• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah Rekonstruksi Kesalahpahaman Terhadap Islam

Dalam dokumen Studi Islam (Halaman 110-119)

REKONSTRUKSI PEMAHAMAN TERHADAP ISLAM

C. Langkah Rekonstruksi Kesalahpahaman Terhadap Islam

C. Langkah Rekonstruksi Kesalahpahaman Terhadap

Islam

Rekonstruksi terdiri dari dua kata re dan konstruksi. ”Re” bearti kembali dan Konstruksi adalah cara membuat/menyusun bangunan (jembatan dan sebagainya) atau susunan atau hubungan kata di kalimat atau dikelompok kata (KBBI). Jadi rekonstruksi kesalah pahaman terhadap Islam adalah upaya membuat/membangun

kembali pemahaman yang keliru terhadap Islam, sehingga menjadi pemahaman yang benar.

Untuk membangun kembali pemahaman yang benar terhadap Islam, tentunya harus ditekankan kepada faktor-faktor yang membuat orang salah pahaman terhadap Islam sebagimana diatas. Oleh karena itu langkah-langkah startegis upaya yang perlu ditempuh adalah dengan memberikan penekanan pemahaman yang benar baik terhadap pengertian maupun ruang lingkup Islam secara utuh, konprehensif atau kaffah. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan yakni antara lain :

Pertama, Islam hendaknya dipelajari dari sumbernya yang asli

yakni Al-qur’an yang memuat wahyu Allah dan Al hadits yang berisi sunnah nabi Muhammad SAW. Dengan mempelajari sumber kedua sumber asli ini maka akan memperkecil salah paham dan memperjelas ruang lingkup Islam secara utuh.

Memang kadang ada yang beranggapan bahwa mempelajari Al-Qur’an maupun hadits susah karena terbentur dengan kemampuan berbahasa Arab. Namun pada saat sekarang hal itu bukan merupakan masalah yang rumit dan susah karena kalaupun orang tidak atau belum mampu menguasai bahasa Arab ia dapat mempelajarinya melalui tafsir-tafsir Al-qur’an dan sarah-sarah hadits yang sangat mudah untuk didapatkan ditoko-toko buku.

Kedua, Islam hendaknya dipelajari secara integral (menyeluruh)

bukan secara parsial (sepotong-sepotong). Mempelajari dan memahami Islam secara sepotong-sepotong akan menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan serta pemahaman yang sempit terhadap Islam. Seperti pemahaman empat orang normal yang kemudian buta tentang seekor gajah yang dirabanya dengan tangannya. Orang pertama bilang bahwa gajah itu seperti penghalau lalat agak lunak dan panjang hal ini karena yang ia raba ekor gajah dari ujung sampai pangkalnya. Orang kedua bilang bahwa gajah itu seperti bambu besar karena yang ia raba kaki gajah. Orang ketiga bahwa gajah itu seperti daun yang lebar dan tebal karena yang ia pegang/raba adalah telinga si gajah. Dan yang keempat mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa karet besar

karena yang ia sentuh adalah belalai si gajah. Sebenarnya pemahaman mereka berempat tentang gajah tadi benar saja pada bagian-bagian tertentutetapi tidak benar untuk gambaran gajah secara keseluruhan.

Oleh karena itulah Islam hendaknya dipelajari secara utuh dan terpadu paling tidak garis-garis besarnya sehingga pemahaman kita terhadap Islam menjadi utuh dalam kerangka dasar Islam yang sesungguhnya.

Ketiga , Islam dapat dipahami dengan menggunakan berbagaii

pendekatan atau paradigma disiplin suatu keilmuan dan ini amat memungkinkan bahkan harus dilakukan, karena Islam dengan sumber ajarannya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-sunnah memang bukan hanya berbicara masalah akidah, ibadah, akhlak, dan kehidupan akhirat semata, melainkan juga berbicara tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, sosial, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, seni, kesehatan dan sebagainya. Berbagai pendekatan menurut disiplin ilmu tersebut barangkali tidak dapat digunakan pada kajian yang memang aspeknya terbatas, misalnya suatu kajian disiplin ilmu dibahas dengan berbagai disiplin ilmu, jelas akan sulit dan tidak dapat dipaksakan tetapi paling tidak bahasan satu disiplin ilmu tersebut memberikan pemahaman tentang bagaimana bentuk korelasi antara satu ilmu dengan ilmu yang lain untuk saling mendukung dan menguatkan.10

Beberapa sarjana muslim telah mengemukakan pendapatnya mengenai metode memahami Islam. Mukti Ali misalnya dalam bukunya

Metode Memahami Agama Islam menawarkan sebuah pendekatan

dalam memahami Islam yakni dengan metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam dengan memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis dan seterusnya dengan metode teologi normatif.11 Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan historis, empiris dan sosiologis, sedangkan metode teologi normatifdigunakan untuk memahami Islam 10 Abudin Nata, Metodologi….,hlm.149.

11 Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm.32

yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologi normatif seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama yang mutlak benar. Alasannya karena agama berasal dari Tuhan dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai asfek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.

