhan pengembangan Koperasi itu sendiri, sehingga dimaksudkan untuk menjembatani "ketegangan" antara norma hukum dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dengan keadaan baru, perilaku sosial (social behavior), norma-norma usaha koperasi dan aspirasi yang dikehendaki masyarakat, khususnya masyarakat perkoperasian di Indonesia.

Dengan mengacu kepada asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, cara memperkuat Koperasi sebagai wadah usaha bersama anggota diperlukan hukum sebagai landasan operasional. Untuk memperkuat Koperasi sebagai entitas bisnis maka perlu dikembangkan agar tumbuh kuat, sehat,

mandiri dan tangguh agar mampu menghadapi tantangan ekonomi nasional

dan global yang semakin dinamis. Dengan landasan filosofis dan arah politik hukum tersebut, maka dilakukan pembaharuan hukum dengan UU Perkoperasian. Beberapa pengaturan dalam Undang-Undang ini sebagian merupakan hal yang bersifat mempertahankan landasan, asas, tujuan, hak

suara anggota (one man one vote) dan kekuasaan tertinggi tetap pada rapat anggota; sebagian lagi bersifat mengukuhkan nilai dan prinsip, status badan

hukum, serta sanksi administratif; menguatkan tugas dan wewenang pengawas

dan pengurus, usaha koperasi, modal koperasi, dan jenis koperasi; dan

menciptakan lembaga pendukung kelembagaan dengan pembentukan

Lembaga Pengawas Koperasi Simpan Pinjam dan Lembaga Penjamin Koperasi Simpan Pinjam.

Secara khusus materi hukum yang diperbarui ditegaskan dalam Penjelasan Umum yang meliputi (a) Nilai dan prinsip Koperasi, (b) Pemberian status Badan

Hukum, (c) Permodalan, (d) Kepengurusan, (e) Kegiatan usaha simpan pinjam Koperasi, (f) Peranan Pemerintah. [vide Penjelasan Umum UU Perkoperasian, alinea 4].

Secara teoritis, pembaharuan hukum dimaksudkan untuk mengatasi "ketegangan" dalam masyarakat akibat kelemahan dan ketertinggalan hukum dari kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pakar sosiologi hukum Yehezkel Dror berpendapat bahwa akibat dari kesenjangan antara perilaku sosial masyarakat dengan norma hukum yang menciptakan ketegangan (tention), sehingga perlu penyesuaian dengan'membuat norma yang baru [Yehezkel Dror, "Law and Social Change", dalam Vilhelm Aubert (Editor) "Sosiology of Law", Penguins Books Ltd., Harmondsworth. Middlesex, England, 1969, hal.90].

Pembuatan norma baru dalam UU Perkoperasian merupakan keniscayaan menghadapi perkembangan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat perkoperasian yang diarahkan untuk menciptakan Koperasi berkualitas, baik secara kelembagaan maupun usaha. Berdasarkan Penjelasan Umum UU Perkoperasian, ditegaskan aspek-aspek pembaharuan hukum perkoperasian dengan UU Perkoperasian adalah:

(a) Kelembagaan Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang kuat, sehat,

mandiri dan tangguh serta terpercaya sebagai entitas bisnis.

(b) Status Koperasi sebagai Badan Hukum dan pengesahan perubahan Anggaran Dasar merupakan wewenang dan tanggung jawab Menteri. (c) Keanggotaan Koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka, satu orang

satu suara, pengawasan Koperasi oleh anggota, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi.

(d) Rapat Anggota, Pengawas, dan Pengurus merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai perangkat organisasi.

(e) Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dengan pembentukan Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam yang langsung bertanggung jawab kepada Menteri.

(f) Koperasi Simpan Pinjam wajib menjamin Simpanan anggotanya, dalam hal ini Pemerintah dapat membentuk Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi Simpan Pinjam.

(g) Kewajiban anggota Koperasi berkontribusi modal dengan memiliki Sertifikat Modal Koperasi dalam jumlah minimum. Sertifikat Modal

Koperasi tidak memiliki hak suara.

(h) Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Anggota Koperasi, jangka waktu berakhir, atau keputusan Menteri.

Landasan filosofis UU Perkoperasian sebagai alasan mengapa dilahirkan UU Perkoperasian menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah untuk "pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dalam suatu kebijakan Perkoperasian", dengan menerapkan ''nilai dan prinsip Koperasi sebagai wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi Anggota", yang dimaksudkan agar Koperasi ''tumbuh menjadi kuat,

sehat, mandiri, dan tangguh dalam menghadapi perkembangan ekonomi

nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan”. Landasan filosofis ini tertera dalam konsideran "Menimbang" huruf b UU Perkoperasian. Berdasarkan Penjelasan Umum UU Perkoperasian, yang hendak dicapai adalah "mengembangkan dan memberdayakan diri agar tumbuh menjadi kuat, sehat,

mandiri, dan tangguh sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan

Anggota". Walaupun pertumbuhan jumlah Koperasi dinilai membanggakan

dalam satu dekade, namun dari sisi kualitas "Koperasi belum berperan signifikan kontribusinya terhadap perekonomian nasional". Karena itu, dengan UU Perkoperasian diarahkan "penguatan kelembagaan dan usaha agar

Koperasi menjadi kuat, sehat, mandiri, dan tangguh".

Oleh karena itu, norma-norma hukum dalam UU Perkoperasian dimaksudkan untuk memperkuat kelembagaan dan usaha Koperasi, misalnya dengan mempertegas kedudukan Koperasi sebagai Badan Hukum (legal entity). Disamping itu di dalam Undang-Undang ini juga menegaskan modal Koperasi dengan menormakan Sertifikat Modal Koperasi dan Setoran Pokok [vide Pasal 66 ayat (1) UU Perkoperasian], serta sumber-sumber lain modal Koperasi yakni:

a. Hibah;

b. Modal Penyertaan;

c. modal pinjaman yang berasal dari: 1. Anggota;

2. Koperasi lainnya/atau Anggotanya; 3. Bank dan lembaga keuangan lainnya;

5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

d. sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 66 ayat (2) UU Perkoperasian].

Permodalan merupakan faktor yang penting dalam kemajuan perkoperasian di Indonesia yang perlu diatur dengan UU Perkoperasian. Oleh karena itu, menciptakan Koperasi yang berkualitas baik kelembagaan atau usaha, namun tetap mendudukkan Koperasi sebagai "usaha bersama" berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana diarahkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian "asas kekeluargaan" tidak menjadi hilang. sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU Perkoperasian yang berbunyi: "keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka, satu orang satu suara, pengawasan Koperasi oleh Anggota, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi".

Dalam batang tubuhnya UU Perkoperasian mengacu Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dan prinsip Koperasi sebagai "usaha bersama", tetap mempertahankan norma bahwa "Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi" [vide Pasal 32 UU Perkoperasian], dan satu Anggota mempunyai satu hak suara [vide Pasal 35 ayat (3) UU Perkoperasian].

Norma-norma UU Perkoperasian adalah norma baru yang dimaksudkan

sebagai instrumen memperkuat kelembagaan Koperasi dan usaha Koperasi yang berkualitas. Dalam konsideran UU Perkoperasian diarahkan agar tumbuh Koperasi yang kuat, sehat, mandiri, tangguh dan berkembang melalui

peningkatan kerja sama, potensi, dan kemampuan ekonomi anggota serta berperan dalam perekonomian nasional dan global. Bukan Koperasi yang setelah didirikan oleh anggotanya, tidak melakukan kegiatan usaha dan akhirnya "mati suri" atau hanya pasif mengharapkan bantuan Pemerintah.

Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa UU Perkoperasian telah bergeser menjadi wadah usaha yang individualistik dan menggunakan "onderdil" badan usaha/badan hukum Perseroan Terbatas (PT) adalah tidak berdasar dan tergesa-gesa.

Anggapan para Pemohon bahwa norma Sertifikat Modal Koperasi dalam UU Perkoperasian akan menggeser kelembagaan Koperasi dari "usaha bersama"

yang merupakan kumpulan orang menjadi "kumpulan modal", sama sekali tidak berdasar, tergesa-gesa, dan salah paham. Oleh karena penormaan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal Koperasi, justru menegaskan bahwa Sertifikat Modal Koperasi tidak memiliki hak suara [vide Pasal 69 ayat (1) UU Perkoperasian]. Anggapan bahwa Sertifikat Modal Koperasi sama seperti saham (share) dalam Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) adalah salah. Pasal 69 ayat (1) UU Perkoperasian, sangat jelas menyebutkan bahwa

kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi tidak berpengaruh dan tidak menentukan hak suara dalam Rapat Anggota.

Dalam UU Perkoperasian, berapapun kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi oleh Anggota Koperasi, tidak menambah hak suara Anggota dalam Rapat Anggota sebagai kekuasaan tertinggi Koperasi. Lagi pula yang boleh memiliki Sertifikat Modal Koperasi hanyalah Anggota Koperasi tersebut saja, dan pemindahannya hanya dapat dilakukan kepada anggota lain ataupun kepada koperasinya.

Pemerintah berpendapat terhadap anggapan para Pemohon bahwa Sertifikat Modal Koperasi merupakan bentuk campur tangan pihak luar Koperasi adalah salah, karena Sertifikat Modal Koperasi merupakan instrumen modal Koperasi yang dihimpun dan Anggota, hanya dapat dialihkan atau dipindahtangankan kepada anggota koperasi atau koperasinya. Penebitan Sertifikat Modal Koperasi dapat dilakukan berulang sehingga dimungkinkan seorang anggota memiliki jumlah Sertifikat Modal Koperasi di atas minimal wajibnya, namun besar kecilnya kepemilikan Sertifikat Modal Koperasi tetap tidak menambah jumlah suara. Dengan demikian Sertifikat Modal Koperasi adalah instrumen penghimpunan modal yang bersumber dari anggota sehingga tidak mungkin diintervensi pihak luar.

Perihal norma-norma tertentu dalam UU Perkoperasian yang dianggap seakan- akan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 maupun Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, akan ditanggapi secara khusus dalam pokok-pokok tanggapan pada bagian berikutnya.

Garis besar

Dokumen terkait