Cara lain menurutnya dapat menggunakan metode Tipologi, yaitu sebuah metode yang berisi klasifikasi topi atau tema sesuai dengan tipenya lalu dibandingkan dengan topik/tema yang sama. Ada 5 langkah operasional dari metode tipologi ini yaitu ; pertama, mempelajari asfek ketuhanan baik melalui Al-Qur’an, memperhatikan alam, diri sendiri dan perobahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat baik dengan menggunakan metode filsafat, iluminasi, ma’rifat, juga melalui keterangan-keterangan para pemikir besar muslim dalam bidangnya; kedua, mempelajari kitab suci yakni al-Qur’an baik dari sisi apa sebenarnya Al-al-Qur’an, ruang lingkup yang dibahas, bidang penekanannya selanjutnya dibandingkan dengan kitab suci agama lain, ketiga, Mempelajari pribadi Muhammad saw baik dari asfek kemanusiaannya maupun asfek kenabiaannya, baik dalam hubungan dengan Tuhanmaupun dengan sesama manusia dan alam sekitarnya, peranannya selanjutnya di bandingkan dengan para pendiri agama lain, Keempat, mempelajari dan meneliti suasana dan situasi dimana nabi dibangkitkan sebagai nabi dan rasul, apakah bangkitnya sebagi nabi dan rasul tanpa tindakan pendahuluan, bagaimana kondisi masyarakat yang dihadapinya dan selanjutnya dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada saat nabi agama lain dibangkitkan. Kelima , dengan mempelajari dan memahami orang-orang terkemuka seperti para sahabat Khulafaur Rasyidin dan para sahabat lainnya. 12

Senada dengan diatas seorang sarjana Iran bernama Ali Syari’ati yang dikutif Nata (1998) menawarkan cara/metode memahami Islam yang disebut dengan metode Komparasi. Cara ini dilakukan dengan membanding beberapa asfek tertentu dalam agama Islam kemudian 12 Mukti Ali, ibid., hlm.37-38

dibandingkan dengan asfek yang sama pada agama lain seperti : mengenal Allah dan membandingkan dengan sesembahan agama lain; mempelajari kitab suci al-Qur’an dan membandingkan dengan kitab samawi (kitab-kitab yang dikatakan samawi) lainnya; mempelajari kepribadian rasul Islam dan membandingkan dengan tokoh-tokoh pembaharu yang pernah hidup dalam sejarahserta mempelajari para tokoh utama Islam agama dengan tokoh utama agama maupun aliran pemikiran lain.13

Pada dasarnya cara yang dikemukakan oleh Mukti Ali dengan Ali Syari’ati diatas tidak berbeda yakni mencoba membandingkan aspek/tipe tertentu dari ajaran Islam dengan asfek/tipe tertentu dengan agama lain.

Keempat, Islam perlu dipelajari melalui studi kepustakaan yang ditulis oleh ulama-ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana Muslim, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-qur’an dan sunnah dengan pengalaman bathin melalui hasil riyadah dan mujahadah serta praktik ibadah yang dilakukan sehari-hari.

Lalu bagaimana kalau mempelajari karya-karya para orientalis tentang Islam apakah dapat dilakukan?. Menurut hemat penulis mempelajari karya mereka terutama yang berkaitan dengan Islam boleh-boleh saja hanya yang perlu digaris bawahi adalah kita tetap menjaga kehati-hatian karena mereka jelas-jelas bukan seorang muslim dan kacamata yang mereka pergunakan ketika mempelajari Islam juga hanya dari kacamata ilmiah. Islam bagi mereka hanya sebagai ilmu pengetahuan, bukan dijadikan sebagai way of live dan tidak untuk diamalkan.14. Disamping itu tidak semua mereka jujur dan obyektif dalam menilai dan memandang Islam, motif mereka mempelajari Islampun bermacam-macam.

Kaum orientalis adalah para terpelajar yang menjadikan “Agama Islam, kebudyaan Islam, negeri dan Bahasa Arab” sebagai 13 Abudin Nata, of.cit., hlm.105

studi mereka. Lawanya adalah acidentalisme yaitu penelitian dan pengertian tentang agama, kebuidayaan dan negeri barat.15

Berkaitan dengan hal itu Dr. Mustafa As- Siba’i dalam bukunya al-Istisyraq wa ‘l-Mustasyriqun (Orientalisme dan kaum Orientalistan) menerangkan bahwa motif orientalis barat mempelajari ketimuran umumnya dan ke-Islaman khususnya adalah; pertama, dorongan keagamaan (umpamanya : para pendeta Katolik Roma dari Vatikan) . Kedua, dorongan penjajahan ( misalnya : C. Snouck Hurgronje di Indonesia). Ketiga, dorongan politik (seperti : Perwakilan-perwakilan Blok Timur dan Blok Barat yang bersaing untuk menguasai, dimana mereka ditempatkan); Keempat, dorongan ilmiah (dorongan semangat ingin tahu dan cinta ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu pengetahuan ketimuran) termasuk ke dalamnya: E. Dinet (1861-1929) Vincent Monteil (Mantan Penasihat Kedutaan Perancis di Jakarta).16

Oleh kerana itulah dalam mempelajari karya mereka perlu bersikap kritis, selektif dan disamping itu mereka juga sebaiknya memiliki dasar-dasar keagamaan yang kuat.

Kelima, Untuk menghindari salah paham terhadap Islam maka yang perlu dilakukan adalah tidak mengkonotasikan apa yang dilakukan oleh person umat Islam dengan Agama Islam. Sebab bila itu yang dilakukan maka jelas keliru sebab apa yang dilakukan perorangan sangat tergantung kepada tingkat pemahaman terhadap agama yang dianut. Sedangkan Islam sebagai agama merupakan sesuatu yang mutlak benar berasal dari Tuhan dan berisi petunjuk-petunjuk lengkap yang membimbing penganutnya kepada kedamaian, ketenangan, mengedepankan kasih sayang dan sebagainya. Disamping itu mengkaitkan Islam disuatu tempat dengan Islam di tempat lain menurut penulis juga kuranglah tepat untuk melihat Islam secara kaffah. Sebab keadaan Islam disuatu tempat disampimng dipengaruhi agama bisa jadi juga dipengaruhi oleh latar belakang kultur, budaya dan keadaan sosial disekitarnya . Oleh karena itu perlulah kiranya 15 H. Endang Saifuddin, Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo

Persada, 1993), hlm.313

kembali kepada mempelajari sumber ajaran agama tersebut yakni Al-Qur’an dan al-Hadits.

Keenam, Terhadap sistem kurikulum pendidikan Islam dari TK SD-SLTA yang terkesan belum menggambarkan muatan materi yang konpehensif yang lebih banyak menyentuh persoalan-persoalan teologi, ibadat, Hadits dan bahasa arab kiranya perlu peninjauan dan pengkajian ulang. Paling tidak prinsif keseimbangan (balance) dari seluruh aspek yang ada dari ajaran Islam tersentuh oleh sistim kurikulum. Demikian juga dengan jumlah jam pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah perlu diperbanyak. Hal ini disamping bahwa pendidikan agama merupakan tanggung jawab baik orang tua, pemerintah dan masyarakat juga karena tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang relegius.

Ketujuh, Memahami agama Islam secara kontekstual.

Mukti Ali mengatakan bahwa memahami Islam secara kontektual merupakan sebuah keharusan. Artinya Agama hanya dapat berfungsi apabila benar-benar kontektual, bila tidak agama hanya merupakan ajaran yang kosong. Dalam memahami agama Islam umpamanya kita harus mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara “teks” dengan “konteks”, antara “din” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual, artinya kita harus berusaha merumuskan ajaran Islam pada kontek, ruang dan waktu tertentu.17

Kedelapan, Demikian juga dengan para juru dakwah Muslim yang selama ini menyampaikan materi dakwah hanya sekitar tauhid, fiqh dan akhlak tentunya dituntut juga dalam menyampaikan materi dakwah menyentuh persoalan-persoalan lain dalam kontek ajaran Islam seperti ekonomi Islam, budaya, pendidikan, politik, filsafatnya, kesehatan, tasawufnya dan lain sebagainya. Tentu saja ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah akan tetapi merupakan pekerjaan yang cukup berat dan menuntut kesungguhan serta upaya-upaya kongkrit.

D. Penutup

Islam dengan seperangkat ajarannya merupakan sebuah sistim yang utuh dan konprehensif. Antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain tidak dapat dilihat secara sepotong-sepotong atau dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu untuk melihat Islam sebagai sebuah agama yang utuh tentunya aspek-aspek yang ada dalam agama Islam dengan seperangkat karakteristiknya memang harus dipahami secara baik sebab bila tidak maka akan berakibat salah dalam menggambarkan Islam . Lalu bagaimana caranya tentunya pertama mempelajari Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, kedua menerapkan metode dan pendekatan baik pendekatan yang bersifat teologi normatif maupun pendekatan ilmiah dari berbagai disiplin ilmu yang ada atau dapat juga melalui studi kepustakaan atau studi tokoh serta belajar melalui ustadz/ ulama, tuan guru atau cendikiawan muslim yang diakui otoritasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, H. Abuddin, DR, MA (1998), Metodologi Studi Islam , Jakarta, Raja Grafindo Persada

M. Abdullah, Amin, DR (1999), Studi Agama Normativitas dan

Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Muhaimin, DR.MA ( 1994), Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya, Karya Abditama

Shihab, Quraisy, DR, (1999) Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan

Nasution, Harun, DR (1985), Islam ditinjau dari berbagai asfeknya, Jakarta, Universitas Indonesia

Daud, Muhammad, Prof. DR. (1998) Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada

Anshari, H. Endang Saifuddin, MA (1993), Wawasan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada

Ali, Mukti, Prof. DR (1991), Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang

Dalam dokumen Studi Islam (Halaman 110-119)